• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga tersebut berpenghasilan rendah. Makin tinggi penghasilan rumah tangga, maka makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain rumah tangga/ keluarga cenderung semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan.

Pengeluaran Rumah Tangga

Pengeluaran rumah tangga dibedakan menurut kelompok makanan dan bukan makanan. Perubahan pendapatan seseorang akan berpengaruh pada pergeseran pola pengeluaran. Semakin tinggi pendapatan, cenderung akan semakin tinggi pengeluaran untuk bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan atau ditabung. Dengan demikian, pola pengeluaran dapat digunakan sebagai salah satu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 2012 2013 Makanan Bukan Makanan

Gambar 5.1. Persentase Pengeluaran Per Kapita Sebulan Menurut Jenis

Pengeluaran, 2012 dan 2013 49,34 51,08 51,08 51,08 51,08 51,0851,08 50,66 48,92

http://www.bps.go.id

[Diolah dari Hasil Susenas Triwulan I 2012 dan Susenas Triwulan I 2013] Jenis Pengeluaran 2012 2013 2012 2013 (1) (2) (3) (4) (5) Makanan 323 478 356 435 51,08 50,66 Bukan Makanan 309 791 347 126 48,92 49,34 Perumahan 133 331 142 088 21,05 20,20 Barang dan Jasa 112 980 130 263 17,84 18,51 Pakaian 11 044 14 527 1,74 2,06 Barang Tahan Lama 32 597 37 863 5,15 5,38 Lainnya 19 839 22 385 3,13 3,18

Jumlah 633 269 703 561 100,00 100,00

Tabel 5.1. Rata-Rata Pengeluaran per Kapita Menurut Jenis Pengeluaran, 2012 dan 2013

Pengeluaran Rata-Rata per Kapita Sebulan

Nominal (Rp) Persentase

alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan.

Tabel 5.1 menyajikan data pengeluaran rata-rata per kapita sebulan untuk makanan dan bukan makanan 2012 dan 2013. Dari tabel tersebut terlihat bahwa selama periode 2012-2013 rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk meningkat dari Rp 633.269,- menjadi Rp 703.561,-. Bila dilihat persentasenya pengeluaran untuk makanan justru mengalami penurunan dari 51,08 persen pada tahun 2012 menjadi 50,66 persen pada tahun 2013. Sebaliknya, pengeluaran bukan makanan meningkat dari 48,92 persen menjadi 49,34 persen. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan kesejahteraan. Peningkatan pengeluaran pada kelompok bukan makanan terjadi pada semua jenis pengeluaran, kecuali pengeluaran untuk perumahan yang menurun dari 21,05 persen pada tahun 2012 menjadi 20,20 persen pada tahun 2013.

Pengeluaran tertinggi untuk konsumsi makanan pada tahun 2013 masih terdapat di Provinsi Aceh 59,27 persen, diikuti Sulawesi Barat sebesar 58,42 persen, Nusa Tenggara Barat 57,81 persen dan Papua 56,20 persen. Provinsi yang persentase

Pengeluaran tertinggi untuk konsumsi makanan pada tahun 2013 terdapat di provinsi Aceh, Sulawesi Barat, NTB, dan Papua.

[Diolah dari Hasil Susenas Triwulan I 2012 dan Susenas Triwulan I 2013]

2012 2013 2012 2013 2012 2013 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) < 100 000 80 048 73 077 68 168 60 923 68 796 64 360 100 000 - 149 999 103 374 91 450 95 635 96 358 97 115 95 488 150 000 - 199 999 125 531 119 493 125 234 125 298 125 306 123 970 200 000 - 299 999 159 226 159 760 172 881 175 177 168 430 170 210 300 000 - 499 999 242 183 239 499 253 940 257 279 248 624 249 687 500 000 - 749 999 351 966 350 267 368 395 374 346 359 406 362 454 750 000 - 999 999 455 913 462 259 473 894 488 928 462 269 473 053 > 1 000 000 683 033 730 099 589 412 624 506 664 689 709 625

Rata-rata per Kapita 375 110 414 170 272 249 299 112 323 478 356 435

Perkotaan + Perdesaan Golongan Pengeluaran

per Kapita

Perkotaan Perdesaan

Tabel 5.2. Rata-Rata Pengeluaran untuk Makanan per Kapita Sebulan Menurut Golongan Pengeluaran per Kapita dan Daerah Tempat Tinggal (Rupiah), 2012 dan 2013

pengeluaran untuk makanan berada di bawah 50 persen adalah Sulawesi Tengah (49,47 persen); Gorontalo (47,62 persen); Kepulauan Riau (46,22 persen); DI. Yogyakarta (45,51 persen); Kalimantan Timur (44,78 persen); Bali (44,51 persen) dan DKI Jakarta (39,47 persen).

