• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Tahap aklimatisasi merupakan tahap yang kritis untuk mengadaptasikan planlet dan umbi lapis mikro bawang merah ke kondisi autotrof. Tujuan aklimatisasi adalah untuk mengkondisikan planlet dan umbi lapis mikro bawang merah sebelum ditanam ke lapangan. Aklimatisasi dilakukan tiga kali: 1) menggunakan planlet yang diperoleh dari percobaan sukrosa dan paclobutrazol yang ditumbuhkan pada suhu ruang 20 oC. Terdapat 20 kombinasi perlakuan dan masing-masing terdiri atas 10 planlet; 2) dan 3) menggunakan umbi lapis mikro yang dihasilkan dari media pengumbian yang diinkubasi pada ruang kultur 30 oC, masing-masing berjumlah 150 dan 27 umbi lapis mikro bawang merah. Pada aklimatisasi yang pertama planlet ditanam di media arang sekam, kompos dan cocopeat (1:1:1), sedangkan umbi lapis mikro ditanam pada media kompos daun hijau dan arang sekam (1:1). Pada percobaan aklimatisasi pertama keberhasilan hidup planlet yang berupa tunas mikro berakar dari percobaan sukrosa dan paclobutrazol selama tiga minggu sangat rendah. Hanya 1% planlet mampu bertahan hidup sampai minggu ke 3 setelah aklimatisasi. Pada aklimatisasi kedua dan ketiga (menggunakan umbi lapis mikro) terjadi peningkatan keberhasilan tumbuh saat aklimatisasi selama 3 minggu. Persentase tumbuh pada aklimatisasi tahap dua mencapai 30% pada 2 minggu setelah aklimatisasi (MSA). Keberhasilan hidup umbi lapis mikro pada tahap aklimatisasi tiga mencapai 93% pada 2 MSA dan menurun menjadi 56% pada 3 MSA dan terjadi peningkatan jumlah daun total, daun hijau, tunas, umbi dan tinggi tanaman selama 3 MSA.

Kata kunci: Bawang merah (Allium ascalonicum L.), umbi lapis mikro, autotrof, aklimatisasi.

Abstract

Acclimatization is critical step to adapt shallot planlets and micro bulb to the autotrophic conditions. The success of acclimatization is determined by hardening and environmental conditions of planlets and micro bulb of shallot before planting into the field. Acclimatization were conducted three times : 1) using plantlets obtained from sucrose and paclobutrazol experiment grown at 20

o

C room temperature. There were 20 combinations of treatment and each consisted of 10 plantlets; 2) and 3) using micro bulb produced from micro bulb induction medium. Micro bulbs were incubated at 30 oC, each consisted of 150 and 27 shallot micro bulbs. In the first acclimatization plantlets grown on media husk charcoal, compost and cocopeat (1:1:1), whereas micro bulb were planted in compost green leaves and husk charcoal (1:1). The results of the first experiment showed no plantlets survived after three weeks of acclimatization. In the second and third acclimatization, micro bulb were successfully grown during acclimatization for 3 weeks. Growth percentage in the acclimatization two reached 30% at 2 weeks after planting (WAP). While at acclimatization three, living plantlets reached 93% at 2 WAP and 56% at 3 WAP and increased in the total number of leaves, green leaves, bulbs and plant height at 3 WAP.

Keywords: Shallot (Allium ascalonicum), micro bulb, autotroph, acclimatization

Pendahuluan

Tahapan kultur in vitro berakhir setelah propagul membentuk planlet atau tanaman lengkap yang mempunyai bagian tunas dan akar. Pada kultur bawang merah planlet yang dihasilkan dapat berupa tunas mikro berakar, umbi lapis mikro, atau embrio somatik. Planlet yang dihasilkan secara in vitro masih bersifat heterotrof sehingga memerlukan adaptasi terhadap lingkungan selanjutnya yang bersifat in vivo menjadi ototrof. Proses adaptasi ini disebut aklimatisasi (Gunawan 1992).

