• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip kedaulatan merupakan hasil terjemahan dari kata “sovereignty”

(bahasa inggris), “sovereinete” (bahasa prancis) atau “sovranus” (bahasa italia).72

Kata-kata asing ini beral dari kata latin yakni “supranus”, yang mempunyai

arti sebagai yang tertinggi atau yang teratas menurut terjemahan Mochtar

Kusumaatmadja.73

72

Yudha Bakti Ardhiwisastra, 1999, Bandung, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, Alumni, hal. 41

Menurut pandangan Jean Bodin menganggap kedaulatan sebagai atribut dan cirri khusu dari Negara. Menurut Jean Bodin kedaulatan merupakan hal yang pokok dari setiap kesatuan berdaulat yang disebut Negara. Tanpa kedaulatan maka tidak ada Negara dan karenanya kedaulatan merupakan kekuasaan mutlak dan

abadi dari Negara yang tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi.74

Menurut Bodin yang dinamakan kedaulatan itu mengandung satu-satunya kekuasaan sebagai :

Selanjutnya Bodin juga mengatakan, bahwa tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi Negara.

75

1. Asli, artinya tidak diturunkan, dari sesuatu kekuasan lain.

2. Tertinggi, tidak ada kekuasan lain yang lebih tinggi yang dapat

membatasi kekuasaannya.

3. Bersifat abadi atau kekal;

4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja.

5. Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada sesuatu badan lain.

Jean Bodin adalah orang pertama yang member bentuk ilmiah pada teori

kedaulatan, akan tetapi persoalan mengenai kekuasaan tertinggi dalam Negara itu telah dikenal sejak jaman Aristoteles dan sarjana-sarjana hukum romawi pada zaman dahulu.

Ajaran dari Bodin ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Thomas Hobbes

dan John Austin sebagai pengikut aliran Positivisme.76

Sekalipun terdapat perbedaan-perbedaan penapat dalam memberikan penjelasan terhadap sifat kedaulatan namun, para pengarang abar ke 16 dan 17 mempunyai Demikian juga Puffendorf pengikut ajaran Hobbes tetap meyakini, bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dalam Negara.

73

Mochtar Kusumadmaja, 1976, Bandung, Pengantar Hukum Internasional, Bagian I (Umum), Binacipta, hal. 15

74

Fred isjwara, Bandung, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, hal. 108

75

Mochtra Affandi, 1971, Bandung, Ilmu-ilmu Negara, Alumni, hal. 160

76

dasar pandangan yang sama yakni, bahwa kedaulatan itu tidak dapat dibagi-bagi.77

Perubahan pandangan ini setelah adanya perjanjian perdamaiaan Westphalia pada tahun 1648, yang telah mengakhiri perang tiga puluh tahun di Eropa.

Dalam abad ke 18 terjadi perubahan pandangan mendasar terhadap sifat kedaulatan yaitu disalah satu pihak terdapat pengarang-pengarang yang membedakan antara kekuasaan atau kedaulatan mutlak dengan kedaulatan terbatas.

78

Prinsip kedaulatan tersebut dalam perkembangannya mengalami perubahan, misalnya dalam kepustakaan hukum internasional disebut sebagau Negara yang berdaulat adalah Negara yang mampu dan berhak mengurus sendiri kepentingan-kepentingan dalan negeri maupun luar negeri dengan tidak bergantung kepada

Negara lainnya.79

Menurut paham sarjana-sarjana barat klasik, prinsip kedaulatan ekstern ini sudah merupakan pengertian yang using yang selalu dilebih-lebihkan pemakaiannya. Sarjana-sarjana klasik ini menyatakan, bahwa Negara-negara baru terlalu menitik beratkan pengertian kedaulatan ekstern ini sedemikian rupa, padahal sekarang ini justru merupakan zaman kerjasama internasional yang pada hakikatnya menuntut dilepaskannya anggapan yang mutlak dari kedaulatan itu.

