TINJAUAN UMUM TENTANG IMPLEMENTASI PROGRAM DAN KUALITAS SANTRI
A. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Pondok pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan Islam karena merupakan lembaga yang berupa menanamkan nilai-nilai Islam di dalam diri santri. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, yakni jika ditinjau dari sejarah pertumbuhanya, kompenen-kompenen yang terdapat didalamnya, pola kehidupan warganya, serta pola adopsi terhadap berbagai macam inovasi yang dilakukanya dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan baik pada ranah konsep maupun praktek (Ali, 1987: 73-74).
Pada awal kemunculan pondok pesantren, para santri ditampung dan difasilitasi di rumah kiai. Rumah kiai, selain sebagai tempat tinggal, di masa-masa awal dijadikan pula sebagai pusat kegiatan ibadah dan pendidikan. Akan tetapi, disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah anggota masyarakat yang datang, akhirnya rumah kiai tidak memadai lagi untuk menampung para santri. Dari sinilah kemudian muncul inisiatif dari kiai dan para santri tentunya juga didukung oleh masyarakat sekitar untuk mendirikan langgar atau masjid yang akan dijadikan pusat kegiatan ibadah dan belajar sehari-hari, serta pondokan sebagai tempat tinggal para santri.
Untuk memudahkan segala urusan, kiai dan santri selanjutnya membuat beberapa kesepakatan terkait pendidikan, pengajaran, pondokan, dan tatacara kehidupan mereka sehari-hari. Adapun hubungan yang terjalin antara kiai dan para santri itu sendiri pada umumnya berjalan dalam suasana penuh kesahajaan, kekeluargaan, dan kemudian yang dijiwai oleh nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam. Ringkasanya, segalanya berjalan di dalam suatu tradisi yang penuh harmoni.
Menurut Abdurrahman Wahid, pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa bangunan rumah kediaman pengasuh ( di daerah perdesaan Jawa disebut kiai, di daerah Sunda disebut ajengan, dan daerah Madura disebut nun atau bendahara, disingkat ra ), sebuah surau atau masjid tempat pengajaran diberikan (madrasah/ sekolah), dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri). Secara historis, lembaga pesantren telah dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia pra Islam. Dengan kata lain, pesantren seperti yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid, tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indeginius), disebabkan oleh lembaga pesantren ini sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu dan Budha. Sangat tepat para wali dan penganjur agama pada masa lampau memilih metode dakwah mereka melalui saluran pendidikan, bukan perang, sehingga proses Islamisasi yang begitu sempurna di negeri ini hampir tidak ada yang dilaksanakan dengan kekuatan militer, walaupun dengan begitu harus dibayar dengan toleransi dan kompromi yang tinggi (Wahid, 2001: 3).
Menurut Darban, menyatakan bahwa daya hidup sebuah pesantren tampaknya bergantung pada besar kecilnya kapasitas kiai pendirinya dan kesadaran serta tanggung jawab keturunanya. Perkembangan dunia pesantren tersebut tidak lepas dari tuntunan kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang baik dan berkualitas. Tujuan didirikanya pesantren ialah untuk menciptakan manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan agama yang tinggi serta akhlak al- karimah yang mapan, sebagai wujud dari antisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang memerlukan usaha dan pikiran keras supaya tidak mudah terpengaruh dengan budaya-budaya dan perkembangan baru yang dapat merusak generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa (Darban, 1988: 34).
Menurut Azyumardi Azra, ekspansi pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren yang semula
sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Makassar, atau wilayah sub-urban Jakarta, seperti Parung dan Cilangkap (Azra, 1999: 106).
2. Komponen Utama Pesantren
Setiap pesantren ternyata berproses dan bertumbuh kembang dengan cara yang berbeda-beda di berbagai tempat, baik dalam bentuk maupun kegiatan-kegiatan kurikulernya. Namun, di antara perbedaan-perbedaan tersebut masih bisa diidentifikasi adanya pola yang sama. Persamaan pola tersebut menurut A. Mukti Ali, dapat dibedakan dalam dua segi, yaitu segi fisik dan segi non-fisik. Segi fisik terdiri dari empat komponen pokok yang selalu ada pada setiap pondok pesantren, yaitu: a) kiai sebagai pemimpin, pendidik, guru, dan panutan, b) santri sebagai peserta didik atau siswa, c) masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, dan peribadatan, dan d) pondok sebagai asrama untuk mukim santri. Adapun yang non-fisik, yakni yang terkait dengan komponen non-fisik, adalah pengajian (pengajaran agama). Pengajian ini disampaikan dengan berbagai metode yang secara umum nyaris seragam, yakni standarisasi kerangka sistem nilai baik dan buruk yang menjadi standar kehidupan dan pekembangan pondok pesantren. Hampir senada dengan A. Mukti Ali, Zamakhasyari Dhofier juga merumuskan pola yang sama. Hanya saja, Dhofier menitiberatkan komponen non-fisik pada pengajaan kitab-kitab Islami klasik. Pasalnya, tegas Dhoefir, tanpa pengajaran kitab-kitab Islam klasik terbaru, pesantren dapat dianggap tidak asli lagi (indeginius) (Soebahar, 2013: 37).
