• Tidak ada hasil yang ditemukan

PIPA ENDOTRACHEAL LUMEN GANDA

Dalam dokumen Anestesia Torakotomi (Halaman 24-36)

Keuntungan utama dari pemakaian pipa endotrakeal lumen ganda dibandingkan dengan bronchial blockers dan pipa endobronkial adalah bahwa tiap paru dapat secara tersendiri di ventilasi dikempeskan dan dikembangkan kembali (1,4), penempatannya lebih mudah, selama pembedahan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat serta berulang – ulang merubah ventilasi dua paru ke ventilasi satu paru dan sebaliknya, penghisapan lendir bisa dilakukan pada kedua paru, dan dapat diberikan CPAP pada paru yang tidak diventilasi (1,2). Adapun kelemahan dari pipa endotrakea lumen ganda adalah kesulitan melakukan penghisapan lendir melalui lumen yang sempit dan terjadinya peningkatan jalan nafas (1,2).

TABEL 5. MACAM PIPA ENDOTRAKEA LUMEN GANDA (3).

Types of double – lumen tubes

Name Bronchus

Intubated Carial Hook Shape of Lumen

Carlens Left Yes Oval

White Right Yes Oval

Bryce – Smith Right or left No Round Robertshaw Right or left No D - Shaped

Semua pipa endotrakea lumen ganda memiliki cuff yang terletak diatas lumen trachea untuk mencegah kebocoran gas selama ventilasi. Gas inspirasi dapat dialirkan ke dalam masing–masing lumen atau dalam kedua lumen oleh cuff kedua yang berada di sepanjang lumen bronkus. Cuff bronkial juga mengisolasi dan melindungi tiap–tiap paru dari kontaminasi kontralateral. Pada pipa yang didesain untuk bronkus utama kanan, sisi lateral dari cuff bronkial atau lumen bronkial di lumeri untuk memungkinkan pertukaran gas dengan bronkus kanan atas. Ujung proksimal dari tiap –tiap lumen mempunyai konektor khusus untuk emngatur distribusi ventilasi bagi tiap paru atau untuk kedua paru. Tiap – tiap lumen dibuka secara independen ke arah atmosfer, paru pada sisi yang lumennya dibuka akan kolaps sedangkan ventilasi pada paru yang lainnya dapat terus berlanjut. Kateter untuk suction atau bronkoskopi fiberoptik dapat dimasukkan ke salah satu lumen sedang paru–paru yang lain tetap terventilasi (1,4,5).

Pipa plastik disposibel secara umum lebih baik dari pada karet yang tidak disposibel. Pipa karet, disamping mahal juga jangka pemakaiannya relatif pendek, mudah sekali rusak selama dibersihkan dan disterilisasi, yang meningkatkan resiko trauma jalan napas(4).

Pipa plastik memiliki lima ukuran (28, 35, 37, 39 dan Fr ), mempunyai lumen yang relatif besar yang memungkinkan penghisapan sekret secara tersendiri atau untuk memasukkan bronkoskopi fiberoptik pediatri ke salah satu paru. Selama ventilasi satu paru lumen dalam yang besar dan berbentuk D memiliki tahanan terhadap aliran udara yang lebih rendah dibandingkan dengan pipa karet merah yang berbanding lebih tebal dan berlumen lebih kecil. Bhan plastik yang transparan memungkinkan untuk observasi berkesinambungan selama ventilasi. Sekret atau darah yang datang dari tiap paru dapat diketahui. Cuff bronkial pada tiap plastik diwarnai biru jadi mudah dilihat selama bronkoskopi fiberoptik. Berlawanan dengan pipa karet yang memiliki cuff low volume high pressure, cuff bronkial dari plastik adalah high volume low pressure, yang mengurangi bahaya iskemik akibat penekanan pada mukosa jalan nafas(4).

