• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PENGEMBANGAN KALENDER TANAM DINAMIK D

5.2. Pranata Mangsa, indigenous knowledge cikal bakal

Secara tradisional, kalender tanam telah lama dikembangkan oleh petani Indonesia. Masyarakat Jawa dan Bali menyebutnya Pranata Mangsa (Sunda), Pranoto Mongso (Jawa) dan Kerta Masa (Bali). Pranata Mangsa dibutuhkan sebagai penentuan atau patokan untuk bercocok tanam (Syahbuddin 2007)

Pranata mangsa merupakan pengetahuan indigenous. Menurut Johnson (1992) yang diacu dalam Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan masukan internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu pengetahuan indigenous ini tidak dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis atau tak berubah.

Pranata mangsa adalah semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranata mangsa berbasis peredaran matahari dan siklusnya (setahun) berumur 365 hari (atau 366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana (kekeringan, wabah penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin timbul pada waktu-waktu tertentu.

Pranata mangsa berbentuk kalender tahunan yang bukan berdasarkan kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut (Wiriadiwangsa 2005). Pranata Mangsa dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan sesuatu pekerjaan. Contohnya melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam atau melaut sebagai nelayan, merantau dan mungkin juga berperang.

Tabel Pranata Mangsa selama setahun dengan sistem pertanaman padi masih setahun sekali (IP100):

2. Karo (Kadua) 2/3 Agustus - 25/26 Agustus. Musim kapok bertunas tanam palawija kedua.

3. Katiga (Katilu) 25/26 Agustus - 18/19 September. Musim ubi-ubian

bertunas, panen palawija.

4. Kapat (Kaopat) 18/19 September-13/14 Oktober. Musim sumur kering,

kapuk berbuah, tanam pisang.

5. Kalima (Kalima), 13/14 Oktober - 9/10 November. Musim turun hujan, pohon asam bertunas, pohon kunyit berdaun muda.

6. Kanem (Kagenep) 9/10 November - 22/23 Desember. Musim buah-buahan mulai tua, mulai menggarap sawah.

7. Kapitu (Katujuh) 22/23 Desember - 3/4 Pebruari. Musim banjir, badai, longsor, mulai tandur.

8. Kawolu (Kadalapan) 2/3 Februari. Musim padi beristirahat, banyak ulat, banyak penyakit.

9. Kasonga (Kasalapan) 1/2 Maret - 26/27 Maret. Musim padi berbunga,

turaes (sebangsa serangga) ramai berbunyi.

10. Kadasa (Kasapuluh) 26/27 Maret -19/20 April. Musim padi berisi tapi masih hijau, burung- burung membuat sarang, tanam palawija di lahan kering.

11. Desta (Kasabelas) 19/20 April - 12/13 Mei. Masih ada waktu untuk

palawija, burung-burung menyuapi anaknya.

12. Sada (Kaduabelas) 121/13 April- 22/23 Juni. Musim menumpuk jerami, tanda-tanda udara dingin di pagi hari (Sumber: Wiriadiwangsa, 2005 dari Buku Unak-anik Basa Sunda Th.2000).

Gambar 5.2 Sistem penanggalan musim bukti kepandaian ilmu astronomi nenek

moyang

Teknik membaca mangsa didasarkan atas nampaknya Rasi Waluku (Orion) Apabila Rasi Waluku terbit pada waktu shubuh, hal ini berarti hari tersebut adalah permulaan mangsa kasa (mangsa pertama). Dengan terbitnya Rasi Waluku merupakan pertanda bagi para petani untuk mempersiapkan bajaknya (waluku- nya). Apabila pada shubuh hari Rasi waluku telah merembang (dekat dengan zenith) maka berarti permulaan mangsa kapat (mangsa labuh/hujan kiriman). Apabila waktu shubuh Rasi Waluku mulai tenggelam berarti permulaan mangsa kapitu (mangsa ketujuh). Pada mangsa kapitu biasanya ditandai dengan musim hujan rendheng. Apabila pada waktu maghrib Rasi Waluku merembang maka pertanda permulaan awal mangsa kasanga (mangsa kesembilan). Apabila pada waktu maghrib Rasi Waluku mulai terbenam maka pertanda awal mangsa desta (mangsa kesebelas). Pada masa ini orang-orang tidak bisa melihat Rasi Waluku, sehingga diartikan sebagai masa selo atau apit. Yang artinya meng-apit waluku- nya (menyimpan bajaknya).

Menurut Supriyono (2012), fenomena mongso untuk penciri dimulainya pertanaman terbagi ke dalam empat musim, yaitu;

1. Fenomena Mongso Lab

Mongso labuh adalah saat dimulainya kegiatan bercocok tanam setelah musim kemarau yang dimulai pada mongso IV yang diawali dengan kegiatan

pengolahan tanah. Untuk menanam benih, petani menunggu sampai tanah menjadi dingin dan cukup lembab. Indikasi dinginnya tanah yang dipedomani petani adalah mulai bertunasnya umbi-umbian, baik yang disimpan di rumah maupun yang masih berada di kebun, seperti, gadung, uwi, talas dll. Apabila saat itu tanah masih kering, mereka menunggu pergantian musim yang ditandai dengan hembusan angin konstan berubah-ubah arah selama beberapa hari dan pada saat angin berhenti itulah saat pergantian mongso yang sering disertai dengan turunnya hujan yang disebut sebagai hujan menjelang pergantian mongso (udan mapag mongso).

