• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Kedudukan Hukum Adat Larwul Ngabal Dalam Kebijakan

1. Pranata Hukum

Indonesia sebagai negara yang mengakui keanekaragaman (Bhineka Tunggal Ika), latar belakang sejarah, budaya, suku bangsa dan agama, hukum adat dalam keterpaduan dengan sistem hukum nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan bahkan sangat memiliki relevan. Relevansi tersebut tidak sekedar menjadi penting, tetapi menjadi suatu kebutuhan kontekstual yang tidak terhindarkan.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonomi daerah tidak dapat

dilepaskan dari konsep hukum, khususnya hukum administrasi negara yang salah

satunya kajiannya membahas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hukum

administrasi negara menjadi dasar pijakan utama dan legitimasi kebijakan

penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga format hukum sangat menentukan

nuansa dan dialektika otonomi daerah yang ditetapkan pemerintah pusat. Di sisi lain,

berbicara mengenai otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari dasar hukum

hubungan penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Hukum tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintahan daerah karena

melalui hukum dapat diperoleh arah tujuan negara dalam membagi kewenangan

antar-tingkatan pemerintahan. Di samping itu, dengan ditetapkannya kebijakan

pemerintahan daerah dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka mulailah

kajian hukum harus dilakukan terhadap kebijakan tersebut.

Perubahan politik dan hukum sebagai akibat pergantian Presiden pada 1966 telah mengubah peta politik hukum negara terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonomi daerah. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menjadi dasar pedoman penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan otonomi yang terkendali.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, kendali pemerintah pusat sangat signifikan pula dalam penetapan daerah baru yang lebih didominasi kepentingan politik pemerintah pada saat itu untuk melakukan pembenahan administrasi pemerintahan. Oleh sebab itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 merefleksikan kepentingan dan kehendak pemerintah pusat dalam melakukan hubungan dengan pemerintah daerah. Prinsip ini terus dijalankan selama 25 tahun, hingga ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Atas dasar prinsip tersebut diatas, dengan adanya perubahan undang-undang

tentang pemerintahan daerah tersebut maka dalam mendekatkan hukum

nasional,sebagai pedoman penyelenggaraan dan pelaksanaan otonomi daerah,

keberadaan hukum adat termasuk hukum adat Larwul Ngabal, di Kepuluan Kei

Maluku Tenggara harus juga dimaknai sebagai salah satu sumber hukum nasional,

walaupun pemberlakuannya hanya pada masyarakat yang ada pada daerah tersebut

tetapi tidak dapat diragukan lagi kontribusinya dalam berbagai aspek kehidupan,

bahkan dapat dijadikan masyarakat sebagai rujukan paling utama dalam

menyelesaikan berbagai persoalan yang di hadapi baik pada aspek hukum,

ekonomi, politik maupun sosial budaya.

Otonomi daerah memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur masyarakatnya dengan berpegang kepada nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat selama tidak bertentangan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka sistem hukum adat seperti hukum adat Larwul Ngabal yang dimiliki oleh masyarakat Kepulauan Kei yang selama ini dalam pengamatan penulis tidak memperoleh ruang untuk, berkembang. Bahkan yang terjadi adalah independensi peraturan adat menjadi tertekan, dan pada akhirnya akan tersingkirkan.

Secara teoritis hukum negara memang berlaku, namun pada kenyataannya tidak demikian. Hukum adat di beberapa daerah, termasuk hukum adat Larwul Ngabal, di Kepulauan Kei masih tetap bertahan menghadapi perubahan dan perkembangan zaman yang eksistensi sampai sekarang masih diakui oleh masyarakat sebagai hukum yang hidup (living law), maka peran pemerintah daerah dalam era otonomi daerah menjadi penting untuk melestarikan atau mengaktualisasikan dengan mengadopsi nilai-nilai hukum adat tersebut menjadi rujukan atau sumber di dalam kerja-kerja pemerintahan, dalam bentuk peraturan daerah.

