• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Sumber Informasi

2. Pornografi

a. Definisi Pornografi

Pornografi berasal dari kata porne, yang berarti pelacur dan

graphein, yang dalam bahasa Yunani memiliki arti menulis atau menggambar. Pornographos sendiri diartikan sebagai penggambaran ataupun tulisan-tulisan mengenai pelacur atau pelacuran. Menurut Lesmana (1995), pornografi didefinisikan sebagai gambar atau tulisan- tulisan yang dibuat dengan tujuan untuk membangkitkan gairah atau nafsu birahi individu yang melihat ataupun membacanya.

Menurut UU No. 44 tahun 2008, pornografi adalah segala bentuk kecabulan atau eksploitasi seksual, yang dimuat dalam media komunikasi berupa gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, maupun melalui pertunjukan di muka umum. Menurut UU No. 44 tahun 2008, pornografi secara eksplisit akan menunjukkan:

1) Persetubuhan, termasuk persetubuhan yang menyimpang (misalnya sesama jenis).

2) Kekerasan seksual. 3) Masturbasi atau onani.

4) Ketelanjangan atau penampilan yang menampilkan ketelanjangan. 5) Alat kelamin dan pornografi yang melibatkan anak-anak.

Lesmana (1995) mengungkapkan, bahwa tulisan, gambar, foto, maupun tontonan yang tergolong pornografi adalah:

a. Dengan sengaja bertujuan untuk membangkitkan nafsu seksual orang lain.

b. Memiliki tujuan sejak awal untuk merangsang birahi pembaca/penontonnya.

c. Karya tersebut tidak memiliki nilai apapun, selain hanya sebagai stimulus perangsang nafsu.

d. Menurut nilai dan norma masyarakat sekitar, materi tersebut tidak pantas dipertontonkan secara umum.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa pornografi adalah segala bentuk materi, baik yang diwujudkan melalui tulisan maupun melalui media elektronik, dan mengandung unsur-unsur ketelanjangan, alat kelamin, dan persetubuhan. Pornografi ini tidak memiliki tujuan dan nilai apapun, hanya ingin membangkitkan nafsu seksual mereka yang melihat atau membacanya.

b. Jenis-jenis Pornografi

Menurut Lesmana (1995), pornografi dibedakan menjadi 2 jenis, yakni:

a. Hardcore Pornography, yang menggambarkan adegan seks dengan sangat eksplisit, dalam arti sama dengan pemeran telanjang bulat, organ seksual yang diekspos dengan amat mencolok dengan segala teknik permainan seksual yang dipertunjukkan secara jelas.

b. Softcore pornography, di mana seks tidak pernah dilukiskan secara utuh, pemerannya seringkali telanjang bulat, namun organ seksual biasanya tidak diperlihatkan, juga tidak pernah ada variasi permainan seksual yang sering disebut “abnormal”, seperti adegan homoseksualitas, dan lain-lain.

c. Dampak Pornografi

Alan McKee (2007), dalam penelitiannya menunjukkan adanya dampak positif dari pornografi. Subjek penelitiannya yang merupakan para konsumen pornografi, melaporkan adanya perasaan rileks, nyaman dan lebih terbuka terhadap seks. Selain itu, pornografi juga membuat individu merasa lebih open-minded dan toleran terhadap gaya kepuasan seksual orang lain. Individu juga merasa dapat belajar mengenai ide dan teknik bercinta, serta lebih memperhatikan kepuasan pasangan saat melakukan hubungan seksual. Mengonsumsi pornografi juga membuat seseorang menjadi lebih terbuka untuk mendiskusikan seksualitas dengan pasangannya.

