• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK

7.3.3. Rekomendasi Teknologi

Rekomendasi dilakukan untuk pilihan terbaik dari hasil DSSAT yang diperoleh sebelumnya. Hasil simulasi DSSAT dapat memberikan alternatif pilihan kombinasi tanggal tanam dengan budidaya yang akan digunakan. Berdasarkan hasil tersebut, pada umumnya tanggal tanam merupakan indikator yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pertanaman kedua, untuk menghindari risiko kekeringan (Gambar 7.8). Pada prinsipnya, rekomendasi dipilih berdasarkan opsi-opsi teknologi yang dapat dikembangkan, dan dipilih opsi teknologi yang memberi risiko minimum akibat kejadian kekeringan. Opsi tersebut sudah termasuk di dalamnya tanggal-tanggal tanam, yang memberikan hasil yang tinggi tetapi dengan risiko minimum dengan keuntungan maksimum.

Gambar 7.8. Ilustrasi pertanaman berdasarkan tanggal tanam

Risiko kekeringan pada MT 2 semakin bertambah akibat mundurya waktu tanam

Gambar 7.9. Contoh prediksi kehilangan hasil

Hasil masing-masing kombinasi perlakuan terlihat pada jumlah kehilangan hasil. Perlakuan terbaik juga mengindikasikan perlakuan yang mempunyai kehilangan hasil yang paling minimal. Kehilangan hasil per tahun disajikan pada Gambar di bawah ini. Perlakuan yang memberikan kehilangan hasil terendah dapat digunakan sebagai acuan untuk rekomendasi teknologi budidaya pada tahun-tahun El-Nino, La-Nina dan Normal. Sebagai pewakil tahun Normal adalah tahun 1993, pewakil untuk tahun El-Nino adalah gambar dari tahun 1997, pewakil tahun La-Nina adalah tahun 1998. Pada tahun 1993, perlakuan I1V2P3 (perlakuan tanpa Irigasi, varietas IR 8 dan pupuk ditambah dengan bahan organik pupuk kandang sebanyak 2 ton/ha) merupakan yang terbaik. Sedangkan untuk tahun 1997 perlakuan terbaik adalah I2V2P3 (perlakuan dengan Irigasi, varietas IR 8 dan pupuk ditambah dengan bahan organik pupuk kandang sebanyak 2 ton/ha).

Sedangkan untuk tahun 1998, hanya dipengaruhi oleh perbedaan varietas. Berdasarkan gambaran dari kehilangan hasil tersebut juga terlihat bahwa pada tahun-tahun El-Nino, kehilangan hasil dalam rupiah mempunyai kemungkinan lebih besar daripada tahun-tahun Normal dan tahun-tahun La-Nina. Sebaliknya pada tahun-tahun La-Nina kehilangan hasil lebih rendah daripada tahun-tahun Normal dan tahun-tahun El-Nino.

Perhitungan kehilangan hasil juga dilakukan dengan menggunakan persamaan dari BC Ratio, sehingga diperoleh pada tanggal kapan yang secara ekonomi layak dan memberikan keuntungan. Untuk pertanaman kedua, penanaman tanggal 1 Februari memberikan hasil yang terbaik, hal tersebut ditunjukkan dengan error yang paling rendah.

7.4. Simpulan

Kabupaten Pacitan seperti halnya wilayah lain yang memiliki pola hujan monsunal sangat terpengaruh oleh dampak keragaman iklim, yang apabila tidak diantisipasi dengan baik, dapat menyebabkan terjadinya risiko penurunan hasil tanaman. Risiko tersebut dapat diminimalkan dengan melakukan perencanaan tanam yang baik. Untuk mendukung perencanaan tanam petani, sudah dilakukan beberapa hal terkait, diantaranya adalah aplikasi kalender tanam. Kalender tanam sebagai salah satu informasi yang dibutuhkan petani perlu selalu diupdate. Untuk mendukung hal tersebut, maka informasi mengenai decision network, yang terkait dengan bayesian network, sistem inferensi fuzzy dan penilaian fungsi risiko berdasarkan teknologi yang terkait dengan varietas, pemupukan dan irigasi yang dilakukan, dapat menjadi tambahan informasi yang diharapkan dapat melengkapi kalender tanam yang sudah tersedia.

