• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai salah satu eksosistem, terumbu karang mempunyai peranan penting dalam kehidupan biota perairan di sekitarnya, dimana umumnya hidup di perairan pantai/laut yang cukup dangkal dengan penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, terumbu karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 0C. Karena sifat hidup ini maka terumbu karang banyak dijumpai di perairan Indonesia, yang relatif banyak mendapat cahaya matahari, dengan menempati area seluas 7.500 km2 dari luas perairan Indonesia. Terumbu karang juga mempunyai

produktivitas primer yang tinggi, dimana menurut Yonge (1963) dan Stoddart (1969) in Supriharyono (2000) umumnya produktivitas primer perairan karang berkisar antara 1.500-3.500 gC/m2/th, namun hal ini bisa mencapai 100 kali lebih besar daripada perairan lautan tropis sekitarnya.

Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan dan sebagai tempat makanan bagi kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan (termasuk hewan lainnya) di daerah terumbu karang sangat tinggi. Menurut Supriharyono (2000) bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah perairan karang. Manfaat lain dari ekosistem ini seperti sumber bahan obat-obatan, bahan untuk budidaya, peredam gelombang/ombak, mencegah terjadinya erosi pesisir, juga sebagai bahan bangunan.

Banyak orang menyadari bahwa terumbu karang bukan hanya memiliki nilai ekologis tetapi juga nilai ekonomi khususnya bagi industri wisata bahari. Berkembangnya industri wisata bahari, semakin menambah jumlah wisatawan yang tertarik pada olahraga air seperti selam dan snorkeling. Meski pada era tahun 70-an hanya terdapat sekitar beberapa ratus penyelam amatir, namun sekarang jumlahnya sudah berkembang dengan pesat.

Terumbu karang juga merupakan sumber makanan bagi beberapa jenis ikan yang populer di masyarakat seperti ikan kerapu, ikan beronang, dan juga merupakan tempat hidup tiram mutiara, berbagai jenis kerang, serta invertebrata lainnya yang menjadi sumber makanan dan biasa diperdagangkan. Diperkirakan antara 9-12% produksi ikan dunia berasal dari ikan karang, sedangkan di Philipina sebanyak 8-20% berasal dari ikan karang bahkan pada suatu pulau kecil hasil ikan rata-rata bisa mencapai 30 ton/km2/tahun (Soedharma 1997).

Kawasan pesisir dan lautan termasuk pulau-pulau kecil, merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya. Total nilai ekonomi kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word’s gross natural product, yang termasuk di dalamnya estuaria, terumbu karang, paparan, rawa payau/hutan mangrove dan padang lamun adalah sebesar US$14,227 trilyun (Constanza et al. 1997). Secara keseluruhan nilai ekonomi masing-masing ekosistem seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai ekonomi ekosistem pesisir dan lautan.

Ekosistem Nilai (US $ triliun)

Laut terbuka 8,381 Padang lamun 3,801 Terumbu karang 0,375 Hutan mangrove 1,648 Paparan/self 4,293 Estuaria 4,10 Sumber : Constanza et al. (1997)

Terjadinya hal-hal yang merusak lingkungan dikarenakan fungsi-fungsi lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem tidak tertampung dalam mekanisme pasar, sehingga proses ekonomi tidak menanggapi masalah lingkungan atau masalah lingkungan ditanggapi tanpa disertai dengan pertimbangan ekonomi dan ditangani secara terisolasi (Bengen 2003b), seperti yang terjadi di wilayah pesisir Sulawesi Utara.

Perairan laut Sulawesi Utara yang luasnya sekitar 504.981 km2 terdiri dari perairan teritorial seluas 314.981 km2, dan perairan Zona Ekonomi Esklusif seluas 190.000 km2. Sejak dahulu kala laut memberikan manfaat yang besar bagi pembangunan bangsa, negara dan masyarakat umumnya. Khususnya Sulawesi Utara, peran laut terlihat dalam berbagai sektor pembangunan, seperti: perikanan, perhubungan dan angkutan, rekreasi, serta pariwisata (Whitten et al. 2002).

Lebih lanjut Whitten et al. (2002) mengatakan bahwa panjang garis pantai Sulawesi Utara kurang lebih 1985 km, dengan luas daratan sekitar 27.500 km2. Angka kompleksitas garis pantai didefinisikan sebagai rasio dari ujung garis pantai dan keliling dari lingkaran hipotesis luar ekivalen daratan adalah 3,38 (bandingkan Pulau Jawa 1,79, Pulau Sumatera 2,05). Lebar semenanjung Sulawesi Utara cukup sempit, sehingga kebanyakan jarak garis pantai utara selatan tidak melebihi 30 km, dan maksimum 80 km. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat keragaman pantai dan besarnya pengaruh matra pantai pada kondisi alam dan perekonomian serta sosial budaya masyarakat. Karena itu tidak mengherankan kalau kegiatan penduduk cenderung berada di daerah pantai.

Seperti diketahui ekosistem laut terdiri dari beberapa habitat yakni terumbu karang, padang lamun laut, hutan bakau, pantai, dan laut lepas. Habitat yang paling mendapat perhatian besar oleh masyarakat (termasuk masyarakat Sulawesi Utara) adalah terumbu karang karena mempunyai multifungsi sebagai berikut (Bengen 2000):

1. Menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya laut. Berbagai jenis ikan karang serta berbagai biota laut lainnya sangat tergantung pada ekosistem terumbu karang, baik untuk makanan, tempat berkembang biak, maupun untuk pembesaran.

2. Terumbu karang yang sehat yang dikelola dengan teknik-teknik pengelolaan yang cocok, merupakan sumber yang sangat berharga untuk berbagai macam industri, usaha biota untuk akuarium, produk-produk farmasi, maupun keperluan kedokteran.

3. Terumbu karang juga berfungsi sebagai penjaga pantai dari erosi gelombang dan badai.

4. Terumbu karang yang sehat dengan kekayaan biotanya, berpotensi dalam pengembangan wisata bahari, akan menarik para wisatawan untuk berkunjung dan menyelam.

5. Terumbu karang sangat berjasa bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya sebagai laboratorium hidup.

Kelestarian terumbu karang, seperti halnya kelestarian hutan, sangat ditentukan oleh aktivitas manusia. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia, biasanya diiringi dengan peningkatan eksploitasi terhadap alam. Eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam baik yang berada di darat maupun yang berada di laut mungkin dapat memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan manusia akan tetapi dalam jangka panjang, sebenarnya hal tersebut sangat merugikan. Eksploitasi hutan yang tak terkendali misalnya, di samping merusak alam itu sendiri sebenarnya juga mematikan sumber pekerjaan bagi masyarakat yang selama bertahun-tahun hidup dan sangat tergantung kepada hutan. Kondisi yang sama juga dapat ditemukan di laut, eksploitasi secara besar-besaran apalagi tanpa dibarengi dengan teknologi yang memadai akan dapat merusak habitat laut. Berbagai kegiatan manusia di laut seperti penangkapan ikan

dengan menggunakan bahan peledak, racun sianida, alat tangkap bubu, muro ami (sejenis alat tangkap gillnet) serta aktivitas manusia lainnya seperti kegiatan pemanfaatan sumberdaya di kawasan darat, akan sangat mempengaruhi ekosistem terumbu karang (Bengen 2002a).

Usaha-usaha untuk melestarikan terumbu karang sangat ditentukan oleh masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung selalu terlibat dengan kehidupan di laut. Masyarakat nelayan merupakan salah satu contoh kelompok sosial yang hidupnya secara langsung tergantung kepada hasil laut. Disamping itu ada juga beberapa kelompok yang secara tidak langsung memperoleh penghasilan dari sektor perikanan laut seperti pedagang, dan para penampung hasil tangkapan ikan (petibo). Kelompok lain yang perlu mendapat perhatian dalam hal rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang adalah para pengambil dan pembeli batu karang sebagai bahan pondasi bangunan, secara langsung maupun tidak langsung ikut menyumbangkan kerusakan terumbu karang yang sudah ada. Kelompok terakhir yang juga dapat memberikan andil dalam hal kerusakan terumbu karang adalah kelompok pengusaha yang berkecimpung dalam usaha budidaya rumput laut, souvenir dari jenis kerang-kerangan serta sumberdaya laut lainnya. Selain itu kerusakan terumbu karang dapat diakibatkan oleh faktor alam, seperti iklim, penyakit, bencana, dan sedimentasi (Charles 2001).