BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2 Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor Biji Kakao
5.3.1 Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor
5.3.2 Potensi Dampak Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Impor BIji Kakao Indonesia terhadap Industri Pengolahan Kakao
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan
6.2 Rekomendasi Kebijakan DAFTAR PUSTAKA
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan tentang Perdagangan Internasional
Salvatore (1997) berpendapat bahwa terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar negara (Gambar 2.1). Perbedaan ini terjadi karena: (a) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Krugman dan Obstfeld (2003) mengenai dua alasan utama setiap negara melakukan perdagangan internasional. Dalam dunia nyata, adanya interaksi yang terus-menerus dari kedua motif dasar di atas tercermin dalam pola-pola perdagangan internasional.
Gambar 2.1 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional
Sumber : Salvatore (1997)
Menurut Krugman dan Obstfeld (2003), perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang mereka kuasai keunggulan komparatifnya.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6
Sementara, Sadono Sukirno berpendapat bahwa manfaat-manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan teknologi dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
3. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
4. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern
Menurut teori keunggulan komparatif, nilai penukaran suatu barang didasarkan pada biaya komparatif dan nilai kegunaan/manfaat. Dengan teori keunggulan komparatif, masing-masing negara akan mengambil sesuatu yang relatif efisien. Perdagangan antarnegara akan terjadi jika masing-masing negara memperoleh manfaat dengan spesialisasi yang lebih efisien. Dengan adanya spesialisasi, maka akan terjadilah pembagian kerja internasional yang makin efisien, realokasi faktor-faktor produksi, dan mobilitas faktor-faktor produksi di dalam negeri yang pada
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7
akhirnya mendorong terjadinya persaingan di pasar faktor produksi. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan absolut, perdagangan akan tetap menguntungkan bagi kedua negara.
John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan komparatif dengan menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor barang yang memiliki ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata lain, dasar tukar perdagangan internasional yang sebenarnya ditentukan oleh permintaan timbal balik. Hal ini akan stabil bilamana nilai ekspor suatu negara cukup untuk membayar nilai impornya. Berdasarkan teori ini, nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut sedangkan dasar nilai pertukaran ditentukan dengan batas-batas nilai tukar masing-masing barang di dalam negeri (Masngudi, 2006).
Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan devisa, transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja.
Komposisi, arah dan bentuk perdagangan internasional atau kegiatan perdagangan internasional suatu negara tidak terlepas dari segala tindakan pemerintahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan perdagangan internasional memiliki implikasi yang sangat luas, tidak hanya dalam volume dan komposisi impor dan ekspor, tetapi juga pola investasi dan arah pengembangan, tetapi juga kondisi persaingan, kondisi biaya, sikap pebisnis dan wirausahawan, pola
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8
konsumsi, dsb. Oleh karena itu, kebijakan perdagangan internasional sangat penting dalam keputusan kebijakan ekonomi suatu negara dan kebijakan ini hanya salah satu bagian kebijakan makroekonomi yang harus dikombinasikan dan bersifat mendorong pembangunan perekonomian suatu negara.
Kebijakan perdagangan internasional juga dapat ditujukan untuk melindungi industri dalam negeri yang sedang tumbuh (infant industry) dan persaingan-persaingan barang-barang impor. Adapun tujuan kebijakan perdagangan internasional yang bersifat proteksi adalah memaksimalkan produksi dalam negeri, memperluas lapangan kerja, memelihara tradisi nasional, menghindari resiko yang mungkin timbul jika hanya menggantungkan diri pada satu komoditi dikhawatirkan akan terganggu jika bergantung pada negara lain. Proteksi dapat dilakukan dengan penerapan berbagai instrumen kebijakan perdagangan internasional berupa hambatan perdagangan tarif maupun non tarif. Kebijakan perdagangan internasional tidak hanya bersifat untuk melindungi, tetapi juga mendukung kebijakan perdagangan bebas.