Relevansi menjadikan hukum adat Larwul Ngabal ke dalam bentuk Peraturan

Daerah (Perda) sangat dimungkin sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (1) tentang hirarki peraturan perundang-undangan

yang menempatkan Peraturan Daerah sebagai hukum yang berlaku di suatu

daerah.Untuk memformalkan nilai-nilai hukum adat larwul Ngabal dalam bentuk

Peraturan Daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (9) Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dalam konteks tersebut maka hal itu sangat tergantung kepada beberapa kondisi seperti :

1. Hukum adat sebagai living law, baik dalam aspek hukum keluarga maupun hukum kebendaan, seperti terlihat dalam pendekatan sosiologi dan antropologi hukum dimungkinkan untuk diformalisasikan jika maksud dan tujuan adanya kepastian, kemanfaatan dan tegaknya keadilan yang dicita -citakan masyarakat dapat tercapai.

2. Hukum adat sebagai living law, baik yang berlaku sebelum adanya pemerintah penjajahan Belanda seperti di Kepulauan Kei, maupun yang berlaku pada masa kemerdekaan, tidaklah bertentangan dengan tatanan hukum Nasional Indonesia. Bukan saja karena masyarakat adat dan hukumnya telah berlaku mendahului NKRI, melainkan juga praktek pemerintah Indonesia dalam kebijakan hukum dan politik, dari masa lalu hingga saat ini, berupaya memelihara kebinekaan, termasuk pemberlakuan sistem hukum nasional yang menjadikan hukum adat sebagai salah satu sumber hukum nasional

3. Hukum adat sebagai living law yang memiliki sifat dan status magis religius, kongkrit, konstan dan fleksibel mendasarkan pemberlakuannya pada ketertiban lubuk terdalam solidaritas masyarakat, sehingga kebiasaan, tradisi dan norma-norma adat yang masih menjadi relevan dapat diformalisasikan menjadi Peraturan Daerah (Perda) bahkan juga menjadi suatu undang-undang. Dengan ketentuan hal-hal tersebut akomodatif dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang demokratis.

Atas dasar tersebut maka mengingat pentingnya kedudukan hukum adat

tersebut maka diperlukan adanya data dan informasi yang akurat mengenai

keberadaan hukum adat tersebut di Kepulauan Kei. Melalui Badan Pembinaan Hukum

Nasional sebagai salah satu institusi yang berperan serta dalam pembangunan

hukum nasional dan Badan Hukum Pemerintahan Daerah pada Sekertariat Daerah

Kabupaten/Kota di Kepulauan Kei berusaha mendapatkan data dan informasi yang

akurat mengenai hukum adat di berbagai daerah, termasuk hukum adat Larwul

Ngabal. Adanya data dan informasi mengenai eksistensi dan perkembangan hukum adat akan membantu bagi perencanaan pembangunan hukum nasional agar dalam pembentukannya memperhatikan keragaman nilai-nilai yang hidup di berbagai daerah, sehingga hukum nasional yang dibuat tidak bertentangan dengan kearifan lokal yang diyakini oleh masyarakatnya. Substansi pengaturan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat akan menyebabkan hukum tersebut tidak dipatuhi, sehingga kurang efektif.

Dari informasi yang penulis memperoleh bahwa perkembangan hukum adat Larwul Ngabal di Kepuluan Kei tidak dipengaruhi oleh komposisi dari jumlah penduduk asli dengan pendatang seperti pada sebagaian daerah-daerah yang lain di Indonesia. Karena menurut pandangan orang Kei, siapa saja yang masuk di Kepulauan Kei dengan memenuhi persyaratan-persyaratan seperti yang diatur oleh hukum negara yang ada di Kepulauan Kei maka dia menjadi bagian dari orang Kei, yang dengan sendirinya harus tunduh dan patuh baik kepada hukum negara maupun hukum adat yang berlaku.

195

Keberadaan hukum adat yang eksistensinya di masyarakat masih dijunjung tinggi kaedah dan nilai-nilai adatnya harus digunakan sebagai tradisi agar keberadaannya tetap eksis dan dapat dipertahankannya. Di Kepuluan Kei seperti juga di daerah-daerah yang lain, terjadinya percampuran budaya diantara suku-suku pendatang dengan suku asli dimana mereka telah membentuk perkumpulan/peguyuban suku masing-masing sebagai suatu wadah silaturahmi bagi penduduk pendatang, hal ini bisa dimaknai sebagai nuansa Bhineka Tunggal Ika dan keragaman adat budaya.

