• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Islamisasi Di Indonesia

A. Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia

3. Pondok Pesantren Pada Masa Penjajahan Belanda

Belanda datang ke Indonesia sekitar tahun 1610, setelah mampu mengatasi pemberontakan yang dilancarkan oleh para pejuang bangsa, seperti: Pangeran Diponegoro, Imam Bojol, Tengku Cik Ditiro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, dan sebagainya. Secara politik Belanda dapat menguasai Nusantara, walaupun raja-raja di daerah masih ada, akan tetapi tidak mampu berkuasa penuh terhadap wilayahnya. Dengan demikian, secara tidak langsung masalah politik, sosial, ekonomi, keamanan, dan budaya berada ditangan Belanda. Di sisi lain Belanda juga berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama sesuai prinsip-prinsip kolonialisme.39

Pada permulaan penjajahan Belanda, politik Belanda membiarkan usaha pendidikan dan pengajaran Islam menurut sistem kerajaan Mataram. Sejak perjanjian Gianti (1755), mulai tampak ajaran-ajaran Islam di Jawa hendak dilumpuhkan oleh Belanda. Dimulai dari daerah-daerah yang telah dikuasai Belanda, yaitu daerah-daerah di luar Yogyakarta dan Surabaya. Artinya, Belanda bebas untuk mempengaruhi dan memasukkan ide-ide pendidikan. Hal ini terbukti ketika Gubernur Jenderal Van Der Capller memerintahkan untuk mengadakan sebuah

38

Haidar Putra Daulay. op. cit., halaman 1. 39

Tukrim Verry, “Studi Analisis Tentang Eksistensi Pondok Pesantren Dalam Era Transformasi Sosial”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IIQ Jawa Tengah, Wonosobo, halaman 25-26.

penelitian tentang pendidikan masyarakat Jawa. Dari hasil penelitian tersebut, diharapkan dapat memperbaiki undang-undang dan peraturan pendidikan yang sesuai dengan visi kolonialisme Belanda.40

a. Usaha-Usaha Belanda Dalam Meruntuhkan Pondok Pesantren

Pertama, Kristenisasi. Cara yang ditempuh oleh Belanda dalam Kristenisasi di Jawa

adalah dengan menerapkan Politik Etis, yang isinya sebagai bangsa Kristen Belanda merasa berkewajiban untuk memperbaiki nasib orang-orang Kristen pribumi. Belanda juga mendirikan sekolah-sekolah dengan model Barat, dalam upaya Kristenisasi. Kedua, menyalah-gunakan kekuasaan. Belanda berupaya mentranformasikan politik dan kebudayaan ke dalam pemerintahan tradisional Jawa. Bupati diposisikan sebagai pengawas kyai penghulu dan kyai pesantren. Kyai penghulu tidak lagi sebagai hakim agama atau kepala agama dalam Kabupaten, tetapi hanya sebagai naib dan pegawai-pegawainya hanya sebagai juru nikah, talak, rujuk, yang kesemuanya itu berada di bawah penguasaan pemerintahan Belanda.

Langkah ketiga yang ditempuh Belanda adalah dengan mengalih-fungsikan tanah wakaf. Tanah wakaf yang dulunya untuk membiayai pendidikan dan pengajaran agama Islam, oleh Belanda hanya difungsikan untuk wakaf masjid saja. Langkah berikutnya yang diambil Belanda dalam bidang pendidikan adalah dengan membentuk badan Priesterraden, yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Pada akhir tahun 1905 pemerintah Belanda mengelurkan peraturan yang isinya: bahwa orang yang memberi pengajaran / pengajian harus minta ijin terlebih dahulu kepada Bupati.

Sekitar tahun 1925, Belanda mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan Islam, yang berisikan: bahwa tidak semua kyai boleh memberikan pengajian.

40

Karel A. Stenbrik, 1994, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam Dalam Kurun Waktu Modern, Jakarta: LP3ES, halaman 1.

Pada tahun 1932 Belanda melakukan penutupan terhadap madrasah yang tidak mempunyai perijinan dan menutup madrasah yang menyampaikan ajaran yang tidak disukai Belanda.41 Hal semacam ini dikenal dengan “ordonansi guru”, yang berisikan:

1. Setiap guru agama harus menunjukkan bukti tanda terima dari pemerintah.

2. Guru harus mengisi daftar murid dan daftar pelajaran yang sewaktu-waktu diperiksa dan dievaluasi oleh pejabat yang berwenang.

3. Pengawasan dinilai perlu demi memelihara ketertiban dan keamanan umum.

4. Bukti kelayakan bisa dicabut bila guru yang bersangkutan aktif memperbanyak murid dengan maksud dapat dinilai mencari uang.

5. Guru Islam dapat ditahan maksimal enam hari atau denda, bila mengajar tanpa surat tanda terima laporan tidak benar keterangannya atau lupa mengisi daftar.

6. Juga dapat ditahan maksimal satu bulan atau denda, jika telah mengajar setelah dicabut haknya.

7. Ordonansi guru tahun 1925 berlaku sejak Juni 1925.42

Belanda juga mengadakan operasi militer ke daerah Aceh dan menindak dengan kekerasan terhadap para ulama yang melatih para santrinya sebagai pasukan sukarela. Belanda mencari simpatik kepada rakyat dengan membangun masjid dan tidak akan memusuhi ajaran Islam. Pemerintah Belanda berusaha untuk mengadu-domba raja-raja dan para ulama, serta selalu menghalang-halangi dan membatasi tumbuhnya organisasi-organisasi Islam.

Usaha-usaha Belanda dalam menggagalkan dan menyingkirkan pendidikan Islam tidak membuat pesantren itu runtuh, akan tetapi pesantren justru termotivasi. Tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh Belanda, pada akhirnya membuat masyarakat muslim Indonesia sadar akan dirinya yang tidak bebas di tanah kelahirannya sendiri. 43

41

Tukrim Verry, op. cit., halaman 27-28. 42

Zuhairini, 1993, Metodologi Pendidikan Agama, Solo: Romadloni, halaman 150. 43

Kafrawi, 1978, Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Indah, halaman 37-38.

b. Kebangkitan Pondok Pesantren pada Masa Penjajahan Belanda

Pada akhir abad ke-19, masyarakat Indonesia bangkit untuk mempertahankan tanah airnya dari penjajahan Belanda. Akhir abad ini merupakan masa kebangkitan pondok pesantren, yang dilatar belakangi oleh beberapa faktor, antara lain:

1) Pengaruh pendidikan kolonialis yang sama sekali beda bila dibandingkan dengan pendidikan yang sudah berjalan di Indonesia, termasuk di pesantren. Perbedaan tersebut baik dari segi sistem, metode, tujuan, dan pembiayaannya. Tujuan pendidikan Belanda menjanjikan untuk memperoleh pekerjaan dalam sektor birokrasi, sedangkan pendidikan di pesantren bertujuan untuk menyiarkan ajaran Islam. Pada akhirnya untuk mengimbangi pendidikan Belanda, pesantren memasukkan materi pengetahuan umum dalam kurikulumnya dan juga bermunculan lembaga-lembaga pendidikan yang beraliran Islam.

2) Munculnya semangat baru dalam dunia Islam di Indonesia. Hal ini karena respon dari para jamaah haji dengan kedalaman keilmuan agamanya, membuat pesantren sadar akan penghinaan Belanda terhadap Islam serta kesadaran akan persatuan dan kesatuan bangsa, yang pada akhinya tumbuh rasa anti kolonial.

3) Berdirinya organisasi-organisasi Islam yang berhaluan nasional maupun regional dan lokal, seperti: Syarikat Dagang Islam, Budi Utomo, Muhammadiyah, Persatuan Islam, NU, dan lain sebagainya.44

Dari dukungan beberapa faktor di atas, pesantren dan sekolah-sekolah lainnya dapat berkembang dan memiliki kesempatan untuk berkompetisi dengan sekolah-sekolah modern. Dengan demikian, pada periode ini pondok pesantren dikenal hampir di seluruh

44

Hasbullah, 1996, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Krafindo, halaman 58.

wilayah Indonesia. Eksistensi pondok pesantren dan perkembangannya menyiarkan agama Islam dapat berjalan dengan baik, melalui lembaga-lembaga formal maupun non formal.

Sebagaimana disampaikan oleh Hasbullah, bahwa: Pendidikan Madrasah sampai menjelang akhir penjajahan Belanda sudah mempunyai aneka bentuk, baik dari segi jenjang tingkatannya maupun kurikulumnya. Walaupun demikian, pemerintah Belanda berusaha untuk menghalang-halangi pendidikan di madrasah. Belanda khawatir pendidikan di madrasah disamping mencerdaskan kehidupan bangsa juga berfungsi menyebarkan ajaran Islam di kalangan remaja, yang nantinya akan menimbulkan sikap anti kolonial Belanda. Pada akhirnya, apa yang menjadi kekhawatiran Belanda itu menjadi kenyataan.45