2.2 Impor
Impor merupakan kegiatan mendatangkan barang maupun jasa dari luar negeri ke dalam wilayah pabean suatu negara. Pada dasarnya, impor suatu produk terjadi karena tiga alasan. Pertama, produksi dalam negeri terbatas sedangkan permintaan domestik tinggi. Impor hanya sebagai pelengkap. Keterbatasan produksi dalam negeri tersebut dikarenakan dua hal, yakni (a) kapasitas produksi terbatas (titik optimum dalam skala ekonomi telah tercapai) atau (b) pemakaian kapasitas terpasang masih di bawah kapasitas maksimal. Kedua, impor lebih murah dibandingkan dengan harga dari produk sendiri yang dikarenakan ekonomi biaya tinggi atau tingkat efisiensi yang rendah. Ketiga, impor lebih menguntungkan karena produksi dalam negeri ditujukan untuk ekspor dan harga ekspornya lebih tinggi sehingga dapat mengkompensasi biaya yang dikeluarkan untuk impor.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9
Kebijakan impor merupakan salah satu instrumen strategis untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Penerbitan kebijakan impor digunakan sebagai instrumen menertibkan arus barang masuk dan melindungi kepentingan nasional dari pengaruh masuknya barang-barang negara lain dengan tujuan untuk menjaga dan mengamankan aspek K3LM (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan meningkatkan pendapatan petani, mendorong penggunaan barang dalam negeri, dan meningkatkan ekspor nonmigas (Widayanto, 2011).
Pada umumnya, kebijakan impor dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni kebijakan tarif dan kebijakan hambatan non-tarif. Tarif merupakan pengenaan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Kebijakan hambatan non-tarif adalah kebijakan perdagangan selain kebijakan tarif yang dapat menimbulkan distorsi sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional. Kebijakan hambatan non-tarif juga dapat didefinisikan sebagai langkah-langkah kebijakan yang memiliki efek membatasi perdagangan tanpa melanggar hukum perdagangan internasional. Penggunaan kebijakan hambatan non-tarif bertujuan untuk mencapai efektivitas, konsistensi, kepastian, dan perlindungan perdagangan. Selain itu, kebijakan hambatan non-tarif tersebut ditujukan untuk melindungi kesehatan, keamanan, keselamatan, sanitasi, nutrisi, keagamaan, atau untuk melindungi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan tidak menciptakan hambatan perdagangan yang tidak berguna. Kebijakan hambatan non-tarif (non tariff measures, NTMs) mencakup berbagai jenis, yakni kuota impor, subsidi pemerintah, SPS, hambatan teknis, larangan, dan lain-lain.
2.3 Tarif
Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan secara tradisional telah digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah sejak lama. Maksud utama pengenaan tarif biasanya tidak semata-mata untuk memperoleh pendapatan pemerintah, melainkan juga
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10
sebagai alat untuk melindungi sektor-sektor tertentu di dalam negeri dan mengurangi tekanan persaingan produk impor. Tarif pun bertujuan untuk pemerataan distribusi pendapatan nasional (C. Kebijaksanaan Impor). Efek kebijakan impor ini terlihat langsung pada kenaikan harga barang, konsumsi, produk yang diproteksi, dan restribusi pendapatan.
Dilihat dari aspek asal komoditi, tarif terbagi menjadi dua macam (Salvatore,1997) :
1. Tarif impor, adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain.
2. Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor.
Sementara bila ditinjau dari mekanisme perhitungannya, tarif terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor.
2. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor. 3. Tarif campuran adalah gabungan antara tarif ad valorem dengan tarif
spesifik.