Planlet yang dihasilkan baik berupa tunas maupun umbi lapis mikro memerlukan lingkungan yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan pada

tahap aklimatisasi dan di lapangan. Tahap aklimatisasi merupakan tahap yang kritis untuk mengadaptasikan planlet ke kondisi ototrof. Planlet berupa tunas sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim seperti suhu yang tinggi, kelembaban yang rendah dan intensitas cahaya yang tinggi. Selama planlet berada dalam kondisi heterotrof sangat terjaga (intensitas cahaya rendah, kondisi aseptik, media dengan sukrosa dan unsur hara lengkap yang diperlukan serta kelembaban yang tinggi) sehingga planlet berada pada stres yang minimal dan kondisi optimum untuk multiplikasi.

Beberapa sifat yang tidak menguntungkan dari planlet in vitro

diantaranya : daun in vitro sering kali tipis, lunak dan fotosintesis belum aktif (Pierik 1987), lapisan lignin tidak terbentuk sempurna, stomata yang membuka, kutikula tipis dan sistem perakaran yang belum sempurna (Gunawan 1992). Akar yang berasal dari tanaman in vitro kelihatan mudah terserang cendawan dan belum berfungsi sebagaimana tanaman in vivo. Akar menjadi cepat mati dan mungkin digantikan oleh akar baru yang dibentuk selama aklimatisasi (Pierik 1987). Kelemahan planlet ini akan mempengaruhi keberhasilan tumbuh selama aklimatisasi dan di lapangan. Menurut Hazarika (2003), untuk mendapatkan persentase tumbuh planlet yang tinggi selama aklimatisasi dapat diupayakan dengan pemberian sukrosa hingga 3 % pada media, peningkatan intensitas cahaya sebelum planlet diaklimatisasi, pemberian retardan pada tahap pengakaran dan pada masa aklimatisasi, pengurangan kelembaban ruangan kultur dan pemakaian antitranspirants.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan saat aklimatisasi : cahaya, kelembaban, suhu dan media tumbuh. Media tumbuh yang dipergunakan untuk planlet yang berasal dari kondisi in vitro memerlukan beberapa persyaratan : ringan, porous, dapat mempertahankan kelembaban, tidak mengandung patogen (steril) yang akan mendukung persentase keberhasilan tumbuh yang tinggi. Selain faktor tersebut juga perlu dipertimbangkan ketersediaan dan harga sehingga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Keberhasilan tumbuh planlet bawang putih pada tahap aklimatisasi dan di lapangan yang mencapai 100 % dilaporkan oleh Matsubara dan Chen (1989) dengan menggunakan media tumbuh rockwool, vermikulit dan tanah dengan suhu ruangan 20 oC. Beberapa jenis media tumbuh

yang tersedia di pasaran adalah arang sekam, cocopeat, kompos bambu, rockwool,

greenleaf, cascing dan vermikulit. Mohamed-Yasseen et al. (1994) serta Patena

et al. (1997) berhasil menumbuhkan umbi lapis mikro bawang merah yang terbentuk secara in vitro dengan baik di lapangan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan tumbuh planlet berupa tunas mikro yang dihasilkan dari percobaan sebelumnya (aklimatisasi pertama) dan umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan dari media pengumbian (aklimatisasi kedua dan ketiga) pada tahap aklimatisasi.

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat

Percobaan aklimatisasi dilakukan secara bertahap tergantung saat planlet diperoleh. Aklimatisasi yang pertama dilakukan pada bulan Januari 2009, aklimatisasi kedua pada Mei 2011 dan Juli 2011. Percobaan aklimatisasi dilaksanakan di rumah plastik di depan Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB.

Bahan dan Alat

Percobaan aklimatisasi dilakukan tiga kali Pada tahap pertama digunakan planlet tunas mikro bawang merah. Pada tahap aklimatisasi kedua dan ketiga digunakan bahan tanaman umbi lapis mikro bawang merah.