Dalam Decision Network diintegrasikan antara Bayesian Network yang menyediakan informasi seberapa besar peluang kekeringan yang mungkin terjadi. Sedangkan fuzzy inference system memberikan informasi potensi luas kekeringan yang mungkin terjadi. Hasil simulasi DSSAT memberikan informasi seberapa besar ‘yield’ yang akan diperoleh pada kondisi iklim tertentu, pada kondisi tanah tertentu dengan pemilihan teknik budidaya tertentu. Sehingga ketiga potensi penduga ini dapat diintegrasikan untuk melengkapi satu dengan yang lain, sebagai unsur pendukung untuk kalender tanam dinamik.

Dalam aplikasinya, kalender tanam memerlukan keterpaduan banyak pihak, terutama sektor terkait, dalam hal ini pengambil kebijakan, petani/ kelompok tani/gapoktan, penyuluh, peneliti, LSM, lembaga yang terkait dengan keuangan dan lain-lain. Sinergi antar sektor tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani pada akhirnya, mengingat untuk meningkatkan kesejahteraan petani harus dilihat dari mulai hulu ke hilir, dari mulai penyiapan benih, subsidi pupuk, informasi tanam dan lain-lain, hingga ke pasca panen dan pemasaran.

Metode ini dapat lebih dioptimalkan dengan memasukkannya ke dalam sistem yang terstruktur yang ketika suatu input dasar diterima, misalnya hasil prakiraan iklim, dapat secara cepat memperlihatkan kemungkinan output yang terjadi, sehingga informasi dapat lebih cepat disalurkan, dan bahkan pengguna dapat menggunakan langsung dengan memasukkan input dasar tersebut. Metode ini diharapkan dapat mendukung pengembangan sistem informasi Kalender Tanam Terpadu yang sudah dikembangkan oleh Kementerian Pertanian.

VIII. POTENSI DAN KENDALA PENERAPAN KALENDER TANAM

DALAM MENGANTISIPASI KEJADIAN IKLIM EKSTRIM

Persoalan mendasar sektor pertanian menurut Tim Penyusun Road Map (2010) diantaranya adalah meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air, status dan luas kepemilikan lahan yang kecil (< 0.5 ha pada 9,55 juta KK), lemahnya sistem perbenihan dan pembibitan nasional, keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani, lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi, belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, rendahnya nilai tukar petani (NTP), belum terpadunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian dan kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi. Berkaitan dengan ketahanan pangan yang dikorelasikan dengan adanya perubahan iklim global, menuntut perhatian yang lebih tinggi pada sektor pertanian. Sektor pertanian mempunyai visi misi yang jelas sesuai yang tertuang pada Road Map untuk 2009-2014. Visinya adalah “Pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, ekspor dan kesejahteraan petani”.

Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah mundurnya awal musim hujan dan semakin panjangnya musim kemarau. Mundurnya awal musim hujan selama 30 hari akan menurunkan produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah 6.5% dan Bali 11%. Sebagai langkah kebijakan strategis dalam menghadapi kondisi di atas salah satunya adalah dengan menyiapkan beberapa tool dan pedoman/panduan, yang merupakan bentuk penuangan dari kebijakan pemerintah.

Menurut Pendleton dan Lawson (1988), iklim dan cuaca serta variasinya sangat berpengaruh terhadap fluktuasi ketersediaan pangan. Handoko (2008) menyatakan bahwa variabilitas dan perubahan iklim dengan segala dampaknya yang terjadi berpotensi menyebabkan kehilangan produksi tanaman pangan utama (padi) sebesar 20.6%, jagung sebesar 13,6% dan kedelai 12,4%.

Kehilangan produksi tanaman pangan mengharuskan risiko iklim dikelola dengan baik untuk meminimumkan kerugian. Pengelolaan risiko iklim, perlu diberikan target, apakah untuk jangka pendek, sedang atau panjang. Kaitannya dengan hal itu tentulah perencanaan menjadi bagian yang sangat penting, mengingat pengelolaan risiko iklim juga perlu sumberdaya yang terkait dengan masalah yang dihadapi. Dalam tataran jangka panjang, kita menggunakan skenario-skenario untuk pelaksanaannya. Sedangkan untuk jangka pendek, perencaan ini untuk meminimumkan dampak negatif yang mungkin terjadi. Perencanaan perlu dilakukan sebagai suatu early warning system dengan menyiapkan resources. Contoh kalau sudah diketahui berdasarkan prakiraan iklim, bahwa kan terjadi kemarau panjang, maka dapat merubah varietas yang akan digunakan dengan yang tahan kering.