195 Wawancara dengan H. M. M. Tamher (Wali Kota Tual) Pada 4 Pebruari 2011 di Tual.

Dalam upaya untuk menggali dan mempertahankan nilai-nilai hukum adat Larwul Ngabal yang masih hidup di masyarakat Kepulauan Kei Maluku Tenggara, maka berbagai pendekatan yang harus dilakukan yaitu menggalinya dengan proses observasi atau penelitian hukum adat dengan menggunakan para ahli hukum adat setempat, yang hasilnya dapat dijadikan sebagai sarana penyusunan produk hukum daerah untuk kepentingan memajukan daerah. Agar kajian tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat maka harus melibatkan berbagai pihak terutama melalui dengar pendapat antara satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebagai pemrakarsa ranperda pada bagian hukum dan perundang-undangan Kabupaten/Kota, lembaga-lembaga terutama para Raja dan aparatur pemerintahannya dan tokoh-tokoh masyarakat dengan DPRD sebagai legislatornya mengadakan pertemuan agar menjaring masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam rangka penyiapan ranperda sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga diharapkan Perda yang dibuat oleh pemerintah daerah dapat mengakomodir aspirasi dan diterima oleh masyarakatnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 136 ayat (3) bahwa Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

Sejak tahun 2007, Kabupaten Maluku Tenggara kemudian dimekarkan

menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual, beberapa Perda dan Ranperda

yang telah dihasilkan baik pada Kabupaten/Kota. Di Kabupaten Maluku Tenggara

sendiri telah melahirkan beberapa Perda seperti Peraturan Daerah Kabupaten Maluku

Tenggara Nomor 03 Tahun 2009 Tentang Ratshap Dan Ohoi, Daerah Kabupaten

Maluku Tenggara Nomor 04 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan Dan Pelantikan Kepala Pemerintah Ohoi/Ohoi Rat, Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 05 Tahun 2009 Tentang Pedoman Umum Pengangkatan Dan Pemberhentian Perangkat Ohoi/ Ohoi Rat, Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 06 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Saniri Ohoi/Ohoi Rat, Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 07 Tahun 2009 Tentang Pedoman Umum Kerjasama Antar Ratshap dan Ohoi, Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 08 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Ohoi, Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 09 Tahun 2009 Tentang Pedoman Umum Kedudukan Keuangan Kepala Pemerintah Ohoi/Ohoi Rat, Perangkat Ohoi/Ohoi Rat Dan Badan Saniri Ohoi/Ohoi Rat.

196

Kehadiran peraturan-peraturan daerah tersebut sangat penting sekali dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Maluku Tenggara, karena masyarakat Kei secara umum maupun secara khusus masyarakat Maluku Tenggara simbol-simbol adat seperti hukum adat Larwul Ngabal masih dihormati dan dipegang dengan baik dan itu melekat pada masyarakat dalam kondisi apapun, dan menganggap bahwa mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan hal itu sudah terbukti dengan hukum adat Larwul Ngabal mampu menyelesaikan konflik sosial yang terjadi di Kepulauan Kei pada tahun 1999.Olehnya itu dibutuhkan berbagai regulasi yang dihasilkan oleh pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten Maluku

196 Wawancara dengan Andreas Rentanubun (Bupati Maluku Tenggara), Pada 13 Nopember 2011 di Langgur.

Tenggara dengan menjadikan 7 pasal yang terdapat dalam hukum adat Larwul Ngabal sebagai kearifan lokal dalam melakukan berbagai aktifitas kehidupan sehari-hari baik secara hukum, politik, ekonomi maupun sosial budaya bagi masyarakat Kei secara umum maupun secara khusus bagi masyarakat Kabupaten Maluku Tenggara.

197

Lahirnya perda-perda tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, menetapkan Desa atau yang disebut dengan nama lain, merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berada di kabupaten/kota. Ketentuan ini mengacu pada pada ketentuan dalam pasal 18B Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah di amandemen), dengan bertumpu pada landasan pemikiran pengaturan mengenai desa yaitu keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat.