Pipa endotrakea lumen ganda ukuran besar lebih disukai (laki– laki 41Fr, perempuan 39Fr) oleh karena cuff bronkialnya memerlukan udara yang lebih kecil untuk menyekat broncus sehingga memperkecil resiko trauma jalan napas atau berniasi cuff. Pipa yang lebih kecil dan tipis mudah masuk terlalu jauh kedalam broncus sehingga besar kemungkinannya menyumbat broncus lobus yang lebih atas. Pipa kecil di indikasikan bila ada obstruksi glotis, trakea, karina dan obstruksi bronkus utama(4).

MEMILIH PIPA KANAN ATAU KIRI

Percabangan trakeabronkial manusia adalah tidak simetris. Panjang bronkus utama kanan pada laki–laki dewasa sekitar 2,3 cm sedang bronkus utama kiri panjangnya lebih dari 5,0 cm. pipa endotrakea lumen ganda kiri memiliki margin of safety yang lebih besar karena resiko terjadinya obstruksi bronkus lobus diatas oleh cuff bronkial dan herniasi cuff lebih kecil dibanding bila menggunakan pipa kanan yang memiliki cuff bronkial lebih besar(4).

Pemilihan antara pipa kanan atau kiri masih kontroversi, beberapa ahli anestesi memilih intubasi ke broncus yang dioperasi, yang

memilih intubasi ke paru yang tak dioperasi, sedang yang lain memakai pipa kiri untuk tindakkan operasi di kanan atau kiri. Pemikiran untuk melakukan intubasi pada paru yang dioperasi adalah bahwa malposisi pipa endotrakea lumen ganda biasanay dapat menyumbat lobus atas dan ini dapat terlihat bila dada dibuka atau bila paru dicoba untuk dikempeskan. Karena paru yang terintubasi terlihat selama operasi, maka tak diperlukan bronkoskop untuk konfirmasi letak dan untuk membantu eposisi pipa operator dapat memandu secara manual. Argumentasi yang berlawanan mengatakan bahwa intubasi pada paru yang dioperasi memiliki resiko yang tinggi untuk bergesernya posisi pipa akibat tarikan operasi atau manipulasi operasi, dan menimbulkan kesulitan pengelolaan jalan nafas selama operasi pneumonektomi. Mereka beralasan bahwa dengan lumen bronkial di paru dependent, jalan nafas dapat ditegangkan sehingga lebih kecil kemungkinan terjadinya obstruksi paru dependent akibat melorotnya mediastinum. Kerugiannya, berat dari paru dan mediastinum dapat menekan bronkus dibawahnya hingga ke ujung lumen bronkial dan menyumbat ventilasi(4). PEMASANGAN

Pada saat ini biasanya digunakan pipa endotrakea lumen ganda kiri baik untuk torakotomi kanan ataupun kiri(4).

Hati–hati memasukkan pipa karena cuffnya mudah pecah dan mudah tercabik oleh gigi pasien. Laringoskop Macintosh dipilih karena memberikan area yang lebih luas untuk memasukkan pipa endotrakea lumen ganda. Ujung dari pipa dimasukkan hingga tepat melewati pita suara dan stilet didalam lumen bronkial ditarik. Pipa diputar 900 berlawanan arah jarum jam (ke arah bronkus kiri) dan dimasukkan lagi hingga didapatkan tahanan yang sedang. Perkiraan kedalaman insersi baik untuk laki–laki maupun perempuan adalah 29 cm.

Ketika pipa didalam broncus, kedua cuff dikembangkan. Bila ukuran pipa yang digunakan sesuai, hanya diperlukan 1–2 ml udara didalam

cuff bronkial untuk dapat menyekat jalan nafas. Pasien diventilasi melalui

kedua lumen. Uap udara harus terlihat pada tiap lumen, kedua sisi dada harus bergerak dan suara nafas didengar bilateral. Lumen trakea kemudian dijepit, suara nafas hanya terdengar di paru bilateral. Lumen trakea kemudian dijepit, suara nafas harus hanya terdengar di paru yang di intubisi ( kiri ). Bila suara nafas terdengar bilateral, berarti tube tidak cukup dalam

dan harus dimasukkan lagi kedalam broncus. Bila suara nafas hanya terdengar di sebelah kanan, berarti berada di dalam broncus utama kanan. Pada situasi ini, kedua cuff harus dikempeskan lagi dan tube ditarik hingga ujungnya sampai diatas karina. Tube diputar lagi kekiri dan dimasukkan ulang. Putar kepala dan leher pasien ke kanan, sementara kepala dibuat head down dapat membantu tube masuk dengan sendirinya ke bronkus kiri(2,4,8).

