• Tidak ada hasil yang ditemukan

Positional Release Technique .1 Definisi

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 28-35)

Positional release technique merupakan salah satu teknik pada jaringan

lunak yang ditujukan untuk nyeri otot dan spasme. Tujuan pemberian terapi ini adalah mengembalikan tonus otot dan meningkatkan sirkulasi jaringan. Pendekatan yang digunakan adalah melibatkan identifikasi dari trigger point yang aktif, diikuti dengan memberikan tekanan sampai respon dari nosiseptif diproduksi. Area otot yang akan diterapi diposisikan dengan nyaman untuk mengurangi ketegangan pada otot yang diterapi sehingga mengurangi nyeri pada

trigger point (Carvalho, et al., 2014).

Positional release technique adalah sebuah metode yang menjadikan tender point dan posisi yang nyaman sebagai evaluasi dan dasar melakukan

pengobatan yang berkaitan dengan disfungsi. Metode intervensi dari positional

release technique adalah indirect (bagian tubuh bergerak menjauhi tahanan barrier) dan passive (terapis yang melakukan seluruh gerakan tanpa pertolongan

dari pasien). Keseluruhan bidang gerak digunakan untuk mencapai posisi yang paling nyaman. Sesudah tender point yang paling keras ditemukan, gunakan teknik palpasi sebagai pedoman untuk membantu menemukan posisi yang nyaman. Posisi nyaman ini akan menghasilkan relaksasi yang optimal dari jaringan yang mengalami kerusakan (Speicher dan Draper, 2006).

Konsep dasar untuk lebih memahami positional release technique adalah menggerakan tubuh ke dalam posisi yang nyaman dan menjauhi tahanan barrier. Contohnya jika seorang pasien mempunyai hipertonus pada otot biceps caput

Namun saat pasien memposisikan siku dalam keadaan fleksi, pasien akan merasa lebih nyaman. Hal ini dikarenakan terjadinya pemendekan pada otot biceps yang menyebabkan tegangan pada otot biceps menurun. Oleh karena itu di dalam

positional release technique, nyeri hebat dan posisi keterbatasan harus

dihindarkan dan tujuannya adalah untuk menemukan posisi yang nyaman (D’ambrogio dan Roth, 1997).

Salah satu teori mengatakan bahwa posisi yang nyaman, akan menyebabkan penurunan dari aktivitas propioceptif yang tidak tepat. Hasil dari intervensi menggunakan positional release technique adalah menurunnya ketegangan pada otot, ketegangan fascia, dan hipomobilitas pada sendi. Perubahan ini secara signifikan akan meningkatkan fungsional gerakan sendi dan menurunkan nyeri (D’ambrogio dan Roth, 1997).

2.4.2 Indikasi dan Kontraindikasi

Semua gangguan yang terjadi pada otot dan sendi yang menimbulkan tender point (titik nyeri) adalah indikasi dari positional release technique. Sedangkan kontraindikasi pada positional release technique adalah adanya

malignancy, aneurysm, dan rhematoid atritis akut. Sedangkan kontraindikasi yang

bersifat regional adalah adanya luka terbuka, jahitan pada luka, penyembuhan pasca fraktur, hematoma, hipersensitif pada kulit, dan infeksi lokal atau sistemik (Speicher dan Draper, 2006).

2.4.3 Teknik Aplikasi Positional Release Technique

Terdapat sembilan hal penting yang harus diingat saat memberikan

positional release technique, yaitu (D’ambrogio dan Roth, 1997):

1. Amati tubuh, golongkan tingkat kerasnya tender point, dan laporkan hasil yang ditemukan

2. Ikuti aturan umum. Pertama, sangat penting bagi fisioterapis mengobati

tender point yang paling keras tanpa menghiraukan dimana lokasi nyeri

tersebut. Hal yang harus diingat adalah tender point menghasilkan disfungsi pada pasien. Karena tujuan dari terapi adalah pada disfungsinya. Nyeri dihasilkan dari disfungsi yang terjadi. Ketika tender point di terapi dan pergerakan dapat diperbaiki, nyeri akan berkurang. Kedua, sangat penting untung memeberikan terapi dari proksimal menuju distal. Jika terdapat dua tender point yang sama, terapi bagian proksimal sebelum distal. Hal ini sering menghilangkan tender point bagian distal. Pada area yang memiliki sensitifitas yang tinggi, lakukan terapi pada area dengan

tender point yang paling keras. Dengan mengiikuti aturan sederhana

tersebut, efisensi dan efektifitas dari terapi akan meningkat.

3. Lakukan palpasi pada tender point, dan temukan posisi yang nyaman. Sangat penting untuk memposisikan pasien dalam posisi yang nyaman, Fisioterapis secara terus menerus memantau tender point. Hal ini bertujuan untuk memantau penurunan dari tegangan dan tenderness. Timbal balik yang dinginkan adalah menemukan posisi nyaman yang tepat.

Tender point akan di amati terus saat dilakukan terapi. Perhatian akan

diberikan pada perubahan yang terjadi pada area tender point, seperti: denyutan, pelepasan panas, getaran, istirahat dan pelepasan pada tubuh pasien yang merupakan indikasi berakhirnya terapi. Sesudah terapi selesai, dilakukan evaluasi pada titik yang sama untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada titik yang diterapi.

5. Pertahankan posisi nyaman sampai pelepasan dapat dirasakan. Posisi yang nyaman memegang peranan yang penting untuk menyelesaikan pelepasan di dalam tubuh. Jika pasien menghilangkan posisi nyaman segera setelah terapi, hasilnya akan dirasakan dalam waktu yang singkat, dan tender

point akan muncul lagi dan memerlukan terapi yang lebih lanjut. Hal

penting yang harus diingat ketika memberikan terapi, posisi nyaman biasanya bertahan lama dan akan mempunyai efek yang sangat besar dalam tubuh. Untuk terapi lokal biasanya diberikan penekanan selama 90 detik.