Untuk menjabarkan lebih jauh jiwa dan semangat yang terkandung dalam pasal 18B tersebut, maka Pemerintah Daerah Provinsi Maluku melalui Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Pengembalian Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku telah menetapkan Negeri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Maluku, dengan tetap membuka ruang untuk mengakomodir kesatuan-kesatuan

197 Wawancara dengan Alex Welerubun (Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tenggara), Pada 23 Nopember 2011 di Langgur.

masyarakat hukum adat lain diberbagai daerah dalam wilayah Provinsi Maluku yang disebut atau dikenal dengan nama lain.

Di Kabupaten Maluku Maluku Tenggara yang pada umumnya merupakan masyarakat adat, dikenal kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan nama

“Ratshap” dan “Ohoi” yang diatur berdasarkan hukum adat setempat yaitu hukum adat Larwul Ngabal. Kesatuan-kesatuan masyarakat adat tersebut beserta perangkat pemerintahannya telah lama ada, hidup dan terus berkembang serta dipertahankan dalam tata pergaulan hidup masyarakat.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 dan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta perangkat pemerintahan adat di Kabupaten Maluku Tenggara tersebut diharapkan dapat memperoleh legalitas hukum melalui kebijakan regulasi dibidang perundang-undangan lokal dengan berbagai penyesuaian berdasarkan ketentuan hukum positif yang dapat membantu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten Maluku Tenggara.

Kehadiran dari perda-perda tersebut sebagai revitalisasi kesatuan-kesatuan

masyarakat adat baik secara struktural maupun fungsional seperti Ratshap dan Ohoi

dimaksudkan untuk dapat memacu partisipasi masyarakat di Maluku Tenggara dalam

mempercepat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Bahkan

dalam Peraturan Daerah Nomor 03 tentang tentang Ratshap dan Ohoi ini akan

dijadikan sebagai payung, untuk melahirkan berbagai kebijakan regulasi pada tataran

tata hukum lokal maupun politik lokal yang diharapkan mampu menjadikan wilayah

Kabupaten Maluku Tenggara akan berkembang lebih maju lagi sesuai dengan ciri dan karakteristik daerahnya. Hal ini merupakan pencerminan dari filosofi masyarakat Maluku Tenggara : “Itdok fo Ohoi Itmian fo nuhui” (kita mendiami atau menempati kampung dimana kita hidup dan makan dari alam/tanahnya).

Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2009 Pasal 1 ayat 10 bahwa Ratshap adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang terbentuk berdasarkan sejarah dan asal usul karena hubungan geneologis (hubungan darah) dan teritorial (wilayah), dan berfungsi untuk mengatur serta memutuskan masalah-masalah hukum adat di lingkungannya serta di lingkungan Ohoi yang berada dibawah koordinasinya, diakui dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berada di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Di Maluku Tenggara terdapat 16 Ratshap yang terdiri dari 9 (sembilan) Ratshap di lingkungan kelompok hukum adat Ur Siuw, 5 (lima) Ratshap dilingkungan kelompok hukum adat Lor Lim, dan 2 (dua) Ratshap berada di lingkungan kelompok hukum adat Lor Lobai.

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat 13 bahwa Ohoi adalah kesatuan

masyarakat hukum adat yang bersifat geneologis teritorial yang memiliki batas

wilayah, berfungsi mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan

hak, asal usul dan adat istiadat setempat, menyelenggarakan tugas pemerintahan,

serta diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan berada di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Atas dasar tersebut

maka sebagai wujud dari kewenangan berdasarkan otonomi asli/otonomi bawaan

serta kewenangan pemerintahan dalam bentuk urusan tugas pembantuan yang

diserahkan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah Kabupaten

maupun urusan yang tidak dilaksanakan oleh Kabupaten serta urusan yang diberikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berarti Ohoi dalam kedudukannya sebagai kesatuan geneologis teritorial diberikan wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi pemerintahan yang sebelumnya dilaksanakan oleh Desa pada waktu-waktu sebelumnya. Tugas-tugas administrasi pemerintahan ini tidak dilaksanakan oleh Ratshap yang hanya melaksanakan tugas dibidang adat istiadat dan hukum adat.

Pengaturan kedua wadah kesatuan masyarakat hukum adat yang dikenal di Kabupaten Maluku Tenggara ini beserta perangkat organisasinya dilakukan melalui Peraturan Daerah yang berfungsi sebagai ketentuan payung. Dengan demikian Peraturan Daerah ini hanya akan mengatur hak-hak yang bersifat pokok-pokok saja yang selanjutnya akan dijabarkan lebih lanjut dengan berbagai regulasi dibidang perundang-undangan lokal lainnya seperti Peraturan Daerah, Peraturan/Keputusan Bupati atau Peraturan/Keputusan Ratshap dan Ohoi sesuai kewenangan yang dimilikinya.

