• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Hukum Yang Menjadi Dasar Larangan Rangkap Jabatan Notaris

Dalam dokumen Hukum Dan Politik Hukum Jabatan Notaris (Halaman 145-152)

LARANGAN RANGKAP JABATAN BAGI NOTARIS 7.1 Melihat Kembali Sejarah Kelembagaan Jabatan Notaris D

7.4 Prinsip Hukum Yang Menjadi Dasar Larangan Rangkap Jabatan Notaris

nobile) dipertegas dengan penggunaan lambang negara yaitu Burung Garuda pada stempel jabatan. Penggunaan lambang negara terbatas pada lembaga-lembaga tertentu saja yang menerima tugas dari Negara. Notaris sebagai kepanjangan tangan dari Negara untuk melayani masyarakat khususnya dalam bidang hukum privat sudah selayaknya mendapatkan tempatnya sebagai suatu Jabatan Terhormat (officium nobile).

7.4 Prinsip Hukum Yang Menjadi Dasar Larangan Rangkap Jabatan Notaris

Berlakunya UUJN memepertegas bagaimana kewenangan dan kewajiban Notaris dalam tugas jabatannya. Selain kedua hal tersebut diatur pula mengenai larangan bagi Notaris. Mengenai larangan bagi Notaris yang telah ditentukan dalam Pasal 17 UUJN, dalam huruf c sampai dengan huruf i diatur bahwa Notaris dilarang merangkap jabatan atau pekerjaan lain, yaitu:

c. merangkap sebagai pegawai negeri;

d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat;

f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau

Pejabat Lelang Kelas II di luar wilayah jabatan Notaris; h. menjadi Notaris Pengganti; atau

i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

Suatu profesi dapat didefinisikan secara singkat sebagai jabatan seseorang kalau profesi tersebut tidak bersifat komersial, mekanis, pertanian dan sebagainya.216 Sifat sebagaimana tersebut diatas terdapat pada Jabatan Notaris. Jabatan Notaris adalah Jabatan terhormat (Officium Nobile) karena Notaris selaku Pejabat Umum merupakan jabatan kepercayaan (Vertrouwens Ambt) dan secara personal Notaris adalah seorang yang dipercaya masyarakat dalam pembuatan alat bukti berupa akta Otentik (Vertrouwens Person). Disamping itu Jabatan Notaris dikatakan sebagai jabatan yang terhormat karena Notaris sebagai Pejabat Umum menjalankan sebagian kekuasaan Negara di bidang hukum privat dan khususnya mengenai pembuatan akta otentik yang mempunyai nilai pembuktian sempurna.

Menurut Abdulkadir Muhammad, dalam menjalankan jabatannya seorang Notaris diharuskan memiliki:

1. Moral, akhlak serta kepribadian yang baik.

2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.

3. Bertindak jujur, mandiri dan tidak berpihak serta penuh rasa tanggung jawab berdasarkan Perundang-Undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.

4. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu hukum dan kenotariatan.

5. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat.

216 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, h. 10.

Disamping 5 (lima) hal tersebut diatas, Notaris sebagai sosok yang profesional seyogyanya memiliki pengetahuan yang mumpuni di bidang kelimuannya, mempunyai keahlian skill dan menjunjung tinggi etika profesi Jabatan Notaris. 217

Notaris bila dikaitkan dengan pengertian profesi menurut Abdul kadir Muhammad tersebut diatas, yaitu bahwa notaris sebagai salah satu jenis profesi harus memenuhi kriteria-kriteria tentang profesi dimana salah satu diantaranya, disebutkan bahwa profesi itu hanya meliputi bidang tertentu saja. Hal ini dapat diartikan bahwa suatu profesi harus dilakukan pada bidang tertentu saja (spesialisasi) artinya tidak boleh merangkap atau dirangkap dengan pekerjaan atau profesi lain. Sehingga jelaslah bahwa Notaris sebagai salah satu jenis profesi, tidak boleh melakukan rangkap jabatan.

Pendapat Abdulkadir di atas tak jauh berbeda dengan pendapat Ignatius Ridwan Widyadharma, yang mengacu pada cerita dialog filosof Plato “The Republic”, bahwa seorang profesional itu harus menguasai pekerjaannya sesuai dengan kode etik mereka dan bukan sekadar pelayanan yang amburadul, maka notaris sebagai suatu profesi harus dilakukan dengan profesional. Sedangkan seseorang yang profesional itu harus melakukan spesialisasi yang artinya tidak boleh merangkap dengan pekerjaan lain.218

Begitu juga jika dikaitkan dengan pendapat Franz Magnis Suseno yang menyatakan bahwa sebagai seorang profesional hukum, Notaris harus memiliki 5 kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian Notaris tersebut yaitu kejujuran, otentik, bertanggungjawab, kemandirian moral dan keberanian moral. Kelima nilai moral tersebut tentunya tak akan mungkin terpenuhi kalau Notaris masih melakukan rangkap jabatan.219

Seorang Notaris juga tidak mungkin melakukan rangkap jabatan jika dihubungkan dengan pendapat Notohamidjojo yang mengharuskan seorang profesional hukum memiliki sikap manusiawi, adil, patut dan jujur. Logikanya apabila Notaris tersebut masih

217Habib Adjie, “Politik Hukum Kenotariatan”, Bahan Bacaan Mahasiswa, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Naro- tama Surabaya, 2014. h. 14.

218 Ignatius Ridwan Widyadharma, Etika Profesi Hukum Dan Keperanannya, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, h. 17.

melakukan rangkap jabatan akan sangat susah baginya bersifat adil dan jujur. Pasti akan ada kecenderungan untuk menguntungkan salah satu pihak yang akibatnya menjadi bersikap tidak adil dan tidak jujur.

Notaris harus memenuhi syarat nama baik, kewibawaan, ketelitian, kejujuran serta integritas. Semua syarat di atas akan sangat sulit terpenuhi apabila Notaris masih melakukan rangkap jabatan. Sebagai gambaran seorang Notaris yang merangkap jabatan tentunya akan sangat sulit baginya untuk membagi waktu dengan pekerjaan sebagai notaris, kalaupun bisa pastinya pekerjaannya menjadi tidak maksimal. Disamping itu dengan melihat bagaimana tugas dari jabatan lain yang dirangkapnya tentunya akan membuat independensi dalam pekerjaan sebagai Notaris akan terganggu dan menjadi cenderung berpihak pada salah satu pihak dalam aktanya karena pasti sangat besar kemungkinan mereka akan membuat akta yang ada hubungannya dengan kantor tempatnya bekerja. Dari segi ketelitian, sangat tidak mungkin notaris bisa membuat akta dengan teliti apabila ia masih disibukkan dengan pekerjaan lain. Dengan semua pelanggaran yang ada, tentunya kewibawaan yang diharapkan ada pada seorang notaris otomatis akan hilang.

Ketentuan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a UUJN menyatakan dalam menjalankan tugas jabatannya Notaris wajib “bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”. Sebagai Pejabat Umum, Notaris harus Independen. Dalam istilah sehari-hari istilah Independen ini sering disama-artikan dengan Mandiri. Dalam konsep Manajemen bahwa penerapan istilah Mandiri, berarti institusi yang bersangkutan secara manajerial dapat berdiri sendiri tanpa tergantung kepada atasannya, tetapi secara institusional tetap tergantung kepada atasannya. Sedangkan Independen baik secara manajerial maupun insitusional tidak tergantung kepada atasannya ataupun kepada pihak lainnya.

