• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Kerjasama dan Kesantunan,

Kode dan Alih Kode

Sebagai Pola dan Strategi Komunikasi

Kompetensi dan Pengantar

Setelah mempelajari bab ini dengan seksama, pembelajar diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut:

 Memahami strategi komunikasi sebagai pola komunikasi

 Memahami prinsip kerjasama dan prinsip sopan santun dalam berkomunikasi

 Memahami penggunaan tingkat tutur dalam berkomunikasi  Memahami pragmatik lintas budaya dalam berkomunikasi  Memahami kode dan alih kode dalam berkomunikasis

Strategi komunikasi dalam buku ini adalah cara atau metode yang digunakan oleh penutur agar tujuan tutur dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur tanpa adanya kesalahpahaman yang dapat menimbulkan kegagalan komunikasi (Haryono 2014). Strategi komunikasi meliputi prinsip kerja sama (PK) berserta maksim-maksimnya dan prinsip kesantunan (PS). Adapun pola komunikasi menurut Haryono (2013:22) dapat didefinisikan sebagai model-model interaksi penggunaan kode bahasa yang didasarkan pada hubungan-hubungan yang khas dan berulang antarkomponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik, interaksi sosial, dan kultural.

Pola komunikasi tersebut dapat berupa kategori dan fungsi bahasa yang tercermin dalam tuturan, penggunaan tingkat tutur (ondhâghân bhâsa/speech level), pilihan bahasa dan ragam bahasa sebagai wujud alih kode dan campur kode, intonasi (tone), dan simbol-simbol yang ditampakkan melalui gerakan-gerakan tubuh (body language) sebagai aspek pendukung pemahaman terhadap tindak tutur yang terjadi dalam bahasa verbal, serta alih giliran tutur. (Haryono, 2011).

Oleh karena itu, dalam kajian etnografi komunikasi juga diperlukan teori-teori kebahasaan yang relevan seperti teori-teori pragmatik dan sosiolinguistik yang dibutuhkan untuk memperkuat analisis komponen tutur dan analisis percakapan sebagaimana disajikan berikut ini.

Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS) dalam Berkomunikasi

Prinsip Kerjasama (PK) (Cooperative Principle) dalam suatu percakapan adalah suatu pedoman yang perlu diperhatikan dan ditaati oleh partisipan tutur dalam peristiwa tutur agar komunikasi berjalan dengan lancar dan efektif, serta tidak terjadi kesalahpahaman. Grice (1975: 47); Yule (1996: 36-37); Nadar (2008: 24-25) menjelaskan bahwa PK itu mempunyai pengertian sebagai berikut: Buatlah sumbangan percakapan anda sedemikian rupa sesuai yang dikehendaki, sesuai dengan perkembangan konteks atau situasi terjadinya percakapan, dan sesuai dengan maksud atau arah yang disepakati dalam percakapan yang anda ikuti. Kita membutuhkan PK untuk lebih mudah menjelaskan hubungan antara makna dan daya―penjelasan yang demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam semantik yang memakai pendekatan kebenaran (truth-based approch).

Grice lebih lanjut merinci prinsip kerjasama ke dalam 4 maksim (maxims / guidelines)sbb:

a. Kualitas (Quality):Buatlah sumbangan percakapan dan merupakan sumbangan percakapan yang benar, khususnya: Jangan mengatakan apa yang dianggap anda salah; Jangan mengatakan sesuatu yang tidak didukung bukti yang cukup.

b. Kuantitas (Quantity): Buatlah sumbangan percakapan anda seinformatif mungkin sesuai yang diperlukan oleh percakapan itu―jangan memberikan sumbangan lebih informatif dari pada yang diperlukan .

c. Hubungan/relevansi (Relation / Relevance): Buatlah percakapan anda relevan.

d. Cara (Manner): Bicaralah dengan jelas, dan khususnya: 1) Hindari kekaburan; 2) Hindari ketaksaan; 4) Bicaralah singkat; 4) Bicaralah secara teratur.

Keempat maksim tersebut menjelaskan apa yang harus dilakukan peserta percakapan agar dia dapat berbicara secara efisien, rasional, dan dilandasi kerjasama, artinya pembicara harus bekerja dengan jujur, relevan, dan jelas dengan memberikan informasi secukupnya. Untuk lebih jelasnya kita perhatikan percakapan berikut.

Ada seorang wanita yang sedang duduk pada suatu kursi panjang dipertamanan, dan seekor anjing terbaring di tanah di depan kursi panjang itu. Seorang lelaki datang mendekati dan duduk pada kursi tersebut.