Berdasarkan ulasan singkat di atas, dapatlah dikemukakan disini bahwa kompenen utama pesantren secara umum terdiri dari kiai, santri, musalla/ langgar/ masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik.
a) Kiai
Kiai dikenal sebagai guru atau pendidik utama di pesantren. Disebut demikian karena kiailah yang bertuas memberikan bimbingan, pengarahan, dan pendidikan kepada para santri. Kiai pulalah yag dijadikan figur ideal santri dalam proses pengembangan diri meskipun pada umumnya kiai juga
memiliki beberapa orang asisten atau yang lebih dekenal dengan sebutan “ustadz” atau “santri senior”. Kiai, dalam pengertian umum, adalah pendiri dan pimpinan pesantren. Ia dikenal sebagai seorang muslim terpelajar yang membaktikan hidupnya semata-mata di jalan Allah dengan mendalami dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam melalui kegiatan pendidikan.
Masyarakat tradisional berpandangan bahwa sesorsng mendapatkan predikat “kiai” karena ia diterima masyarakat sebagai kiai, di mana hal ini anatara lain di tandai dengan berdatangnya orang-orang yang meminta nasehat kepadanya ata bahkan mengizinkan anak mereka untuk belajar kepadanya. Dengan kata lain, pada dasarnya tidak ada persyaratan-persyaratan formal tertentu bagi siapa pun untuk menjadi seorang kiai. Namun, dalam konteks ini, ada bebrapa hal menurut Karel A. Steenbrink biasanya dijadikan sebagai tolak ukur, yaitu pengetahuan, kesalehan, keturunan, dan jumlah santrinya (Stenbrink, 1986: 109).
Lebih jauh, penting untuk disampaikan di sini sketsa profil kiai yang di buat oleh Hiroko Horikoshi dalam suatu deskripsinya yang sangat menarik:
“Kiai menduduki posisi sentral dalam masyarakat Islam tradisional dan menyatukan berbagai golongan hingga mampu melakukan tindakan kolektif, jika diperlukan. Dia mengambil sebagai proses hubungan antara dengan tuhan, pada pandangan sebagian besar pengikutnya, kiai adalah contoh muslim ideal yang hendak mereka capai. Dia seorang yang dianugrahkan pengetahuan dan rahmat tuhan. Sifat hubungan antara kiai dan masyarakat adalah kolektif. Kiai terkesan sebagai pemimpin simbolis yang tak gampang ditiru oleh orang biasa. Bebrapa orang terdekat menghubungkan kiai dengan masyarakat, tetapi atas nama pribadi”.
Alhasil, kiai merupakan komponen yang paling esensil dan vital di tubuh pesantren. Karen itulah, tentu sangat wajar apabila dikatakan bahwa bertumbuh dn berkembangnya suatu pesantren sangat tergntung kemampuan sang kiai (Horikoshi, 1987: 232).
Santri adalah peserta didik yang belajar atau menuntut ilmu di pesantren. Jumlah santri biasanya dijadikn tolok ukur sejauhmana suatu pesantren telah bertumbuh kembang. Manfred Ziemek mengklasifikasikan istilah “santri” ini ke dalam dua kategori, yaitu “santri mukim” dan “santri kalong”. Santri mukim adalah santri yang bertempat tinggal di pesantren, sedangkan santri kalong adalah santri yang tinggal diluar pesantren yang mengunjungi pesantren secara teratur untuk belajar agama. Termasuk dalam kategori yang disebut terakir ini adalah mereka yang mengaji di langgar-langgar atau masjid-masjid pada malam hari saja, semetara pada siang harinya mereka pulang kerumah.
Para santri dengan usia mereka yang bervariasi ada yang dewasa, remaja, dan ada pula yang masih anak-anak tnggal bersama dipesantren. Hal ini sejatinya sangatlah potensial untuk menghasilkan suatu proes sosialisasi yang berkualitas di antara mereka. Namun demikian, tidaklah menutup kemungkinan pula bahwa potensi ini justru bisa memunculkan perilaku-perilakumenyimpang di kalangan santri, yakni dengan terlalu cepatnya perkembangan psikis santri berusia anak-anak dan remaja karena pengaruh tingkah laku yang ditunjukan oleh temen-teme mereka yng sudah dewasa. Akibatnaya, mereka pun menjadi dewasa (dalam arti negatif) sebelum waktunya.
c) Masjid
Masjid merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari pesantren. Ia di anggap sebagai tempat yang paling strategis untuk mendidik para santri, seperti praktek sholat lima waktu, khatbah, shalat juma‟at, dan pengajian kitab-kitab klasik.