Dalam pengelolaan risiko bencana terutama bencana iklim, ada siklus sebagai berikut (Boer 2007):

1. Identifikasi: indetifkasi bahwa risiko ada dan beri nama risiko yang dimaksud, misalkan risiko banjir.

2. Analisis: Tentukan tingkat risiko dalam bentuk matrix. Apabila risiko dapat diabaikan maka tidak perlu diteruskan analisis, tapi kalau risiko dapat menimbulkan kerusakan maka lakukan analisis lebih lanjut.

3. Rencana: Tentukan bagaimana mengatasi risiko tersebut sesuai dengan tingkat keseriusannya dan kemungkinan terjadinya.

4. Mitigasi: Ikuti rencana yang telah disiapkan sebisa mungkin dan apabila gagal, lakukan perencanaan ulang dan lakukan lagi upaya mitigasi kalau masih belum bisa, lakukan analisis apakah tingkat kerusakan di bawah batas toleransi.

5. Traking: Apabila risiko dapat dimitigasi dan diatasi sehingga tingkat kerusakan berada dalam selang toleransi, simpan dan catat teknologi atau cara mitigasi tersebut untuk memastikan keberlanjtan upaya pengendalian risiko dimaksud di masa datang.

Semakin seringnya terjadi bencana yang berpengaruh terhadap kestabilan pangan yang diakibatkan oleh iklim, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan terkait iklim yang tertuang dalam bentuk Sektoral Road Map. Riset yang dilakukan bertujuan untuk mendukung kebijakan pemerintah seperti yang tertuang dalam Road Map tersebut, untuk membantu petani dalam penentuan waktu tanam

dalam bentuk kalender tanam dinamik, supaya apabila terjadi bencana iklim, khususnya kekeringan, akan lebih cepat ditanggulangi dan kerugian yang dapat terjadi dapat diminimalkan. Mengingat apabila akibat bencana iklim, tidak diantisipasi dengan baik dapat menyebabkan kegagalan panen petani.

Kegagalan panen akibat kejadian kekeringan merupakan salah satu bentuk bencana iklim yang paling sering terjadi di Indonesia. Kegagalan panen yang terjadi lebih sering karena antisipasi yang kurang dalam menyikapi kejadian iklim ekstrim. Akibat kegagalan panen tentulah produksi menjadi menurun dari yang telah ditargetkan. Peran kalender tanam dalam hal ini adalah menurunkan risiko kegagalan panen tersebut, pada tingkat yang dapat diantisipasi, meskipun untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan keterpaduan pada banyak komponen dan instansi pendukung. Di samping itu, dampak terjadinya perubahan ikim, juga menyebabkan tingkat kekerapan bencana iklim akhir-akhir ini lebih sering dari kurun waktu sebelumnya. Misalnya saja, kehilangan produksi padi nasional pada era 1990 hingga 2000 hingga tiga kali lipat dibandingkan era 1980-1990 (Boer 2007). Intensitas bencana yang semakin sering, menjadi ancaman terhadap produktivitas, karena menjadi semakin seringnya kegagalan panen terjadi, ujung- ujungnya mempengaruhi terhadap perekonomian petani. Frekuensi kejadian kemarau panjang atau kekeringan dalam periode 1844 dan 1960 hanya 1 kali dalam 4 tahun, kemudian dalam periode 1961-2006 frekuensinya meningkat menjadi 1 kali dalam 2-3 tahun (Boer dan Subbiah 2005; Boer 2007).

Suatu informasi iklim yang baik didukung oleh beberapa hal yang tertangani dengan baik, diantaranya adalah kebutuhan terhadap data yang akurat dapat dipenuhi, kelembagaan terstruktur dengan baik dan juga lancar dalam realisasinya, analisis yang dilakukan akurat yang didukung dengan data dan tool yang memadai dan lain-lain, yang semuanya itu mendukung terhadap sistem informasi yang efektif dan efisien. Hal-hal tersebut merupakan permasalahan yang kompleks di lapangan. Sebagai contoh, faktor kelembagaan merupakan daya dukung yang sangat tepat untuk terciptanya suatu informasi dalam pelaksanaan usaha tani oleh petani bahkan dapat mendukung kegiatan ekonomi di daerah. Kelembagaan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi jika didukung dengan adanya pembagian kerja yang jelas, berorientasi pada peningkatan pendapatan, petani memberi keleluasaan pada perluasan usaha dan kebebasan untuk memperoleh peluang ekonomi (Daryanto 2004).