Dampak-dampak pemberlakuan tarif terhadap tingkat produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di sebuah negara kecil yang hubungan dagang atau kekuatan ekonominya terbatas sehingga tidak mampu mempengaruhi harga yang berlaku di pasaran internasional dapat dijelaskan melalui analisis keseimbangan parsial. Ketika sebuah negara kecil memberlakukan tarif terhadap barang-barang impornya, yang berubah hanya harga barang tersebut di pasar domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus menghadapi segala implikasi kenaikan harga itu adalah konsumen dan produsen di negara kecil yang bersangkutan. Surplus produsen akibat adanya tarif bea masuk akan lebih kecil dibanding surplus konsumen. Walaupun setiap produsen dan konsumen menghadapi kenaikan harga komoditi impor meningkat sebesar tarif yang dikenakan, namun harganya bagi perekonomian negara kecil secara keseluruhan tetap konstan, karena kenaikan harga akibat tarif itu diimbangi oleh terciptanya pemasukan pajak bagi pemerintah.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 11
Sementara tanpa kebijakan tarif yang dikenakan, harga yang berlaku di pasar dalam negeri akan sama dengan harga dunia (Pw). Pada posisi ini jumlah produksi menurun menjadi QS2, jumlah konsumsi menjadi naik menjadi Q2, jumlah impor pun meningkat menjadi QM2 dan penerimaan pemerintah dari tarif bea masuk akan hilang. Sementara itu, surplus produsen akan menurun yang makin jauh lebih kecil daripada surplus konsumen yang meningkat.
Gambar 2.2 Dampak Kebijakan Pengenaan dan Pembebasan Tarif Bea Masuk
Sumber: Krugman dan Obstfeld (2003).
2.4 Penelitian Sebelumnya
Pada umumnya, beberapa penelitian terdahulu lebih membahas permasalahan pada industri pengolahan Kakao, tata niaga Kakao dan efek dari kebijakan pengenaan Bea Keluar atas Biji Kakao terhadap petani dan industri pengolahan Kakao di Indonesia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2009) telah melakukan kajian yang membahas gambaran tata niaga dan hambatan distribusi kakao di Sulawesi dari petani sebagai produsen hingga pabrik cokelat sebagai konsumen akhir dan menganalisis struktur industri kakao di Sulawesi dan di Indonesia secara umum serta menganalisis perilaku usaha yang berpotensi melanggar persaingan usaha yang sehat. Studi tersebut menemukan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12
bahwa persoalan dalam industri Kakao muncul karena tidak tertintegrasinya antara petani dan pabrik pengolahan Kakao yang diperparah oleh sistem perdagangan kakao yang ada justru semakin mendistorsi hubungan antara pertanian dan pengolahan yang berujung pada inefisiensi. Oleh karena itu, studi ini menyarankan agar pemerintah seharusnya menyusun kebijakan yang mampu menyentuh persoalan pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan sekaligus dan kebijakannya harus dilakukan lintas instansi.
Sementara, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (2012) menganalisis tentang perkembangan perekonomian Kakao nasional pasca kebijakan pengenaan Bea Keluar terhadap ekspor Biji Kakao dengan PMK No. 67/PMK.011/2010 dan menemukan adanya kebangkitan industri pengolahan Kakao di Indonesia baik industri domestik maupun investasi baru dari perusahaan pengolahan Kakao multinasional pasca pemberlakuan kebijakan Bea Keluar Biji Kakao. Selain itu, hasil penelitian ini menemukan bahwa tingkat fermentasi Biji Kakao Indonesia belum sesuai harapan sehingga dibutuhkan strategi komprehensif dari pemerintah dan peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan Kakao untuk meningkatkan kualitas Biji Kakao Indonesia yang pada gilirannya memberikan nilai tambah bagi petani. Penelitian Rifin (2013) menemukan bahwa kebijakan pengenaan Bea Keluar Biji Kakao telah berhasil komposisi produk dari Biji Kakao ke produk Kakao Olahan dan pertumbuhan ekspor Biji Kakao Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan Biji Kakao dunia akibat adanya penurunan daya saing. Sementara hasil penelitian Permani (2011) menyimpulkan bahwa kebijakan pengenaan Bea Keluar atas Biji Kakao Indonesia berada di atas tarif optimalnya.