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pondok pesantren merupakan manifestasi universalitas sistem pendidikan tradisional. Dalam hal ini, ia mengadopsi sistem pendidikan Islam sebagaimana dipraktekan oleh Rasulullah Saw. Yang menjadikan masjid sebagai pusatnya. Kini sistem tersebut seolah-olah masih tampak dalam
praktek pendidikan di pondok pesantren. Sebagaimana diketahui bahwa masjid sudah menjadi pusat pendidikan Islam sejak zaman Nabi Saw. Dimanapun kaum muslimin berada, demikian kata Zamakhasyari Dhoefir, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan kegiatan-kegiatan kebudayaan. Artinya, pemandangan semacam ini telah berlangsung di dunia Islam 14 abad lamanya. Bahkan, hingga saat ini pun khususnya di daerah dimana umat Islam belum begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat masih banyak didapati para ulama yang dengan penuh pengabdian mengajar murid-muridnya di masjid, sekaligus memberi mereka wejangan dan anjuran supaya meneruskan tradisi yang telah terbentuk sejak zaman permulaan Islam tersebut.
d) Pondok
Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santrinya. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pemebeda dengan lembaga pendidikan yang berlangsug di masjid atau langgar. Pesantren juga menampung santri-santri yang berasal dairi daerah yang jauh untuk bermukim. Pada awal perkembanganya, pondok tersebut bukanlah semata-mata dimaksud sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh kiai, tetapi juga sebagai tempat training atau latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Para santri di bawah bimbingan kia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong-royong sesama warga pesantren. Tetapi dalam perkembangan berikutnya terutama pada masa sekarang, tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran pemeliharaan pondok tersebut.
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan tingkatan suatu pesantren dan pengajaranya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999: 142-144).
3. Peran Transformatif Pondok Pesantren
Secara subtansional, pondok pesantren merupakan institusi yang tidak bisa dilepaskan dari ruang sosial yang mengitarinya. Menurut Abd A‟la, sedari awal berdirinya, pondok pesantren berkembang dari dan untuk masyarakat. Hal ini diwujudkan oleh pondok pesantren dengan bentuk memosisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertianya yang transformatif. Dalam dinamikanya, pesantren memainkan beragam peran, diantaranya:
Pertama,pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan. Peran ini
mengukuhkan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Meskipun beragam pengembangan dilakukan, hal ini tidak mengubah ciri pokokya sebagai lembaga pendidikan Islam. Bahkan semakin menguatkan posisinya sebagai lembaga pendidikan. Ciri inilah yang menjadikan semakin dibutuhkan perananya oleh masyarakat. Di dalam Al-Qur‟an, terdapat banyak sekali ayat yang secara langsung maupu tidak langsung berbicara tetang pendidikan. Misalnya ayat pertama yang diturnkan Allah Swt kepada Nabi Muhamammad Saw, yaitu Surah al-Alaq 1-5:
Artinya : “Bacalah dengan (meneyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan prantaraan kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Ayat di atas sangat erat hubungannya dengan matan pendidikan yang sangat mendasar. Dalam surat ini tampak jelas perintah Allah kepada Nabi Muhammad dan seluruh umat manusia untuk membaca.
Kedua,pondok pesantren adalah penjaga dan pengembag peradaban. Peran
strategis pondok pesantren sebagai pengembang peradaban ini sudah berjalan seperti peran kiai dan pesantren sebagai „broker culture‟ bahkan lebih jauh itu ada juga yang berpikiran bahwa pesantren layak menjadi pusat peradaban (center
culture). Clifford Geertz (1960) memandang pesantren sebagai perantara yang
berhasil mendialogkan budaya lokal dengan masyarakatnya yang sangat efektif dan kreatif. Menurut Bailey (1987), “broker” adalah orang yang tahu persis tentang prinsip-prinsip kerja dalam hubungan antar kelompok. Dengan kiai dan pesantren yang berperan seperti ini, bisa dikatakan pesantren adalah lembaga pendidikan yang menerapkan kurikulum berbasis kopetensi yang paling awal dan yang serius.