Man : Does your dog bite ? Women : No

31

(Orang lelaki itu membungkuk untuk mengelus-elus anjing tersebut. Anjing itu menggigit tangan lelaki tersebut)

Man : Ouch! Hey! You said your dog doesn’t bite. Women : He doesn’t. But that’s not my dog.

(Yule, 1996: 36) Permasalahan dalam percakapan ini bukanlah permasalahan praanggapan (presupposition) karena asumsi ‘your dog (the women has a dog)’ adalah benar. Wanita tersebut memang mempunyai anjing. Yang

menjadi masalah adalah anggapan bahwa pertanyaannya ‘Does your dog bite ?’ dan jawaban wanita itu ‘No’ dimaksudkan tidak berlaku untuk anjing yang terbaring di depannya. Dipandang dari perspektif lelaki tersebut, jawaban wanita itu tidak memberi informasi yang lengkap sebagaimana yang diharapkan. Dengan kata lain, dia (wanita itu) diharapkan memberi jawaban atau informasi seperti dinyatakan dalam kalimat terakhir. Dia tidak memberikan informasi yang lengkap. Hal ini

melanggar maksim kuantitas. Dia semestinya tidak hanya berkata ‘No’ terhadap pertanyaan lelaki itu. Akan tetapi, yang terjadi bahwa wanita itu sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa dia tidak ingin bercakap-cakap dengan orang asing (orang yang belum dia kenal) sehingga dia tidak menunjukkan cooperative interaction. Oleh karena tidak ditaatinya PK dalam konteks di atas, kurang lengkap informasi/kurang infonmatif (melanggar maksim kuantitas) maka terjadilah salah inferensi dan digigitlah tangan laki-laki tersebut oleh anjing itu. PK memang selalu mendasari setiap percakapan, jika percakapan diharapkan berjalan lancar. Namun demikian, tidak semua maksim berlaku untuk semua situasi―ada kalanya maksim-maksim dalam PK dilanggar untuk memenuhi kebutuhan sosial yang lebih penting.

Berkaitan dengan PK, (Leech, 1993: 120-121; Nadar, 2008: 28-29) mengemukakan bahwa ada masyarakat yang dalam situasi tertentu lebih mementingkan atau mendahulukan prinsip sopan santun (PS) (Politeness Priciple) dari pada PK. Lebih-lebih dalam masyarakat yang beradab, PS tidak dapat dikesampingkan, tidak dapat dianggap sebagai tambahan terhadap PK. Selanjutnya Leech (1993: 121-122) memberikan contoh sebagai berikut:

A: We’ll all miss Bill and Agatha, won’t we?

(Kita semua akan merindukan Bill dan Agatha bukan ?)

B: Well, we’ll all miss Bill

(Ya, kita semua akan merindukan Bill)

Dalam percakapan tersebut di atas, B dengan jelas melanggar maksim kuantitas: Ketika A menginginkan B mengiakan pendapat A, B hanya mengiakan sebagaian saja, dan tidak menghiraukan bagian terakhir

pendapat A. Dari sini kita memperoleh: ‘Penutur berpendapat bahwa tidak semua orang merindukan agatha’. Bahwa B sengaja tidak menyatakan pendapat ini, melanggar maksim kuantitas atau maksim kejelasan/kelengkapan informasi, dan maksim hubungan atau relevansi. B lebih mentaati PS dari pada PK karena dia tidak ingin bertindak tidak sopan terhadap pihak ketiga (Agatha).

Penggunaan Tingkat Tutur (Speech Level)

Pada umumnya di dalam suatu bahasa terdapat cara-cara tertentu untuk menentukan perbedaan sikap hubungan antara penutur dengan mitra tutur dalam bertutur. Sikap itu biasanya sangat bervariasi dan sangat ditentukan oleh anggapan tentang tingkatan sosial para peserta tutur itu. Misalnya, ketika seorang penutur bertutur dengan seorang yang perlu dihormati, maka pastilah penutur itu akan menggunakan kode tutur yang memiliki makna hormat. Demikian pula manakala si penutur berbicara dengan seorang yang tidak perlu dihormati, maka penutur sudah barang tentu akan menggunakan kode tutur yang tidak dihormati pula (Rahardi, 2001: 53).