Jean Bodin menyelidiki kedaulatan ini dari aspek dalam batas-batas lingkungan wilayahnya dimana kedaulatan intern ini adalah kekuasaan tertinggi dari Negara untuk mengurus wilayah dan rakyatnya.

Grotius menyelidiki kedaulatan dari aspek ekstrennya, yaitu kedaulatan dalam hubungannya dengan Negara-negara lain. Kedaulatan ekstern ini lebih umum dikenal dengan kemerdekaan dan persamaan derjat.

80

Pada permulaan perkembangannya immunitas Negara telah diterima, bahwa suatu Negara secara mutlak tidak dapat diganggu gugat dihadapan forum hakim Negara

Ini terjadi setelah perang dunia ke-2 usai, dimana banyak Negara-negara baru muncul yang menonjolkan peranan kedaulatan negara dalam hubungan internasional seperti Negara-negara Asia, Afrika dan Negara-negara Sosialis.

77

Oppenheim,-Lauterpacht, 1961, London, international Law, Vol. I Longmans, Green and Co, hal. 120

78

Ibid, hal. 127

79

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, op.cit, hal. 43

80

lain. Hal ini terjadi juka Negara tersebut dijadikan pihak sebagai tergugat yang dituntut atas tindakan yang merugikan pihak penggugat (perorangan) dimana tuntutan atas Negara tersebut dilakukan di forum pengadilan di luar wilayah

Negara yang dituntut (forum pengadilan asing).81

Pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat merupakan yang pertama merumuskan doktrin imunitas mutlak. Keputusan hakim Marshall dalam perkara “The Scooner Exhange” lawan “Mc. Faddon” pada tahun 1812 telah berulang kali dijadikan sebagai acuan sikap yudisial mengenai doktrin imunitas mutlak.

Praktek demikian berdasarkan atas penerimaan doktrin imunitas mutlak atau

absolute (Absolute Immunity) dimana sejak abad ke- 19 berbagai keputusan

hukum telah mengecualikan Negara lain dari yuridiksi pengadilan nasional.

82

Imunitas kedaulatan yang pada permulaannya memiliki sifat mutlak ternyata dalam penerapannya, melalui berbagai putusan pengadilan, telah mengalami perubahan mendasar menjadi mimunitas terbatas yang lebih dikenal dengan sebutan doktrin tindakan Negara. Dalam doktrin ini Negara memiliki pribadi ganda, yaitu sebagai kesatuan yang berdaulat (public) dan sebagai perseorangan biasa (perdata).

Dalam keputusan Marshall dalam perkara diatas diakatan, bahwa sifat dan dasar hukum imunitas Negara asing terhadap yuridiksi pengadilan setempat merupakan

perpaduan antara dua prinsip dasar (fundamental principle) hukum internasional

dimana keduanya merupakan aspek hukum kedaulatan, yaitu prinsip dan kepribadian Negara.

Perubahan pandangan terhadap Negara (dalam arti untuk apa Negara itu) dari keonsep Negara hukum dalam arti sempit menjadi Negara hukum modern telah mengakibatkan dipersoalkannya imunitas kedaulatan suatu Negara asing di hadapapan pengadilan nasional.

83

Perlindungan terhadap suatu Negara dalam bentuk imunitas kedaulatan hanya dapat diberikan apabila Negara bersangkutan telah bertindak dalam kualitasnya sebagai suatu kesatuan berdaulat. Dari kesadaran inilah suatu Negara berada

dalam status “iure imperil”. dan perlindungan tidak dapat diberikan terhadap

suatu kepentingan Negara asing apabila Negara tersebut berada dalam status “iure

gestiones” yaitu sebagai perseorangan biasa.84

81

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 1999, Bandung, imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Aing, PT. Alumni. Hal. 1

82 Ibid, hal. 2-3 83 Ibid, hal. 17 84 Ibid, hal. 8

Dokumen terkait