• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politeisme dan Henoteisme

Dalam dokumen Filsafat Agama (Halaman 45-48)

BAB IV Konsep-konsep Ketuhanan

B. Politeisme dan Henoteisme

beratnya bertambah ada harapan baik bagi kerajaan. Sebaliknya jika berkurang maka berarti malapetaka.

b. Binatang-binatang keramat

Pada kepercayaan bangsa primitif, terdapat suatu anggapan terhadap beberapa jenis binatang yang keramat. Binatang-binatang ini dilarang diburu kecuali pada waktu suci. Bahkan ada binatang yang dianggap dapat menurunkan manusia. Pada umumnya binatang keramat ini dimiliki tiap-tiap klan dan sangat dihormati. Selain itu, binatang ini dilarang dianiaya, diburu sewenang-wenang dan dimakan dagingnya dengan sembarangan. Dan hanya dengan upacara-upacara resmi saja diadakan penyembelihan hewan-hewan ini. Seperti buaya, harimau, perkutut dan lainnya.

c. Orang-orang keramat

Dalam masyarakat primitif ada kepercayaan bahwa beberapa manusia ada yang dianggap suci, bertuah, keramat dan sebagai-nya. Mereka dihormati lebih dari yang lainnya, baik karena keturunan-nya maupun karena ilmuketurunan-nya. Menurut mereka, orang-orang tersebut memiliki kekuatan ghaib. Misalnya dalam pewayangan. Kresna dan Rama dianggap penjelmaan Wisnu. Sehingga mereka diyakini sakti, berhak memerintah kerajaan dan mendapat kedudukan tinggi dalam masyarakat. Selain itu, dalam zaman sekarang ada kiai dalam masyarkat pedesaan yang selalu didewakan seakan tidak

pernah salah. Hal ini merupakan sisa-sisa dinamisme.

B. Politeisme dan Henoteisme 1. Politeisme

Politeisme adalah kepercayaan terhadap makhluk-makhluk gaib yang disebut dewa. Dan, para dewa ini selain punya nama sendiri-sendiri juga dipercaya mempunyai tugas masing-masing dalam mengatur jalannya roda kehidupan ini. Dalam fase kepercayaan ini, istilah dewa sudah mengatasi istilah roh. Para dewa sudah mempunyai kekuasaan yang disembah secara umum oleh manusia, sedangkan roh tidak punya kekuasaan dan kemuliaan seperti dewa, dan biasanya hanya disembah oleh suku atau keluarga tertentu. Selain itu para dewa juga sudah diberikan atribut personifikasi

dari kekuatan alam. Dengan atribut personifikasi ini, maka masing-masing dewa mempunyai tugas tertentu dan memiliki sifat-sifat kepribadian yang jelas. Sebagai contoh; ada dewa yang tugasnya menerangi alam, seperti Shamas dalam agama Babylonia, Ra dalam agama mesir kuno, Surya dalam agama veda, dan Mytra dalam agama Persia kuno.

Dalam kepercayaan ini hal-hal yang menimbulkan perasaan takjub dan dahsyat bukan lagi ditujukan pada roh-roh, tetapi pada para dewa. Disinilah perbedaan yang sangat mencolok antara paham atau kepercayaan animisme atau dinamisme dengan politeisme. Jika roh dalam animisme tidak diketahui tugas-tugasnya, maka para dewa dalam politeisme telah mempunyai tugas-tugas tertentu. Ada dewa yang bertugas memberikan cahaya dan panas ke permukaan bumi. Dewa ini dalam agama mesir kuno disebut Ra, dalam agama India Kuno disebut Surya, dan dalam agama Persia Kuno disebut Mithra. Ada pula dewa yang tugasnya menurunkan hujan, yang diberi nama Indera dalam agama Mesir Kuno, dan Donnar dalam agama Jerman Kuno. Selanjutnya ada pula dewa angin yang disebut Wata dalam agama India Kuno, dan Wotan dalam agama Jerman Kuno.

Yang menarik dari perkembangan kepercayaan politeisme ini adalah kenyataan bahwa para dewa ini pada awalnya mempunyai kedudukan yang sama, tetapi karena adanya hal-hal tertentu yang menuntut kemampuan dan kekuatan dari dewa-dewa tertentu, maka beberapa diantaranya menjadi lebih berkuasa dan dihormati daripada yang lainnya. Seperti dalam agama mesir kuno, dewa Anom menjadi lebih berkuasa setelah kota Thebes menjadi ibukota. Demikian juga Dewa

Zeus dalam agama Yunani, dewa Jupiter dalam agama Roma serta Trimurti dalam agama Hindu.

Dalam paham politeisme, tiga dari dewa-dewa yang banyak meningkat ke atas dan mendapat perhatian dan pujaan yang lebih besar dari yang lain. Dewa yang tiga itu mengambil bentuk Brahma,

Wisnu, dan Syiwa. Dewa yang tiga ini dalam agama Veda disebut Indra, Vitra dan Varuna; dalam agama Mesir Kuno dikenal dengan Osiris dengan istrinya Isis dan anaknya Herus; dan dalam agama Arab

Jahiliyah dikenal dengan al-Lata, al-Uzza, dan Manata. Selain itu,

dalam paham politeisme, ada satu dari dewa-dewa itu yang meningkat di atas segala dewa yang lain, seperti Zeus dalam agama Yunani Kuno, Yupiter dalam agama Rumawi, dan Amor dalam agama Mesir Kuno. Paham ini belum menunjukkan adanya pengakuan terhadap satu Tuhan, tetapi baru pada pengakuan dewa terbesar di antara dewa yang banyak. Paham ini belum meningkat menjadi paham monoteisme, tetapi masih berada

pada paham politeisme.

2. Henoteisme

Henoteisme seperti halnya politeisme juga mempercayai adanya makhluk ghaib yang disebut dewa, tetapi dalam henoteisme yang dipercaya hanya satu dewa yang mempunyai kekuasaan terbesar dan dihormati oleh dewa-dewa yang lain. Dapat dikatakan bahwa dewa terbesar ini adalah raja bagi para dewa lainnya, sehingga dia juga disembah oleh dewa-dewa yang lain. Paham raja dewa ini juga berubah menjadi dewa satu. Tuhan dari suku tertentu hilang diganti oleh Tuhan Nasional, yang satu bagi bangsa yang bersangkutan. Tetapi meskipun politeisme sudah mengakui dan mempercayai adalah satu dewa yang agung dan menguasai seluruh dewa-dewa lainnya, namun bukan dan belum menjadi kepercayaan yang bersifat monoteistik. Karena dalam kepercayaan henoteisme ini selain mereka menyembah Dewa atau Tuhan yang satu, mereka juga mengakui Tuhan yang ada dalam sukunya dan suku yang lain. Contohnya adalah agama pada bangsa Yahudi.

Dalam kaitannya dengan struktur kekuasaan dewa agung dalam kepercayaan Henoteisme dapat diungkapkan bahwa kepercayaan satu dewa agung ini masih bersifat lokal atau nasional. Artinya, dalam kepercayaan henoteisme ini keberadaan dewa agung yang satu itu hanya dipercayai oleh satu suku bangsa tertentu saja. Sedangkan untuk bangsa-bangsa lain dipercaya juga memiliki dewa-dewa agungnya tersendiri yang dipercaya oleh bangsa itu secara nasional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa paham henoteisme hanya mempercayai Dewa atau Tuhan yang bersifat nasional.

Dalam dokumen Filsafat Agama (Halaman 45-48)

Dokumen terkait