Fenomena tersebut terjadi karena di dalam masyarakat tutur terdapat anggota-anggota golongan tertentu yang sangat perlu untuk dihormati dalam bertutur, tetapi ada juga dalam golongan masyarakat tertentu yang tidak perlu mendapatkan penghormatan yang khusus. Oleh karena itu, sebenarnya bentuk tingkat tutur itu secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni bentuk hormat dan bentuk biasa.

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya dua macam bentuk tingkat tutur itu ternyata bermacam-macam dan berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Masyarakat akan dihormati atau barangkali tidak dihormati karena bentuk dan kondisi tubuhnya, kekuatan ekonomi, status sosial, kekuatan, dan pengaruh politiknya, alur kekerabatan, usia, jenis kelamin, kondisi psikis, dan lain sebagainya.

Di dalam kebanyakan tingkat tutur pemakaian bentuk-bentuk pronomina atau kata ganti banyak yang digunakan untuk menunjukkan perbedaan rasa hormat penutur kepada sang mitra tutur. Simbol-simbol tersebut seringkali dipakai dalam bertutur untuk menunjukkan rasa hormat. Dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata-kata tertentu seperti istana, putera, bersabda, menganugerahi, dan sebagainya untuk menunjukkan rasa hormat. Dalam bahasa Madura cara-cara seperti yang ada dalam bahasa Indonesia juga ada dengan pronomina orang pertama terdapat kata sengko’, kaulâ, abdhina; dengan pronomina orang kedua yaitu, bâ’na, sampèyan, dhika, panjenengan, ajunan, padhâna. Bentuk-bentuk dengan kata benda dalam bahasa Madura yang menunjukkan perbedaan rasa

33

hormat itu misalnya bengko, compo’, dhâlem, yang kesemuanya bermakna

‘rumah’. Pada kata kerja misalnya terdapat tèdung, sarèn, kèlem, yang

maknanya adalah ‘tidur’. Pada kata sifat misalnya terdapat sakè’, bârâng, songkan’, yang maknanya ‘sakit’. Dalam bahasa Jerman juga terdapat

variasi pronomina orang pertama ich, wir ‘saya, kami/kita’ walaupun tidak menunjukkan untuk menyatakan rasa hormat, sedangkan pronomina orang kedua Sie‘tuan/bapak’ dan du‘kamu’ dapat membedakan rasa hormat dan tidak hormat atau akrab dan tidak akrab. Sie yang disebut Sie groß digunakan untuk berbahasa dengan orang yang dihormati atau belum akrab, sedangkan du digunakan untuk berbahasa dengan orang sebaya atau orang yang sudah dianggap akrab. Dalam bahasa Jawa cara-cara yang ada pada bahasa Indonesia, bahasa Madura, Bahasa Jerman itu juga ada, misalnya dengan pronomina orang pertama terdapat kata aku, kula, dalem, kawula, dengan pronomina orang kedua terdapat kosa kata kuwe, sampèyan, panjenengan, paduka dan dengan pronomina orang ketiga digunakan kata dèwèkè, kiyambakè, piyambakipun, dan panjenenganipun. Bentuk-bentuk kata benda dalam bahasa Jawa yang menunjukkan perbedaan rasa hormat itu misalnya omah, griya, dalêm, yang kesemuanya

bermakna ‘rumah’. Dengan kata kerja misalnya terdapat turu, tilem, sarè

yang maknanya adalah ‘tidur’. Dengan kata sifat misalnya terdapat lara, sakit, gerah yang maknanya ‘sakit’.

Berdasarkan penjelasan dan contohs-contoh tersebut dapat dikatakan bahwa dalam bahasa apapun terdapat kosa kata dan kalimat yang dapat digunakan untuk menyatakan rasa hormat dan biasa (akrab), khususnya dalam bahasa-bahasa daerah yang secara terinci diatur dalam penggunaan tingkat tutur (speech level).

Tingkat Tutur (speech level) dalam Bahasa Madura

Dilihat dari sudut pemakaiannya, bahasa Madura (BM) memiliki variasi dialektis dan variasi tingkat tutur (ondhâghân bhâsa). Variasi dialektis BM ada empat macam, yaitu: (1) dialek Sumenep, (2) dialek pamekasan, (3) dialek Bangkalan, dan (4) dialek Kangean. Dialek sumenep digunakan di wilayah Kabupaten Sumenep, kecuali beberapa Kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan; dialek Pamekasan digunakan di wilayah Kabupaten Sumenep bagian barat dan Kabupaten Pamekasan; dialek Bangkalan digunakan di wilayah Kabupaten Sampang dan kabupaten Bangkalan; sedangkan dialek Kangean digunakan di Pulau Kangean dan wilayah Kabupaten Sumenep (Sofyan, 2009: 43-44). Menurut pendapat Sofyan (2009: 45), di samping ketiga tingkat tutur tersebut, dalam BM juga terdapat satu variasi tingkat tutur yang jarang sekali digunakan, yakni yang disebut bhâsa alos (BA) atau bhâsa

karaton ‘bahasa keraton’ dan dua buah variasi tingkat tutur yang sangat sering digunakan, yakni (1) ragam kota atau sering disebut bhâsa Malaju

