• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.3 Proses Desain

5.3.4 Pengembangan Desain

5.3.4.2 Planting plan

Planting plan (Lampiran 10, 11, 12, 13 dan 14) masih mengutamakan tanaman yang telah diajukan sebelumnya pada tahap planting strategy (lihat kembali gambar 15) yaitu mewujudkan hutan kota yang berfungsi konservasi,

edukasi, dan rekreasi. Fungsi konservasi serupa dengan penjelasan dari Irwan (2008) yaitu keanekaragaman jenis dari penyusunan vegetasi dapat memberikan fungsi menyegarkan udara melalui penambahan oksigen, menurunkan suhu kota, pendinginan udara melalui evaportranspirasi, meningkatkan kelembaban, menjadi ruang hidup satwa, perlindungan terhadap erosi, dan mengurangi polusi udara dan limbah.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Booth (1983), tanaman merupakan elemen esensial di dalam desain dan manajemen lingkungan luar. Tanaman tidak hanya sebagai elemen dekorasi saja melainkan juga memberikan peran vital seperti menciptakan ruang lingkungan luar, pembatas pandangan, menstabilkan unsur hara dalam tanah, mempengaruhi iklim mikro dan konsumsi energi serta bertindak sebagai komposisi elemen dalam mendesain ruang luar. Tanaman yang disusun secara berkelompok dapat didesain berulang dari satu area ke area lainnya agar dapat diingat kembali (recall).

Setiap tanaman yang ditanam juga harus memiliki tujuan khusus. Tanaman dipilih sebagai alternatif terbaik terhadap kondisi lingkungan yang ada. Desain penanaman terbaik didapatkan dengan memadukan ilmu pengetahuan dan seni yang pada akhirnya desain lanskap yang baik didapatkan apabila pengunjung merasa nyaman berada di dalamnya dan jika ruang tersebut dapat digunakan seperti yang diinginkan (Simonds dan Starke, 2006).

Tanaman memiliki peran penting dalam desain untuk memberikan bentuk dan kualitas sebuah rancangan. Tanaman yang ada jika digunakan secara teratur dan volumetris dapat membentuk susunan ruang yang efektif dan bentuk-bentuk arsitektural, menambah warna pada lingkungan dan menghasilkan bayangan. Secara garis besar tanaman dibagi atas kategori pohon, semak, dan groundcover.

Planting Plan Trees

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Pasal 14 Ayat 2 dalam Anonim (2002), bahwa hutan kota tipe kawasan permukiman adalah hutan kota yang dibangun pada areal permukiman, yang berfungsi sebagai penghasil oksigen, penyerap karbondioksida, peresap air, penahan angin, dan peredam kebisingan, berupa jenis komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan tanaman perdu dan rerumputan. Karakteristik

pepohonannya: (1) pohon-pohon dengan perakaran kuat, ranting tidak mudah patah, daun tidak mudah gugur, (2) pohon-pohon penghasil bunga/buah/biji yang bernilai ekonomis.

Berdasarkan standar yang ditetapkan oleh PP RI No 63 Tahun 2002 tersebut, pepohonan yang terdapat di Taman Lingkungan JGC memiliki karakteristik pepohonan hutan kota yaitu memiliki perakaran yang kuat. Ciri perakaran kuat dari suatu tanaman dapat diukur dari ketinggian yang dapat dicapai oleh pohon tersebut. Spesifikasi ketinggian pohon yang terdapat di Taman Lingkungan JGC disajikan pada Tabel 11. Selain itu, beberapa jenis pohon di Taman Lingkungan JGC juga menghasilkan buah dan biji yang cocok menjadi tempat hidup satwa burung (Tabel 12).

Penjelasan hubungan antara perakaran yang kuat dengan ketinggian tanaman diungkapkan oleh Sitompul dan Guritno. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), peranan akar dalam pertumbuhan tanaman sama pentingnya dengan tajuk. Fungsi akar adalah menyediakan unsur hara dan air yang diperlukan dalam metabolisme tanaman. Hubungan akar dengan tajuk (bagian atas tanaman) lebih banyak ditekankan dari segi morfogenetik seperti dalam pandangan semakin banyak akar semakin baik hasil tanaman. Tetapi hal ini masih dipengaruhi faktor-faktor lain seperti ketersediaan air. Lebih jauh lagi diungkapkan oleh Goldsworthy dan Fisher (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tunas cenderung menurunkan nisbah akar.

Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan tanaman yang paling mudah dilihat (Sitompul dan Guritno, 1995).

Pemilihan tanaman pada Taman Lingkungan JGC juga didukung dari segi fungsi estetika. Nilai estetika dari tanaman diperoleh dari perpaduan antara bentuk fisik tanaman (batang, percabangan, tajuk), warna (daun, batang dan bunga), tekstur tanaman, skala tanaman dan komposisi tanaman yang berada disekitarnya. Bentuk tajuk pohon pada Taman Lingkungan JGC memiliki bentuk yang berbeda-beda dari segi arsitektural (Gambar 33).Menurut Ingels (2004), karakteristik tajuk

pohon terdiri dari: wide-oval, vase-shaped, pyramidal, round, columnar, dan weeping. Masing-masing karakteristik tajuk memiliki kegunaan yang berbeda (Gambar 34).

Fungsi estetika pada pemilihan tanaman pada Taman Lingkungan JGC juga didukung dari pendapat Irwan. Irwan (2008) menyatakan bahwa hutan kota di lokasi permukiman memiliki fungsi estetika lebih dominan daripada fungsi lansekap dan fungsi pelestarian lingkungan. Fungsi estetika ditinjau dari segi warna, bentuk, tekstur, tajuk, daun, batang, cabang, buah, bunga, aroma yang ditimbulkan dari vegetasi tersebut. Fungsi lansekap ditinjau dari peneduh, pembatas, pengarah, pewangi, pembentuk ruang, perlindungan, pengindah, rekreasi, pendidikan, kesehatan. Fungsi pelestarian lingkungan (ekologis) meliputi penghasil oksigen, menurunkan suhu, yang memenuhi aspek: menaikkan kelembaban, akumulasi gas buangan, menyuburkan tanah, keseimbangan ekologis, pengendalian air tanah dan erosi.

Tabel 11. Spesifikasi Pohon pada Taman Lingkungan JGC

No Pohon

Spesifikasi Pohon

Menurut OZ Tinggi Maks. Pohon Tinggi Diameter

1 Albizzia falcataria/Sengon 5 - 6 m min. 10 cm 45 m

2 Antidesma bunius/Buni 4 - 5 m min. 5 cm 30 m

3 Bouea macrophylla/Gandaria 3 m min. 5 cm 27 m

4 Callophyllum inophyllum/Nyamplung 3-4 m min. 5 cm 35 m

5 Canarium spp./Kenari 4 - 6 m min. 10 cm 10 m

6 Cynometra cauliflora/Nam Nam 5 - 6 m min. 10 cm 10 m 7 Dalbergia latifolia/Sono Keling 4 - 5 m min. 5 cm 30 m 8 Diospiros philippinensis/Bisbul 3 m min. 5 cm 35 m

9 Eugenia cuminii/Jamblang 3-4 m min. 5 cm 20 m

10 Eugenia jambos/Jambu Mawar 4 - 6 m min. 10 cm 15 m 11 Felicium decipiens/Kiara Payung 2 - 3 m min. 5 cm 25 m

12 Flacourtia rukam/Rukam 3 m min. 5 cm 15 m

13 Flacourtia inermis/Lobi-lobi 3 m min. 5 cm 13 m 14 Ficus religiosa/Beringin Bodhi 2 - 3 m min. 5 cm 35 m 15 Ficus lyrata/Biola Cantik 2 - 3 m min. 5 cm 25 m

16 Gardenia dulcis/Mundu 3-4 m min. 5 cm 15 m

17 Garcinia mangostana/Manggis 4 m min. 5 cm 25 m 18 Khaya senegalensis/Khaya 2 - 3 m min. 5 cm 35 m 19 Lagerstroemia floribunda/Bungur 4 - 5 m min. 10 cm 20 m 20 Mangifera odorata/Kweni 5 - 6 m min. 10 cm 30 m 21 Mangifera caesia/Kemang 4 - 5 m min. 5 cm 45 m 22 Manilkara kauki/Sawo Kecik 3 m min. 5 cm 30 m 23 Melaleuca sp./Kayu Putih 3-4 m min. 5 cm 20 m 24 Melia azedarach/Mindi 4 - 6 m min. 10 cm 30 m 25 Michelia champaca/Cempaka Kuning 2 - 3 m min. 5 cm 25 m 26 Muntingia calabura/Kersen 2 - 3 m min. 5 cm 10 m