Di sisi lain, McKee (2007) juga mengungkap berbagai sisi negatif dari pornografi. Seperti yang disampaikan oleh respondennya, pornografi membuat mereka mengobjektifikasi orang (menganggap bahwa tubuh seseorang hanyalah objek pelampiasan nafsu), menumbuhkan harapan yang tidak realistis, baik terhadap tubuh sendiri maupun orang lain. Responden lain merasa bahwa pornografi mendatangkan masalah dalam hubungannya dengan pasangan. Selain itu, ada responden yang merasa kehilangan minat untuk melakukan kontak seksual yang nyata dengan orang lain, dan yang terakhir adalah timbulnya rasa kecanduan pada pornografi.

Meskipun masih dipertentangkan mengenai dampak positif dan negatifdari pornografi terhadap perkembangan otak dan perilaku remaja, nyatanya dampak negatif merupakan hal yang paling disorot di Indonesia. Selain karena merupakan negara hukum yang religius, yang masih memandang seksualitas secara konservatif / tradisional (Hald & Mulya, 2013), Indonesia juga memiliki undang-undang yang mengatur pornografi dan hubungan seksual di luar nikah. Negativitas pornografi ditunjukkan melalui penelitian Praharesti Eriany (1999). Penelitiannya mengenai pelecehan seksual menunjukkan adanya kecenderungan anggapan bahwa perempuan merupakan objek seks. Hal ini disebabkan oleh tingginya frekuensi dalam melihat tubuh perempuan telanjang dari televisi, film, dan majalah, sehingga menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Hal ini dapat membahayakan remaja perempuan bila mereka sampai membentuk

konsep bahwa diri mereka adalah objek seksual dan menerima secara pasrah perlakuan pelecehan seksual di masyarakat karena menganggap hal tersebut merupakan kewajaran (Adrina dalam Kusmiati, 2001). Selain itu, menonton tayangan yang mengandung unsur pornografi mendorong remaja melakukan peniruan. Remaja termotivasi dan terangsang untuk meniru hal yang dilihat atau dibacanya, sehingga mengakibatkan remaja menjadi semakin permisif dengan perilaku dan norma yang ada (Supriati dan Fikawati, 2009).

Pada kebanyakan tayangan porno, perempuan ditampilkan dengan rambut pirang atau kecoklatan, bertubuh langsing, namun berdada dan bokong besar. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan remaja perempuan membentuk ideal-self mereka seperti para pemeran perempuan dalam film porno tersebut. Selain itu, perempuan juga direpresentasikan sebagai individu yang pasif dan bergantung seperti budak kepada laki-laki. Perempuan akan merasa puas jika laki-laki dapat memuaskan diri menggunakan tubuh mereka (Longino, 1980). Pada beberapa genre, perempuan juga ditampilkan mengalami kekerasan seksual, seperti diperkosa, dan hal tersebut memberikan kenikmatan seksual pada perempuan. Hal ini sejalan dengan asumsi pada skrip seksual tradisional, di mana perempuan derajatnya lebih rendah daripada laki-laki.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Menurut Hurlock (1990), kata remaja atau adolescence berasal dari bahasa Latin adolescere yang memiliki arti “tumbuh” atau “tumbuh

menjadi dewasa”. Saat ini, istilah adolescence memiliki arti yang lebih luas, yang menyangkut kematangan fisik, kognisi, moral, emosional, sosial dan intelektual individu. Selain itu, masa remaja juga merupakan masa perpindahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, baik dari segi fisik dan psikologisnya (Hurlock, 1990).

Menurut Daradjat (1974), remaja adalah salah satu tahapan perkembangan manusia yang paling banyak terdapat perubahan, dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Perubahan-perubahan tersebut biasanya dimulai dengan perubahan jasmani yang meliputi aspek-aspek seksual, dan diikuti segi kehidupan lainnya seperti rohani, perasaan, pikiran dan sosial.

Sarwono (1989) memberikan pandangannya mengenai remaja, yakni suatu masa perkembangan manusia yang penuh emosi yang meledak-ledak, dan sulit untuk dikontrol. Emosi yang menggebu-gebu ini di satu sisi membuat orang lain sulit untuk memahami remaja, namun di sisi lain membantu remaja untuk menemukan identitas dirinya.

Masa remaja juga dianggap sebagai masa sulit, karena mengalami banyak perubahan, serta masalah yang dialami sebelum seseorang memasuki masa dewasa. Monks (1999), menganggap bahwa remaja

berada di posisi sulit, karena tidak memiliki tempat yang jelas. Mereka tidak dapat lagi digolongkan sebagai anak kecil, namun juga masuk kategori orang dewasa. Hal ini disebabkan remaja dipandang belum mampu menguasai dan mengatur fungsi fisik maupun psikologisnya.

Menurut beberapa definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia, yang mengalami banyak perubahan, baik dari segi fisik, emosional, pola pikir, interaksi sosial, maupun aspek-aspek psikologis lainnya. Hal ini merupakan tahapan yang akan dilalui setiap individu yang beranjak dari masa kanak-kanak untuk menuju masa dewasa.

2. Batasan Remaja

Karena luasnya area perkembangan remaja, beberapa ahli memberikan batasan-batasan mengenai definisi remaja berdasarkan usia dan tugas perkembangannya. Menurut Hurlock (1990), remaja dibagi menjadi dua bagian, yakni remaja awal, yang berlangsung kira-kira antara 13-16 tahun, dan remaja akhir, yang rentang usianya antara 16-18 tahun.

Batasan usia remaja yang ditetapkan oleh WHO (World Health Organization) adalah pada usia 10-20 tahun, dengan pembagian usia 10-14 tahun sebagai fase remaja awal, dan usia 15-20 tahun sebagai fase remaja akhir (WHO, dalam Sarwono, 1989).

Sarwono (1994) juga membagi remaja dalam beberapa fase, yakni fase remaja awal yang usianya antara 11-15 tahun, kemudian fase remaja

pertengahan yang berusia kira-kira 15-18 tahun, dan fase remaja akhir, yakni antara 18-24 tahun. Sarwono membuat pertimbangan tersebut berdasarkan pandangan masyarakat Indonesia:

a. Bahwa sekitar usia 11 tahun, mulai muncul tanda-tanda perubahan seksual sekunder pada individu.

b. Di kalangan beberapa masyarakat Indonesia, pada usia 11 tahun individu dianggap telah melalui proses akil balig, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak.

c. Pada rentang usia tersebut mulai tercapai identitas diri individu (ego identity), kemudian mencapai fase genital dari perkembangan psikoseksual, serta merupakan puncak dari perkembangan kognitif serta moral.

d. Pada batasan akhir 24 tahun merupakan batas maksimal seseorang untuk bergantung pada orang tuanya, belum memiliki hak orang dewasa secara penuh (baik adat maupun tradisi), dianggap belum dapat memberikan opini sendiri, dan lain sebagainya.

e. Selain itu, definisi remaja juga dikaitkan dengan kondisi belum menikah, karena pada umumnya masyarakat menilai kedewasaan seseorang berdasarkan status pernikahan mereka. Pada usia berapapun seseorang menikah, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa. Maka dari itulah, batasan remaja yang digunakan adalah individu yang belum menikah.

Monks (1994) juga memilah remaja berdasarkan usia kronologis mereka. Dengan mematok rentang usia antara 12-21 tahun, remaja dibagi menjadi 3 bagian, yaitu masa remaja awal, yakni 12-15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun, serta 18-21 tahun untuk masa remaja akhir.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebanyakan peneliti perkembangan membagi usia remaja menjadi 3 fase, yakni fase remaja awal, remaja pertengahan, serta remaja akhir, yang ditandai dengan terjadinya perubahan fisik, intelektual, emosional, hormonal, dan sosial. Pada penelitian ini, peneliti mengacu pada batasan yang digunakan oleh Sarwono, yakni remaja perempuan pertengahan pada rentang usia 15-18 tahun yang sedang duduk di bangku SMA, dan belum menikah.

Dokumen terkait