• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Model Prediksi

Secara umum terdapat empat model kualitas udara yang digunakan, yaitu: (1) model empirik atau statistik, model ini digunakan untuk menghubungkan data konsentrasi suatu lingkungan dengan lingkungan lain, misalnya CAR-model, suatu model untuk mengestimasi kepadatan lalulintas dengan perubahan area; (2) model

Gaussian atau plume-model, merupakan model teori dasar penyebaran mengenai distribusi polutan karena turbulensi, model ini dapat digunakan pada skala lokal; (3) model Lagrangian, model untuk paket udara sebagai fungsi waktu sepanjang aliran streamlines dalam atmosfer. Model ini digunakan untuk menganalisis emisi polutan pada topografi yang kompleks, sedangkan aliran dan perubahan konsentrasinya dikaji secara particulary (Noonan, 1999). Jenis model partikel Lagrangian merupakan satu level di atas model puff. Model ini membutuhkan sejumlah banyak partikel untuk membangun signifikansi statistik pada simulasi (Mikkelsen, 2003); dan (4) model Eulerian, suatu model untuk menganalisis konsentrasi satu atau beberapa kotak, pergerakan dari kotak ke kotak dipengaruhi oleh kecepatan angin.

Untuk memprediksi penyebaran pencemar udara dikenal dua level pemodelan, yakni screen modeling dan refined modeling. Analisis penyebaran dengan screening modeling memberikan prediksi yang bersifat konservatif terhadap dampak sumber pencemar dengan menggunakan masukan data dari kasus terburuk (konsentrasi zat pencemar maksimum) atau data yang minimum ketersediaannya (NSW-EPA 2001 dan ODEQ 2002). Menurut New South Wales Environment Protection Authority (2001), screening modeling ini akan memberikan suatu penilaian yang disebut ‘penilaian dampak tingkat 1’ (level 1 impact assessment). Dalam publikasi World Bank (1997) diungkapkan bahwa screen models dapat digunakan untuk menentukan dispersi pencemar udara dengan lebih cepat karena prosesnya yang tidak terlalu kompleks.

Model prediksi dapat diberlakukan untuk setiap evolusi dan seluruh spesies polutan dalam lingkungan dengan perubahan yang konstan. Menurut Ching et al. (2005) keluaran model secara kuantitatif tergantung pada seleksi grid serta aplikasi komputasi yang digunakan. Lee, Geem, Kim dan Nam Yon (1998) membangun simulasi komputer untuk memprediksi polutan beracun melalui adveksi dan difusi untuk aliran unsteady. Model simulasi komputer dibangun dengan UNET, model simulasi kualitas air, TOX15. Model ini diaplikasikan pada phenol di sungai Nakdong Korea. Hasil model menunjukkan secara akurat dapat memprediksi transpor polutan pada sistem sungai. Sementara itu Reza, Kingham dan Pearce (2005) mengevaluasi model dispersi PM10 dengan menggunakan

model TAPM (The Air Pollutan Model) di Christchurch New Zeland. Hasil pembandingan statistik dengan monitoring dengan IOA (Index of Agreement) 0,6 untuk variabel meteorologi menunjukkan hasil yang baik.

Penggunaan model dispersi udara secara esensi menggambarkan laju emisi. Model dispersi adalah melakukan penghitungan sebaran udara dengan koefisien dari setiap udara bebas pada waktu dan keadaan tertentu. Mayinger, Pultz dan Durst (1989) membuat model simulasi numerik penyebaran polutan pada lapisan batas atmosfer. Model yang dibangun menggunakan model Euler. Persamaan difernsial dikembangkan dari hukum konservasi massa, momentum dan energi. Prosedur solusi numerik untuk unsteady secara spesipik dilakukan melalui: metode finite volum, menggunakan scheme implicit (time step), sedangkan penyelesaian matrik menggunakan Strongly-Implicit-Procedure (SIP). Secara umum penyebaran plume pada lapisan batas atmosfer melalui dua mekanisme yaitu konveksi (atau adveksi) dan difusi. Difusi adalah pergerakan atau perpindahan molekul-molekul dari material tertentu, dari tempat konsentrasi tinggi ke tempat dengan konsentrasi lebih rendah. Difusi merupakan sifat alamiah molekul yang terjadi karena setiap molekul memiliki energi kinetik untuk terus bergerak dengan bebas, cepat dan acak sehingga molekul-molekul akan saling bertabrakan sampai terdistribusi merata.

Model dispersi yang digunakan, tingkat kerumitannya akan beragam, tergantung pada input yang digunakan dan output yang diharapkan. Drew et.al. (2006) membuat model penyebaran bioaerosol dari fasilitas pupuk kompos. Data konsentrasi bioaerosol diukur dan dianalisis secara berurut dengan menggunakan model dispersi ADMS. Model ini adalah model dispersi Gausian untuk durasi penyebaran yang singkat dan permukaan yang kompleks. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran untuk mendapatkan model prediksi yang akurat. Dalam membandingkan hasil model, didasarkan pada tiga kelas stabilitias Pasquill (very unstable, neutral dan very stable). Pada kondisi very unstable konsentrasi bioaerosol pada ground level lebih tinggi dari pada kelas stablitias yang lain. Sementara itu Cemas dan Rakovec (2003) membangun model spasial dan temporal untuk menganalisis emisi SO2 dari termal Powerplant di Europa. Konsentrasi polutan di atmosfer dianalisis menggunakan konservasi massa. Model

yang dibangun menggunakan model dispersi MEDIA yaitu suatu model Eulerian untuk grid tiga dimensi dengan sigma sebagai koordinat vertikal. Konsentrasi polutan diukur pada setiap titik grid (node) pada setiap waktu.

2.7.2Sistem Peramalan Kualitas Udara

Menurut Tetuko (1998) terdapat beberapa metode komputasi untuk pemodelan, misalnya metode analitik (analytical method), metode momen (moment method), metode elemen hingga (finite element method), dan metode beda hingga kawasan waktu (finite difference time domain). Pemilihan metode mana yang terbaik tergantung pada problem utama yang akan dianalisa. Sebuah Model Simulasi Kualitas Udara dapat berupa metodologi atau teknik numerik, yang didasarkan atas dasar-dasar pokok fisika, yang digunakan untuk memperkirakan konsentrasi pencemar udara dalam waktu dan ruang sebagai fungsi dari distribusi emisi dan parameter meteorologi serta keadaan geofisik. Menurut Mcdonald (2003), model simulasi adalah esensi prosedur komputasi untuk memprediksi konsentrasi karena arah dan kecepatan angin, emisinya didasarkan pada karakteristik (kecepatan keluar stack, temperatur plume, dan diameter stack), bentuk permukaan (kekasapan permukaan, topografi lokal, bentuk bangunan) dan keadaan atmosfer (kecepatan angin, stabilitas, dan tinggi bercampur).

Sistem peramalan kualitas udara dapat digolongkan menjadi sistem peramalan empirik atau statistik dan sistem peramalan numerik atau hibrid. Sistem peramalan empirik atau statistik telah dioperasikan oleh beberapa lembaga negara di Australia, misalnya Environment Authority of Victoria (EPAV) mengembangkannya untuk kota Melbourne dan Geelong sejak Tahun 1982. Prakiraan kualitas udara secara numerik mengembangkan prediksi meteorologi dan kualitas udara melalui pemecahan persamaan konservasi untuk momentum, energi, uap air dan massa untuk beberapa spesies.

Sistem numerik sekarang sedang dikembangkan di beberapa negara, termasuk Jepang, Jerman, Amerika Serikat dan Kanada. Ada tiga macam teknik pemecahan numerik, yaitu finit difference, finit element dan spectral method. Metode numerik adalah teknik yang digunakan untuk memformulasikan persoalan

matematik sehingga dapat dipecahkan dengan operasi perhitungan/aritmetika biasa. Reddy (1998) membuat model komputasi untuk memprediksi aliran dan transpor polutan di sungai, muara dan laut. Persamaan dibangun dari konservasi massa dan momentum, persamaannya diselesaikan dengan teknik finite different. Solusi persamaan ini dapat memprediksi sebaran polutan pada setiap grid sebagai fungsi ruang dan waktu. Tang et.al. (2006) membuat simulasi Computational Fluid Dynamic (CFD) pada penyebaran jangka-pendek, secara khusus aliran dan penyebaran pada struktur yang kompleks. Pengembangan dalam simulasi komputer menggunakan performa FLUENT. Program ini merupakan solusi dari persamaan konservasi massa, momentum dan energi.

Pengembangan dari finit element adalah finit volum method (FVM). Nelwan (2005) telah mengembangkan FVM dalam penelitiannya untuk mendapatkan distribusi suhu dan kelembapan nisbi udara dalam alat pengering berbantuan energi surya yang berbentuk silinder untuk pengeringan biji kakao. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan FVM diperoleh perbedaan suhu dan kelembapan nisbi udara pada beberapa posisi dalam pengering tersebut sesuai dengan hasil pengukuran langsung. Sementara itu Papakostas et.al. (2005) membuat model numerik dengan scheme implisit untuk polusi atmosfer. Model konsentrasi polutan di atmosfer dihubungkan dengan kecepatan angin, vektor difusivitas turbulen dan difusi massa polutan. Solusi numerik dengan asumsi S=0 (tidak ada sumber) didapatkan solusi analitik model Gaussian sebagai fungsi jarak dan waktu.

2.7.3Pengembangan Model

Model yang dibangun untuk memprediksi laju penyebaran pencemar udara, merupakan pengembangan dari persamaan kontinuitas dan persamaan gerak. Model aliran yang dibangun dari kedua persamaan tersebut dapat diaplikasikan untuk penyebaran polutan. Untuk mengkaji model penyebaran tersebut digunakan model Euler atau model Lagrang. Model Euler mengkaji model aliran dalam konsep medan, sedangkan model Lagrang mengkaji model aliran dalam konsep partikel (Cengel dan Cimbala, 2006)

Persamaan kontinuitas dibentuk dari pola aliran dengan memperhatikan hukum kekekalan, jika φ property fluida per unit volum (biasa disebut konsentrasi) dan net efek per unit volum pada seluruh proses non-konservatif adalah Q

[ ]

φ diperhitungkan, maka persamaan umum kontinuitas menurut Vallis (2005) adalah:

[ ]

. D V Q Dtφ φ+ ∇ =v v φ ……. 2.10 dengan D u v w Dt t x y z ∂ ∂ ∂ ∂ = + + + ∂ ∂ ∂ ∂

Jika efek pada proses non-konservatif tidak diperhitungkan, maka persamaan 2.10 berubah menjadi:

( )

. V 0 t φ φ+ ∇ = ∂ v v ……. 2.11 Secara umum:

( )

.

(

V

)

0 t ρφ ρφ ∂ + ∇ = ∂ v v ……. 2.12

dengan ρ adalah kerapatan udara.

Pada persamaan gerak berlaku kesetimbangan momentum. Aliran momentum, baik masuk maupun keluar, melalui dua mekanisme, yaitu konveksi dan transfer molekul (Bird et al., 1960). Dalam setiap fluida yang mengalir terdapat dua jenis perpindahan momentum: (1) perpindahan momentum secara molekular, yang ditimbulkan karena gaya tarik-menarik antar molekul, dan (2) perpindahan momentum secara konveksi, yang ditimbulkan karena adanya aliran massa. Secara umum persamaan gerak dirumuskan:

( ) . D V p g Dt ρv = −∇ + ∇ +v v vτ ρ …… 2.13 dengan τv adalah tensor tegangan viskos, sebagai berikut:

2 2 2 xx xy xz yx yy yz zx zy zz u u v u w x y x z x v u v v w x y y z y w u w v w x z y z z μ μ μ τ τ τ τ τ τ τ μ μ μ τ τ τ μ μ μ ⎛∂ + ⎛∂ + ⎞⎞ ⎟⎟ ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ = = + + ⎟ ⎜ + + v ... 2.14

jika tensor tegangan τv pada persamaan 2.14 dimasukkan ke persamaan 2.13, maka didapat persamaan Navier-Stokes (Cengel dan Cimbala, 2006):

2 ( ) D V p V g Dt ρv = −∇ + ∇ +v μ ρ ……. 2.15

dengan μ adalah viskositas dinamik, ρ adalah kerapatan udara, p adalah tekanan,

Vv

adalah vektor kecepatan dan g adalah percepatan gravitasi bumi.

Perpindahan massa berlangsung dengan dua cara yaitu: konveksi dan difusi. Perpindahan secara konveksi, karena adanya gaya dari luar sistem, sedangkan perpindahan massa secara difusi, karena adanya gaya penggerak dalam sistem, yakni perbedaan konsentrasi. Alirannya berlangsung dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Bird et al., 1960). Penyebaran pencemar udara diperoleh dengan menggabungkan persamaan 2.10 dan 2.15 sebagai berikut:

( )

2 . V V p V g t ρ ρ μ ρ+ ∇ = −∇ + ∇ + ∂ v v v v ……. 2.16

Penyebaran pencemar udara, untuk keadaan steady, dalam hal ini bahwa ρ adalah tetap, maka uraian persamaan 2.16, untuk komponen-x adalah :

2 2 2 2 2 2 x u u u u p u u u u v w g t x y z x x y z ρ + + + = − +ρ +μ + + ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ……. 2.17.1 2 2 u u t z ρ ∂ ∂ ……. 2.17.2 2 2 u u t ν z= ∂ ∂ ∂ ……. 2.17.3 dengan ν μ ρ

= adalah viskositas kinematik.

Untuk keadaan steady u u v u w u 0

x y z ⎛ ∂ ++ ∂ ⎞= ⎟ ⎝ ⎠ kemudian 0 p x= dan ρgx =0

karena tidak ada perubahan tekanan dan gaya gravitasi pada sumbu-x. Fluida mengalir pada sumbu-x, maka syarat kontinuitas

2 2 0 u x= dan 2 2 0 u y= karena

tidak ada kecepatan terhadap sumbu y, maka fluida mengalir pada bidang x-z. Persamaan 2.17.3 merupakan persamaan difusi untuk satu dimensi. Menurut Mikkelsen (2003) persamaan difusi timbul sebagai konsekuensi langsung dari

prinsip konservasi massa, dengan perubahan total massa pada sistem tertutup adalah nol.

2.7.4Aplikasi Model untuk Menganalisis Konsentrasi Polutan

Untuk menganalisis sebaran pencemar udara dari sumber dilakukan model. Suatu model untuk menganalisis sebaran pencemar udara digunakan model Gaussian. Proses model plume Gauss, cocok untuk mengidentifikasi hubungan input dan output dari data yang di uji (Sabin et al., 2000). Gaussian plume model adalah salah satu model matematika yang digunakan untuk mempresentasikan proses dispersi polutan di udara. Persamaan dari model tersebut digunakan untuk menentukan konsentrasi polutan hasil dispersi cerobong asap pabrik di lokasi tertentu di sekitar cerobong asap. Pada model ini perilaku polutan mengikuti distribusi normal atau distrbusi Gaussian. Model Gausian secara luas digunakan untuk mengestimasi impact polutan non-reaktif dari sumber titik atau garis (Arya, 1999).

Model Gaussian pertama-tama dikembangkan untuk mengolah emisi dari sebuah sumber titik (plumes) dalam skala lokal, model multi kotak sengaja dikembangkan sebagai model regional (skala meso) untuk menangani pencemaran di daerah urban yang secara spesifik akan mengolah penyebaran pencemar di daerah berdasarkan distribusi emisi pencemarnya. Formula pada Gaussian plume model dapat digunakan untuk menentukan tinggi fisik cerobong asap yang minimum agar dispersi polutan tidak membahayak makhluk hidup di sekitar pabrik. Soriano et.al. (2003) melakukan pengukuran dampak emisi dari cerobong industri, dengan menggunakan model Gaussian dan mesoscale. Model Gaussian digunakan untuk memprediksi konsentrasi pelbagai polutan pada ground-level yang diemisikan dari cerobong industri. Sementara itu dampak emisi dari cerobong indutri di Eastern Spanyol digunakan model TAPM (The Air Pollutan Model).

Model sebaran pencemar udara dari sumber titik disajikan pada Gambar 8. Hasil model plume Gaussian sebagai solusi dari persamaan difusi. Pada model ini faktor lain yang dipertimbangkan yaitu stabilitas atmosfer yang mempengaruhi penyebaran polutan baik secara horisontal searah angin (downwind) maupun

melintasi arah angin (crosswind). Formula dasar fungsi Gaussian dapat digunakan secara tepat untuk mengestimasi distribusi polutan dari single source (Forsdyke, 1970). Model dispersi Gauss dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan:

2 2

2 2 2

1 1 1

( , , ; ) exp exp exp

2 y z 2 y 2 z 2 z Q y z H z H C x y z H u πσ σ σ σ σ ⎤⎫ ⎞⎤ + = ⎢− ⎟ ⎨⎥ + ⎠⎥⎪ ……. 2.18 keterangan :

C adalah konsentrasi polutan pada suatu titik (x,y,z), dalam gm-3 Q adalah laju emisi, dalam gs-1

σy, σz adalah parameter penyebaran horisontal (y) dan vertikal (z), merupakan fungsi dari jarak (x)

u adalah kecepatan angin rata-rata pada ketinggian cerobong, dalam ms-1 y adalah kepulan horisontal dari centerline, dalam m

x adalah kepulan vertikal dari permukaan, dalam m

H adalah ketinggian efektif (H=h+∆h), h adalah ketinggian cerobong dan ∆h adalah tinggi kepulan di atas cerobong

Gambar 8 memberikan ilustrasi tentang pemodelan dispersi polutan dengan Gaussian plume model. Polutan bergerak searah dengan arah angin pada sumbu-x. Sumbu-y adalah arah tegak lurus horisontal dengan sumbu-x dan sumbu-z adalah vertikal dengan permukaan tanah. Pada proses difusi polutan, terjadi difusi tiga dimensi karena molekul-molekul polutan berdifusi pada sumbu-x, sumbu-y dan sumbu-z. Selain proses difusi, pada sumbu-x juga terjadi proses adveksi atau transportasi polutan yang diakibatkan oleh angin.

Persamaan 2.18 dapat digunakan dengan asumsi; kecepatan dan arah angin dari sumber titik sampai reseptor konstan, turbulensi atmosfer konstan, seluruh kepulan tidak mengalami deposisi ataupun washout, komponen yang mencapai

Gambar 8. Model penyebaran polutan dari sumber titik berdasar sebaran Gauss

permukaan dipantulkan kembali ke dalam kepulan, tidak ada komponen yang diserap oleh badan air atau vegetasi, dan secara kimia tidak ada komponen yang mengalami transformasi, dispersi hanya terjadi pada arah vertikal dan crosswind (Leonard, 1997). Stabilitas atmosfer dan downwind distance pada model Gaussian, bukan merupakan input langsung, tapi seluruhnya terkaper pada parameter dispersi σy dan σz. Parameter tersebut diasumsikan sebagai standar deviasi horisontal dan vertikal. Parameter dispersi yang biasa digunakan untuk model Gaussian adalah koefisien dispersi PGT (Pasquill-Gifford-Turner) untuk rural area. Ashrafi dan Hoshyaripour (2008) membuat model untuk menganalisis stabilitas atmosfer dan hubungannya dengan konsentrasi CO. Metode yang digunakan untuk menganalisis stabilitas atmosfer adalah PTM (Pasquill-Turner Method) dengan program PORTRAN90. Untuk aplikasi model digunakan data meteorologi dari Tahun 2000 sampai 2005 dari stasiun Mehrabad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi CO dengan stabilitas atmosfer. Klasifikasi stabilitas atmosfer sebesar 38,77%, 27,26%, 33,97% untuk kondisi stabil, netral dan tidak stabil. Hasil frekuensi relatif mengindikasikan kondisi stabil menurun selama periode Januari sampai Juni, dan meningkat selama periode Juli sampai Desember. Sementara itu Ruhiat et.al. (2009) melakukan analisis karkateristik udara di Kota Cilegon. Data meteorologi yang digunakan dari Tahun 2005 – 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa stabilitas atmosfer di Kota Cilegon berada pada stabilitas A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil).

Aplikasi model untuk single source pada berbagai stabilitas atmosfer digunakan model screen3 suatu model yang dikembangkan oleh badan lingkungan Amerika USEPA (United States Environmental Protection Agency). Model dispersi Screen3 digunakan untuk menganalisis pola sebaran polutan yang tidak reaktif pada periode jangka pendek (harian), sehingga diperoleh pola sebaran pada tingkat stabilitas yang berbeda. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Banten (2002) melakukan analisis pola penyebaran polusi udara di Provinsi Banten. Sebaran polutan dikaji dengan menggunakan model screen3. Hasil analisis sebaran menunjukkan bahwa jarak sebaran terjadi pada berbagai kondisi stabilitas atmosfer. Pada stabilitas E yaitu pada saat kondisi udara agak stabil (slightly stable), penyebaran polutan dapat

terjadi sampai jarak puluhan ribu meter atau puluhan kilometer dari sumbernya. Konsentrasi terbesar (maksimum) yang jatuh pada permukaan tanah adalah pada stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable).

Aplikasi model untuk multiple sources digunakan model ISCST3 (Industrial Source Complex Short Term3). Rahmawati (2003) mengaplikasikan model dispersi Gauss untuk menduga pencemaran udara di kawasan industri. Analisis emisi dari sumber menggunakan model ISCST3. Sementara itu Venegas dan Mazzeo (2002) membuat model dispersi untuk mengevaluasi konsentrasi NO2 di Buinos Aires. Aplikasi model dari sumber titik menggunakan model ISCST3 sedangkan dari sumber area menggunakan model DAUMOD (The Atmospheric Dispersion Model). Model ini diaplikasikan untuk mengevaluasi sebaran polutan pada setiap grid untuk Kota Buinos Aires. Konsentasi NO2 perjam dan pertahun dapat diestimasi. Hasil prediksi terjadinya konsentrasi perjam lebih besar dari yang ditunjukan WHO. Ruhiat et.al. membuat prediksi sebaran SO2 di Kota Cilegon. Model dibangun dengan menggunakan persamaan adveksi-difusi untuk aliran unsteady. Kemudian Tan, Vergel dan Camagay (2006) membangun dan mengkalibrasi model dispersi polutan. Model dispersi udara digunakan untuk mengestimasi konsentrasi polutan yang diemisikan pada berbagai sumber industri. Konsentrasi polutan dianalisis searah dengan arah angin. Model ini diaplikasikan di Kota Manila, sebarannya dianalisis sebagai fungsi ruang dan waktu.

Untuk menganalisis penyebaran pencemar udara pada suatu wilayah, Santoso (2005) membuat model penyebaran pencemar udara dari kendaraan bermotor dengan menggunakan metode volume terhingga di Kota Bogor. Model yang dibangun, diturunkan dari persamaan umum tranpor untuk aliran steady. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencemar udara, menyebar ke semua arah melalui proses difusi. Sementara itu Lastdrager, Koren dan Verwer (2001) membuat teknik kombinasi masalah adveksi time-dependent pada setiap grid. Persamaan adveksi didiskretisasi menjadi persamaan linear. Hasil analisis menunjukkan bahwa teknik kombinasi lebih efisien dari pada pendekatan single-grid.

Schulze et.al. (2002) membuat model distribusí dan simulasi spasial-temporal. Untuk mendukung informasi spasial digunakan HILA (High Level

Architecture). Spasial-temporal pada standar geoinformasi digunakan DALI (Distributed Spatial-temporal Interoperability architecuture). Sementara itu Alimaman (2004) membuat model matematis monitoring kualitas lingkungan untuk kawasan perkotaan. Model ini dilakukan pada lokasi; Kota Bogor, Kota Jakarta, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Bandung. Model matematis yang dibangun adalah model regresi. Hasil pola regresi dengan variabel yang dikembangkan, didapat bahwa jumlah rumah dan jumlah industri yang bertambah, akan membutuhkan kebutuhan kapasitas jalan sesuai kebutuhan dengan jumlah kendaraan yang ada, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemudian Chenevez, Baklanov dan Sorensen (2004) membuat model prediksi transpor polutan dengan scheme integrasi numerik. Sebaran konsentrasi polutan (C) dianalisis dengan menggunakan persamaan adveksi-difusi. Persamaan dibangun dalam bentuk spasial dan temporal. Konsentrasi yang diemisikan pada waktu t+ Δt di dalam grid didapat solusi: Ctt = Δ2 t Q t.

( )

+Ct−Δt dengan Q tergantung pada volume emisi grid. Sementara itu Tartakovsky, Federico (1997) membuat solusi analitik untuk transpor pencemaran pada aliran nonuniform. Persamaan dibangun dari persamaan difernsial dispersi-konveksi steady-state untuk kasus 2 dimensi. Kemudian Fadimba (2005) membuat linierisasi dengan scheme Euler pada persamaan adveksi-difusi nonlinear. Fungsi aliran faksional, fungsi invers, dan koefisien difusi menggunakan deret Taylor-expansion. Hasil analisis linearisasi untuk time-step ditunjukkan dengan matrik.

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2005 sampai April 2008 termasuk untuk persiapan, perijinan dan penyusunan proposal. Penelitian dilakukan di Kota Cilegon Provinsi Banten. Wilayah kajian melingkupi kawasan industri, dan perumahan atau pemukiman Kota Cilegon dengan Kabupaten Serang, seperti terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Wilayah studi

Cilegon dikenal sebagai kota baja, karena di kota ini berdiri perusahaan pengolah baja terbesar di Indonesia. Berdirinya perusahaan ini, diikuti oleh perusahaan lain sebagai penunjang, sehingga membutuhkan lahan yang cukup luas. Lahan yang digunakan untuk industri menurut penggunaan tanah seluas 2.846,89 ha (BPN Kota Cilegon, 2004). Industri tersebut menyebar di tiga kecamatan yakni: kecamatan Ciwandan, Citangkil dan Pulomerak.

Dokumen terkait