Adapun beberapa penelitian seperti penelitian Hadi dan Nuryanti (2005), Latifah et.al (2013) menemukan bahwa kebijakan proteksi berhasil secara signifikan menurunkan impor dan meningkatkan harga dalam negeri, produksi, surplus produsen, dan pendapatan petani. Hadi dan Nuryanti (2005) menemukan bahwa penghapusan salah satu kebijakan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13
tarif maupun non tarif akan menyebabkan industri gula nasional terpuruk kembali
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14
BAB III METODE PENGKAJIAN
3.1 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan perhitungan harga paritas impor, simulasi SMART model dari WITS World Bank, dan proyeksi secara statistik untuk mengetahui dan menganalisis dampak pembebasan kebijakan tarif bea masuk atas impor atas Biji Kakao dari aspek ekonomi. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk mengetahui dan menilai prospek dampak suatu kebijakan secara sederhana sehingga dapat menghasilkan hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam pembuatan kebijakan untuk bertindak secara praktis.
3.2 Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yakni data primer dan sekunder. Adapun data primer dikumpulkan melalui survei lapangan, wawancara, dan rapat/ diskusi terbatas dengan para pemangku kepentingan terkait baik dari asosiasi, petani, eksportir, industri pengolahan maupun institusi-institusi pemerintah (Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, dan Kementerian Perdagangan) sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai publikasi yang diterbitkan oleh berbagai institusi (Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, ICCO, WITS World Bank, ITC, AIKI, dan sebagainya).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 15
BAB IV GAMBARAN UMUM KINERJA PRODUKSI DAN PERDAGANGAN BIJI KAKAO DAN KAKAO OLAHAN INDONESIA
4.1 Perkembangan Produksi Biji Kakao Indonesia
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO)
(2014) mencatat produksi Biji Kakao dunia pada tahun 2012 mencapai 5,0 juta ton. Pada tahun tersebut Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara produsen Biji Kakao dunia dengan jumlah produksi sebesar 936,3 ribu ton, setelah Pantai Gading (1,65 juta ton) dan berada satu peringkat di atas Ghana yang kuantitas produksinya hanya mencapai 879,3 ribu ton (Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Produsen Utama Biji Kakao Dunia Tahun 2012
Sumber: FAO (2014), telah diolah kembali
International Cocoa Organization (ICCO) (2014) justru
mempublikasikan produksi Biji Kakao dunia dan Indonesia jauh lebih rendah pada tahun 2011/2012 dibanding dengan data FAO (2014), yakni sebanyak 4,08 juta ton dan 440 ribu ton. ICCO (2014) juga mengestimasikan penurunan kuantitas produksi Biji Kakao Indonesia periode 2012/2013 dan 2013/2014 hingga masing-masing menjadi 420 ribu ton dan 410 ribu ton (Tabel 4.1). Selain itu, ICCO (2014) mencatat
INDONESIA (936,3) PANTAI GADING (1.650) GHANA (879,3) NIGERIA (383) KAMERUN (256) BRAZIL (253,2)
10 PRODUSEN UTAMA BIJI KAKAO DUNIA TAHUN 2012 (DALAM RIBUAN TON)
PERU (57,9)
REP. DOMINIKA (72,2) MEKSIKO
(83)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16
bahwa Indonesia merupakan negara produsen ketiga dalam produksi Biji Kakao dunia setelah Pantai Gading (Cote d’Ivoire) dan Ghana.