Sementara itu, rata-rata pengeluaran untuk makanan pada tahun 2013 mengalami kenaikan sebesar 10,19 persen dibanding dengan tahun 2012, yaitu dari Rp 323.478,- menjadi Rp 356.435,- per kapita sebulan. Kenaikan ini juga terjadi pada semua golongan pengeluaran kecuali tiga golongan pengeluaran terendah. Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal pada tahun 2013, rata-rata pengeluaran makanan per kapita di daerah perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Akan tetapi, jika dilihat menurut golongan pengeluaran per kapita, rata-rata pengeluaran makanan per kapita pada golongan pengeluaran antara Rp 100.000,- hingga Rp 999.999,- di perdesaan cenderung lebih tinggi daripada di perkotaan.

Sebagaimana pengeluaran untuk makanan, pengeluaran untuk bukan makanan juga mengalami kenaikan sebesar 12,05 persen yaitu dari Rp 309.791,- pada 2012 menjadi Rp

Pengeluaran per Kapita dan Daerah Tempat Tinggal (Rupiah), 2012 dan 2013

[Diolah dari Hasil Susenas Triwulan I 2012 dan Susenas Triwulan I 2013]

2012 2013 2012 2013 2012 2013 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) < 100 000 2 401 22 854 21 285 20 900 20 287 21 454 100 000 - 149 999 31 736 41 493 39 384 39 433 37 922 39 799 150 000 - 199 999 54 175 60 322 54 644 54 972 54 530 56 196 200 000 - 299 999 96 290 98 461 77 201 78 612 83 423 85 006 300 000 - 499 999 150 512 152 132 133 759 131 899 141 305 140 538 500 000 - 749 999 259 425 261 475 236 374 231 994 248 986 246 555 750 000 - 999 999 406 911 402 811 376 638 366 672 396 210 388 184 > 1 000 000 1 215 053 1 205 803 957 004 899 407 1 164 489 1 146 389 Rata-rata per Kapita 431 426 488 915 189 107 206 349 309 791 347 126

Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

Tabel 5.3. Rata-Rata Pengeluaran Bukan Makanan per Kapita Sebulan Menurut Golongan

Golongan Pengeluaran per

Kapita

Perkotaan

pada 2013. Kenaikan pengeluaran bukan makanan juga terjadi di daerah perkotaan dan perdesaan. Namun jika dirinci berdasarkan golongan pengeluaran, terlihat adanya penurunan rata-rata pengeluaran bukan makanan per kapita pada golongan pengeluaran Rp 300.000, sampai Rp 999.999,-, sedangkan golongan pengeluaran kurang dari Rp 100.000 hingga Rp 299.999 justru terjadi peningkatan.

Peningkatan pendapatan idealnya diikuti dengan pemerataan pendapatan, karena pemerataan pendapatan merupakan salah satu strategi dan tujuan pembangunan nasional Indonesia. Ketimpangan dalam menikmati hasil pembangunan di antara kelompok penduduk dikhawatirkan akan menimbulkan masalah-masalah sosial. Tidak tersedianya data pendapatan menyebabkan penghitungan distribusi pendapatan menggunakan data pengeluaran sebagai proxy pendapatan. Walaupun dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengeluaran, paling tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk melihat arah dari perkembangan yang terjadi.

1 Tingkat ketimpangan pendapatan penduduk menurut kriteria Bank Dunia terpusat pada 40 persen penduduk berpendapatan terendah. Tingkat ketimpangan pendapatan penduduk ini digambarkan oleh porsi pendapatan dari kelompok pendapatan ini terhadap seluruh pendapatan penduduk, yang digolongkan sebagai berikut :

a. memperoleh < 12 persen, maka tingkat ketimpangan pendapatan dianggap tinggi, b. memperoleh 12-17 persen, maka tingkat ketimpangan pendapatan dianggap sedang, c. memperoleh > 17 persen, maka tingkat ketimpangan pendapatan dianggap rendah.

2 Nilai dari Indeks Gini berkisar antara 0 dan 1. Semakin mendekati 0 dikatakan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran antar kelompok pengeluaran semakin rendah, sebaliknya semakin mendekati 1 dikatakan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran antar kelompok pengeluaran semakin tinggi.

Salah satu indikator untuk mengukur tingkat pemerataan pendapatan penduduk adalah dengan menggunakan kriteria Bank Dunia.

[Diolah dari Hasil Susenas Panel 2010, Susenas Triwulan I 2012 dan 2013]

Tahun Terendah40 % Menengah40 % Tertinggi20 % Indeks Gini

(1) (2) (3) (4) (5) 2011 16,85 34,73 48,42 0,41 2012 16,98 34,41 48,61 0,41 2013 16,87 34,09 49,04 0,41

Tabel 5.4. Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita dan Indeks Gini, 2011 - 2013

Salah satu indikator untuk mengukur tingkat pemerataan pendapatan penduduk adalah dengan menggunakan kriteria Bank Dunia1. Menurut kriteria Bank Dunia penduduk digolongkan menjadi tiga kelas yaitu 40 persen penduduk berpendapatan rendah, 40 persen penduduk berpendapatan sedang dan 20 persen penduduk berpendapatan tinggi. Selain kriteria yang ditetapkan oleh Bank Dunia ada indikator yang juga sering digunakan, yaitu Indeks Gini2.

