• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pola Peresepan Antibiotika

Diare 39 7.0 Anemia 29 5.2 Sepsis 28 5.0

Gizi Buruk Tipe Marasmik 25 4.5

ISK 20 3.6

Leukimia Limfoblastik Akut 18 3.2

Pneumonia 16 2.9 Sepsis Neonatal 16 2.9 Trombositopenia 16 2.9 Neonatal Jaudince 14 2.5 Penyakit Lain* 339 60.5 Total 560 100.0

Keterangan: *Uraian lengkap ada pada lampiran 8. Diagnosis utama yang dicantumkan diambil sesuai dengan diagnosis yang tertera pada rekam medik

B. Pola Peresepan Antibiotika

Selama periode Januari – Juni 2013 terdapat 28 jenis antibiotika yang diresepkan serta tercatat ada 625 kali pemakaian antibiotika. Rute pemakaian yang paling banyak digunakan pada penelitian ini adalah intravena dengan persentase pemakaian sebesar 76,5% lalu rute per-oral dengan persentase pemakaian sebesar 23,5% seperti tercantum pada Gambar 2.

52

Gambar 2. Perbandingan jumlah rute pemakaian antibiotika pada pasien anak di bangsal INSKA II RSUP Dr. Sardjito periode Januari – Juni 2013

Banyaknya pemilihan rute intravena pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal antara lain :

Pertama, pada pasien anak yang berusia <6 tahun, pemberian antibiotika dengan menggunakan rute per-oral (terutama sediaan tablet) sulit untuk dilakukan. Anak biasanya akan menolak apabila diberikan sediaan tablet karena berbagai macam alasan diantaranya kesulitan dalam menelan sediaan serta rasa dari sediaan tablet yang biasanya pahit. Untuk itu para tenaga kesehatan cenderung memberikan sediaan injeksi pada pasien anak dimana sediaan injeksi ini biasanya dapat langsung dimasukkan melalui cairan infus atau melalui conecta yang terpasang pada set infus (Shea et al., 2001).

Kedua, menurut Cunha (cit., Permenkes, 2011) rute pemberian oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi yang tergolong ringan contohnya seperti bronkitis, tonsilofaringitis, cystitis, ISK (yang tidak menetap

digunakan pada infeksi sedang sampai dengan berat. Pada penelitian ini, banyak ditemukan penyakit infeksi pada pasien anak rawat inap yang kategorinya tergolong sedang sampai dengan berat. Berdasarkan studi literatur dari Reed dan Glover (2005); Hardman et al. (2012), penyakit infeksi yang ditemukan selama periode penelitian seperti pneumonia, sepsis, ensefalitis bakterial, penyakit paru kronis, abses akibat infeksi bakteri tertentu, meningitis, kandidasis dan ureterolitis merupakan penyakit infeksi yang termasuk dalam kategori penyakit infeksi yang sedang sampai dengan berat. Banyaknya jumlah kejadian penyakit infeksi seperti pneumonia dan sepsis ditambah dengan beberapa penyakit lain seperti yang telah disebutkan di atas menyebabkan banyak dipakai rute pemberian intravena. (uraian lengkap mengenai jumlah dari masing-masing penyakit dapat dilihat pada tabel II dan III serta uraian 7 dan 8). Rute pemakaian intravena lebih dipilih untuk menangani pasien dengan infeksi sedang sampai dengan berat dikarenakan onsetnya cepat dan biaoavailibilitas sediaan yang diberikan melalui rute pemberian ini juga lebih tinggi daripada rute pemberian per-oral. Cepatnya onset dan tingginya bioavailibilitas akan menyebabkan efek aksi antibiotika dalam menghambat/membunuh kuman penyebab penyakit infeksi akan lebih maksimal (Hakim, 2012).

Pada penelitian ini dilakukan identifikasi terhadap rute pemakaian antibiotika. Identifikasi terhadap rute pemakaian perlu dilakukan karena nilai standar DDD WHO yang nantinya digunakan dalam perhitungan memiliki nilai yang berbeda-beda untuk masing-masing rute pemberian. Salah satu contoh adalah nilai standar DDD untuk siprofloksasin. Pada pemberian secara parenteral

54

siprofloksasin memiliki nilai standar sebesar 1, sementara pada pemberian secara per-oral siprofloksasin memiliki nilai standar sebesar 0,5. Adanya perbedaaan nilai standar antara masing-masing rute pemberian nantinya akan berpengaruh terhadap penentuan tinggi rendahnya nilai DDD dari suatu antibiotika (penentuan tinggi rendahnya nilai DDD dari suatu antibiotika ditentukan oleh perbandingan nilai DDD yang didapat dengan nilai DDD standar yang telah ditetapkan. Nilai DDD dikatakan tinggi apabila nilai DDD yang didapatkan melebihi standar WHO (WHO, 2012).