Terlepas dari konsep-konsep itu, cara pandang masyarakat pesantren banyak dinilai sebagai cara pandang yag sesuai dengan cara pandang kebangsaan dan keindonesiaan. Untuk itu, dunia pesantren pertu tampil berada di garda depan dalam rangka mengagas peradaban indonesia ke depan. Dalam rangka melakukan filterisasi terhadap nilai dn budaya global yang belalu-lalang di tengah kehidupan masyarakat indonesia.
Ketiga, pondok pesantren sebagai bagian dari lembaga bimbingan
keagamaan. Adapun landasan normatif untuk memerankan hal ini antara lain adalah firman Allah Swt dalam surah an-Nahl ayat 25:
Artinya :“(ucapan meraka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-sepenuhnya pada hari kiamat, dan sebagiaan dosa-dosa yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa mereka yang pikulitu”.
Pada saat yang sama, Allah juga memberikan aturan yang tegas dalam berdakwah agar tidak mengulang kesalahan yang pernah dilakukan oleh Bani Israil. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surah al-Baqarah ayat 44:
Artinya: “Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikanan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al Kitab(taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” Sedangkan faktor yang mendukung peranan di atas adalah kualifikasi kiai dan jaringan kiai yag memiliki pandauan keagamaan, terutama di bidang fiqih dan beragam pengetahuan yang dikuasai secara mendalam (spesifik) oleh seorang kiai.
Keempat, pondok pesantren sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat.
Hal ini meneguhkan posisi pondok pesantren sebagai institusi yang independen dan sangat slektif terhadap lembaga penyandang dana dari luar masyarakatnya sendiri. Dalam rangka melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat, pondok pesantren berkomitmen teguh untuk pada lima asas, yaitu: menempatkan masyarakat sebagai pelaku aktif bukan ada sasaran pasif; penguatan potensi lokal baik yag berupa karakteristik, tokoh, pranata dan jejarig; peran serta warga masyarakat sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, refleksi dan evaluasi; terjadinya peningkatan kesadran; yag dimaksud adalah
terciptanya kesadaran kritis dalam diri masyarakat, jadi tidak lagi berkesadaran naif; dan asas yang terakir adalah terjadinya sinergitas antara pondok pesantren dengan masyarakat setelah berakirnya sebuah progam.
Peranan ini menjadi menarik karena berlangsung dalam suasana ketenangan dan sekaligus dalam iklim yang kritis. Peran ini bukan merupakan hal yang baru, karena realitas ini telah membudaya dalam iklim pondok pesantren. Contoh untuk hal ini, kitab-kitab kuning yang dipelajari oleh masyarakat pesantren diawali dengan ta‟rif atau devinisi suatu pokok yang menjadi bahasan. Hal ini berimplikasi dalam realitas nyata masyarakat pesantren untuk menjadi terbiasa dengan mempersoalkan segi-segi dasariah dari beragam persoalan yang ada dilingkaran sosialnya.
Dari ilustrasi di atas, berawal dari kelahiranya dari sebuah proses pergulatan yang panjang akan tumbuhnya kesadaran nilai yang ada di masyarakat hingga menjadi daya dorong untuk hadirnya lembaga pondok pesantren, dapat diketahui bahwa pondok pesantren mempunyai peranan yang sangat besar bagi pemberdayaan masyarakat. Hal ini semaki meneguhkan posisi pondok pesantren sebagai kampung peradaban dengan kompleksitas yang ada di dalamnya (Ali, 2013: 74-78).
4. Tujuan dan Nilai-Nilai di Pondok Pesantren
Tujuan utama pesantren adalah menyiapkan calon lulusan yang hanya tidak menguasai masalah agama semata. Rencana pelajaran (kurikulum) ditetapkan oleh kiai dengan merujuk kitab-kitab apa yang harus dipelajari. Penggunaan kitab dimulai dari jenis kitab tingkat yang lebih tinggi. Kenaikan kelas atau tingat ditandi dengan bergantinya kitab yang telah ditelaah setelah kitab-kitab sebelumnya selesai dipelajarinya. Ukur kealiman seorang santri bukan dari banyaknya kitab yang sudah di pelajari tetapi diukur dari praktek mengajar sebagai guru mengaji, dapat memahami kitab-kitab yang sulit dan megajarkan kepada santri-santri lainya (Mustajab, 2015: 60).
Menurut Muhaimin, pandangan-pandangan tersebut dilandasi oleh pemikiran bahwa hakikat manusia adalah sebagai „abd allah‟ yang senantiasa
mengadakan hubungan vertikal dengan Allah guna mencapai kesalehan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akirat (Muhaimin, 2004: 72).
Imam Zarkasih (1793) mengatakan, nilai-nilai yang di kembangkan di pondok pesantren adalah, yaitu: jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirin dan jiwa ukhwah islamiyah.