Komponen cuaca yang relevan dengan fenomena dinginnya tanah adalah suhu tanah permukaan setiap jam 13.00 yang mendekati suhu maksimum hariannya. Rata2 dasarian suhu tanah permukaan mencapai puncaknya pada dekade ke 28 atau dekade-1 Oktober yang masih masuk mongso IV dan pada dekade berikutnya yang mulai masuk mongso V suhu tanah permukaan mulai menurun dan pada perioda tersebut umbi2an mulai bertunas dan rumput mulai menghijau meskipun hujan belum turun.

Penyimpangan cuaca yang bisa mengacaukan perhitungan ini adalah curah hujan berkepanjangan pada musim kemarau, terlebih pada saat munculnya fenomena alam La-Nina, karena penyakit bulai sudah mulai muncul pada mongso V. Meskipun demikian, pertanaman pada mongso V resikonya tetap lebih rendah.

2. Fenomena Mongso Bedhidhing

Mongso ke II dikenali masyarakat sebagai musim dingin atau mongso bedhidhing dan masih bisa dijumpai setiap tahun. Fenomena alam yang sering terjadi pada mongso ini adalah minyak kelapa membeku di pagi hari, banyak ayam sakit dan mati sehingga sering disebut juga musim aratan atau pagebluk. Kapuk randu mulai membentuk kuncup bunga sehingga ada masyarakat yang menyebut bunga kapuk sebagai Karo.

Pada mongso I, bumi berada pada jarak terjauh ke matahari dan dampaknya mulai dirasakan pada mongso ke II dimana udara malam sangat dingin. Data cuaca pertanian yang relevan dengan fenomena ini adalah rata2 suhu udara minimum di malam hari, yang setiap tahun mencapai suhu terendah pada dekade 23 atau dekade-2 Agustus, artinya yang masih bagian dari mongso karo.

3. Fenomena Mongso Rendengan

Sampai saat ini mongso VI masih diyakini sebagai masa tanam terbaik untuk padi sawah dan sepanjang situasinya mendukung para petani berupaya agar bisa tanam pada mongso VI. Kenyataan yang belum berubah sampai saat ini adalah, padi yang ditanam pada mongso kanem memiliki resiko terendah terhadap penyakit tanaman disamping produktivitasnya paling tinggi. Selama tiga dekade pengamatan, dengan jenis padi dan cara tanam yang sama, tanaman dengan masa panen sekitar mongso IX memiliki produktivitas tertinggi, sedangkan memasuki mongso X produktivitasnya mulai menurun dan penurunannya bisa mencapai 50%.

Faktor cuaca pertanian yang berperan disini bukan saja cuaca pada saat tanam, tetapi juga cuaca menjelang panen, terutama untuk ukuran padi genjah, yang relevan dengan jenis padi yang ditanam saat ini. Di dalam hal ini suhu tanah pada kedalaman 1 meter setiap jam 07.00 pagi adalah komponen cuaca yang paling berperan, terutama di dataran rendah. Suhu tanah ini mencapai puncaknya pada dekade ke 10 atau dekade 1 April yang masuk mongso ke- X. Pada kondisi suhu tinggi dari dalam tanah sawah akan keluar cairan berwarna merah pada malam hari yang pada pagi harinya berubah menjadi kuning kecoklatan dan dikenal sebagai karat tanah. Cairan inilah yang menyebabkan kerusakan perakaran tanaman yang potensial dan mengganggu proses fisiologis sehingga pengisian malai tidak sempurna atau dalam kata lain banyak bulir padi yang kosong atau hampa.

4. Fenomena Mongso Gadu

Padi sawah yang ditanam pada mongso X – XI pertumbuhannya sangat lambat dan anakannya kurang sehingga produktivitasnya juga kurang, tetapi yang jauh lebih penting bagi petani adalah masalah hama tikus. Tanaman yang masa tanamnya mongso X – XI apabila terserang hama tikus tingkat kepulihannya <30%, sebaliknya, pertanaman mulai mongso XI pertumbuhannya berangsur- angsur lebih bagus dan apabila terserang tikus tingkat kepulihan masih bisa >80%.

(Supriyono, 2012 diambil dari

Masyarakat Dayak memilah Bulan Berladang atas Bulan-4 sampai Bulan-6 yang menandakan saatnya penyiapan lahan, kemudian dilanjutkan dengan

pembakaran dan Bulan-7 sampai Bulan-9 saatnya menyemai benih. Bulan-4 ditandai apabila buaya mulai naik ke darat untuk bertelur. Bulan-6 ditandai munculnya “Bintang Tiga” pada dinihari seperti kedudukan matahari jam 9.00 pagi bertepatan dengan bulan Juli, saat kegiatan penebangan telah selesai. Bintang- bintang yang ribuan banyaknya diantaranya yang muncul secara periodik juga diyakini oleh masyarakat, khususnya di Kalimantan sebagai pertanda akan datangnya air pasang atau mulainya air surut (Wisnubroto dan Attaqi 1997).

Pranata mangsa yang merupakan kearifan lokal ini merupakan kalender tanam tradisional yang sudah diadopsi petani di suatu wilayah tertentu secara turun temurun. Suatu tool untuk sinkronisasi kalender tanam dinamik dengan pranata mangsa akan sangat berguna untuk menggabungkan keduanya.

Dokumen terkait