Percobaan aklimatisasi pertama dilakukan pada planlet tunas mikro bawang merah cv. Bima Juna hasil percobaan sukrosa dan paclobutrazol pada ruang simpan kultur 20 oC. Pada percobaan aklimatisasi yang pertama 200 planlet berasal dari 20 kombinasi perlakuan sukrosa dan paclobutrazol masing-masing terdiri atas 10 planlet. Planlet ditanam pada media arang sekam, kompos dan cocopeat dengan perbandingan (1 :1 :1).

Pada aklimatisasi kedua dan ketiga digunakan umbi lapis mikro bawang merah yang diperoleh dari media pengumbian yang diinkubasi pada suhu 30 oC. Pada aklimatisasi kedua ditanam 150 planlet umbi lapis mikro bawang merah dan aklimatisasi ketiga ditanam 27 planlet umbi lapis mikro bawang merah. Media tumbuh pada aklimatisasi kedua dan ketiga menggunakan arang sekam dan kompos daun hiijau dengan perbandingan (1:1).

Pelaksanaan

Pada aklimatisasi planlet bawang merah berupa tunas mikro, planlet dikeluarkan dari botol kultur dan dibersihkan dari agar-agar yang menempel. Planlet selanjutnya direndam dalam larutan fungisida Dithane M-45 dan Agrimisin 1 g L-1 selama 5 menit kemudian planlet ditiriskan di atas tisu. Aklimatisasi pertama dilakukan dengan menanam planlet pada media dengan komposisi arang sekam, cocopeat, dan kompos (1:1:1) berdasarkan volume. Media disiram dengan larutan ½ MS dan selanjutnya planlet ditanam pada media tumbuh yang disiapkan. Planlet kemudian disungkup dengan botol kultur steril dan diletakkan di tempat aklimatisasi berupa rak dengan naungan 60%. Pemeliharaan penyiraman dilakukan apabila media tumbuh terlihat kering dan pembuangan planlet yang terkena cendawan. Pada aklimatisasi tahap pertama ini unsur hara yang diberikan adalah larutan media ½ MS setiap satu minggu sekali.

Aklimatisasi umbi lapis mikro dilakukan dengan membersihkan planlet dari agar-agar yang menempel, dan merendamnya dalam larutan fungisida Dithane M-45 dan Agrimisin 1 g L-1 selama lima menit dan meniriskan planlet di atas kertas tisu. Selanjutnya umbi lapis mikro ditanam pada media arang sekam dan kompos daun hijau (1:1) yang disiapkan pada tray. Media sebelumnya sudah disiram dengan larutan ½ MS. Umbi lapis mikro ditanam pada media dengan membenamkan 1/2 bagian umbi. Umbi lapis mikro bawang merah tidak disungkup dan tray diletakkan di rak dengan paranet 40% naungan. Umbi lapis mikro disiram dengan pupuk daun 2 g L-1 satu minggu sekali sebanyak 50 ml. Tanaman diamati selama 3 minggu terhadap peubah jumlah daun, tinggi tanaman dan persentase planlet hidup.

Hasil dan Pembahasan

Planlet bawang merah berupa tunas mikro berakar yang ditanam dari hasil percobaan sukrosa dan paclobutrazol yang berasal dari suhu ruang kultur 20 oC, tidak menunjukkan terbentuknya umbi lapis mikro berdasarkan kriteria Dt/Dp>2. Beberapa planlet menunjukkan ada penggembungan di bagian pangkal dan sedikit berwarna merah. Semua planlet merupakan tanaman sempurna karena ada bagian tajuk berupa helaian daun dan berakar. Kondisi planlet tidak vitrous dan terlihat

segar untuk diaklimatisasi (Gambar 13). Pada minggu pertama setelah diaklimatisasi terlihat persentase planlet hidup kurang dari 40% dan pada minggu ketiga hampir tidak ada planlet yang bertahan hidup (Gambar 14). Walaupun kondisi planlet dengan bagian tajuk dan perakaran berkembang dengan baik dan sudah mengalami hardening dengan pemberian sukrosa diatas 30 g L-1 dan paclobutrazol seperti yang disarankan Hazarika (2003) tetapi masih tidak berhasil meningkatkan keberhasilan tumbuh planlet selama aklimatisasi.