Ketika tube berada dibronkus kiri lumen kirinya dijepit dan pasien diventilasi melalui lumen trakea, suara nafas sekarang terdengar samapai paru kanan. Bila disini kesulitan melakukan ventilasi, kempeskan cuff bronkial saja sementara ventilasi dilanjutkan melalui lumen kanan. Bila tube tetap tidak cukup dalam, suara nafas dapat terdengar bilateral. Bila tube dalam terlalu dalam, suara nafas sekarang terdengar hanya sampai ke paru kiri(1,4).

Posisi tube harus di cek ulang sebelum operasi dimulai oleh karena tube bisa bergeser akibat perubahan ke posisi lateral decubitus. Setelah posisi tube tepat ia dapat ditarik beberapa milimeter. Bial sekat bronkial dapat dipertahankan tanpa perlu penambahan udara, tube dimasukkan lagi kebelakang bawah bronkus untuk mnecegah bergeraknya cuff bronkial secara tak sengaja kedalam karina(1,3,4,8).

Konfirmasi posisi tube dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dada, meliputi auskultasi dan observasi gerakan dinding dada, dan pemeriksaan tekanan inspirasi puncak selama ventilasi paru independent. Tegangan balon pemandu ke cuff broncial harus dicatat segera setelah dikembangkan. Balon pemandu yang melunak biasanya berarti bahwa sebagian tube bergeser tube bergeser keluar bronkus, dan cuff broncila berherniasi ke karina(4).

KOMPLIKASI PIPA ENDOTRAKEALUMEN GANDA

Kerusakkan jalan nafas dan hipoksemia dan timbul akibat pemasangan pipa endotrakea lumen ganda yang tidak benar. Masalah ketidaktepatan posisi tube yang paling sering terjadi adalah : tube kurang cukup dalam masuk broncus, intubasi ke bronkus yang salah, tube dimasukkan terlalu dalam ke broncus yang benar(1,4).

Tube dapat bergeser selama operasi, jadi kewaspadaan yang konstan merupakan hal yang penting. Ventilasi ke paru dependent melalui lumen trakea atau lumen bronkial tak dapat secara langsung dilihat dan ventilasi harus dimonitor melalui observasi perubahan tekanan puncak inspirasi ke paru dependent, end–tidal karbondioksida, saturasi oksigen dan yang paling penting adalah pergerakan mediastium selama inspirasi(4).

Jalan nafas dapat mengalami trauma selama intubasi dan ekstubasi pipa endotrakea lumen ganda. Trauma dapat berupa ekimosis pada membran mukosa hingga dislokasi aritenoid dan robeknya pita suara. Distensi yang berlebihan dari cuff juga dapat menimbulkan trauma jalan nafas(1,4).

Cuff bronkial biasanya hanya butuh 1 – 2 ml udara. Bila diberikan

volume yang lebih besar, cuff dapat bocor atau herniasi ke dalam karina. Bial digunakan N20, kedua cuff harus secara periodik dikempeskan untuk mencegah tekanan yang berlebihan pada mukosa. Setelah konfirmasi petama dari posisi tube, cuff bronkial harus dikempeskan dan hanya dikembangkan kembali bila diperlukan pemisahan paru atau pengempisan paru. Cuff bronkial yang kurang dikembangkan dapat menimbulkan kebocoaran silang (coss–leak) yang mempersulit pengempisan paru yang akan di opersi dan menimbulkan kontaminasi pada paru dependent (4). OPTIMALISASI OKSIGENASI SELAMA VENTILASI SATU PARU

Setelah salah satu paru dikempeskan perfusi ke paru dependent terus berlanjut tetapi tidak terventilasi. Banyak faktor yang mempengaruhi derajat perfusi sia – sia atau shunt ini. Reflek HPV memiliki peranan meskipun kecil, tetapi reflek ini kurang begitu penting selama operasi oleh karena menipulasi operasi pada paru akan melepaskan substan vasoaktif yang menghilangkan reflek HPV. Dibawah kondisi terbaik, shunt ke paru

non dependent selama ventilasi satu paru sekitar 20 – 25 % dari curah

jantung(4).

Pada permulaan ventilasi satu paru, ventilasi semenit harus dijaga tetap tak berubah. Laju ventilator diatur agar PaCO2 antara 4,8 – 5,3 kPa (36 – 40 mmHg). End–tidal CO2 harus dipantau secara ketat, tapi harus diingat bahwa end–tidal CO2 selama ventilasi satu paru pada posisi lateral decubitus mengkin lebih rendah sekitar 1,3 kPa (10 mmHg) dari pada PaCO2 sesungguhnya. Hipokapnia harus dihindari karena dapat meningkatkan tahanan pembuluh darah paru yang terventilasi dan mengalihkan aliran darah ke paru yang tak terventilasi. Hiperkapnia biasanya bukan merupakan masalah asal ventilasi semenit dipelihara (4).

Dalam rangka meminimalisasi hipoksemia, usaha ditujukan kearah optimalisasi ventilasi ke paru dependent dan meningkatkan kandungan oksigen darah yang kembali dari paru non dependent. Bila terjadi hipoksemia, posisi pipa endotrakea lumen ganda harus dilihat lagi. Hipoksemia yang nyata biasanya tak terjadi segera setelah dimulainya ventilasi satu paru – paru, tetapi terjadi setelah 10–15 menit kemudian karena ini adalah waktu yang diperlukan oleh paru yang tak diventilasi

untuk mengempis sempurna dan karena ada sisa oksigen di paru untuk diabsorsi(4)

.

Pada posisi lateral decubitus, isi abdomen mendesak diagfragma ke sefalat dan menurunkan FRC dari paru dependent. Jadi, disini paru

dependent memiliki daerah dengan ratio ventilasi / perfusi rendah dan

daerah ateleksi. Agar PaO2, dapat maksimal paru dependent harus diventilasi dengan oksigen 100 % dan dengan volume tidal yang besar ( 10 – 14 ml / kg). volume tidal kuranng dari 8 ml / kg akan menyebabkan semakin menurunya FRC disertai dengan semakin meluasnya daerah atelektase di paru dependent. Volume tidal yang lebih besar dari 15 ml/kg akan menyebabkan distensi alvioli yang berlebihan dan meningkatkan tahanan pembuluh paru menyebabkan redistribusi dari aliran darah ke paru

non dependent(4).

Dengan shunt 25 % ke paru yang tak terventilasi, FiO2, 100% dan ventilasi dengan volume tidal yang besar ke paru dependent biasanya akan menghasilkan PaO2 yang lebih besar dari 20 kPa ( 150 mmHg ). Pada tegangan oksigen sebesar ini, homoglobin tersaturasi 100%. FiO2 yang tinggi akan menyebabkan vasodilasi dari pembuluh darah di paru

dependent, meningkatkan perfusi ke paru ini dan semakin menurunkan shunt(4).

Bila terjadi hipoksemia, harus diberikan PEEP secara kontinyu selama ventilasi satu paru dengan volume tidal tinggi. Pada keadaan kondisi FRC yang rendah, PEEP ( 10 cm H2O ) dapat masuk ke bagian alvioli yang kolaps ataupun yang kurang mengembang dan meningkatkan oksigenisasi pada daerah yang diperfusikan ke paru dependent. Pada keadaan FRC normal atau tinggi, PEEP dapat meningkatkan tekanan alvioli dan tahanan pembuluh darah paru dependent, yang dapat merubah aliran darah ke paru yang tak terventilasi dan memperburuk hipoksemia. Ventilasi dengan volume tidal yang besar mempertahankan FRC, jadi sering tak perlu diberikan PEEP(4).