Tabel 4.1 Perkembangan Produksi Biji Kakao Beberapa Negara Utama di Dunia
Sumber: ICCO ( 2014)
Merujuk pada data perkembangan produksi Biji Kakao Indonesia yang dipublikasikan oleh beberapa sumber data seperti Kementerian Pertanian (2014), Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO), Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), produksi Biji Kakao Indonesia sepanjang tahun 2009-2013 menunjukkan trend pertumbuhan negatif (Gambar 4.2). Kuantitas produksi Biji Kakao Indonesia sempat anjlok pada tahun 2011 hingga menyentuh angka volume produksi terendah sepanjang lima tahun terakhir (712,1 ribu ton). Penurunan Biji Kakao yang dihasilkan Indonesia dipicu oleh adanya penurunan produktivitas tanaman Kakao. Umur tanaman Kakao yang telah tua, kondisi tanaman yang rusak, dan tanaman kakao yang terkena penyakit pembuluh kayu Kakao serta beberapa jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Kakao lainnya adalah beberapa faktor penyebab penurunan produktivitas tanaman Kakao (Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, 2012).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17
Pada tahun 2013 volume produksi Biji Kakao Indonesia yang dicatat oleh Kementerian Pertanian mencapai 777,5 ribu ton, naik dari tahun sebelumnya yang hanya sekitar 740,5 ribu ton. Kenaikan produksi Biji Kakao Indonesia pada tahun yang sama tersebut dicatat pula oleh beberapa instansi, seperti AIKI dan Kementerian Perdagangan. AIKI mencatat jumlah produksi Biji Kakao Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 482,2 ribu ton, naik 8,2% dari tahun 2012. Sementara itu, pada tahun yang sama Kementerian Perdagangan mencatat jumlah produksi Biji Kakao Indonesia berdasarkan perhitungan hasil konversi ekspor produk Kakao Olahan ke Biji Kakao1 sebanyak 616,9 ribu ton, naik dari tahun 2012 yang hanya mencapai 598,2 ribu ton. Berbeda halnya dengan Kementerian Pertanian, Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), dan Kementerian Perdagangan yang mencatat adanya peningkatan dalam jumlah produksi Biji Kakao Indonesia, produksi Biji Kakao Indonesia yang dicatat oleh ASKINDO pada tahun 2013 justru menurun menjadi 450 juta ton, terkecil sepanjang tahun 2009-2013 (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Perkembangan Produksi Biji Kakao Indonesia Berdasarkan Sumber Data
Sumber: AIKI, ASKINDO, dan Kementerian Perdagangan (2014), telah diolah kembali.
1 Komponen konversi ekspor produk Kakao Olahan ke Biji Kakao sebagai berikut 100 kg Biji Kakao = 33 kg Cocoa Butter; 100 kg Biji Kakao = 80 kg Cocoa Liquor (Paste non defatted); 100 kg Biji Kakao = 47 kg Cocoa Powder; 100 kg Biji Kakao = 47 kg Cocoa Cake (Paste wholly defatted) (AIKI, 2014). 545.1 559.0 459.3 460.1 482.2 542.2 557.6 465.8 453.7 450.0 614.9 656.9 608.1 598.2 616.9 362.4 372.2 545.8 551.4 569.9 820.5 837.9 712.2 740.5 777.5 2009 2010 2011 2012 2013 AIKI ASKINDO
Kementerian Perdagangan **) Rata-rata (AIKI+ASKINDO+Kemendag) Kementerian Pertanian
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 18
Ditinjau berdasarkan perkembangan produksi selama tiga tahun terakhir (2011-2013), produksi Biji Kakao Indonesia justru menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 4,5% per tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa Program Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu kakao Nasional (Gernas Kakao) yang digalakkan oleh pemerintah sejak tahun 2009 hingga 2013 berpengaruh signifikan dalam meningkatkan produksi Biji Kakao Indonesia. Pada tahun 2013 jumlah produksi Biji Kakao Indonesia mencapai 777,5 ribu ton, naik 5% dari tahun 2012 (Gambar 4.2). Program Gernas Kakao mencakup tindakan peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.2. Pada tahun 2014 seluas 450 ribu hektar dari total luas lahan Kakao nasional (1,6 juta hektar) mendapatkan program Gernas Kakao (27%). Adapun produksi Biji Kakao Indonesia dari pelaksanaan Gernas Kakao diperkirakan akan mencapai 439 ribu ton pada tahun 2014 kemudian menjadi 527 ribu ton pada tahun 2015 (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Produksi Biji Kakao Indonesia Berdasarkan Program Gernas Kakao
Sumber: Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (2014).