Pemberlakuan Peraturan Daerah tersebut dapat diharapkan pemerintahan di

Kabupaten Maluku Tenggara, disamping melaksanakan berdasarkan hukum formal

yang berlaku juga melaksanakan berdasarkan hukum adat yang berlaku yang

terdapat di dalam Ratshap dan Ohoi, maka kehidupan masyarakat Maluku Tenggara

dalam melaksanakan aktivitasnya bukan saja mengacu pada aturan-aturan formal

yang telah diberlakukan tetapi juga pada aturan-aturan yang tidak formal seperti

sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah 03 tahun 2009 tentang Ratshap

dan Ohoi tersebut. Penerapan Peraturan Daerah Ratshap tentang Pemerintahan

Ratshap sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 12 bahwa Pemerintah Ratshap adalah Rat dan Perangkat Pemerintah Ratshap sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Ratshap. Maka dalam hal penyelenggaraan urusan adat istiadat dan hukum adat berdasarkan hak asal usul oleh Pemerintah Ratshap dan Badan Saniri Ratshap, sedangkan ketentuan pada Pasal 1 ayat 15 yang menyatakan bahwa Pemerintahan Ohoi/Ohoi Rat adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan hak asal usul dan Pemerintahan Umum oleh Pemerintah Ohoi/Ohoi Rat dan Badan Saniri Ohoi, Pemerintah Ohoi/Ohoi Rat adalah Orong Kai dan Perangkat Pemerintahan Ohoi/Ohoi Rat sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Ohoi/Ohoi Rat; Kepala pemerintah Ohoi/Ohoi Rat adalah Orong Kai atau nama lain sesuai adat istiadat dan hukum adat setempat. Perberlakuan tersebut dapat memperlihatkan dinamika sejarah pemerintahan ditingkat bawah yang terjadi di Maluku Tenggara. Perberlakuan tersebut bukan saja sekedar nama tetapi juga pada sistem, orentasi, kedudukan dan filosofinya.

Dalam penelitian ini, didapat hasil yang menunjukan sebagai lahirnya perda-perda pemerintahan di Kabupaten Maluku Tenggara yang tersebut diatas menunjukkan bahwa selain istilah Ratshap dan Ohoi terdapat juga istilah-istillah lain yang menjadi unsur-unsur Pemerintahan Ratshap dan Ohoi adalah :

Kepala Soa adalah kepala wilayah administrasi yang berkedudukan di bawah

Orong Kai yang bertugas memimpin Ohoi serta mempunyai kedudukan lebih rendah

dari Ohoi yang dipimpin oleh Orong Kai Pasal 1 ayat 24. Badan Saniri adalah

lembaga/badan yang menghimpun para kepala Faam/Marga berfungsi sebagai badan

legislatif yang bersama-sama Orong Kai membentuk Peraturan Ratshap, Ohoi/Ohoi

Rat, mengawasi pelaksanaan tugas dari Rat, Orong Kai dan Kepala Soa atau nama lain, serta merupakan badan yang mendampingi Rat, Orong Kai, Kepala Soa dalam memimpin Ratshap, Ohoi/Ohoi Rat, sesuai tugas dan wewenang yang dimilikinya Pasal 1 ayat 25. Lembaga Kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat di lingkungan Ratshap, Ohoi/Ohoi Rat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintah Ratshap, Ohoi/Ohoi Rat dalam memberdayakan masyarakat Pasal 1 ayat 26. Anggaran Pendapatan dan Belanja Ohoi/Ohoi Rat yang disingkat APB Ohoi/Ohoi Rat adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Ohoi/Ohoi Rat dan Badan Saniri Ohoi/Ohoi Rat yang ditetapkan dengan Peraturan Ohoi/Ohoi Rat Pasal 1 ayat 27. Alokasi dana Ohoi/Ohoi Rat adalah dana yang dialokasikan Pemerintah Kabupaten kepada Ohoi/Ohoi Rat yang bersumber dari perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten Pasl 1 ayat 28. Wilayah Petuanan adalah wilayah yang berdasarkan hukum adat di Maluku Tenggara berada dibawah kekuasaan Ohoi/Ohoi Rat yang mencakup wilayah darat dan laut Pasal 1 ayat 29. Wilayah Administrasi Pemerintahan adalah wilayah yang berada dalam Petuanan Ohoi/Ohoi Rat, dan ditetapkan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat Pasal 1 ayat 30. Peraturan Ratshap adalah peraturan yang ditetapkan bersama antara Kepala Ratshap dan Badan Saniri Ratshap Pasal 1 ayat 31. Dan Peraturan Ohoi/Ohoi Rat adalah peraturan yang ditetapkan bersama antara Kepala Pemerintahan Ohoi/Ohoi dan Badan Saniri Ohoi/Ohoi Rat Pasal 1 ayat 32.