Paru yang dikempeskan dapat dikembangkan penuh selama terjadi hipoksemia berat. Insuflasi oksigen 100% ke paru yang tak terventilasi seringtidak cukup untuk mengatasi hipoksimea, karena oksigen gagal untuk memperkaya dan menyertakan alvioli yang kolaps. Sedangkan insuflasi oksigen 100% disertai CPAP ke paru yang tak terventilasi

merupakan tindakkan yang efektif untuk mengoreksi hipoksemia. CPAP mempertahankan potensi alvioli paru non dependent dengan oksigen, jadi perfusi darah vena campuran yang tak tersaturasi di paru ini menjadi teroksigenasi. Peningkatan tekanan jalan nafas diparu non dependent akibat

CPAP dapat semakin memperbesar tahanan pembuluh darah paru yang

dapat memindahkan aliran darah ke paru dependent, paru yang terventilasi..

CPAP yang diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi yang bagus

relatif kecil(5 – 10 cmH2O ). CPAP yang lebih besar akan menyebabkan

overdistensi dari paru dan mengganggu pemaparan lapangan operasi(4). Kombinasi PEEP ke paru yang terventilasi dan CPAP ke paru yang tak terventilasi dapat digunakan untuk mengatasi hipoksemia berat.

Selama pneumonektomi, ligas arteri pulmonaris menhilangkan shunt secara menyeluruh dan memaksimalkan huubungan ventilasi / perfusi (4).

E. PERIODE PASCA BEDAH

Pada periode ini pasien terancam komplikasi segera yang membahayakan jiwa, seperti : pendarahan masif , blow out stump pasca pneumonektomi atau lobektomi, dan herniasi jantung pasca pneumonektomi radikal(2).

Masalah lain pada periode ini adalah pe ngelolaan ventilasi mekanik, perawatan pernafasan, dan pengelolaan nyeri pasca bedah(1).

Komplikasi pulmoner yang paling sering terjadi adalah atelekse(1,2,3,4,5), ini dapat terjadi akibat trauma paru selama operasi, akibat pengembangan kembali yang tak sempurna atau oleh karena sumbatan mukus. Atelakse yang tak segera diatasi dapat berkembang menjadi pneumonia(4).

Beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya atelakse pasca torakotomi antar lain : kemampuan melakukan nafas dalam, batuk, pembersihan sekret dengan spirometri intensif, pemberian bronkodilator aerosol, mobilisasi segera, dan yang paling penting adalah pengelolaan nyeri yang adekwat (4).

Pada atelektase loboris atau atelektae seluruh paru akibat sumbatan mukus, pasien harus dirawat dalam posisi lateral diman paru yang tak dioperasi sebagai paru dependent untuk memperlancar aliran mukus dari paru yang dioperasi dan memperbaiki ventilasi / perfusi(1,4).

Pada umumnya pasien dapat diekstubasi dimeja operasi atau segera setelah beberapa saat di ICU, tetapi beberapa pasien memerlukan bantuan ventilasi mekanik untuk menunjang pernafasannya. Bial kita ragu, sebaiknya pasien terus dengan ventilasi mekanik hingga keadaan dianggap aman untuk ekstubasi(2).

Ventilasi mekanik biasanya dimulai dengan volume tidal 12 ml / kg berat badan dengan SIMV, frekuensi 8 – 10 kali / menit dan FiO2 lebih kecil dari 50%. Selam pasien dengan ventilasi mekanik di berikan sedasi dan analgesi agar tenang dan tidak batuk(2).

PENATALAKSANAAN NYERI PASCA BEDAH

Pengobatan nyeri pasca bedah torakotami merupakan hal yang sangat penting, bukan hanya untuk membuat pasien merasa nyaman tetapi juga untuk memperkecil komplikasi pulmoner dengan membuat pasien mampu untuk melakukan nafas dalam dan batuk serta mempercepat mobilisasi sehingga tidak terjadi retensi sputum dan atelektase(1,2).

Pada saat ini, ada dua metode yang sangat efektif dan digunkan secara luas serta dianggap sebagai pilihan untuk mengatasi nyeri pasca torakotomi, yaitu : cryoanalgesia dan pemberian narkotik secara epidural(1).

Cryoanalgesia

Cara ini terbukti sangat efektif untuk mengatasi nyeri dan mengurangi kebutuhan narkotik pasca torakotomi, memperbaiki fungsi paru, serta merupakan cara pilihan untuk mengelola nyeri torak yang diduga akan berlangsung lama( misalnya nyeri akibat trauma dada ) (1).

Pembekuan saraf interkosta (cryoanalgesia) akan menghasilkan blok saraf interkosta yang berlangsung sangat lama (1,2,3). Aplikasi es langsung pada saraf akan menyebabkan degenerasi akson saraf tanpa menimbulkan kerusakan pada jaringan penyokong saraf. (neurolemma), sehingga menghentikan aktifitas saraf secara reversebel. Dalam waktu 2 – 3 minggu pasca pembekuan, struktur dan fungsi saraf tersebut akan mulai mengalami pemulihan dan pulih sempurna setelah 1 – 3 bulan tanpa gejala sisa neuritis atau neuroma(1,2).

Cryoprobe ditempatkan langsung pada saraf setinggi temapt sayatan,

lalu dua(1,3) atau tiga(1,2) interkosta diatas dan dibawahnya.

Kateter epidural harus sudah terpasang sebelum induksi anestesi dan posisinya di cek dengan obat lokal anestesi dosis rendah. Injeksi pertama dapat dilakukan di kamar operasi, kamar pemulihan, atau unit perawatan intensif(1).

Kelebihan dari teknik ini adalah tidak menimbulkan blok otonom, sensoris ataupun motoris, menghilangkan nyeri dengan nyata dan durasinya lebih panjang dari pada narkotik parenteral(1,2,3).

Di RSUP persahabatan, cara ini sudah ruti dilakukan. Setiap pasien bedah toraks, diberikan morfin 5 mg dalam 10 NaCl 0,9 %, 40 menit sebelum operasi selesai yang biasanya dapat menghilangkan nyeri sekitar 18 – 24 jam(2).

Dosis dan rute narkotik epidural untuk pengelolaan nyeri pasca bedah, dapat kita lihat pada tabel berikutnya.

TABEL 6 ( diambil dari kepustakaan 1 )

Epidural Narcotics for Postoperative Pain Management : Routes and Dosages

Site of Incision

Epidural Route

Drug Dosage (Diluent Saline)

Thoracotomy Thoracic Fentanyl Methadone Nalbuphine Morphine 0.5 – 2mg/kg(10ml0.5 -2mg/kg/h 5mg(10ml) 30 – 100mg(10ml) 10mg(10ml) 2 – 4 mg (8ml ) 0.1 mg/h Lumbar Fentanyl Morphine Methadone 1 – 2 mg/kg (18 ml )  1 -2 mg/kg/h 6 -8 mg (10 -15 ml ) 5 mg ( 10 – 15 ml ) Abdominal Incision Lumbar Fentanyl Morphine Methadone Hydromorphone 0.5 – 2mg/kg(10ml)  0.5 -2mg/kg/h 2 - 6 mg (10 ml ) 4 – 6 mg ( 18 – 20 ml ) 1.25 – 1.50 mg (10 – 15 )

Beberapa cara alternatif lain untuk mengatasi nyeri pasca torakotomi antara lain :

Narkotik sistematik

Pemberiannya lebih baik secara patient – controlled analgesia (PCA) atau titrasi perinpus intravena(3,4). Biasanya diberikan dalam dosis kecil secara titrasi dan harus dimonitor dengan ketat agar nyeri dapat teratasi tanpa menimbulkan depresi pernapasan. Perlu diingat juga bahwa analgenik narkotik dapat menghambat reflek batuk, mengurangi frekwensi nafas dan menghilangkan kepekaan pusat pernapasan terhadap hiperkarbia dan hipoksia(4).

Blok saraf interkostal

Cara ini terbukti mampu memberikan analgesia yang nyata, menurunkan kebutuhan opioid, dan memperbaiki fungsi paru pasca bedah toraks(3,4).

Biasanya digunakan obat anestesi lokal yang bekerja lama, 3 – 4 ml bulpivakain 0,5 % disuntikkan dua intercosta diatas dan dibawah sayatan(3). Komplikasi yang paling sering terjadi adalah basorsi sisitemik akibat injeksi intravaskuler dan tertembusnya dura(3,4).

Blok Interpleural

Dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam rongga antara pleura parientalis dan viskeralis melalui kateter epidura yang dipasang lewat dinding dada pada saat toraks mesih terbuka (1,4). Biasanya digunkan bupivakain 0,25 – 0,5 % yang dicampur epinefrin(1).

Transcutaneus electrical nerve stimulation(TENS)

Dipasang elektrode pada sisi dada yang mengalami sayatan dan diberikan rangsangan listrik(3). Biasanya digunkan rangsangan listrik voltase rendah dengan frekuensi tinggi( 80 Hz ) melalui kulit(4).

F. RINGKASAN

Saat ini hampir semua prosedure bedah toraks dilakukan dalam posisi lateral decubitus(1,2,3,4,5,8), yang akan menimbulkan perubahan – perubahan fisiologi(3).

Pada pasien sadar dengan nafas spontan dan posisi lateral decubitus, paru dependent akan mendapatkan aliran darah dan ventilasi yang lebih besar (1,3). Bila paru kanan sebagai paru non dependent, ia akan mendapatkan 45% dari aliran darah total, sedang pada posisi supine atau upright ia akan mendapatkan 55%. Bila paru kiri sebagai paru non dependent, ia akan mendapatkan 35% dari aliran darah total sedang pada supine atau upright ia mendapatkan 45%(1,5).

Pada pasien teranestesi dengan nafas spontan maupun terkontrol dan posisi lateral decubitus, ventilasi lebih banyak menuju paru atas sedang perfusi tetap lebih banyak menuju ke paru dependet sehingga timbul mismacth ventilasi / perfusi dan dapat menyebabkan hipoksemia(1,3). Pada posisi lateral decubitus, nafas spontan pada open pneumothorax akan menimbulkan pergeseran mediastinum dan pernafasan paradoksal(1,3).

Kegiatan utama pada periode prabedah adalah melakukan evakuasi dan persiapan serta tindakkan perawatan untuk optimalisasi fungsi pernafasan(1).

Evaluasi prabedah meliputi pemeriksaan fisik umum dengan perhatian khusus pada sistem respirasi dan sistem kardiovaskuler, serta pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan (1,2,4). Uji fungsi paru yang rutin dan mudah dilakukan adalah pengukuran kapasitas paksa (FVC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) (1, 2, 3, 4). % FVC > 80% adalah normal, 70-80% batas normal, 60-70% menunjukkan adanya penyakit paru, <60% menunjukkan penurunan fungsi paru yang nyata. % FEV1 berguna untuk membedakan penyakit paru obstruksi atau restriksi. % FVC & % FEV1 dapat juga digunakan untuk meramalkan kemampuan pasien melakukan ventilasi yang adekwat dan mempertahankan kebersihan paru pasca bedah toraks (4).

Tindakan perawatan pernafasan prabedah pada prinsipnya ditujukan untuk optimalisasi fungsi paru dalam usaha mencegah komplikasi pulmoner pasca bedah (1, 2, 3, 4, 5).

Pada periode pembedahan, monitoring harus dilakukan dengan ketat dan sesuai tingkat kebutuhannya, yang bertujuan agar dapat melakukan

Dalam dokumen Anestesia Torakotomi (Halaman 24-36)

Dokumen terkait