Berkaitan dengan peningkatan produksi dan produktivitas padi, terdapat beberapa instrumen kebijakan yang yang harus dipenuhi untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional meliputi: (1) pengembangan infrastruktur untuk mendukung usaha tani padi, (2) peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber pemodalan, (3) peningkatan mutu intensifikasi usahatani padi dengan menggunakan teknologi maju, (4) ekstensifikasi lahan pertanian di lahan kering, rawa pasang surut, lebak dan daerah bukaan baru dan (5) peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pascapanen dan pemasaran (Kasryno et al. 2004).

Program kalender tanam merupakan program yang mempunyai potensi yang sangat baik untuk terus dikembangkan. Agar diperoleh hasil yang baik, diperlukan dukungan berupa informasi teknik budidaya untuk efisiensi, sehingga input biaya lebih rendah dengan tingkat risiko gagal panen lebih rendah. Potensi pemanfaatan kalender tanam untuk petani antara lain menjadi salah satu teknologi terutama terkait dengan informasi untuk mendukung perencanaan waktu dan pilihan teknologi penanaman untuk petani, agar diperoleh dari input yang minimal, hasil yang optimal atau risiko kerugian yang minimal. Hal ini diharapkan terkait dengan semakin optimalnya produktivitas yang diperoleh petani. Dengan adanya kalender tanam yang merupakan acuan penjadwalan waktu tanam petani, dapat diberikan pemahaman kepada petani dan pengambil kebijakan mengenai waktu tanam yang tepat dan teknologi yang perlu diambil terkait waktu tanam tersebut.

Dalam penyusunan kalender tanam, seperti halnya penyusunan model lain mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan, namun di sisi lain dalam penerapannya dapat terkendala oleh hal-hal lain. Kendala-kendala yang dihadapi tidak lepas dari kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk terwujudnya suatu informasi iklim yang dapat diterima petani dan diaplikasikan di lapangan. Untuk terwujudnya suatu sistem informasi yang baik diperlukan data dukung yang cukup baik, juga pelayanan lain seperti infrastruktur, sarana produksi, serta sistem penyaluran informasi yang diteruskan ke petani, mengingat yang diperlukan petani adalah layanan yang tepat pada waktu yang tepat, sehingga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kesadaran petani akan pentingnya informasi yang akurat merupakan salah satu hal yang perlu disediakan. Keterpaduan berbagai sektor terkait dalam mengupayakan diterimanya informasi oleh petani sehingga dapat diaplikasikan diharapkan dapat mengurangi risiko kerugian petani.

Salah satu faktor penentu keberhasilan atau kegagalan usaha pertanian diantaranya adalah tingkat adopsi petani terhadap teknologi yang didiseminasikan. Semakin tinggi tingkat adopsi petani, yang diperlihatkan dengan aplikasinya di lapang, maka kemungkinan untuk terjadinya kegagalan dapat diturunkan, dan sebaliknya. Meskipun tidak menutup kemungkinan petani merasa bahwa teknologi budidaya yang dilakukan, sudah cukup baik sehingga dirasakan tidak perlu lagi mengadopsi teknologi budidaya yang dianjurkan. Boer dan Surmaini (2006) menyatakan bahwa petani yang konsisten menggunakan informasi prakiraan iklim, pada kurun waktu yang panjang akan mendapatkan income yang lebih tinggi dibanding yang tidak merespon terhadap prakiraan iklim.

Dalam kaitan dengan tingkat adopsi petani, sebagai penerima dari teknologi ini, mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang tidak mudah menerima bahkan cenderung untuk menolak seperti :

1. Tidak mudah percaya kepada orang lain, terutama yang belum kenal dan atau bukan dari kalangan petani seperti mereka. Kebiasaan seperti ini, sering memperlambat kelancaran adopsi teknologi baru yang disuluhkan para petugas penyuluhan dari lingkungan di luar mereka.

2. Tidak mudah menerima atau tidak bersedia (menolak) perilaku dan atau kegiatan-kegiatan yang dianggapnya berbeda, apalagi yang bertentangan dengan kebiasaan adat setempat. Penyimpangan dari kebiasaan, tidak saja dianggap sebagai keanehan atau tindak kebodohan tetapi dipandang telah menimbulkan pergesekan yang merupakan pelanggaran atau “dosa” terhadap norma-norma tradisional yang harus dipertahankan atau dihormati serta dijunjung tinggi (Tamba 2007).