Agar terjaminya masyarakat hukum adat dalam proses demokrasi

berdasarkan adat tersebut maka acuannya adalah Peraturan Daerah Nomor 04

Tahun 2009 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemelihan dan Pelantikan Kepala Pemerintah Ohoi/Ohoi Rat.

Hal ini

dilakukan dalam rangka melaksanakan prinsip demokratisasi dalam sistem Pemerintahan Umum dan Pemerintah Adat serta upaya memberdayakan fungsi dan peranan kelembagaan pemerintahan pada tingkat Ohoi/Ohoi Rat melalui sistem pemilihan kepala pemerintah merupakan wujud dari suatu sistem pemerintahan yang demokratis. Dalam sistem pemilihan kepala pemerintah Ohoi/Ohoi Rat didasarkan pada nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat adat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Struktur pemerintahan pada tingkat desa patut dirumuskan secara baik sesuai kondisi riil masyarakat terutama masyarakat adat. Kebijakan ini merupakan langkah penting dan strategis karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan pada umumnya. Disamping struktur pemerintahan pada umumnya sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka struktur pemerintahan adat juga mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan peluang untuk dibentuknya sistem pemerintahan menurut hukum adat dan sistem pemerintahan umum. Bagi wilayah-wilayah yang hukum adatnya masih berlaku, maka hukum adat tersebut dapat digunakan dalam menopang proses pembangunan pada wilayah pedesaan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional.

Pemerintahan Ohoi/Ohoi Rat, yang dikepalai oleh Orong Kai, sebagai sistem

pemerintahan terendah dibawah Camat pada wilayah Kabupaten Maluku Tenggara,

mengakomodir sistem Pemerintahan Adat dan Pemerintahan Umum yang dapat

menggerakan sistem pemerintahan pada wilayah tersebut untuk mempercepat laju pembangunan. Hal itu tidak terlepas dari amanat Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yang mengakui pluralisme hukum adat sepanjang masih berlaku dan diakui keberadaannya. Sistem Pemerintahan Desa yang dibangun sebelumnya menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979, lebih berorientasi pada upaya penyeragaman, tanpa memperhatikan pluralisme yang ada, sehingga berdampak yang kurang menguntungkan dalam pembangunan masyarakat di wilayah pedesaan.

Dengan dibukanya peluang untuk pemberlakuan ketentuan hukum adat yang mengatur sistem pemerintahan pada wilayah pedasaan atau nama lain, maka sistem dan mekanisme pemerintahan yang dikembangkan harus mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat khususnya masyarakat adat. Tata cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Pemerintah Ohoi/Ohoi Rat, merupakan tuntutan prinsip demokrasi yang harus ditopang dengan sistem hukum, yang dapat dijadikan sebagai acuan, sehingga dapat melahirkan figur pemimpin dengan tetap menghargai hak-hak anggota masyarakat, sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sistem demokrasi yang dibangun tetap memperhatikan sistem pemerintahan pada umumnya, yang akan melahirkan seorang pemimpin (Pemerintah Ohoi/Ohoi Rat/Orong Kai) dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip hukum adat, tetapi memberikan ruang bagi implementasi hukum adat yang menjiwai nilai-nilai demokrasi dan hak asasi.

Hasil penelitian dilapangan dan pengamatan langsung oleh penulis dapat

menunjukkan bahwa masyarakat adat di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara,