• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.4 Pornografi

Kata pornografi, berasal dari dua kata Yunani, porneia (porneia) yang berarti seksualitas yang tak bermoral atau tak beretika (sexual immorality) atau yang popular disebut sebagai zinah; dan kata grafe yang berarti kitab atau tulisan.

Kata kerja porneuw (porneo) berarti melakukan tindakan seksual tak bermoral (berzinah = commit sexual immorality) dan kata benda pornh (porne) berarti perzinahan atau juga prostitusi. Rupanya dalam dunia Yunani kuno, kaum laki yang melakukan perzinahan, maka muncul istilah pornoz yang artinya laki-laki yang melakukan praktik seksual yang tak bermoral. Tidak ada bentuk kata feminin untuk porno. Kata grafh (grafe) pada mulanya diartikan sebagai kitab suci, tetapi kemudian hanya berarti kitab atau tulisan. Ketika kata itu dirangkai dengan kata porno menjadi pornografi, maka yang dimaksudkannya adalah tulisan atau penggambaran tentang seksualitas yang tak bermoral, baik secara tertulis maupun secara lisan. Maka sering anak-anak muda yang mengucapkan kata-kata berbau seks disebut sebagai porno. Dengan sendirinya tulisan yang memakai kata-kata yang bersangkut dengan seksualitas dan memakai gambar-gambar yang memunculkan alat kelamin atau hubungan kelamin adalah pornografi. Pornografi umumnya dikaitkan dengan tulisan dan penggambaran, karena cara seperti itulah yang paling banyak ditemukan dalam mengekspos masalah seksualitas.

Pornografi juga bisa diartikan sebagai tulisan, gambar/rekaman tentang seksualitas yang tidak bermoral, bahan/materi yang menonjolkan seksualitas secara eksplisit terang-terangan dengan maksud utama membangkitkan gairah seksual, tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu birahi orang yang melihat atau membaca, tulisan atau penggambaran mengenai pelacuran, dan penggambaran hal-hal cabul melalui tulisan, gambar atau tontonan yang bertujuan mengeksploitasi seksualitas. (www.artikel.sabda.org/pornografi )

Berdasarkan definisi tersebut, maka kriteria porno dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sengaja membangkitkan nafsu birahi orang lain, bertujuan merangsang birahi orang lain/khalayak, tidak mengandung nilai (estetika, ilmiah, pendidikan), tidak pantas menurut tata krama dan norma etis masyarakat setempat, dan bersifat mengeksploitasi untuk kepentingan ekonomi, kesenangan pribadi, dan kelompok.

Dari pengertian dan kriteria di atas, dapatlah disebutkan jenis-jenis pornografi yang menonjol akhir-akhir ini yaitu: tulisan berupa majalah, buku, koran dan bentuk tulisan lain-lainnya, produk elektronik misalnya kaset video, VCD, DVD, laser disc, gambar-gambar bergerak (misalnya "hard-r"), program TV dan TV cable, cyber-porno melalui internet, audio-porno misalnya berporno melalui telepon yang juga sedang marak diiklankan di koran-koran maupun tabloid akhir-akhir ini. Ternyata bahwa semua jenis ini sangat kental terkait dengan bisnis. Maka dapat dikatakan bahwa pornografi akhir-akhir ini lebih cocok disebut sebagai porno-bisnis atau dagang porno dan bukan sekadar sebagai pornografi.

Sedangkan menurut Soebagijo beberapa contoh pornografi yang banyak beredar di masyarakat :

1. Lagu-lagu berlirik mesum atau lagu-lagu yang mengandung bunyi-bunyian atau suara-suara yang dapat diasosiasikan dengan kegiatan seksual.

2. Gambar atau foto adegan seks atau artis yang tampil dengan gaya yang sensual.

3. Penampilan penyanyi atau penari latar dengan pakaian serba minim dan gerakan sensual dalam klip video-musik di TV dan VCD.

4. Iklan-iklan di media cetak yang menampilkan artis dengan gaya yang menonjolkan daya tarik sensual. Biasanya ditemukan pada iklan parfum, mobil, handphone, dan sebagainya (Soebagijo, 2008:30). Pada tahun 1986, Komisi Meese berhasil mengidentifikasi lima jenis pornografi :

1. Sexually violent material, yaitu materi pornografi dengan menyertakan

kekerasan. Jenis pornografi ini tidak saja menggambarkan adegan seksual secara eksplisit tetapi juga melibatkan tindakan kekerasan.

2. Nonviolent material depicting degradation, domination, subordation,

or humiliation. Meskipun jenis ini tidak menggunakan kekerasan

dalam materi seks yang disajikan, di dalamnya terdapat unsur yang melecehkan perempuan, misalnya adegan melakukan seks oral, atau ‘dipakai’ oleh beberapa pria.

3. Nonviolent and non degrading materials adalah produk media yang

memuat adegan hubungan seksual tanpa unsur kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan. Contohnya adalah adegan pasangan yang melakukan hubungan seksual tanpa paksaan.

4. Nudity, yaitu materi seksual yang menampilakan model telanjang.

5. Child pornography adalah produk media yang menampilkan anak atau

remaja sebagi modelnya (Soebagijo, 2008:36-37).

Majalah FHM memuat tentang gambar dan tulisan yang dapat membangkitkan gairah seksual bagi pembacanya. Gambar dalam majalah FHM

kebanyakan gambar para wanita yang hanya menggunakan pakaian dalam saja dengan berpose seksi, atau menggunakan pakaian yang mini dengan menampilkan kesensualan seorang wanita. Sedangkan tulisan yang dimuat dalam majalah FHM juga kata-kata yang mengandung unsur seks, sekalipun ada rubrik humor namun tetap yang dibahas dalam tulisannya yakni tentang seks. Oleh sebab itu, majalah FHM dapat disebut sebagai majalah yang memuat gambar dan tulisan berkaitan dengan pornografi.

Sedangkan ketentuan dan larangan yang termasuk pornografi dan terdapat dalam undang-undang pornografi yakni:

1. Pasal 1 ayat 1: pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

2. Pasal 1 ayat 2: jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

3. Pasal 4 ayat 1: setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang. b. Kekerasan seksual.

c. Masturbasi atau onani.

d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. e. Alat kelamin, atau

f. Pornografi anak.

4. Pasal 4 ayat 2: setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

a. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.

b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin,

c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual

d. Menawarkan atau mengiklankan, baik secara langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

5. Pasal 7: setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

6. Pasal 8: setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

7. Pasal 9: setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

8. Pasal 10: setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan

ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

9. Pasal 13: pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. (2) pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan ditempat dan dengan cara khusus.

Dari pasal-pasal yang diuraikan diatas adapun penjelasan tentang kalimat yang tertuang dalam pasal tersebut yakni:

1. Pasal 4 ayat (1): yang dimaksudkan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

Pada huruf a: Yang dimaksudkan dengan “persenggamaan yang menyimpang” antara lain persengamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian dan homoseksual.

Pada huruf b: Yang dimaksudkan dengan “kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan.

Pada huruf d: Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang menggunakan

penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.

Pada huruf f: Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.

2. Pasal 8: ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau dibawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.

3. Pasal 10: yang dimaksud dengan “pornografi lainnya” antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani.

4. Pasal 13 ayat (1): yang dimaksud dengan “pembuatan” termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan. Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan. Yang dimaksud dengan “penggunaan” termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan. Frasa “selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)” dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olah raga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.

Pada ayat (2): Yang dimaksud dengan “di tempat dan dengan cara khusus” misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi. (Undang-undang Pornografi)

Hampir keseluruhan pornografi ditampilkan melalui bentuk gambar atau berupa video. Akan tetapi pornografi bukan hanya terdapat pada gambar atau segala bentuk tampilan di media massa saja, namun melalui bentuk tulisan atau kalimat juga dapat mengandung unsur pornografi. Sesuai dengan undang-undang pornografi pasal 1 ayat 1 bahwa melalui tulisan termasuk didalamnya, tulisan sendiri merupakan karya pencabulan (porno) yang ditulis sebagai naskah cerita atau berbagai versi hubungan seksual, dalam berbagai bentuk narasi, konstruksi cerita, testimonial, atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, termasuk pula cerita porno dalam buku-buku komik, sehingga pembaca merasa seakan-akan ia menyaksikan sendiri, mengalami atau melakukan sendiri peristiwa hubungan-hubungan seks. Yang mencakup tiga sub kategori yaitu kata vulgar, kata organ sex, dan kata aktivitas sex (Bungin, 2005:124).

Dokumen terkait