Gambar 13. Planlet tunas mikro bawang merah yang memperlihatkan penggembungan dan berwarna merah di bagian pangkal tunas (kiri) ; kondisi planlet satu minggu diaklimatisasi (kanan) pada percobaan aklimatisasi pertama

Gambar 14. Persentase hidup planlet pada percobaan aklimatisasi pertama. 0 5 10 15 20 25 30 35 40 1 2 3 P e rs e n t u m b u h (% )

Jumlah akar yang banyak yang menunjukkan aktivitas auksin yang cukup tinggi tetapi pada aklimatisasi ini tidak membuat tanaman cepat beradaptasi dan meningkatkan keberhasilan tumbuh. Kematian planlet pada umumnya karena diserang cendawan, kemungkinan disebabkan media tumbuh terlalu basah, dan naungan terlalu berat sehingga kelembaban di lingkungan sekitar tempat aklimatisasi terlalu tinggi. Kondisi ini mengakibatkan cendawan berkembang dengan cepat, walaupun media tumbuh sebelumnya dipasturisasi dan planlet direndam dalam larutan fungisida.

Komposisi media tumbuh yang kurang baik juga dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan aklimatisasi planlet bawang merah. Cocopeat dan kompos merupakan media dengan karakterisasi daya pegang air kuat dan evaporasi rendah (Soepardi 1983). Penyiraman yang berlebihan menyebabkan media terlalu basah dan perakaran planlet tidak tahan dengan kelembaban terlalu tinggi. Bawang merah merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap kelembaban tinggi (Rubatzky dan Yamaguchi 1999 ; Brewster 2002).

Selain faktor lingkungan di sekitar tempat aklimatisasi yang kurang mendukung, jumlah tunas dan helai daun yang cukup banyak pada setiap planlet menyebabkan tanaman mengalami transpirasi yang cukup tinggi. Apabila laju transpirasi lebih besar dibanding laju absorpsi air pada suatu periode tertentu maka tumbuhan akan mengalami kematian. Transpirasi dapat berlangsung dari setiap bagian tumbuhan yang berhubungan dengan atmosfer (Tjondronegoro et al. 1999).

Pada aklimatisasi kedua dan ketiga yang dilakukan pada umbi lapis mikro bawang merah, dilakukan perubahan komposisi media tumbuh. Media tumbuh aklimatisasi hanya terdiri atas kompos daun hijau dan arang sekam (tidak ditambahkan cocopeat). Perubahan media tumbuh ini bertujuan untuk mengurangi daya pegang air media sehingga dapat mengurangi kelembaban media. Umbi lapis mikro yang ditanam pada aklimatisasi kedua dan ketiga memperlihatkan morfologi dengan sedikit helai daun, bagian terluar umbi dilapisi daun tipis yang kering dan jumlah akar yang sedikit (Gambar 15).

Pada minggu ke pertama setelah aklimatisasi persentase tumbuh umbi lapis mikro masih tinggi, tetapi pada minggu kedua aklimatisasi terjadi penurunan

persentase hidup planlet (Gambar 16). Tingginya persentase kematian planlet pada minggu kedua disebabkan curah hujan yang sangat tinggi pada saat aklimatisasi berlangsung yang merusak atap rumah plastik dan menggenangi tray

tempat planlet tumbuh sehingga menyebabkan umbi membusuk dan mati.

Gambar 15. Kondisi umbi lapis mikro bawang merah sebelum diaklimatisasi (kiri) dan setelah ditanam di media saat aklimatisasi (kanan).