Bentuk sediaan yang paling sering digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk sediaan injeksi dengan persentase penggunaan sebesar 76,5 % lalu disusul dengan bentuk sediaan tablet sebesar 19,8% dan bentuk sediaan sirup sebesar 3,7% seperti yang tercantum pada Gambar 3. Tingginya pemakaian bentuk sediaan injeksi merupakan dampak dari banyaknya rute pemakaian intravena yang diterapkan.

Gambar 3. Perbandingan jumlah pemakaian bentuk sediaan antibiotika

Aturan penggunaan antibiotika juga diduga secara tidak langsung juga memiliki dampak terhadap tinggi rendahnya nilai DDD dari suatu jenis antibiotika. Aturan penggunaan yang diterapkan menentukan frekuensi penggunaan antibiotika yang diterima oleh pasien dalam sehari. Semakin sering antibiotika digunakan dalam satu hari maka frekuensi penggunaan antibiotika akan semakin tinggi. Hal ini akan meningkatkan jumlah dosis (g) antibiotika yang diterima oleh pasien. Besarnya jumlah dosis (g) yang digunakan akan membuat nilai DDD dari suatu jenis antibiotika ikut meningkat (WHO, 2012). Penerapan aturan pemakaian >1x sehari dikhawatirkan akan meningkatkan jumlah dosis (g) antibiotika yang digunakan serta dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap tingginya nilai DDD.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, aturan pemakaian yang paling sering diterapkan pada pasien anak di bangsal INSKA II selama periode Januari – Juni 2013 adalah aturan pakai 3x sehari dengan persentase sebesar 41,4% lalu disusul dengan aturan pemakaian 2x sehari dengan persentase sebesar 34,4% dan 1x sehari dengan persentase sebesar 13,0% seperti tercantum pada Tabel IV.

Tabel IV. Distribusi aturan pemakaian antibiotika pada pasien anak di bangsal INSKA II RSUP Dr. Sardjito periode Januari – Juni 2013

Aturan Pemakaian Jumlah antibiotika Persentase (%)

1x Sehari 81 13,0

2x Sehari 215 34,4

3x Sehari 259 41,4

4x Sehari 70 11,2

56

Hasil penelitian terhadap lama pemakaian antibiotika pada pasien anak di bangsal INSKA II selama periode Januari – Juni 2013 menunjukan bahwa lama pemakaian 1 sampai dengan 5 hari merupakan waktu lama pemakaian antibiotika yang paling sering ditemui di bangsal anak INSKA II dengan persentase sebesar 55,0% lalu lama pemakaian 6 sampai dengan 10 hari dengan persentase sebesar 36,8% serta 11 sampai dengan 15 hari dengan persentase sebesar 6,6% seperti tercantum pada Tabel V.

Lama penggunaan antibiotika dikelompokkan berdasarkan studi literatur yang dilakukan dimana lama pemberian antibiotika untuk sebagian besar penyakit infeksi adalah selama 3-7 hari (Kemenkes, 2011). Untuk mempermudah deskripsi dari lama penggunaan antibiotika maka lama penggunaan antibiotika dibagi menjadi interval dengan jarak antar interval sebesar 5 hari sehingga pembagian interval pada lama rawat inap menjadi 1 sampai dengan 5 hari, 6 sampai dengan 10 hari, 11 sampai dengan 15 hari, 16 sampai dengan 20 hari dan lama penggunaan diatas 20 hari.

Terdapat beberapa faktor kemungkinan mengenai besarnya temuan mengenai lama pemakaian antibiotika 1 sampai dengan 5 hari diantaranya : Pertama banyak antibiotika diresepkan dengan tujuan sebagai terapi empiris. Menurut IFIC dan hasil penelitian dari tim PPRA Kemenkes RI (2010) (cit., Permenkes, 2011) dalam kasus terapi empiris ini digunakan antibiotika dengan spektrum luas seperti antibiotika golongan sefalosporin atau penisilin dengan

penelitian ini dimana golongan sefalosporin dan penisilin merupakan antibiotika yang paling banyak digunakan, ikut berkontribusi terhadap besarnya jumlah pemakaian antibiotika yang digunakan dengan lama pemakaian 1 sampai dengan 5 hari.

Kedua, lama pemberian antibiotika untuk sebagian besar penyakit infeksi contohnya seperti pneumonia, cystitis, sepsis, dan ISK berdasarkan studi pustaka yang dilakukan adalah 3 sampai dengan 7 hari (Coyle dan Prince, 2005; Finch, 2010; Kemenkes RI, 2011). Hal ini juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah pemakaian antibiotika yang digunakan dengan lama pemakaian 1 sampai dengan 5 hari mengingat penyakit pneumonia dan sepsis masih termasuk dalam kategori 10 teratas dari jumlah penyakit utama yang paling sering ditemui pada penelitian ini.

Tabel V. Distribusi lama pemakaian antibiotika pada pasien anak di bangsal INSKA II RSUP Dr. Sardjito periode Januari – Juni 2013

Lama Pemakaian Jumlah antibiotika Persentase (%)

1 sampai dengan 5 Hari 344 55,0

6 sampai dengan 10 Hari 230 36,8

11 sampai dengan 15 Hari 41 6,6

16 sampai dengan 20 Hari 5 0,8

>20 Hari 5 0,8

58

Hasil penelitian pada 249 rekam medik pasien anak rawat inap, golongan antibiotika yang paling sering digunakan adalah dari golongan generasi ketiga sefalosporin (Sefotaksim, Seftazidim, Seftriakson dan Sefiksim) dengan total pemakaian 177 kali (28,3%) untuk jenis antibiotika yang paling sering digunakan adalah antibiotika ampisilin (golongan penisilin) dengan total pemakaian 87 kali (13,9%) seperti tercantum pada Tabel VI. Penelitian serupa yang dilakukan di bangsal anak RSUP Dr. Kariadi didapatkan hasil bahwa antibiotika ampisilin merupakan antibiotika yang paling sering digunakan dengan persentase sebesar 22,8% (Febiana, 2012). Berdasarkan hasil penelitian dan hasil penelitian serupa yang ditemukan terlihat bahwa penggunaan antibiotika ampisilin masih banyak digunakan sebagai antibiotika pilihan untuk penanganan penyakit-penyakit infeksi. Ampisilin merupakan salah satu antibiotika yang sering digunakan klinisi sebagai terapi empiris awal untuk penanganan berbagai macam kasus infeksi. Ampisilin banyak menjadi pilihan utama dikarenakan spektrumnya yang luas (dapat digunakan untuk infeksi bakteri Gram positif dan negatif), harga yang murah serta toksisitas yang relatif lebih kecil untuk pasien anak dibandingkan jenis antibiotika lain seperti: gentamisin dan siprofloksasin (Brunton et al., 2011; Hardman et al., 2012).

Tabel VI. Distribusi golongan, jenis serta frekuensi penggunaan antibiotika pada pasien anak di bangsal INSKA II RSUP Dr. Sardjito selama periode Januari – Juni

2013 Golongan Antibiotika Jenis Antibiotika

Frekuensi Pemakaian (kali) Persentase (%) Persentase/ golongan (%) Ampenikol Kloramfenikol 29 4,6 4,6 (β-Laktam) Penisilin Ampisilin 87 13,9 18,6 Amoksisilin 26 4,2 Diklosasilin 2 0,3 Sultamisilin 1 0,2 β-Laktam Lainnya (Kombinasi) Ampisilin – Sulbaktam 38 6,1 6,1 Sefalosporin Generasi Pertama Sefadroksil 3 0,5 0,5 Sefalosporin Generasi Ketiga Sefotaksim 48 7,7 28,3 Seftazidim 60 9,6 Seftriakson 44 7,0 Sefiksim 25 4,0 Sefalosporin Generasi Keempat Sefepim 2 0,3 0,3 Karbapenem Meropenem 11 1,8 4,0 Imipenem 14 2,2 Kombinasi TMP-SMX Kotrimoksasol 24 3,8 3,8 Makrolida Eritromisin 10 1,6 4,3 Klaritromisin 2 0,3 Azitromisin 15 2,4 Linkosinamid Klindamisin 8 1,3 1,3 Aminoglikosida Gentamisin 66 10,6 17,3 Amikasin 38 6,1 Netilmisin 4 0,6 Fluorokuinolon Ofloksasin 1 0,2 4,2 Siprofloksasin 24 3,8 Levofloksasin 1 0,2 Imidazol Metronidazol 34 5,4 5,4

Antibiotika lain Rifampisin 2 0,3 1,3

Fosfomisin 6 1,0

Total 625 100,0 100,0

Selama periode Januari – Juni 2013, tercatat total Length of Stay (LOS) dari 249 pasien adalah 2480 hari (Lampiran 6). Total LOS yang digunakan pada penelitian ini digunakan pada perhitungan DDD dimana total LOS akan digunakan sebagai pembagi bersama nilai standar DDD. Berdasarkan rumusan

60

dari metode DDD nilai LOS berbanding terbalik dengan hasil nilai DDD yang akan didapat. Nilai DDD yang didapatkan akan semakin kecil apabila nilai total LOS semakin besar. Akan tetapi besarnya nilai LOS tidak selalu berarti nilai DDD akan lebih kecil dan sesuai dengan standar. Hal ini dapat terjadi karena dalam kenyataannya berdasarkan hasil dari beberapa penelitian banyak ditemukan penggunaan antibiotika yang tidak rasional sehingga menimbulkan pemakaian yang berlebihan (Hadi et al., 2008). Banyaknya penggunaan antibiotika yang berlebihan akan mempengaruhi besarnya jumlah nilai gram antibiotika yang dipakai sehingga terkadang jumlah total LOS yang dikalikan dengan standar DDD yang digunakan sebagai pembagi tidak sebanding dengan jumlah gram antibiotika dikalikan dengan 100 sehingga nilai DDD akan tinggi bahkan melebihi standar WHO (WHO, 2012).

Pembagian lama rawat inap didasarkan pada studi dari beberapa literatur (Komite Pelayanan Medik, 2005; Kemenkes, 2011) dimana lama pengobatannya serta perawatan untuk sebagian besar penyakit infeksi sampai dengan pasien diperbolehkan keluar dari rumah sakit adalah sekitar 5 sampai dengan 7 hari. Pembagian interval dilakukan dengan membagi lama rawat inap menjadi interval-interval (jarak antar interval-interval adalah 7 hari/satu minggu) sehingga lama rawat inap dibagi menjadi interval ≤7 hari (satu minggu), 8 ≤ lama rawat < 15 hari (dua minggu), 15 ≤ lama rawat < 22 hari (tiga minggu), 22 ≤ lama rawat < 29 hari (empat minggu), dan ≥ 29 hari (diatas 4 minggu).

Berdasarkan hasil penelitian interval lama rawat ≤ 7 hari tercatat sebesar 46,6% merupakan lama rawat inap yang paling sering ditemui selama periode penelitian. Untuk lama rawat inap yang lain dapat dilihat pada tabel VII.

Tabel VII. Distribusi lama rawat inap pasien anak di bangsal INSKA II RSUP Dr. Sardjito periode Januari – Juni 2013

Lama Rawat Jumlah Pasien Persentase (%)

Lama rawat ≤ 7 hari 116 46,6

8 ≤ lama rawat < 15 hari 91 36,5

15 ≤ lama rawat < 22 hari 23 9,2

22 ≤ lama rawat < 29 hari 9 3,6

Lama rawat ≥ 29 hari 10 4,0

Total 249 100,0

Temuan terhadap tingginya persentase untuk lama rawat inap ≤7 hari, sesuai dengan hasil dari studi literatur yang telah didapatkan, dimana lama pengobatannya serta perawatannya sampai dengan pasien diperbolehkan keluar dari rumah sakit adalah sekitar 5 sampai dengan 7 hari untuk sebagian besar penyakit infeksi. Beberapa penyakit infeksi yang ditemukan sebagai penyakit utama dan penyerta pada penelitian ini seperti pneumonia, diare, demam dengan kejang, nasofaringitis, dan ISK dan penyakit utama serta penyakit penyerta lain yang jumlahnya kecil seperti tonsilofaringitis akut, bronkiolitis, suspect demam tifoid, cystitis, dan otitis media memiliki rata-rata lama rawat inap ≤7 hari (Kemenkes, 2011; Komite medik RS Dr. Sardjito, 2005).

62

Dokumen terkait