• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KABUPATEN SERDANG

4.4 Potensi Sumberdaya Nipah dan Mangrove Sebaga

oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung, atau berpasir yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Ekosistem mangrove banyak ditemukan di pantai- pantai teluk yang dangkal, dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2001).

kepentingan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Konsep pengelolaan ekowisata secara umum serupa dengan konsep pengelolaan kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan potensi alam. Sejumlah kawasan yang memiliki daya tarik wisata alam yang umumnya merupakan daerah yang ditetapkan sebagai pusat kegiatan pelestarian sumberdaya dan lingkungan. Untuk itu dalam pemanfaatan nantinya perlu menerapkan prinsip pelestarian lingkungan. Seringkali dalam upaya untuk memanfaatkan dan mengelola potensi ekowisata yang ada pihak pengelola dihadapkan pada masalah klasik seperti lemahnya dalam pemantauan kualitas lingkungan, kondisi sarana dan prasarana dan kurangnya kemampuan SDM dalam menjaga sumberdaya lingkungan yang ada (Muttaqin, dkk., 2011).

a. Sifat Pengunjung Ekowisata

Menurut Muhaerin (2008) sifat dan karakteristik dari ekowisatawan adalah mempunyai rasa tanggung jawab sosial terhadap daerah wisata yang dikunjunginya. Kunjungan yang terjadi dalam satu satuan tertentu yang mereka lakukan tidak hanya terbatas pada sebuah kunjungan dan wisata saja. Wisatawan ekowisata biasanya lebih menyukai perjalanan dalam kelompok-kelompok kecil sehingga tidak mengganggu lingkungan disekitarnya. Daerah yang padat penduduknya atau alternatif lingkungan yang serba buatan dan prasarana lengkap kurang disukai karena dianggap merusak daya tarik alami. Secara khusus, ekowisatawan mempunyai karakteristik sebagai berikut :

 Menyukai lingkungan dengan daya tarik utama adalah alam dan budaya masyarakat lokal, dan mereka juga biasanya mencari pemandu yang berkualitas.

 Kurang memerlukan tata krama formal (amenities) dan juga lebih siap

menghadapi ketidaknyamanan, meski mereka masih membutuhkan pelayanan yang sopan dan wajar, sarana akomodasi dan makanan yang bersih.

 Sangat menghargai nilai-nilai (high value) dan berani membayar untuk suatu daya tarik yang mempesona dan berkualitas.

 Menyukai daya tarik wisata yang mudah dicapai dengan batasan waktu tertentu dan mereka tahu bahwa daya tarik alami terletak didaerah terpencil.

Pengunjung yang datang ke sekitar hutan mangrove dan melakukan kegiatan pemanfaatan seperti kegiatan wisata.Usia pengunjung didominasi oleh kisaran usia 20-29 tahun, kisaran usia , di bawah 20 tahun dan usia yang di atas 59 tahun. Tidak ditemukan pengunjung yang usianya 50-59 tahun. Tingkat pendidikan pengunjung sangat bervariasi, mulai dari yang tidak pernah sekolah sampai dengan mahasiswa/i. Tingkat pendidikan pengunjung yang paling banyak adalah tingkat SMA. Pengunjung sebagian besar berasal dari dalam Kabupaten Serdang Bedagai. Pengunjung yang datang dari luar Kabupaten Serdang Bedagai tetapi masih berada didalam Provinsi Sumatra Utara dan yang datang dari luar Provinsi Sumatra Utara adalah. Paket wisata yang bisa diterapkan adalah paket wisata yang digemari oleh kalangan dewasa yang

memiliki penghasilan yang tidak begitu tinggi seperti ikut memancing ketengah laut, menanam pohon mangrove, mencari kepah dan lain-lain.

Secara umum pemahaman pengunjung tentang ekosistem mangrove dan ekowisata masih sangat rendah. Kegiatan ekowisata dalam pelaksanaannya diharapkan dapat meningkatkan pemahaman pengunjung tentang ekosistem mangrove. Keinginan pengunjung berwisata mangrove mengatakan bersedia datang untuk berwisata mangrove dan sisanya mengatakan tidak tahu. Selain keadaan sumberdaya alam, jenis kegiatan wisata yang ditawarkan juga dapat mempengaruhi tingkat keinginan pengunjung untuk datang ke suatu kawasan wisata.