Gambar 16. Persentase tumbuh umbi lapis mikro bawang merah pada dua minggu aklimatisasi (percobaan aklimatisasi kedua)

Pada dua minggu aklimatisasi umbi lapis mikro bawang merah memperlihatkan daya adaptasi yang baik, terlihat peningkatan jumlah daun, daun hijau, tunas dan tinggi tunas (Gambar 17). Pertumbuhan ketiga peubah tersebut

0 10 20 30 40 50 60 70 1 MSA 2 MSA % se p lan le t h id u p

menunjukkan umbi lapis mikro bawang merah berhasil beradaptasi pada kondisi aklimatisasi yang dilakukan. Hal tersebut diduga karena umbi lapis mikro dihasilkan seperti kondisi hardening yang disarankan Hazarika (2003) pada sukrosa tinggi (150 g L-1), suhu ruang kultur yang tinggi 30 oC, dan lama penyinaran 24 jam mendukung keberhasilan aklimatisasi. Morfologi umbi lapis mikro bawang merah dengan lapisan terluar sebagai pelindung juga mengurangi transpirasi planlet sehingga kematian planlet pada dua minggu dapat dikurangi. Aklimatisasi menggunakan umbi/rhizome/bulb mikro menyebabkan keberhasilan tumbuh planlet lebih besar (Ascough et al.2008).

Gambar 17. Pertumbuhan umbi lapis mikro pada dua minggu aklimatisasi (percobaan aklimatisasi kedua)

Planlet umbi lapis mikro yang diaklimatisasi pada tahap ketiga berjumlah 27 dan mampu bertahan hidup berturut turut 100% (1 MST), 93% (2 MST) dan 56% pada tiga minggu setelah aklimatisasi. Hasil aklimatisasi kedua dan ketiga yang menggunakan umbi lapis mikro jauh lebih tinggi dibandingkan keberhasilan aklimatisasi menggunakan planlet tunas mikro. Penurunan jumlah planlet hidup yang cukup tinggi pada minggu ketiga aklimatisasi diduga planlet tidak tahan dengan kondisi media yang terlalu basah dan intensitas cahaya yang kurang. Bawang merah merupakan tanaman sayuran yang menyukai cahaya dan tidak suka dinaungi (Rubatzky & Yamaguchi 1999), sehingga perlu pengaturan intensitas cahaya pada saat aklimatisasi. Perubahan komposisi media dengan menghilangkan cocopeat untuk media aklimatisasi kedua dan ketiga, diduga juga

0 0.5 1 1.5 2 2.5 jumlah daun jumlah daun hijau jumlah tunas jumlah umbi h e la i/B u a h

Minggu Setelah Aklimatisasi

1MSA 2MSA 0 0.5 1 1.5 2 2.5 1 2 ti n ggi tu n as (c m )

menyebabkan berkurangnya kelembaban media, sehingga akar tidak mudah membusuk, dan daya hidup planlet umbi lapis mikro pada aklimatisasi kedua dan ketiga lebih tinggi.

Gambar 18. Jumlah daun total, daun hijau, tunas dan pangkal tunas yang berwarna merah yang terbentuk umbi lapis (kiri) ; tinggi tanaman (kanan) planlet umbi lapis mikro bawang merah selama tiga minggu masa aklimatisasi (MSA).

Planlet menunjukkan pertumbuhan dengan pembentukan daun baru dan pertambahan tinggi (Gambar 18). Pertumbuhan tinggi yang cukup pesat terjadi pada minggu kedua sampai ketiga aklimatisasi menunjukkan planlet umbi lapis mikro bawang merah mampu beradaptasi dengan baik. Warna pangkal tunas semakin merah dan menunjukkan pembesaran ukuran pangkal tunas. Kemampuan umbi lapis mikro bawang merah beradaptasi dengan baik sampai minggu ketiga menunjukkan aklimatisasi sebaiknya hanya dua minggu dan selanjutnya dipindah ke lapangan.

