"Panggil namaku pun bapak tak sudi lagi."
"Bukan galibnya lagi anak terhormat dipanggil pada nama- nya."
"Ah, bapak dekatlah, sini." "Biarlah, aku di sini saja."
Gadis Pantai melangkah ke pintu menghampiri bapak. Dan bapak meninggalkan bendul pintu menyingkir keluar.
"Aku ingin seperti dulu lagi, bapak, seperti dulu. Orang talc perhatikan aku."
"Tak ada yang perhatikan."
"Mari jalan-jalan bapak. Lihat-lihat sepanjang pantai." "Apa yang mau dilihat di pantai?"
"Dua tahun lebih aku tak jnj ak pasirnya yang basah dan hangat."
"Tinggal saja di rumah, masih lelah dari perjalanan ke- marin."
Gadis Pantai melangkah keluar, berJalan lambat-Iambat menuju ke pantai. Bocah-bocah segera menyerbu dan mengiku ti riuh rendah suara mereka, dan semua orang ke luar rumah menghantarkannya dengan pandang. Bapak mengiringkan dari belakang.
"Mengapa bapak selalu di belakangku? Bukankah bapak masih bapakku?"
Bocah-bocah pada berkicau mengenalkan keanehan pantai. Waktu Gadis Pantai lebih jauh lagi berjalan, yang nampak dan tercium masih yang dulu juga: ampas manusia yang berbaris sepanjang pantai, berbaris tanpa komando. "Ingin dku mandi di laut."
"Tak jelas, apakah patut."
"Memang tak patut, tapi aku ingin." "Tidak mungkin."
"Memang tidak mungkin."
"Ai, bocah-bocah mengapa meriung-riung seperti udang di
GAD IS PANTAI
1 4 7
nampan? Ayoh bubar!" dan dengan tampang mengancam ba pak melototi bocah terbesar.
Rombongan bocah itu pun mundur dan menggerombol, ber henti di suatu jarak dan mengawasi anak dan bapak berjdlan terus menelusuri pantai.
"Mengapa tidak seperti waktu aku belum kawin? Kampung nya tak berubah, tapi orang-orangnya semua berubah."
"Kita semua semakin jadi tua."
"Lihatlah," ia menuding pada laut, "dia tak berubah," kemu dian membalik badan menuding ke kampung. "Dia pun tak berubah. Atap-atap rumbainya tak ada yang baru. Pohon-pohon kelapa itu kulihat tak bertambah. Ada yang mati sepening galku?"
"Tidak."
"Cuma bocah-bocah semakin besar, dan banyak." Bapak mendaham.
"Sedikit sekali perubahannya." "Sedikit sekali memang."
"Tapi orang-orangnya jelas berubah. Terhadap dku. Bahkan bapak sendiri. Seakan mereka pada menuding padaku: pergilah lekas, pulang kau ke kota."
"Tidak benar. Tidak benar." Bapak mengulang-ulang dengan jerit tertahan.
"Aku datang dan tak seorang pun turun ke laut."
"Tak patutkah mereka ikut gembira bersama bapak yang ditinggalkan dua tahun tanpa kabar tanpa berita?"
"Dua tahun lebih sedikit. Tapi tak ada kulihat bapak ber- gembira." ,
"Tak patutlah orang setua ini berjingkrak seperti bocah." "Betapa bodohnya aku mengharapkan bapak berjingkra" , .
la menuding ke arah laut. "Nampaknya itu bukan pcrahu kalll
pung kita."
,
PRAMOEDYA ANANTA TOER
" Aku bawakan benang jala."
"Ya, setiap orang bawa benang jala dari kota." "Dan tasbih."
"Tasbih?"
"Dari Bendoro, buat bapak saja. Hitam. Dari kayu keras, buatan Mekah."
"B uat apa tasbih?"
"Bendoro menyampaikan salam. Kalau kampung belum punya surau, Bendoro bersedia membiayai pendiriannya."
"Betapa mUlianya "
"Tapi orang di sini tentu tak ada waktu buat itu. Semua si- buk ke laut dan ikan tak semudah itu ditangkap."
"Jangan menyindir." •
"Ah, bapak. Mana bisa aku sindir bapak? Kita semua tahu, buat dapatkan jagung pun tenaga tak cukup, jangankan dirikan surau, jangankan membuka-buka kitab !"
"Masih ingat kata kakek semalam?" "Aku tak dengar apa-apa."
"Dia bilang, kita ini tak sempat apa-apa. Kaya tidak, cukup tidak, surga tidak, mati pun cuma dapat neraka. Habis segala galanya tak sampai."
"N asib nelayan."
"Ah, ingat aku," kat a bapak. "Waktu si Dul pendongeng buka cerita, dia bilang: Kalau kakek tua masuk neraka, kita semua masuk neraka. Cuma dia paling tahu di antara kita."
"Bendoro bilang bisa dikirim guru ngaji." "Bagaimana kita mesti upahi dia?"
"Bendoro yang upahi."
"Barangkali ikan akan lebih jinak kalau kitd ngaj i, ya?" "Barangkali. Belum dicoba."
"Kita tanyakan pada kakek. Cuma kakek tahu menjawab." "Bapak, bendoro berpesan, gdnti rumah itu dengan kayu. Aku bawakan uang buat biaya "
GADIS PANTAI
1 49
"Buat apa uang? Barang tak bisa dibeli di sini. Lagi semua orang seperti itu rumahnya. Dan kita sarna dengan yang lain lain "
"Barangkali buat beli perahu."
"Kita tetap bikin perahu-perahu sendiri seperti dulu." "Apa mesti kujawab pada Bendoro?"
"Laut tetap kaya. Dia berikan kepada kita segala-galanyd sampai yang terindah di dunia: mutiara."
"Bapak tak pemah bicara tentang mutiara."
"Buat apa? Dia takkan buat tenaga kita lebih berharga." "Aku dibelikan seperdngkat mutiara oleh Bendoro." "Mutiara sangat berharga, memang. Tapi tenaga kita tidak. Cuma orang pili han dihiasi mutiara. Yang menyelam mengaduk lautpun tak bermutiara."
"Panggilah aku pada namaku seperti dulu, bapak." "Memanggil kadang-kadang cukup dalam hati."
"Ah, bapak seakan-akan aku bukan anak kampung nelayan ini lagi."
Bakau di pantai kampung nelayan ini sangat tipis, karena terlalu sering ditebang, dijemur buat kayu bakar. Tapi di suatu temp at semak bakau sangat subur nampak tak pernah terjamah. Jangan ganggu bakau di sini, pernah kata seorang asing dulu. Biar kelak kalau aku ada keberuntungan, aku akan dapat kemari lagi. Aku akan tahu, tanah ini tempat aku injak setelah ditolong perahu nelayan kampung sini, dibawa ke sini, dipelihara di sini dan diantarkan ke kota. Orang asing itu tak pemah datang lagi, tapi semak bakau itu tetap tak terjamah.
"Barang siapa pern�h minum air setengah asin kampung ini, dia takkan bakal lupa. Dan barang siapa dilahirkan di kampung sini, dia tetap anak kampung sini."
"Abang-abang sarna sekali tak bicara padaku lagi." "Mereka sedang membikin pol a ukiran."