Partisipasi Masyarakat Lokal

Ekosistem mangrove mempunyai sifat yang unik dan khas, dengan fungsi dan manfaat yang beraneka ragam bagi manusia serta mahluk hidup lainnya. Dalam rangka melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove, maka diperlukan suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya, dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan. Keterlibatan masyarakat dalam pengeloaan hutan mangrove merupakan salah satu langkah awal dalam mewujudkan pelestarian hutan mangrove yang berkelanjutan (Wiharyanto dan Asbar, 2010).

Untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem mangrove, perlu dilibatkan masyarakat dalam menyusunan proses perencanaan dan pengelolaan ekosistem ini secara lestari. Dalam pengelolaan secara lestari dapat dikembangkan metode- metode sosial

budaya masyarakat setempat yang bersahabat dengan ekosistem mangrove, dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan membangkitkan kepedulian masyarakat dalam berperan serta mengelola ekosistem mangrove (Bengen dan Adrianto, 1998).

Menurut Suratmo (1990), manfaat dari partisipasi masyarakat dalam sebuah rencana pembangunan adalah sebagai berikut:

 Masyarakat mendapat informasi mengenai rencana pembangunan di daerahnya.

 Masyarakat akan ditingkatkan pengetahuan mengenai masalah lingkungan, pembangunan dan hubungannya.

 Masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapat atau persepsinya terhadap pemerintahan terutama masyarakat di tempat pembangunan yang terkena dampak langsung

 Dapat menghindari konflik di antara pihak-pihak yang terkait.

 Masyarakat akan dapat menyiapkan diri untuk menerima manfaat yang akan dapat dinikmati dan menghindari dampak negatifnya.

 Akan meningkatkan perhatian dari instansi pemerintah yang terkait pada masyarakat setempat.

Salah satu tujuan dari kegiatan ekowisata adalah untuk mensejahterakan masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan ekowisata sanga tpenting, karena mereka yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas

untuk terlibat dalam kegiatan ekowisata, tidak ingin terlibat, dan mengatakan tidak tahu. Masyarakat yang ingin terlibat dalam kegiatan ekowisata ini ada yang bersedia menjadi pemandu, menyewakan rumahnya untuk penginapan ekowisatawan dan ada juga yang berkeinginan untuk menjadi relawan.

Kondisi Kawasan Mangrove di Pesisir Pantai Timur Kabupaten Serdang Bedagai

Kawasan mangrove di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai tersebar di lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin dan Bandar Khalipah. Dari keseluruhan kawasan mangrove seluas 3.691,6 hektar yang berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, maka kondisi kawasan mangrove tersebut saat ini, seluas 919,89 hektar (24,8%) termasuk masih dalam kondisi baik. Sebagian lain dari kawasan mangrove tersebut telah mengalami kerusakan dengan tingkatan yang berbeda. Wilayah seluas 576,49 hektar (15,6%) termasuk dalam kategori rusak sedang dan seluas 2.204,22 (59,6%) berada dalam kondisi rusak berat. Dari hasil studi literatur dan cross check pengamatan di lapangan diidentifikasi 9 (Sembilan) jenis mangrove yang ada dikawasan mangrove Kabupaten Serdang Bedagai, yaitu jenis: nipah (Nypa fruticans), api-api (Avicennia marina, Avicennia lanata), perepat (Sonneratia alba), Tanjang (Bruguiera cylindrical), Bakau (Rhizophora apiculata), Waru (Hibiscus tiliaceus), Truntun (Lumnitzera littorea), Buta-buta (Excoecaria agallocha) dan Lenggade. Yang paling banyak dijumpai di

lokasi kajian adalah mangrove jenis api-api (Avicennia marina, Avicennia lanata) dan jenis Bakau (Rhizophora apiculata).

Potensi Hutan Mangrove terhadap Pariwisata dan Pendidikan

Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Timur Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai dengan areal mangrove seluas 3.691,6 ha memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove.

Dari keseluruhan kawasan mangrove seluas 3.691,6 hektar yang berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai dengan kondisi kawasan mangrove seluas 919,89 hektar (24,8%) termasuk masih dalam kondisi baik, 576,49 hektar (15,6%) termasuk dalam kategori rusak sedang dan seluas 2.204,22 (59,6%) berada dalam kondisi rusak berat masih memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove.

Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.