Pemberian unsur hara berupa NPK sebanyak 2 g L-1 setiap minggu sekali diduga memberi tambahan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan bibit bawang merah. Hal ini dapat terlihat dari bertambahnya jumlah daun, tinggi tanaman dan jumlah tunas bibit. Pertumbuhan bibit yang terlihat pesat pada minggu kedua setelah aklimatisasi menunjukkan bibit harus segera dipindah

0 0.5 1 1.5 2 2.5 h e la i/u mb i

Minggu Setelah Aklimatisasi

1MSA 2MSA 0 5 10 15 20 25 1 2 3 ti n ggi tan am an (c m )

tanam ke media baru dan wadah yang lebih besar, intensitas cahaya ditingkatkan dan pemberian pupuk lanjutan.

Gambar 19. Umbi lapis mikro bawang merah yang berhasil diaklimatisasi pada tahap aklimatisasi (kiri) dan pasca aklimatisasi (tengah) serta umbi lapis mini (kanan).

Umbi lapis mikro bawang merah selama 3 minggu diaklimatisasi tidak menunjukkan pembesaran bagian umbi ataupun langsung membentuk umbi baru. Yang terjadi adalah terbentuknya tunas baru dan perkembangan warna merah di bagian pangkal tunas. Artinya pada tahap aklimatisasi seperti penanaman umbi bibit di lapangan akan terbentuk sejumlah tunas dan daun yang selanjutnya akan mengalami perkembangan dengan menggembungnya bagian pangkal tunas karena terjadi translokasi sejumlah karbohidrat. Kondisi pertumbuhan seperti ini menunjukkan bibit memerlukan perubahan kondisi lingkungan yang optimal untuk mendukung pertumbuhan sehingga terbentuk sejumlah tunas dan umbi lapis mini yang maksimal.

Beberapa bibit berhasil dipindah tanam ke media pembesaran di polibag dengan media tumbuh tanah, kompos daun hijau dan arang sekam dan berhasil tumbuh membentuk umbi mini (Gambar 19). Pertumbuhan tunas dan umbi lapis mini masih belum optimal untuk menghasilkan jumlah umbi lapis mini yang banyak atau mendekati jumlah umbi yang ditanam sesuai standar budi daya. Keberhasilan tumbuh umbi lapis mikro bawang merah ini perlu dilanjutkan dengan penelitian tentang pemupukan dan intensitas cahaya yang diperlukan untuk pertumbuhan selanjutnya sampai menghasilkan umbi lapis mini.

Kesimpulan

Keberhasilan hidup pada planlet tunas mikro bawang merah pada aklimatisasi pertama sangat rendah, hampir tidak ada planlet yang berhasil hidup pada 3 MSA. Pada aklimatisasi kedua menggunakan umbi lapis mikro bawang merah terjadi peningkatan kemampuan hidup 30% selama dua minggu dan pada aklimatisasi ketiga umbi lapis mikro berhasil hidup 93% pada 2 MSA dan tetap hidup sebesar 56% serta tumbuh sampai tiga minggu. Tanaman menunjukkan peningkatan jumlah daun total, daun hijau, tunas dan tinggi tanaman. Media tumbuh pada tahap dua dan tiga aklimatisasi menggunakan arang sekam dan kompos daun hijau (1:1) dengan naungan 40% dan tidak dilakukan penyungkupan secara individu menunjukkan keberhasilan hidup umbi lapis mikro lebih tinggi dibandingkan planlet tunas mikro yang ditanam pada media kompos daun hijau, arang sekam dan cocopeat.

Saran

Aklimatisasi umbi lapis mikro bawang merah sebaiknya dilakukan hanya dua minggu dan selanjutnya dipindah ke lapangan. Penelitian lebih lanjut tentang pemupukan perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang pertumbuhan dan umbi lapis mini yang dihasilkan.

bibit yang diharapkan belum dapat mengatasi ketersediaan bibit yang sehat dan petani belum sepenuhnya menggunakan bibit yang berkualitas. Bawang merah umumnya diperbanyak secara vegetatif, sehingga memerlukan penanganan penyediaan bibit yang sehat untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang optimal. Kultur jaringan merupakan salah satu alternatif yang difasilitasi oleh Kementrian Pertanian dalam penyediaan bibit hortikultura yang berkualitas (Direktorat Jendral Hortikultura 2009).