6. Kembalikan ke posisi normal dengan pelan. Sangat penting untuk menyebutkan bahwa setelah tender point berhasil diterapi, tubuh pasien harus dikembalikan ke dalam posisi netral dengan pelan. 15º pertama adalah jarak yang sangat penting. Jika pasien dikeluarkan dari posisi nyaman dengan cepat, ballistic proprioceptor akan bertautan kembali dan spasme otot untuk proteksi akan kembali. Selain itu, hal tersebut juga

dapat menimbulkan cedera kembali dan pembentukan kembali inflamasi dan spasme.

7. Lakukan pemeriksaan kembali pada tender point setelah terapi. Setelah berhasil melakukan terapi pada tender point, sangat penting bagi fisioterapis dan pasien mencatat perubahan yang terjadi. Selain itu lakukan pemeriksaan fisik lainnya untuk melihat fungsional pasien.

8. Berikan edukasi kepada pasien terkait kemungkinan reaksi dan akitivitas yang tidak baik setelah pemberian terapi. Memberikan edukasi kepada pasien terkait efek dari terapi dan aktivitas yang harus dihindari setelah latihan dapat membantu meningkatkan efektifitas dari terapi dan mengurangi rasa yang tidak nyaman. Selain itu, seteleah melakukan terapi perlu diberikan waktu istirahat selama 24-48 jam.

9. Lakukan terapi sekali dalam satu minggu, dan berikan tubuh adaptasi untuk terapi.

Untuk memberikan terapi positional release technique pada kasus

myofascial pain syndrome upper trapezius, prosedur pelaksanaannya adalah

sebagai berikut (Speicher dan Draper, 2006):

1. Palpasi pada daerah otot upper trapezius untuk mencari tender point yang menghasilkan titik nyeri paling hebat. Posisi pasien harus nyaman dan relaks.

2. Setelah titik nyeri ditemukan, tangan fisioterapis harus tetap berada pada titik tersebut, dan berikan penekanan pada area tersebut.

lengan pasien secara pasif ke arah abduksi 90º, dengan diikuti lateral fleksi cervical ke arah yang diterapi. Posisi pasien saat melakukan terapi bisa dalam posisi duduk ataupun berdiri.

4. Pertahanakan posisi tersebut selama 90 detik, dan setelah itu kembalikan ke posisi normal secara pelan.

Gambar 2.11 Positional Release Technique untuk Myofascial Pain Syndrome

Upper Trapezius

(Sumber: Chaitow, 2002) 2.4.4 Efek Pemberian Positional Release Technique

Pemberian positional release technique memberikan beberapa efek pada tubuh, yaitu: mengembalikan tonus otot, mengembalikan ketegangan pada fascia, menurunkan hipomobilitas pada sendi, meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan nyeri, dan meningkatkan kekuatan (D’ambrogio dan Roth, 1997).

1. Normalisasi tonus otot

Klinis telah menemukan, pemberian terapi positional release

technique kira-kira selama 90 detik untuk pasien ortopedi umum dan 3

menit untuk pasien neurologis. Positional release technique dapat memberikan pengaruh pada aktivitas proprioceptif yang mengalami

gangguan, sehingga membantu mengembalikan tonus dan mengatur ulang hubungan panjang-tegangan pada otot. Hasilnya adalah pemanjangan dari serabut otot ke keadaan normalnya.

2. Normalisasi tegangan fascial

Fase pemberian positional release technique dimulai setelah 90 detik. Selama fase ini, positional release technique memulai untuk mengikat pola tegangan fascial dengan trauma, inflamasi, dan perlengketan patologis. Proses ini disebut aksi unwinding di dalam jaringan myofascial. Respon pelepasan yang signifikan dapat di palpasi selama fase ini.

3. Menurunkan hipomobilitas pada sendi

Ketika otot mengalami hipertonus atau ketegangan, hasilnya adalah hipomobilitas atau penurunan lingkup gerak pada sendi. Dengan menggunakan positional release technique, otot dan fascial yang mengalami ketegangan akan mengalami relaksasi. Hal ini akan mengembalikan fungsional otot, sehingga pergerakan sendi kembali normal.

4. Meningkatkan sirkulasi dan mengurangi bengkak

Tekanan yang diberikan saat pemberian positional release technique, dapat mengurangi struktur yang menghambat pembuluh darah dan limfatik. Hasilnya adalah peningkatan sirkulasi pada jaringan, sehingga dapat membantu proses penyembuhan jaringan yang rusak. Peningkatan pembuangan limfatik akan membantu proses penyerapan cairan pada

inflamasi.

5. Menurunkan Nyeri

Pasien yang memiliki nyeri, dihubungkan dengan mekanisme muscle

guarding, tegangan pada fascial, dan keterbatasan gerak pada sendi. Positional release technique memberikan efek untuk mengurangi spasme

pada otot dan mengembalikan pergerakan serta fleksibilitas jaringan. Pasien mungkin saja memiliki beberapa rasa tidak nyaman akibat sisa-sisa inflamasi, tetapi nyeri yang dirasakan sudah berkurang.

6. Meningkatkan kekuatan

Dengan menormalkan kembali proprioceptif dan keseimbangan neural pada jaringan otot dan menghilangkan hambatan yang mengakibatkan nyeri, positonal release technique dapat membantu mengembalikan tonus otot dalam keadaan normal dan fungsi dari otot. Hal ini dapat mengoptimalkan efisiensi biomekanik dari otot dan meningkatkan kemampuan reaksi untuk melakukan latihan.

2.5 Infrared

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 28-35)

Dokumen terkait