Dengan mengangkat konsep pariwisata mangrove serdang bedagai dalam bentuk EMT (Ekowisata dan Mangrove Track) diharapkan kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata mangrove di sumatera utara yang dapat memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata. Juga memberikan nilai edukasi terhadap pengunjung tentang keberadaan dan arti penting dari mangrove danhabitat yang tersedia di kawasan mangrove itu. Serta menjadi pusat kajian/penelitian dan informasi tentang mangrove dan ekosistemnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya dukungan sarana dan prasarana yang memadai dari dinas terkait, seperti penyediaan sarana dan prasarana transportasi (jalan wisata) dan air bersih oleh dinas tata ruang dan permukiman serta manajemen pengelolaan dan promosi oleh dinas pariwisata kabupaten serdang bedagai.

Kerajinan makanan dari Pengelolahan Mangrove

Sebagian masyarakat yang berada di sekitar mangrove memanfaatkan dan mengelola mangrove dalam bentuk berbagai kerajinan makanan. Beberapa jenis mangrove dapat dikembangkan dan dikelola menjadi bahan makanan yang dikonversi ke dalam aneka makanan ringan dengan rasa yang baik, diantaranya adalah:

 Kerupuk Jeruju. Bahan kerupuk jeruju ini berasal dari jenis mangrove jeruju. Dalam proses pembuatannya daun jeruju tersebut di blender bersama dengan

campuran tepung, pengharum serta bahan-bahan lain pembuatan makanan. Selanjutnya hasil campuran tadi dicetak untuk di kelola/dimasak menjadi makanan kering serta dikemas dalam bentuk kemasan yang rapi dan menarik. Kerupuk jeruju sebagai salah bentuk kerajinan makanan yang dimanfaatkan dari mangrove .

 Dodol Api-api. Bahan dodol api-api ini berasal dari jenis mangrove api-api (Avicennia). Dalam proses pembuatannya dengan memanfaatkan buah dari Avicennia sebagai bahan utama. Hanya saja dodol api-api tersebut masih memiliki kelemahan, yakni tidak tahan lama dan cepat berjamur.

Pembuatannya masih bergantung pada pesanan/permintaan.

 Selai Perepat dan Sirup. Bahan pembuatan selai prepat dan sirup ini berasal dari jenis mangrove perepat (Sonneratia alba). Proses pembuatannya dengan memanfaatkan buah dari Sonneratia alba untuk dikelola menjadi selai maupun sirup.

Kegiatan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove oleh Masyarakat

Masyarakat sebagian besar melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan pesisir Sei Nagalawan berupa pengolahan hasil buah dan daun mangrove. Sisanya ada yang melakukan penangkapan udang, kerang, melakukan pemanfaatan dengan menangkap ikan, dan menangkap kepiting.

Alasan masyarakat melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan ini sangat beragam, misalnya untuk kepentingan komersial, untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan

alasan masyarakat yang paling banyak adalah untuk kegiatan wisata untuk kegiatan wisata. Hal ini sesuai dengan Muhaerin (2008) yang menyatakan bahwa manfaat sosial ekonomis ekosistem mangrove bagi masyarakat sekitarnya adalah sebagai sumber mata pencaharian yakni dengan menjadikan mangrove sebagai sumber alam (bahan mentah) cadangan untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan yang bisa menambah kesejahteraan penduduk setempat dengan memproduksi berbagai jenis hasil hutan dan turunannya.

Daya dukung kawasan adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia (Yulianda, 2007). Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi kegiatan yang dilakuka n di lingkungan alam. Ekosistem mangrove di sekitar kawasan pesisir Sei Nagalawan masih ditanami mangrove, walaupun jenis mangrove yang tidak cukup banyak, namun kondisi ekosistemnya pun sedikit menarik dengan adanya sungai besar di antara hamparan hutan mangrove. Keunikan ini dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik ekowisatawan untuk melakukan kegiatan ekowisata.

Kegiatan ekowisata mangrove di pesisir Sei Nagalawan dapat dilakukan dengan menyusuri sungai di ekositem mangrove ini. Kegiatan yang dilakukan pada kawasan ini dalam pelaksanaannya harus memperhatikan daya dukung kawasan. Terdapat 5 track pada lokasi ini. Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk

kegiatan ekowisata mangrove ini adalah 8 jam dalam satu harinya, sesuai dengan rata-rata lama jam kerja. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan pada track ini selain menikmati keindahan mangrove sambil menyusuri sungai, juga dapat dilakukan kegiatan fotografi, dan pengamatan biota yang ada di mangrove.

BAB V PENUTUP 5.1KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab-bab di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Konsep ekowisata merupakan salah satu alternatif untuk pengelolaan kawasan wisata dalam suatu wilayah yang tetap memperhatikan konservasi lingkungan dengan menggunakan potensi sumberdaya dan mengikut sertakan masyarakat lokal.