Dengan menggunakan perhitungan trend pertumbuhan produksi Biji Kakao Indonesia selama tahun 2011-2013 dari masing-masing sumber
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 19
data2, maka pada tahun 2014 produksi Biji Kakao yang dihasilkan oleh Indonesia diprediksi akan mengalami peningkatan (kecuali ASKINDO) hingga menjadi berkisar 442,3 ribu ton–647,8 ribu ton. Sejalan dengan asumsi tersebut, produksi Biji Kakao Indonesia diproyeksikan akan mengalami peningkatan hingga tahun 2019 hingga mencapai 649 ribu ton (Rata-rata AIKI, ASKINDO, dan Kementerian Perdagangan). Selanjutnya, berdasarkan perhitungan Kementerian Perdagangan dengan menggunakan konversi ekspor produk Kakao Olahan ke Biji Kakao dan trend produksi Biji Kakao Indonesia selama 3 tahun terakhir yang cenderung naik sebesar 0,7%, maka produksi Biji Kakao Indonesia diprediksikan akan terus meningkat hingga mencapai 644,1 ribu ton pada tahun 2019. Estimasi berdasarkan data AIKI menunjukkan produksi Biji Kakao diproyeksikan akan mencapai 558,3 ribu ton pada tahun 2019. Sebaliknya, prakiraan produksi Biji Kakao Indonesia menurut ASKINDO justru akan mengalami penurunan secara terus-menerus dari sebesar 442,3 ribu ton (2014) menjadi 405,8 ribu (2019) seiring dengan pertumbuhan negatif sebesar 1,71% (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Proyeksi Produksi Biji Kakao Indonesia Tahun 2014-2019
Sumber: Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (2014).
2 Trend produksi Biji Kakao Indonesia tahun 2011-2013: AIKI (2,47%); ASKINDO (-1,71%); Kementerian Perdagangan (0,72%); Rata-rata (AIKI, ASKINDO & Kementerian Perdagangan) (2,19%). 494.2 506.4 518.9 531.7 544.8 558.3 442.3 434.7 427.3 420.0 412.8 405.8 621.4 625.8 630.3 634.9 639.5 644.1 582.4 595.2 608.2 621.5 635.1 649.0 2014* 2015* 2016* 2017* 2018* 2019*
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 20
4.2 Perkembangan Harga Biji Kakao di Pasar Lokal dan Internasional
4.2.1 Perkembangan Harga Biji Kakao di Pasar Lokal
Pada umumnya, para petani Kakao memperjual-belikan dua jenis Biji Kakao, yakni Biji Kakao yang tidak difermentasi (non-fermented) dan yang difermentasi (fermented). Sebagian besar petani lebih memilih untuk memperdagangkan Biji Kakao non-fermented karena selisih harga Biji Kakao fermentasi dan non-fermentasi hanya sekitar Rp. 2.000-3.000 per Kg (Kurniawan, Rosniawanty, Tahir, & Syarrafah, 2014). Untuk mendapatkan Biji Kakao yang terfermentasi, petani membutuhkan waktu 5-6 hari dan biaya fermentasi yang dikeluarkan bisa mencapai Rp. 2.000/Kg (Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009). Kerja keras untuk melakukan fermentasi tak sepadan dengan harga yang didapat
Makassar di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi Biji Kakao terbesar di Indonesia yang juga menjadi pusat perdagangan Biji Kakao. Di Sulawesi Selatan, Biji Kakao di tingkat petani pada umumnya dibeli oleh pedagang pengumpul, pedagang antarkota, atau pedagang perantara. Para pedagang tersebut berperan sebagai perantara antara petani dengan pedagang eksportir atau industri