Hasil utama rangkaian penelitian ini adalah diperolehnya metode untuk menghasilkan umbi lapis mikro bawang merah (Gambar 20). Dari penggunaan metode ini akan diperoleh umbi lapis mikro yang merupakan sumber bibit sehat. Planlet yang berasal dari kultur in vitro bebas dari bakteri dan cendawan. Bibit sehat bebas penyakit akan menunjang pertumbuhan dan produksi umbi yang tinggi di lapangan. Pengembangan dan aplikasi hasil penelitian ini akan dapat mengatasi salah satu permasalahan dalam penyediaan bibit bawang merah sehat dan kontinyu.

Teknologi perbanyakan ini mempunyai potensi yang sangat penting dalam penyediaan bibit bawang merah, mengingat sistem penangkar bibit untuk bawang merah belum tersedia dan tertata baik. Industri penyedia bibit merupakan bagian penting yang berkaitan erat dalam sistem budi daya tanaman hortikultura. Hasil umbi lapis mikro memerlukan penanganan khusus sehingga akan mengembangkan peran penangkar bibit yang sehat. Perbanyakan secara vegetatif memerlukan sumber bibit sehat yang terkendali seperti keberhasilan dan pentingnya penyediaan bibit kentang (Direktorat Jendral Hortikultura 2009).

Salah satu hasil penelitian ini adalah diperolehnya metoda perbanyakan tunas mikro bawang merah. Pembentukan tunas mikro bawang merah secara in vitro merupakan bagian penting dalam perbanyakan dan penyediaan bibit bawang merah yang sehat. Tunas in vitro dengan multiplikasi dan kecepatan tumbuh tinggi diperoleh pada media perbanyakan tunas (MS + vit B5 + 4 mg L-1 2ip + 0.5 mg L-1 NAA) (Septiari & Dinarti 2003) dengan menggunakan eksplan umbi lapis

Media Pengumbian : MS+ vit B5 + sukrosa 90 g L-1 tanpa paclobutrazol

Aklimatisasi umbi mikro bawang merah

Ruang Kultur : Suhu 30/27 oC, Lama penyinaran : 12-24 jam Tunas mikro

MS+vit B5+4 ppm 2ip+0.5 ppm NAA

Metoda Pembentukan Umbi lapis mikro

bawang merah

Umbi Lapis Mikro Bawang Merah

Metode Perbanyakan Bibit Bawang Merah asal In Vitro

Gambar 20. Tahapan penyediaan umbi lapis bibit bawang merah dari laboratorium sampai lapangan

yang sudah diperoleh pada media perbanyakan tunas (MS + vit B5 + 4 mg L-1 2ip + 0.5 mg L-1)disimpan pada suhu tinggi (30-45 oC) selama dua bulan. Kultur untuk tujuan multiplikasi tunas sebaiknya diinkubasi dalam ruangan bersuhu 20

o

C. Analisis regresi untuk mendapatkan umur simpan umbi lapis yang optimum tidak dapat diduga, disebabkan ketidaksesuaian dengan kriteria propagul untuk diumbikan dan nilai R2 yang sangat kecil. Terdapat korelasi yang sangat nyata antara jumlah tunas, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen dan jumlah akar.

Informasi ini memberikan hasil yang sama dengan yang dipilih petani, bahwa umur simpan umbi dua bulan memberikan hasil pertumbuhan tunas terbaik. Eksplan yang mengalami penyimpanan selama dua bulan memiliki respon dalam kultur in vitro pertumbuhan tunas lebih cepat, jumlah tunas lebih banyak, jumlah daun hijau lebih banyak serta daun tidak cepat layu atau senesen. Pertumbuhan tunas yang lebih baik ini diduga disebabkan jaringan lebih meristematik, konsentrasi sitokinin, auksin dan senyawa pendukung lainnya

berada pada kondisi optimum. Penambahan zat pengatur tumbuh eksogen mengatur keseimbangan hormonal eksplan sehingga responnya sesuai dengan

Dokumen terkait