2. Pengelolaan ekowisata mangrove yang diprioritaskan di kawasan pesisir Sei Nagalawan adalah meningkatkan usaha pengelolaan ekosistem mangrove melalui kegiatan ekowisata, menjaga obyek wisata mangrove dengan tetap memperhatikan daya dukung kawasan dan memberikan promosi baik lewat internet maupun media lainnya untuk menarik minat wisatawan berwisata mangrove.

3. Meningkatkan usaha pengelolaan ekosistem mangrove melalui kegiatan ekowisata. Menurut Dahuri (1996), alternative pemanfaatan hutan mangrove yang paling memungkinkan tanpa merusak ekosistem mangrove meliputi: penelitian ilmiah (scientific research), pendidikan (education), dan rekreasi terbatas/ ekoturisme (limited recreation/ecoturism). Ekowisata(Ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada

lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya

alam/lingkungan dan industri kepariwisataan (Fandeli, 2000; META, 2002 dalam Yulianda, 2007).

4. Membuat dan mengaplikasikan sistem pemantauan dan evaluasi yang melibatkan para pemangku kepentingan dalam perlindungan ekosistem mangrove. Sistem pemantauan dapat dilakukan dengan pembuatan peraturan daerah yang secara khusus membahas tentang perlindungan dan pemanfaatan mangrove. Selain itu, perlu dibentuk suatu kelompok pengawasan hutan mangrove yang melibatkan semua pihak, seperti pemerintahan, pemilik lahan dan masyarakat sekitar. 5. Keseimbangan dan harmoni antar masyarakat, lingkungan, dan wisatawan

menjadi tujuan utama pembangunan pariwisata berbasis kerakyatan sehingga keberlanjutan pembangunan pariwisata dapat pula terpenuhi.

6. Mangrove membantu dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk industri perikanan. Selain itu, telah ditemukan bahwa tumbuhan mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang dikeluarkanoleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari nyamuk Aedes aegypti (Thangam and Kathiresan,1989).

7. Hutan mangrove mempunyai manfaat ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan biologi di suatu perairan. Selain itu, hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang mempunyai tingkat

5.2Saran

Adapun saran-saran yang penulis sampaikan, di antaranya :

1. Perlu adanya diadakan pelatihan tambahan atau diberikan pemahaman dan pengertian kepada masyarakat pengelola dan masyarakat sekitar yang masih belum sadar dan mengetahui tentang pentingnya menjaga lingkungan pesisir terkhusus ekosistem mangrove dari pihak LSM pecinta lingkungan maupun dari pemerintah.

2. Meningkatkan peran Pemerintah Daerah dalam meningkatkan sarana dan prasarana umum sebagai penunjang kegiatan ekowisata. Karena peran Pemerintah Daerah masih sangat sedikit sehingga perlu adanya peningkatan. 3. Pemerintah setempat kiranya dengan cepat bisa menyelesaikan konflik kepentingan antara masyarakat pihak pengelola dengan masyarakat sekitar non pengelola tentang batas jalan (aksesbilitas) menuju tempat wisata mangrove ini.

DAFTAR PUSTAKA

Yoeti. A Oka, 1992, “Pengantar Ilmu Pariwisata”, Bandung : Angkasa Offset.

Damanik, Janianton dan Helmut F. Weber. 2006 “Perencanaan Ekowisata dari Teori

Ke Aplikasi”. Yogyakarta. CV. Andi Offset.

Yoeti. A Oka, 2000, “Ecotourism, periwisata berwawasan Lingkungan” jakarta : Pt. Pertja.

Natori, Masahiko. 2001 (ed). “ A guidebook for Tourism Based Community

Development”. Japan : Aptec

Omarsaid, Cipto, 2009. Keterkaitan Lingkungan Bahari dan Ekowisata. Pusat Penelitian Kepariwisataan, Institut Teknologi Bandung.

http://www.bpbdserdangbedagai.com/p/gambaran-umum.html (diakses 9 september 2015).

http://www.scribd.com/doc/216600637/Profil-Sergai-PEMERINTAH- KABUPATEN-SERDANGBEDAGAI#scribd (diakses 9 September 2015).

LAMPIRAN

Gambar 1. Vegetasi Hutan mangrove

Gambar 2. Kondisi Kawasan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai

Gambar 3. Kerajinan daun Nipah

Gambar 4. Kerupuk Jeruju

Dokumen terkait