Menurut Fujisaka (1993) dan Pretty (1995) yang diacu dalam Sunaryo dan Joshi (2003) ada beberapa alasan yang menyebabkan teknologi dan informasi yang ditawarkan ditolak para petani, antara lain: (1) Teknologi yang direkomendasikan seringkali tidak menjawab masalah yang dihadapi petani sasaran. (2) Teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang sudah ada. (3) Inovasi teknologi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena kurang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya setempat. (4) Penerapan teknologi membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai. (5) Sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah sehingga tidak mampu menyampaikan pesan

dengan tepat. (6) Adanya ketidakpedulian petani terhadap tawaran teknologi baru, seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu. (7) Adanya ketidak-pastian dalam penguasaan sumber daya (lahan, dan sebagainya).

Para pemegang kebijakan, pakar atau peneliti kadang kala kurang dapat memahami hambatan dan peluang yang berkembang di masyarakat sehingga teknologi yang dianjurkan tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada. Dengan demikian, diseminasi teknologi yang tidak tepat guna banyak yang tidak diadopsi oleh masyarakat. Para pakar pertanian membantah bahwa gagalnya masyarakat mengadopsi teknologi anjuran dikarenakan mereka konservatif, irrasional, malas atau bodoh (De Boef et al. diacu dalam Sunaryo dan Joshi 2003), tetapi lebih dikarenakan 3 rancang-bangun teknologi anjuran tersebut tidak sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi dan ekologi masyarakat tani.

Perkembangan teknologi pada dasarnya tidak lepas dari perkembangan masyarakatnya dalam menyikapi perubahan atau dinamika lingkungan tempat mereka tinggal. Cerita panjang dan kejadian alam dari tempat mereka tinggal menjadi sumber inspirasi, termasuk tanggapan mereka dalam mengatasi gejolak alam yang menjadi catatan penting mereka, yang kemudian diceritakan dari generagi ke generasi sebagai pengetahuan dalam menyikapi alam dan perubahannya (Noor dan Jumberi 2012).

Keberhasilan kalender tanam di Indonesia tentunya tidak lepas dari riset instansi lain yang mendukung. Misalnya, BB Padi secara aktif mengembangkan teknologi budidaya untuk menanggulangi dampak perubahan iklim global salah satunya adalah dengan penyaluran benih dari UPBS BB Padi untuk menanggulangi dampak perubahan iklim (Sembiring 2011). BB Padi sebagai lembaga penelitian padi satu-satunya di Indonesia, terus aktif mencari inovasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui pengembangan varietas sangat genjah, tahan kering, tahan rendaman, tahan salinitas, dan tahan OPT. Pembentukan varietas sawah tadah hujan toleran kekeringan dan berumur sangat genjah. Pada tahun 2009, menyalurkan benih VUB 49.6 ton yang terdiri dari tahan kekeringan (5.2 ton), umur sangat genjah (39 ton), tahan rendaman (253 kg), tahan salinitas (367 kg), dan tahan wereng coklat (4.7 ton). Sedangkan tahun 2010 juga menyalurkan benih VUB 79.5 ton yang terdiri dari tahan kekeringan (11.2 ton), umur sangat genjah (27.1 ton), tahan rendaman (2.6 ton), tahan salinitas (19 kg), dan tahan wereng coklat (38.6 ton).

Untuk tidak lanjut berikutnya, dapat diupayakan beberapa hal diantaranya adalah; penggabungan dengan kearifan lokal, dengan mengeksplor kearifan lokal yang dapat digabungkan pada kalender tanam yang telah ada, dan penggabungan unsur-unsur iklim lain, serta memprogramkan kalender tanam supaya lebih user friendly.

Hasil penelitian ini diharapkan merupakan salah satu pendukung dalam upaya menyempurnakan Kalender Tanam Terpadu yang sedang dikembangkan dan terus dikembangkan, mengingat informasi mengenai kalender tanam merupakan suatu terobosan teknologi yang perlu terus dikembangkan sehingga diharapkan secara kontinyu menjadi acuan rutin untuk petani dalam pelaksanaan budidayanya.

BAB IX. SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait