• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.2. Pemrosesan Komunikasi Persuasif

3.2.1. Motivasi Dalam Memproses Komunikasi Persuasif

3.2.1.2. Predisposisi Kritis Pemilih

Kebiasan untuk berpikir kritis tidak dimiliki oleh semua informan pemilih. Dari seluruh informan pemilih yang diwawancarai, informan SES C dan informan SMP

merupakan jenis pemilih dengan predisposisi berpikir kritis rendah. Informan SES C merasa bahwa sebagai kader PDIP, ia harus mendukung pimpinannya. Dengan kata lain, siapapun yang diusung PDIP ia akan tetap memberikan dukungan.

“Ya kita harus yakin memilih nomer 1.”(SES C)

Sementara informan SMP lebih mendasarkan pilihan politiknya pada beberapa kiai yang menjadi guru spiritualnya. Ia meyakini bahwa siapapun yang dipilih atau diberi restu oleh kiainya merupakan pilihan terbaik dan pasti bisa dipertanggungjawabkan.

“Saya mantep karena itu yang memberi Abah Dim. Di samping itu Habib Lutfi sendiri juga merestui”. (SMP)

Informan pemilih yang lain dengan berbagai varian alasan menunjukkan memiliki predisposisi berpikir kritis. Informan SES A mampu memberikan penilaian tentang pelaksanaan pemilukada yang tidak sepenuhnya bersih.

“Kalau menurut saya pendapat pemilu sih dikatakan bersih itu juga tidak bersih. Jadi masyarakat itu ya itulah anehnya masyarakat, khususnya di kabupaten Kendal ya.” (SES A).

Informan SMA menunjukkan predisposi berpikir kritis ketika berusaha untuk menghindari golput. Baginya pemilukada merupakan momen yang penting untuk menentukan masa depan Kendal. Karena tidak ingin melewatkan momen tersebut dengan golput, maka informan SMA pun mengajak teman-temannya untuk tetap memilih.

“Mengajak teman satu lingkungan untuk melakukan pemilihan dan sebisa mungkin menghindari golput” (SMA).

Predisposisi kritis informan NU terlihat ketika ia menceritakan reaksinya saat ditegur oleh pimpinannya di kantor karena rambutnya diwarnai merah. Ia berani mempertanyakan pada pimpinannya ketika ada larangan yang tidak didasarkan pada ketetapan hukum.

“Pernah satu contoh gini, saya pernah diundang kepala kantor saya, karena saya hair colour, dia bilang, ‘Mbak Sa’adah tidak boleh hair colour lagi. Sebaiknya

warna hitam karena PNS tidak boleh hair colour’. Saya tanya, karena saya sudah baca aturan itu tidak ada gitu. Dia mencontohkan Ibu Bupati tidak berkenan pada saat suatu acara ada seorang staf humas yang memang dia kulitnya putih dan hair colournya lebih nyolok dari saya. Dan itu membuat Bupati tidak berkenan kemudian menyuruh kepala SKPD untuk melarang PNS hair colour. Itu yang membuat saya semakin tidak respect. Apalagi saya banyak tau dia karena ada temen yang kebetulan tetangga rumahnya aslinya gitu. (NU)”

Sementara informan SES B dan informan S1 memiliki kemiripan terkait predisposisi berpikir kritis. Keduanya meyakini bahwa posisi pekerjaannya mengharuskan mereka untuk bersikap obyektif dan netral. Meskipun keduanya memiliki hak pilih dan sama-sama memilih Widya Kandi, namun tanggungjawab dalam pekerjaan membuat mereka sadar bahwa pilihan pribadi tidak boleh sampai mempengaruhi kinerja.

“Saya juga tidak berani terang-terangan ke masyarakat yang lain supaya memilih si A, si B, kan nggak berani karena saya seorang jurnalis termasuk pada istri saya pun saya nggak memaksakan untuk memilih ini kan enggak, karena saya kan harus tahu diri.” (SES B)

Terlebih lagi bagi informan S1 yang pernah bekerja baik dengan suami Widya Kandi maupun Nurmakesi, pilihannya harus dipikirkan dengan baik. Sebagai bawahan, ia mampu memberikan penilaian secara objektif atas kinerja kedua pimpinannya tersebut.

“Ya kan gini, kita kan sebetulnya kan ada keterbatasan ya. Kita itu boleh memilih tetapi tidak bisa ikut mobilisasi. Boleh datang tidak menggunakan atribut, kan semacam itu. Sehingga sebetulnya kan biasanya itu kecenderungan seseorang untuk menentukan suatu sikap untuk melakukan suatu pilihan itu kan khususnya yang PNS itu cenderung diam, kecuali kalau memang ada maksud-maksud tertentu. Seandainya ini menang, maka saya akan gini akan gini, kan semacam itu.”(S1)

Untuk membangkitkan sikap berpikir kritis dari pemilih, sekaligus mengakomodir pemilih yang terbiasa berpikir kritis, tim kampanye Widya Kandi menyiapkan isu kegagalan kepemimpinan Nurmakesi selama menjabat bupati.

“penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh bupati Markesi saat itu, itu cukup untuk kita buat isu. Contohnya pelabuhan tidak diteruskan, mangkrak selama 3 tahun tidak diberikan anggaran, kemudian GNOTA juga tidak diberikan anggaran, PKK juga tidak diberikan anggaran, LP yang sedianya setiap tahun kita berikan

subsidi transportasi atau bentuknya apa itu juga dihapus tidak diberikan. Kemudian uang lauk pauk PNS ketika kita usulkan lebih besar dari kebutuhan TP, dia hanya berani memberikan tiga ribu. Jadi banyak hal kelemahan dalam sisi pengelolaan kekuasaan yang dilakukan oleh Saudara Markesi.”(Ketua Tim Kampanye)

Tim konsultan juga menyadari bahwa jika hanya mengandalkan orang-orang dari partai pendukung koalisi, tim Widya Kandi tidak akan bisa masuk pada pemilih-pemilih yang predisposisi kritisnya tinggi, sehingga KPRT kemudian menjadi jalan keluar.

“Karena ini, pilkada kami sadar bahwa ini Pilkada, bukan pemilu parpol, bukan pemilu legislatif,sehingga siapapun harus kita rengkuh tetapi kalau kader-kader penggerak ini berasal dari partai, tentu akan merasa kesulitan karena ini menyangkut pengkotakan ini. Kalau orang menjadi kader yang sudah terlihat backgroundnya dari awal partai A gitu, tidak akan bisa masuk. Ini strategi yang kami lakukan semacam itu, ini menyangkut networking. Kemudian menyangkut visi dan misi kami”(Budi, Tim Konsultan)

Widya Kandi kemudian mendapatkan respon dari masyarakat terkait ketidakmampuan Nurmarkesi untuk melanjutkan pembangunan yang sudah dirintis suaminya. Sejalan dengan apa yang dikomunikasikan oleh tim kampanye pada masyarakat pemilih.

“Jadi rakyat itu sudah tidak bisa di bohongin lagi. Mereka itu tau kenyataan yang sebenarnya meskipun kondisinya kenapa pak Hendy di tahan di demo-demo tapi rakyat itu paham karena kayak gini, “ngeten mawon bu pak Hendy niku saged mbangun nggeh brarti artone kangge mbangun nggeh, lha ini sekarang ini tidak ada pembangunan sama sekali lha artone teng pundi?”. Rakyat itu lugu tapi dalam pemikirannya itu masuk.”(Widya Kandi)

Dokumen terkait