(BMlj) ‘bahasa Melayu’ dan (2) tingkat tutur engghè-enten (Eg-E). BM ragam kota disebut sebagai bhâsa Malaju karena bahasa yang digunakan lebih mirip dengan bahasa Melayu, dengan penggunaan kata-kata: saya

‘saya’, situ ‘kamu’, enda’ ‘tidak’,(i)ya ‘ya’, kamana’a ‘akan kemana’, dâri mana ‘dari mana’, tidak pernah menggunakan ella ‘jangan’ tetapi menggunakan jhâ’…ya. Ragam bahasa ini biasa digunakan dalam pergaulan di perkotaan, baik oleh para remaja maupun orang dewasa. Etnik Arab dan Cina—yang merupakan etnik yang jumlahnya cukup banyak di Madura—biasanya menggunakan BM ragam ini.

Tingkat tutur Eg-E adalah tingkat tutur yang biasa dituturkan oleh penutur yang memiliki status sosial lebih tinggi daripada lawan tutur; dengan hubungan antarpenutur agak akrab atau sudah lama saling kenal. Ciri dari BM ragam ini adalah penggunaan kata-kata: bulâ‘saya’, dhika

‘kamu, anda’, maddhâ ‘mari’, empon ‘jangan’, marè ‘sudah’, enten

‘tidak’, engghè‘ya’, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, tingkat tutur BM dan penggunaannya dalam interaksi sosial masyarakat Madura dapat digambarkan seperti tabel berikut:

Tabel 3.1: Tingkat Tutur BM

No Tingkat Tutur/ Ragam Hubungan Partisipan Penggunaan

Contoh Pemakaian Kata saya Engkau ya 1. enjâ’- iyâ (E-I) sebaya atau penutur berumur lebih tinggi; sangat akrab dengan teman akrab; orang tua kepada anak

sèngko’ bâ’na iyâ

2. engghi- enten (E-E) penutur berumur lebih rendah dg jarak status sosial tidak terlalu jauh sesama dewasa yg baru kenal, kpd orang tua

35 3. èngghi- bhunten (È-B) penutur berumur lebih rendah dg jarak status sosial cukup jauh; sering berinteraksi kpd atasan, kpd mertua bhâdhân kaulâ panjhәn- nengngan èngghi +4. bhâsa alos (BAl) penutur dg jarak status sosial sangat jauh; jarang berinteraksi kpd kiai; kpd pejabat tinggi dâlәm/ abdhina Ajunan, padhâna dhâlәm +5. engghè- enten (Eg-E) penutur berumur lebih tua; sering berinteraksi mertua kpd menantu, tetangga yg lebih muda

bulâ Dhika engghe

+6. bhâsa Malaju (ragam kota) (BMlj) agak akrab, tidak ada hubungan keluarga teman sekolah atau kantor, etnik lain

saya Situ iya

Dikutip dari Sofyan, (2009: 47) sebagian dikembangkan sendiri oleh penulis sesuai topik penelitian

Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa

Di dalam bahasa Jawa juga terdapat bentuk-bentuk khusus dalam sistem tingkat tuturnya. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi menyatakan kesopanan yang tinggi (krama), ada tingkat tutur menengah yang menyatakan rasa kesopanan yang sedang-sedang saja (madya), dan ada pula tingkat tutur biasa yang berfungsi menyatakan rasa kesopanan rendah (ngoko). Dengan demikian, dalam bahasa Jawa terdapat tiga tingkat tutur yaitu ngoko, madya, dan krama (Rahardi, 2001).

Tingkat tutur ngoko, madya, dan krama tidak sama dengan kata ngoko, madya, dan krama. Tingkat tutur menunjukkan kepada suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturan morfologi dan fonologi yang juga tertentu. Adapun kosa kata ngoko, madya, dan krama hanya semata-mata inventarisasi kata-

kata dimana masing-masing kata itu di dalamnya terdapat persamaan arti kesopanan yang sama (periksa Poedjosudarmo, 1979).