Independen ini mempersoalkan kemerdekaan Pejabat Umum dari intervensi atau pengaruh pihak lain ataupun diberi tugas oleh instansi lain. Oleh karena itu dalam konsep Independen ini harus diimbangi dengan konsep Akuntabilitas. Akuntabilitas ini mempersoalkan keterbukaan menerima kritik dan pengawasan dari

luar serta bertanggungjawab kepada pihak luar atas hasil pekerjaannya atau pelaksanaan tugas-jabatannya.

Dalam Indepedensi ini ada 3 (tiga) bentuk yaitu:

1. Structural Independen, yaitu independen secara kelembagaan (institusional) yang dalam bagan struktur (organigram) terpisah dengan tegas dari institusi lain. Dalam hal ini meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan HAM, secara kelembagaan tidak berarti menjadi bawahan Menteri Hukum dan HAM atau berada dalam struktur Departemen Hukum dan HAM.

2. Functional Independen, yaitu independen dari fungsinya yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang menga- turnya tugas, wewenang dan jabatan Notaris. Fungsi ini dalam praktek sangat sulit untuk ditertibkan.

3. Financial Independen, yaitu independen dalam bidang keuangan yang tidak pernah memperoleh anggaran dari pihak manapun juga. 220

Sebagaimana diuraikan di atas, dalam konsep Independen berkaitan dengan konsep Akuntabilitas atau Pertanggungjawaban, yaitu terdiri dari:

1. Akuntabilitas Spritual. Hal ini berkaitan dengan keyakinan secara langsung-vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bersifat pribadi. Akuntabilitas seperti ini dapat dilihat dari kalimat yang tercantum dalam Sumpah/janji Jabatan Notaris, yaitu “Demi Allah, saya bersumpah”. Oleh itu karena bagaimana implementasi Akuntabilitas Spiritual ini akan tergantung kepada diri-sendiri Notaris yang bersangkutan. Hanya Tuhan Yang Maha Esa dan dirinya yang tahu. Akuntabilitas Spiritual ini seharusnya mewarnai dalam setiap tindakan/perbuatan Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya, artinya apa yang diperbuat oleh Notaris bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada masyarakat saja, tapi juga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu sangat penting nilai-nilai Ke”Tuhan”an menyertai setiap perilaku, tindakan dan perbuatan Notaris.

2. Akuntabilitas moral kepada publik. Kehadiran Notaris adalah untuk melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkan akta- akta otentik ataupun surat-surat yang lainnya yang menjadi

kewenangan Notaris. Oleh karena itu masyarakat berhak untuk mengontrol “hasil kerja” dari Notaris. Salah satu konkretisasi dari akuntabilitas ini, misalnya masyarakat dapat menuntut Notaris, jika ternyata hasil pekerjaannya merugikan anggota masyarakat. Ataupun ada tindakan-tindakan Notaris yang dapat “mencederai” masyarakat yang menimbulkan kerugian baiak materi maupun immateril kepada masyarakat.

3. Akuntabilitas hukum. Notaris bukan orang/jabatan yang “imun” (kebal) dari hukum. Jika ada perbuatan/tindakan Notaris yang menurut ketentuan hukum yang berlaku dapat dikategorikan melanggar hukum (pidana, perdata, administrasi), maka mau tidak mau Notaris harus bertanggungjawab.

4. Akuntabilitas profesional. Notaris dapat dikatakan profesional jika dilengkapi dengan berbagai keilmuan yang mumpuni yang dapat diterapkan dalam praktek, tapi bukan berarti “tukang”, tapi dalam hal bagaimana mengolah nilai-nilai atau ketentuan-ketentuan yang abstrak menjadi suatu bentuk yang tertulis (akta) sesuai yang dikehendaki oleh para pihak. Oleh karena itu kita jangan lelah dan bosan untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas keilmuan agar senantiasa profesional. Adanya kegiatan refreshing

dan upgrading yang dilakukan selama ini dapat meningkatkan “intelectual capital” dan juga “supplement intelectual” bagi Notaris.

5. Akuntabilitas administratif. Sebelum kita menjalankan jaba- tan/tugas sebagai Notaris sudah tentu Notaris telah mempunyai surat pengangkatan kita sebagai Notaris, sehingga legalitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi, tapi yang sampai saat ini masih jadi pertanyaan, sebagai Notaris secara administratif dalam pengang- katan dan penggajian karyawan. Banyak Notaris yang mengangkat karyawan karenan “pertemanan” ataupun “persaudaraan”. Padahal sebenarnya apapun latar belakangnya tetap harus ada pembenahan secara administratif. Kemudian juga yang lainnya yaitu mengenai “pengarsipan” akta-akta, terkadang kita menatanya “asal-asalan”, padahal akta tersebut adalah arsip negara yang harus kita “administrasikan” secara seksama. Oleh karena itu sangat beralasan kita harus belajar “Manajemen Kantor Notaris” yang bahan dasarnya dari pengalaman-pengalaman Notaris senior yang kemudian dibukukan.

6. Akuntabilitas keuangan. Bentuk akuntabilitas dalam bidang keuangan ini yaitu melaksanakan kewajiban untuk membayar pajak. Ataupun membayar kewajiban lain kepada organisasi, seperti iuran bulanan misalnya. Kemudian juga membayar gaji para karyawan harus sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR).221

Bahwa yang terurai di atas hanya merupakan bagian kecil saja dari Independensi dan Akuntabilitas Notaris, sebenarnya hal tersebut telah diatur/disebutkan dalam Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) dan diuraikan dalam bahasa hukum/undang-undang namun sulit untuk dimplementasikan. Hal tersebut disebabkan karena betapapun “restriktif”nya suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat mengatur hal-hal yang kecil yang mungkin terjadi dalam praktek, tapi dengan pemahaman independensi dan akuntabilitas seperti itu kita dapat mengetahui dimana dan bagaimana kita menjalankan tugas/jabatan sebagai Notaris.

Larangan rangkap jabatan bagi Notaris erat kaitannya dengan prinsip profesionalitas dan prinsip kemandirian. Prinsip profesional Notaris erat kaitannya dengan jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan, yaitu sebagai sosok yang dipercaya Negara untuk melayani masyarakat, sehingga untuk menjalankan jabatan Notaris diperlukan konsentrasi baik itu energi maupun pikiran agar mampu melayani masyarakat yang membutuhkan jasanya secara maksimal. Sedangkan prinsip kemandirian Notaris dapat dilihat bahwa meskipun Notaris diangkat oleh Menteri tetapi Notaris bukan subordinat dari Menteri, selain itu Notaris tidak digaji oleh Negara sehingga jelas bahwa dengan kondisi tersebut Notaris menjadi sosok yang independen atau mandiri serta bebas dari pengaruh kekuasaan baik itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dengan Notaris merangkap jabatan terlebih dalam lingkup pelaksana salah satu dari tiga unsur tersebut diatas maka kemandirian Notaris akan menjadi hilang.

Keberadaan jabatan Notaris dibutuhkan oleh masyarakat dan sebagu organ atau kepanjangan tangan pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat, oleh karenanya Notaris harus menjalankan jabatannya secara profesional, independent dan tidak memihak. Apabila terjadi Notaris merangkap

jabatan yang mewakili golongan tertentu maka akan terjadi keberpihakan dan Notaris menjadi tidak lagi mandiri atau independen.

Selain itu, Larangan rangkap jabatan Notaris berkaitan erat dengan bentuk spesialisasi yang mengharuskan seorang Notaris bersikap profesional dimana salah satunya yaitu dengan berkonsentrasi pada satu profesi yang telah ia putuskan untuk ia jalani. Disamping itu larangan tersebut juga bertujuan untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan serta agar notaris itu tetap independen dan netral.

BAB VIII

LARANGAN RANGKAP JABATAN

Dalam dokumen Hukum Dan Politik Hukum Jabatan Notaris (Halaman 145-152)