27 Palaquium sp./Nyatoh 3 m min. 5 cm 45 m

28 Pithecellobium dulce/Asam Kranji 3 m min. 5 cm 15 m 29 Samanea saman/Trembesi 2 - 3 m min. 5 cm 40 m 30 Stelechocarpus burahol/Kepel 2 - 3 m min. 5 cm 25 m 31 Swietenia mahagony/Mahoni 3-4 m min. 5 cm 30 m 32 Tamarindus indica/Asam Jawa 4 m min. 5 cm 30 m

(sumber: Oemardi_Zain (2011); Lestari, G. dan Kencana, I. P. (2008); Yuzzami et.al.(2010); Stenis (1975))

Tabel 12. Karakteristik Pohon Taman Lingkungan JGC

No Pohon Cocok sbg habitat

burung Langka

1 Albizzia falcataria/Sengon Ya -

2 Antidesma bunius/Buni Ya -

3 Bouea macrophylla/Gandaria Ya Ya

4 Callophyllum inophyllum/ Nyamplung Ya -

5 Canarium spp./Kenari Ya -

6 Cynometra cauliflora/Nam Nam Ya Ya

7 Dalbergia latifolia/Sono Keling - -

8 Diospiros philippinensis/Bisbul Ya -

9 Eugenia cuminii/Jamblang Ya Ya

10 Eugenia jambos/Jambu Mawar Ya -

11 Felicium decipiens/Kiara Payung - -

12 Flacourtia rukam/Rukam Ya Ya

13 Flacourtia inermis/Lobi-lobi - -

14 Ficus religiosa/Beringin Bodhi - -

15 Ficus lyrata/Biola Cantik - -

16 Garcinia dulcis/Mundu Ya - 17 Garcinia mangostana/Manggis - - 18 Khaya senegalensis/Khaya - - 19 Lagerstroemia floribunda/Bungur - - 20 Mangifera odorata/Kweni - - 21 Mangifera caesia/Kemang - -

22 Manilkara kauki/Sawo Kecik Ya Ya

23 Melaleuca sp./Kayu Putih - -

24 Melia azedarach/Mindi - -

25 Michelia champaca/ Cempaka Kuning - Ya

26 Muntingia calabura/Kersen - -

27 Palaquium sp./Nyatoh - -

28 Pithecellobium dulce/Asam Kranji Ya -

29 Samanea saman/Trembesi Ya -

30 Stelechocarpus burahol/Kepel Ya -

31 Swietenia mahagony/Mahoni Ya -

32 Tamarindus indica/Asam Jawa - -

Gambar 33. Pembagian Kategori Pohon Taman Lingkungan JGC Berdasarkan Karakteristik Tajuk

Gambar 34. Bentuk Arsitektural Tajuk Pohon (sumber; Ingels, 2004)

Planting Plan Shrubs

Warna dalam kaitannya dengan suatu karya desain dapat memberikan kesan yang diinginkan oleh perancang dan mempunyai efek psikologis. Keseluruhan warna-warna tanaman shrubs yang digunakan pada planting plan shrubs tergolong dalam kategori warna-warna hangat, seperti warna merah, hijau, dan kuning. Kesan warna hangat gembira dan menyenangkan untuk rekreasi. Jika pola warna shrubs ditinjau lebih jauh lagi, maka dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pola warna untuk tanaman; (1) hedges dan special shrubs dan; (2) border shrubs.