Berdasarkan kriteria Bank Dunia terlihat bahwa distribusi pengeluaran pada kelas 40 persen penduduk yang berpengeluaran rendah selama periode 2011-2013 terjadi fluktuatif, yaitu dari 16,85 persen di tahun 2011 meningkat menjadi 16,98 persen pada tahun 2012 kemudian turun lagi pada tahun 2013 menjadi 16,87 persen. Menurut kriteria Bank Dunia, keadaan ini menggambarkan kondisi ketimpangan pendapatan pada level sedang. Meskipun tetap pada kategori ketimpangan sedang, pada kelompok penduduk berpengeluaran tinggi terjadi peningkatan persentase yaitu dari 48,42 persen di tahun 2011

1500 1600 1700 1800 1900 2000 2100 2011 2012 2013 Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

Gambar 5.2. Konsumsi Energi per Kapita per Hari Menurut Daerah Tempat Tinggal, 2011 - 2013 (kkal)

menjadi 48,61 persen pada tahun 2012 dan meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 49,04 persen.

Sementara Indeks Gini sejak tahun 2011 hingga 2013 tidak mengalami perubahan tiap tahunnya yaitu sebesar 0,41. Hal ini menunjukkan tingkat ketimpangan antar kelompok cenderung sama selama tiga tahun berturut-turut.

Konsumsi Energi dan Protein

Tingkat kecukupan gizi yang mencakup konsumsi kalori dan protein merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Jumlah konsumsi kalori dan protein dihitung berdasarkan jumlah dari hasil kali antara kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein dalam setiap makanan tersebut. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yan g dianjurkan adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2013 (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi XI tahun 2012), rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia masing-masing sebesar 2150 kkal dan 57 gram protein.

Pada tahun 2012 rata-rata konsumsi kalori penduduk Indonesia sebesar 1.852,64 kkal atau turun sebesar 99,37 kkal dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2013 penduduk Indonesia hanya mampu mengkonsumsi 1.842,75 kkal, sedikit lebih rendah dari tahun 2012. Ini berarti konsumsi kalori per hari penduduk Indonesia di tahun 2013 masih belum memenuhi syarat kecukupan gizi yang ditentukan. Sementara itu, rata-rata konsumsi protein per kapita penduduk Indonesia terus mengalami penurunan meskipun relatif kecil, yaitu dari 56,25 gram pada tahun 2011 menjadi 53,14 gram pada tahun 2012, dan turun kembali pada tahun 2013 untuk konsumsi protein dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 53,08 gram. Kondisi ini

50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 2011 2012 2013 Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan

Gambar 5.3. Konsumsi Protein per Kapita per Hari Menurut Daerah Tempat Tinggal, 2011 - 2013 (gram)

Menurut Daerah Tempat Tinggal, 2011-2013

[Diolah dari Hasil Susenas Triwulan I 2011, 2012, dan 2013]

Tahun (1) Energi (kkal) 2011 1 898,19 2 005,39 1 952,01 2012 1 819,45 1 885,57 1 852,64 2013 1 825,36 1 860,05 1 842,75 Protein (gram) 2011 57,23 55,29 56,25 2012 54,39 51,91 53,14 2013 54,86 51,33 53,08 Perkotaan

Tabel 5.5. Konsumsi Energi dan Protein per Kapita per Hari

(3)

Perdesaan Perkotaan + Perdesaan

(2) (4)

menunjukkan masih kurangnya kecukupan protein yang disyaratkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi yaitu 57 gram.

Apabila dibandingkan menurut daerah tempat tinggal, terlihat bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk di perkotaan selama kurun waktu 2011-2013 menunjukkan angka yang fluktuatif, yaitu 1.898,19 kkal pada tahun 2011 turun menjadi 1.819,45 pada tahun 2012 dan kembali naik menjadi 1.825,36 pada tahun 2013, sedangkan di daerah perdesaan pada tahun 2011 lebih tinggi dari konsumsi di perkotaan yaitu sebesar 2005,39 kkal namun pada tahun 2012-2013 terus mengalami penurunan. Pada tahun 2013 konsumsi kalori penduduk di perdesaan dan perkotaan terlihat mengalami penurunan sejak tahun 2011. Begitu juga halnya yang terjadi dengan konsumsi protein penduduk di perkotaan dan perdesaan yang mengalami penurunan. Konsumsi protein penduduk yang tinggal di perkotaan lebih tinggi jika dibandingkan penduduk yang tinggal di perdesaan. Pada tahun 2013 rata-rata penduduk perkotaan mengkonsumsi protein sebanyak 54,86 gram sedangkan penduduk perdesaan rata-rata hanya mengkonsumsi protein

sebanyak 51,33 gram. Kecukupan konsumsi protein bagi penduduk perkotaan dan perdesaan masih berada di bawah standar kecukupan gizi. Hal ini menunjukkan bahwa baik penduduk perkotaan maupun perdesaan masih belum memperhatikan akan kebutuhan asupan energi dan protein yang dibutuhkan bagi anggota keluarganya dan kesehatan tubuh.

6 PERUMAHAN DAN

Dokumen terkait