• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Pembiayaan Tanggung Renteng Usaha Mikro

VI. STRATEGI DAN PROGRAM PENGEMBANGAN KEMITRAAN SYARIAH

6.2. Program Pengembangan Usaha Mikro Berbasiskan Kemitraan Syariah

6.2.6. Pola Pembiayaan Tanggung Renteng Usaha Mikro

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, salah satu kendala serius yang dihadapi oleh pelaku usaha mikrodan kecil adalah kurangnya ketersediaan pembiayaan. Sekalipun pembiayaan itu esensial, hanya para pelaku usaha yang terkait dengan mata rantai pengusaha besar saja ya ng pada umumnya memperoleh pinjaman dari institusi

perbankan ataupun institusi pembiayaan lainnya. Para pelaku usaha mikro dan kecil sangat tergantung untuk berhutang kepada para pedagang menengah dan besar, penyedia uang informal, para lintah darat atau keluarganya, sehingga bukan membantu berkembangnya usaha mereka, melainkan hanya memperpanjang kemiskinan orang- orang yang sudah miskin. Hal tersebut di atas kurang disentuh oleh Lembaga Perbankan Konvensional, karena untuk mendirikan jaringan kantor sebuah Bank Umum diperlukan investasi yang sangat besar, sehingga dinilai tidak ekonomis jika menggunakan teknis perbankan biasa.

Salah satu misi berdirinya Bank Umum Syariah adalah memperbesar portfolio pembiayaan kepada pelaku usaha kecil (termasuk usaha mikro) dan menengah. Sehingga untuk menjembatani hal tersebut perlu dibangun sinergi antara Bank Umum Syariah dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di sentra-sentra industri dan pertanian. Sinergi tersebut dilakukan melalui pengembangan dan penguatan fungsi LKMS guna melayani kebutuhan pendanaan ataupun penyimpanan dana oleh para pelaku usaha mikro dan kecil, serta masyarakat rumah tangga di sekitar wilayah LKMS tersebut berdiri dan beroperasi.

Bank Umum Syariah sebagai intermediary institution berfungsi menjembatani pengumpulan dana dari para investor yang menginvestasikan dana melalui tabungan dan deposito mudharabah di Bank tersebut. Bank Syariah dapat pula mengelola dana dari investor khusus, baik yang berasal dari Pemerintah Daerah ataupun sektor swasta. Dana investor khusus merupakan dana yang digunakan pada tempat, waktu, dan jenis usaha- usaha tertentu dengan skim mudharabah muqayyadah. Dana investor khusus ini dapat

dijamin oleh Lembaga Penjaminan Kredit seperti Perum Sarana Usaha yang khusus menjamin pembiayaan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah.

Para Pelaku usaha mikro terhimpun dalam suatu kelompok yang didampingi oleh Team Pendamping agar program dapat berjalan baik di lapangan. Team Pendamping terdiri dari Pendamping Personal dan Manajer Proyek. Pendamping Personal terdiri dari berbagai unsur, sebagaimana telah dikemukakan pada sub bagian 6.3.5. Manajer Proyek merupakan bagian dari Bank Syariah dan atau LKMS. Team Pendamping Personal akan mendapat bagian hasil dari penghasilan yang diperoleh oleh pelaku usaha mikro yang ikut dalam program kemitraan. Sedangkan Manajer Proyek mendapatkan gaji dari Bank Syariah yang membiayai kelompok pelaku usaha mikro.

Gambar 6.3.6.1. Pola Pembiayaan Tanggung Renteng Usaha Mikro

LEMBAGA PENJAMIN INVESTOR (PEMDA /SWASTA) BANK SYARIAH LKMS TEAM PENDAMPING PENDAMPINGAN PERSONAL MANAJER PROYEK (ACCOUNT OFFICER) KELOMPOK USAHA MIKRO KELOMPOK USAHA MIKRO KELOMPOK USAHA MIKRO

Sebagai contoh, dalam tulisan ini, misalnya proyek penggemukan sapi untuk memasok kebutuhan daging segar pada supermarket dan hypermarket pada sebuah daerah. Jangka waktu satu siklus penggemukan adalah delapan bulan. Masyarakat tempatan sebagai pelaku usaha mikro melaksanakan pemeliharaan penggemukan sapi. Tugas dan tanggung jawab pelaku usaha mikro meliputi:

- penyediaan lahan dan bangunan kandang beserta sarana penunjang, pakan rumput sesuai dengan kebutuhan ternak;

- menjaga, memelihara, dan membersihkan ternak sampai ternak terjual;

- aktif mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh pembina dari tim pendamping berupa pertemuan mingguan yang membahas perkembangan usaha dan pelatihan mental spiritual; melaporkan secara rutin perkembangan ternak. Sedangkan Team Pendamping bertanggungjawab menjalankan fungsinya sebagai motivator, tenaga teknis, dan tenaga pengawas sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.

Untuk membiayai proyek penggemukan sapi pembiayaan yang dibutuhkan adalah biaya pembelian meliputi:

- harga dasar sapi bakalan; - biaya pengangkutan;

- biaya pemulihan sapi sebelum diserahkan kepada pelaku usaha mikro;

- biaya resiko yang merupakan cadangan tanggung renteng apabila terjadi kematian sapi sebelum tiba waktu penjualan ataupun pada kasus kematian potong paksa.

Apabila selama satu siklus penggemukan sapi tidak terjadi kematian atau potong paksa sapi, maka dana resiko tanggung renteng tersebut dibagikan kepada pelaku usaha secara pro rata. Akan tetapi, apabila kerugian secara kelompok melebihi dana biaya resiko, maka pelaku usaha secara tanggung renteng menanggung kerugian yang diperoleh dari hasil penjualan sapi yang lain, dan jika masih belum mencukupi, maka Investor Khusus atau Bank Syariah akan turut menanggung kerugian modal.

Para pihak yang ikut serta dalam kemi traan tersebut akan memperoleh hasil yang disepakati, sesuai dengan jangka waktu penggemukan, dengan pembagian keuntungan yang telah disepakati di awal perjanjian dengan antara investor (Bank dan/ atau Koperasi/ BMT), pelaku usaha, dan team pendamping, dengan komposisi, misalnya, 35:55:10. Pembagian hasil antara Bank dengan LKMS diatur tersendiri berdasarkan bagian sebagai investor, sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan terlebih dahulu antara Bank dengan LKMS berdasarkan pola yang digunakan dalam kemitraan sebagai investor. Apabila, dana yang digunakan merupakan dana Investor Khusus, maka Bank Syariah dan LKMS hanya menerima ujrah (fee) sebagai lembaga intermediary. Sedangkan Investor Khusus memperoleh hasil sesuai kespakatan bagi hasil dan turut menanggung kerugian apabila usaha mengalami kerugian atau kegagalan.

Perhitungan tanggung renteng dilakukan apabila terjadi kasus kematian potong paksa, misalnya seekor sapi baru diternakkan untuk penggemukan selama 2 (dua) bulan, dari 8 (delapan) bulan jangka waktu penggemukan, dan dikhawatirkan sapi akan mati bila tidak dipotong pada saat itu, sehingga akhirnya sapi harus dipotong saat itu dan dijual pada pasar setempat dengan syarat masih layak dimakan, sehingga harga penjualan jauh di bawah harga pembelian, misalnya modal pembelian sapi per ekor Rp 2.500.000,-,

sedangkan harga jual sapi potong paksa adalah Rp 1.750.000,-, sehingga jumlah kerugian Rp 750.000,-. Jika dalam satu kelompok pelaku usaha terdapat 100 ekor sapi, maka kerugian dibagi sama rata berdasarkan jumlah sapi dalam satu kelompok, jadi biaya tanggung renteng per ekor sapi adalah Rp 7.500,-. Pelaku usaha yang memelihara lebih dari satu ekor sapi akan mengeluarkan biaya tanggung renteng secara proporsional. Jadi tanggung renteng tidak dibebani berdasarkan pelaku tetapi berdasarkan proporsi yang bersangkutan dalam persekutuan kelompok usaha mikro tersebut.

Apabila sistem kemitraan berjalan sesuai dengan aturan, maka akan jarang sekali terjadi kematian sapi karena kualitas pengadaan dan pemeliharaan sapi betul-betul memenuhi syarat teknis peternakan. Team pendamping teknis akan berusaha secermat mungkin melakukan pengawasan di lapangan dan tanggap terhadap laporan perubahan kondisi ternak dari petani/ peternak. Hal tersebut sangat membantu menghilangka n penyebab resiko kematian, namun bila terjadi kasus kematian, maka telah diantisipasi dengan sistem tanggung renteng sehingga tidak memberatkan pelaku usaha mikro dan mengurangi resiko kerugian oleh pemilik modal atau investor.

Dengan mengembangkan sistem kemitraan bagi hasil pada proyek-proyek usaha kecil dan mikro, para pihak bermitra dalam posisi yang sama sebagai subyek-subyek bukan subyek-obyek, dan semua dapat menerima keuntungan ataupun kerugian sesuai dengan porsinya masing-masing. Dalam hal ini, masyarakat sebagai mitra bersama kelompoknya juga dilatih untuk bertanggungjawab dan mengasah kemandirian dalam mengembangkan usaha dan kehidupannya. Seorang investor akan memperoleh hasil setelah proyek usaha menghasilkan dan tidak mendapatkan hasil apabila bisnis ternyata mengalami kerugian. Jadi berbeda dengan sistem bunga pada lembaga keuangan

konvensional, yang menjamin di depan investor “pasti” memperoleh bunga (hasil), meskipun usaha tidak menghasilkan atau bahkan mengalami kerugian.

6.3. Mekanisme Pembinaan, Pengawasan dan Koordinasi Program Kemitraan