Pada hedges dan special shrubs, skema warna yang digunakan adalah tipe analog (Gambar 35). Warna analog merupakan penggunaan warna yang berurutan dalam lingkaran warna secara bersamaan. Tanaman-tanaman yang digunakan seperti Hymenocallis litorallis (Bakung lele), Michelia figo (Cempaka mulya), Ophiopogon jaburan (Alang-alang hijau), Musaenda luteola (Musaenda), Murraya paniculata (Kemuning) dan Pandanus pygmaeus (Pandan). Kumpulan tanaman tersebut merupakan kombinasi dari warna putih, hijau, kuning. Warna hijau dan kuning memiliki kedekatan warna dalam skema warna sehingga konsep

warna pada hedges dan special shrubs dapat dikategorikan kombinasi warna tipe analog (analogues). Penggunaan warna analog memberikan kesan kalem dan harmonis.

Gambar 35. Skema Warna Analog Hedges dan Special Shrubs pada Taman Lingkungan JGC

(sumber: Oemardi_Zain (2011) dan Hakim dan Utomo (2008))

Pada border shrubs, skema warna yang digunakan adalah tipe komplementer (Gambar 36). Warna komplementer merupakan penggunaan warna yang berseberangan posisinya dalam lingkaran warna secara bersamaan. Border shrubs menggunakan tanaman Ixora coccinea dan Hibiscus rosasinensis yang memiliki kombinasi warna hijau pada daun dan warna merah pada bunga. Warna hijau dan merah merupakan warna yang berseberangan dalam skema warna sehingga konsep warna pada border shrubs dapat dikategorikan kombinasi warna tipe komplementer. Penggunaan warna komplementer memberikan kesan dramatis, dan menarik perhatian.

Gambar 36. Skema Warna Komplementer Border Shrubs pada Taman Lingkungan JGC

(sumber: Oemardi_Zain (2011) dan Hakim dan Utomo (2008))

Tanaman didesain secara massal (mass planting) untuk memperoleh hasil kesan yang dapat dinikmati secara maksimal. Tujuan tersebut serupa dengan hal yang dikemukakan oleh Booth. Booth (1983) menyatakan bahwa salah satu hal

kritis dalam desain konseptual adalah penggunaan tanaman secara masal karena kelompok atau kumpulan tanaman dapat menciptakan kesatuan secara visual dalam sebuah komposisi. Selain itu juga dari sifat alamiah tanaman yang selalu membentuk kelompok habitat sesuai dengan lingkungannya.

5.3.5 Gambar Konstruksi

Menurut Booth (1983), setelah melengkapi fase desain, desainer mempersiapkan gambar konstruksi. Pada Proyek Taman Lingkungan JGC, tahapan ini dimulai setelah produk dari tahapan pengembangan desain disetujui oleh klien. Penyetujuan pembuatan gambar ditandai dengan pelaksanaan proses pembayaran tahap kedua sebesar 40% dari total biaya yang dikenakan kepada OZ. Detail konstruksi menggambarkan detail hardscape berupa jenis material dan ukuran-ukuran yang akan dibangun. Gambar detail konstruksi hardscape dibuat dalam bentuk CAD. Gambar tersebut terdiri dari circulation path and jogging track, reflexiology path, plaza yang meliputi tangga dan ramp, signage, perimeter fence, dan bench (Tabel 13) Pada pembahasan selanjutnya mengenai detail plaza, tangga dan ramp.

Tabel 13. Fasilitas dan Luas Material pada Taman Lingkungan JGC

No Fasilitas Luas/Jumlah Satuan Keterangan

1 Circulation path 141.9 m² Lebar 1.2 m

2 Jogging track 611 m² Lebar 2.4 m

3 Reflexiology path 46 m² Lebar 1.2 m

4 Plaza 435.8 m² -

5 Tangga 14.3 m² -

6 Ramp 15.7 m² -

7 Signage utama 2 unit -

8 Perimeter Fence 590.01 m² -

9 Bench 26 unit -

(sumber: Oemardi_Zain, 2011)

Finishing plaza menggunakan material concrete. Penggunaan material ini dapat menciptakan kesan alami dari tema hutan kota. Menurut Ingels (2004), material concrete dapat digunakan bersamaan dengan kayu, susunan bata, atau aggregate untuk membentuk pola. Concrete merupakan campuran pasir, kerikil, semen, dan air. Jika dicetak bahan tersebut akan mengeras menjadi bentukan

tertentu secara otomatis. Material concrete sesuai digunakan sebagai hard paving, bertekstur padat, sesuai untuk digunakan vehicles, pedestrian walks.

Finishing plaza menggunakan warna abu-abu muda dan abu-abu tua (Gambar 37). Penggunaan warna abu-abu memberi kesan bahan-bahan alami (batu-batuan). Warna abu-abu merupakan warna netral sehingga warna abu-abu paving dapat menyatu dengan warna hijau rumput sehingga tampak harmonis.

Menurut Simonds dan Starke (2006), bidang dasar merupakan tempat alokasi penggunaan, permukaan yang paling sesuai bagi aktivitas manusia dan hal yang paling penting dalam hubungan antara penggunaan dalam rencana keseluruhan. Pada penggubahan ruang luar (outdoor space), perpaduan dapat terjadi antara bahan alam (batu, air, pasir, kerikil, tanaman) dan hasil pengolahan manusia (batu bata, beton, aspal, keramik, marmer) sehingga menghasilkan suatu gubahan yang harmonis. Bidang lantai (base plane) dapat didesain dengan warna yang menyerupai warna tanah, pasir, batu, rerumputan, dan warna bumi lainnya.

Gambar 37. Detail Plaza pada Taman Lingkungan JGC (sumber: Oemardi_Zain, 2011)

Ingels (2004) menyatakan bahwa terdapat dua komponen pada desain tangga, yaitu riser dan tread. Formula yang digunakan dalam mendesain tangga outdoor adalah T+2R = 26”. T adalah tread, dan R adalah riser (Gambar 38).

Pada desain tangga pada Taman Lingkungan JGC, komponen riser memiliki ketinggian 15 cm (Gambar 39). Jika mengikuti formula desain tangga ideal menurut Ingels (2004), maka lebar tread seharusnya adalah 35,56 cm. Akan tetapi, desain lebar tread pada Taman Lingkungan JGC adalah 127 cm sehingga tidak sesuai dengan standar yang diungkapkan oleh Ingels (2004). Namun, tangga didesain demikian karena pertimbangan utama terhadap komponen tread daripada komponen riser untuk menciptakan kesan lebih landai dan kesan alami di sekitarnya sehingga suasana tema hutan kota dapat tercipta. Hal tersebut juga didukung oleh Ingels (2004), bahwa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain tangga outdoor adalah mempertahankan kedekatan pengguna dengan kesan alami di sekitarnya.

Gambar 38. Dimensi Perbandingan Riser dan Tread (sumber: Ingels, 2004)

Gambar 39. Detail Tangga pada Taman Lingkungan JGC (sumber: Oemardi_Zain, 2011)

Selain itu, Laurie (1986) menyatakan bahwa lebar jalur sirkulasi ditentukan dari segi jumlah orang yang diperkirakan akan melalui jalur tertentu pada waktu dan keadaan tertentu pula, dimana sejumlah orang banyak diduga akan berada dalam satu arus pergerakan yang terletak di antara dua daya tarik yang kuat. Pada desain tangga Taman Lingkungan JGC sebagai jalur peralihan dari parking area menuju visitor centre dibuat tegas, lurus dan lebar agar dapat memuat sejumlah orang sehingga pergerakan menjadi lebih mudah.

Desain rasio kemiringan ramp pada Taman Lingkungan JGC sudah sesuai dengan standar yang diungkapkan oleh Ingels. Ingels (2004) mengungkapkan rasio kemiringan ramp yang ideal untuk berjalan adalah 1-4%, namun rasio kemiringan masih diperbolehkan dimulai dari 0.5% sampai 8%. Pada kemiringan tersebut, pejalan kaki tidak akan merasa kelelahan dan kendaraan pun tidak terlalu sulit dalam menanjaki ramp tersebut (Gambar 40). Rasio kemiringan ramp pada Taman Lingkungan JGC adalah 6,25 % dengan perbandingan antara tinggi ramp sebesar 0.255 meter dan jarak ramp sebesar 3,6 meter (Gambar 41).

Gambar 40. Rekomendasi Kemiringan Ramp (sumber: Ingels, 2004)

Gambar 41. Gambar Detail Ramp pada Taman Lingkungan JGC (sumber: Oemardi_Zain, 2011)

5.4 Manajemen Kerja

Dokumen terkait