Tabel 3.2: Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Tingkat

tutur

Bahasa Jawa

Bahasa Indonesia

Krama

Panjênêngan Badē tindak

pundi ?

Tuan mau pergi ke

mana ?

Madya

Sampēan arêp lungo nang

êndi ?

Anda mau pergi ke

mana ?

Ngoko

Kue kate mêttu nang êndi ?

Kamu mau pergi ke

mana ?

Bandingkan dengan contoh berikut:

Manapa nandalem mundhut sekul semanten? 3a High Manapa panjenengan mendhet sekul semanten? 3

Napa sampeyan mendhet sekul semonten? 2

Napa sampeyan nyupuk sega semonten? 1a Apa sliramu mundhut sega semono? 1b

Apa kuwe njupuk sega semono?1 Low

Quistion You take rice that much

(Holmes, 1995: 273) Kaliamat dalam bahasa Jawa di atas diurut dari gaya level yang

paling formal ‘High’(level 3a disebut krama inggil), kepada gaya yang

paling tidak formal ‘Low’(level 1 disebut ngoko).

Pemahaman Lintas Budaya (Cross-cultural Understanding)

Penguasaan terhadap suatu bahasa tidak menjamin mulusnya hubungan komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa walaupun bahasanya sudah dikuasai masih sering terjadi kegagalan komunikasi (communication break-down) (Suparmin, 2000: 57).

Perbedaan lintas budaya bisa dan memang sering memicu terjadinya konflik sebagai akibat kegagalan komunikasi. Misalnya, masalah-masalah seperti tingkat bunyi bisa berbeda secara lintas budaya, dan maksud penutur bisa dipahami secara salah karena perbedaan pola harapan interpretasi.

37

Konflik etnik juga bisa terjadi karena kegagalan komunikasi yang disebabkan etnik yang satu tidak mengenal budaya etnik yang lain sehingga terjadi kesalah pahaman dalam komunikasi. Begitu juga seringnya kekerasan yang menimpa para TKI asal Indonesia di luar negeri, mungkin juga karena minimnya pengetahuan lintas budaya negara tujuan, sehingga terjadi kesalah pahaman dalam berkomunikasi. Bahkan menurut Suparmin (2000: 57-58) pernah terjadi seorang mahasiswa Indonesia (MI) yang mendapat tugas belajar di Amerika pernah harus menanggung malu besar bukan karena masalah penguasaan bahasa, tetapi karena ketidak tahuannya akan kebiasaan pragmatik lintas budaya setempat. Suatu hari waktu istirahat makan siang di kampus, dia diajak seorang teman mahasiswa asal Amerika (MA) makan siang di kafe.

MA : Do you like to come with me to cafee ? MI : Yes, okay

Tentu saja tanpa berbasa-basi dan menanyakan apakah dia akan ditraktir. Dia malah merasa senang sekali karena saat itu kebetulan dia tidak membawa uang sama sekali karena lupa―kebetulan sekali ada yang mau mentraktir―begitulah inferens yang dia tangkap. Merasa akan ditraktir dia managmbil makanan agak lebih dari bisanya. Pada saat membayar temannya tadi ternyata membayar hanya untuk makanan yang dia ambil saja, sedangkan makanan yang diambil si MI tidak dibayarnya―tentu saja dia terkejut sekali―sudah terlanjur mengambil makanan, tetapi tidak membawa uang. Pada hal sudah berada di depan kasir yang siap menerima pembayaran dan dibelakangnya banyak yang antri akan membayar. Akhirnya, dengan menahan rasa malu dia terpaksa pinjam dulu kepada teman yang masih belum lama dikenalnya tersebut. Rupanya kebiasaan di sana tidak seperti di Indonesia, mengajak makan bersama bukan berarti mentraktir, kecuali kalau secara jelas (eksplisit) yang mengajak menyatakan bahwa nanti dia akan membayar.

Mereka yang pernah tinggal di luar negeri atau di luar daerah di mana ia dibesarkan, pasti pernah menanggung malu, mendapat marah atau sikap yang kurang bersahabat dan sebagainya, bukan karena penguasaan bahasa, tetapi karena ketidakpahaman terhadap budaya setempat sehingga menimbulkan inferensi yang salah.

Kesalah pahaman seperti di atas, sering terjadi tidak saja dalam komunikasi verbal (dengan menggunakan kata-kata), tetapi juga dalam komunikasi non verbal, yaitu komunikasi dengan menggunakan gerakan- gerakan tubuh atau bahasa tubuh (body language). Bahasa tubuh ini bisa berupa ekspresi wajah, gerak mata, kepala, bahu, tangan, kaki, dan sebagainya yang sering digunakan bersamaan dengan bahasa lisan (oral language). Banyak contoh kejadian kesalah pahaman dalam komunikasi

non-verbal, seperti halnya dalam komunikasi verbal mengakibatkan rasa malu, dimarahi, dan sebaginya―bahkan pernah terjadi di Kairo (Mesir) seorang profesor Inggris didemo mahasiswanya dan dituntut supaya diusir kembali ke negaranya gara-gara ‘body language’ ini. Asal mulanya adalah pada waktu berada dalam kelas sehari sebelumnya si profesor, mungkin karena santainya, duduk di kursi dengan kakinya di julurkan ke depan (selonjor) sehingga alas sepatunya terlihat atau menghadap ke arah mahasiswanya. Rupanya dia tidak memahami bahwa di Mesir hal itu merupakan suatu bentuk penghinaan yang luar biasa. Salah paham ini terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap gerak tubuh dalam budaya yang berbeda. Misalnya, membuat lingkaran kecil dengan ibu jari

dan telunjuk, kalau di Amerika artinya sama dengan ‘okay’, di Jepang

artinya ‘uang’ di Perancis artinya ‘sesuatu yang tidak ada nilainya’ bahkan

di Yunani gerak itu ditafsirkan sebagai gerakan tidak senonoh (porno) (Suparmin, 2000: 58).

Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa budaya

bersifat ‘group-specific’―artinya, tiap kelompok masyarakat mempunyai ciri budaya sendiri-sendiri, atau dengan perkataan lain kelompok yang berbeda mempunyai budaya yang berbeda pula, sehingga di dunia ini dapat dijumpai berbagai budaya yang berbeda satu sama lain. Murdock (1961) mengemukakan bahwa pola tingkah laku budaya memiliki tujuh ciri yang bersifat universal, yaitu dapat dijumapai dalam budaya manapun juga. Ciri-ciri tersebut ialah bahwa pola tingkah laku budaya tadi: (1) Berasal dari alam pikiran manusia; (2) Mempermudah interaksi manusia dengan lingkungannya; (3) Memenuhi kebutuhan dasar manusia; (4) Bersifat komulatif dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam kondisi eksternal dan internal; (5) Cenderung membentuk struktur yang konsisten; (6) Dipelajari dan dimiliki bersama oleh seluruh anggota masyarakat; dan (7) Diteruskan kepada generasi baru. Begitu pula kesopanan merupakan konsep yang universal (That Pliteness is conceptually universal) yaitu, kesopanan dapat dijumpai dimanapun dalam bahasa dan budaya manapun juga.

Kode, Alih Kode, dan Campur Kode

Kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya memiliki ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, hadirnya orang ketiga, dan situasi tuturan. Jadi, dalam kode ini terdapatlah unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat, kata-kata, morfem, dan fonem. Lebih lanjut Poedjosoedarmo (1978:5) menyatakan kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota-anggota suatu masyarakat tutur.

39

Suwito 1983 yang dikutip (Rahardi, 2001: 22) juga menyatakan kode adalah salah satu varian di dalam hirarki kebahasaan yang dipakai dalam berkomunikasi. Dengan demikian, dalam suatu bahasa dapat terkandung beberapa kode yang merupakan varian dari bahasa itu. Pendapat-pendapat para ahli tersebut memberikan batasan bahwa kode merupakan varian bahasa.

Kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa Indonesia dan beragam bahasa daerah bahkan kini bahasa-bahasa asing (Bahasa Inggris, Madarin, Jerman, Jepang, Perancis, Belanda, dsb.) sudah diajarkan di sekolah-sekolah. Di sekolah-sekolah berbasis agama Islam dan pesantren bahasa Arab menjadi kurikulum inti. Oleh karena itu, di negara Indonesia tidak jarang ditemui orang-orang yang dapat berbahasa lebih dari satu bahasa. Kesanggupan mereka dapat menggunakan lebih dari satu bahasa tersebut disebabkan oleh keinginannya untuk saling berkomunikasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, baik intraetnik maupun antaretnik.

Penggunaan alih kode dan campur kode dapat terjadi pada setiap penutur bahasa. Kegiatan alih kode yang terjadi pada penutur ekabahasawan, misalnya beralihnya seseorang dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam bahasa yang sama. Kegiatan alih kode yang terjadi pada penutur dwibahasawan, misalnya beralihnya seseorang

Dokumen terkait