• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip, Metode, dan Langkah

Dalam dokumen MENETAPKAN ARENA PEREBUTAN KURSI DPRD PE (Halaman 35-41)

BAB 2 KERANGKA KONSEPTUAL

B. Prinsip, Metode, dan Langkah

kesetaraan penduduk. Ini adalah implementasi prinsip demokrasi: kesetaraan hak politik warga negara. Dalam hal ini setiap warga negara, tanpa melihat jenis kelamin,

4 Selain Arend Lijphart, Electoral System and Party System, 1994, dan Michael

Gallanger and Paul Mitchel (ed), The Politics of Electoral Syastem, 2005; pembahasan

tentang prinsip, metode, dan langkah pembentukan daerah pemilihan juga merujuk

pada Andrew Resfeld, The Concept of Constituency: Political Representation,

Democratic Legetimacy, and Institusional Desain, Cambridge: Cambridge University

Press, 2005; Gianfranco Baldini and Adriano Pappalardo, Election, Electoral System

and Vilatile Voters, New York: Palgrave MacMillan, 2009, dan; Andrew Renold, Ben

Railly, and Andrew Eliis (ed), Electoral System Desaign: The International IDEA

ideologi, agama, etnis, asal daerah, pekerjaan, dan kelas ekonomi, memiliki kedudukan setara untuk mendapatkan kursi perwakilan. Karena kedudukan setara itu, dalam sistem pemilu mayoritarian, wilayah yang memiliki penduduk banyak bisa terbagi menjadi beberapa daerah pemilihan, yang masing-masing tersedia satu kursi; sedangkan dalam sistem pemilu proporsional wilayah tersebut bisa menjadi satu daerah pemilihan tapi memiliki banyak kursi.

Prinsip kedua adalah integralitas wilayah. Maksudnya daerah pemilihan haruslah merupakan satu kesatuan

wilayah geografis agar penduduk yang ada di dalamnya

tidak terpencar, terpisah dan kesulitan menentukan perwakilan.Hal ini juga memudahkan para wakil berkomunikasi dan mengaggregasi kepentingan penduduk yang diwakilinya. Turunan prinsip integralitas wilayah adalah prinsip kesinambungan wilayah, di mana satu daerah pemilihan haruslah saling berhubungan, sehingga tidak boleh dipisah oleh daerah pemilihan lain. Masih turunan prinsip integralitas wilayah adalah prinsip cakupan atau coterminous, di mana daerah pemilihan dari lembaga perwakilan lebih rendah harus berada dalam cakupan daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi.

Prinsip ketiga adalah kohesivitas penduduk. Prinsip ini mengharuskan pembentukan daerah pemilihan memperhatikan kesatuan unsur sosial budaya penduduk: sejarah, adat istiadat, tradisi, agama, dll. Kesamaan sosial budaya ini mengindikasikan adanya kesamaaan kepentingan dan aspirasi yang harus diperjuangkan oleh wakil.

pemilihan sangat sensitif terhadap isu integralitas wilayah dan kohesivitas penduduk, karena jumlah daerah pemilihan sama dengan jumlah kursi parlemen. Karena jumlah daerah pemilihan sangat banyak, maka menentukan batas-batas wilayah daerah pemilihan bukanlah hal yang mudah. Di satu pihak, antara prinsip integralitas wilayah dan prinsip kohesivitas penduduk bisa saling bertentangan ketika diterapkan; di pihak lain, partai politik dan calon melakukan berbagai upaya agar daerah pemilihan yang dibentuk memperbesar atau setidak-tidaknya tidak mengurangi potensi keterpilihannya.

Sedang sistem pemilu proporsional menghadapi masalah berbeda. Jumlah kursi jamak memang membuat leluasa menentukan batas-batas wilayah daerah pemilihan. Namun sistem ini menuntut keseimbangan pembagian kursi perwakilan sesuai prinsip pemilu proporsional: pertama, demi menjaga hasil pemilu yang seproporsional mungkin, besaran daerah pemilihan berkursi banyak (11 kursi atau lebih) merupakan pilihan terbaik; kedua, demi menjaga keseimbangan kompetisi, besaran daerah pemilihan harus setara antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah pemilihan yang lain. Tetapi ketika diterapkan, tuntutan sistem pemilu proporsional dan keseimbangan kompetisi itu sering bertabrakan dengan prinsip kesetaraan dan integralitas.

Untuk membentuk daerah pemilihan, pertama- tama harus ditetapkan berapa jumlah kursi perwakilan yang mengisi parlemen. Tidak ada metode pasti untuk menetapkan jumlah kursi parlemen ini. Beberapa ahli

pemilu menyimpulkan, jumlah kursi parlemen di negara- negara maju demokrasinya sesuai rumus akar pangkat tiga

dari jumlah penduduk (S=√³P); sedang di negara-negara

demokrasi baru berlaku rumus akar pangkat tiga dari

penduduk aktif (S=√³Pa), dimana penduduk aktif adalah

hasil perkalian jumlah penduduk dengan persentase tingkat melek huruf dan persentase angkatan kerja.

Beberapa negara menetapkan jumlah kursi parlemen berdasarkan harga satu kursi terhadap penduduk. Misalnya, ditetapkan 1 kursi sama dengan 100.000 penduduk, maka setiap kali jumlah penduduk bertambah, maka bertambah pula jumlah kursi parlemen. Namun banyak negara yang menggunakan model fixed seat sehingga berapa pun jumlah penduduk, jumlah kursi parlemen tetap. Selain

pertimbangan efisiensi, metode fixed seat juga dapat menjaga hubungan konstituen dengan wakil, sebab jika jumlah kursi tidak berubah daerah pemilihan juga tidak berubah.

Karena kesetaraan warga negara menempati aturan pertama prinsip pembentukan daerah pemilihan, maka kursi parlemen yang dibagikan ke setiap daerah pemilihan harus proporsional sesuai dengan jumlah penduduk di daerah pemilihan. Apabila jumlah total kursi parlemen sudah ditetapkan, untuk membagi kursi itu ke setiap daerah pemilihan digunakan metode penghitungan proporsional. Selama ini dikenal dua metode proporsional: metode kuota dan metode divisor.5

5 Dalam sistem pemilu proporsional, dua metode ini juga digunakan untuk menghitung perolehan kursi partai politik atau formula perolehan kursi partai politik, yang membagi

Metode kuota dikenal sebagai metode Kuota Hamilton/ Hare/Niemayer atau disebut Kuota-LR (largest remainders) atau sisa terbanyak. Varian lain adalah Kuota Drop. Untuk membagi kursi perwakilan ke daerah pemilihan, Kuota-LR yang menghitung perolehan kursi dengan cara: membagi jumlah penduduk setiap daerah pemilihan dengan jumlah penduduk keseluruhan, lalu dikalikan dengan jumlah kursi parlemen. Jika terdapat sisa kursi, sisa kursi itu dibagikan kepada daerah pemilihan yang memiliki sisa penduduk terbanyak secara berturut-turut hingga kursi habis.

Metode divisor atau metode rata-rata tertinggi punya dua varian: Divisor Jefferson/d’Hondt dan Divisor Webster/St

Laguё. Untuk mengalokasikan kursi perwakilan ke daerah

pemilihan, metode ini membagi jumlah penduduk setiap daerah pemilihan dengan bilangan pembagi atau divisor. Hasil pembagian jumlah penduduk setiap daerah pemilihan dengan bilangan pembagi tersebut dirangking, dan angka tertinggi secara berturut-turut mendapatkan kursi sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia. Semula d‘Hondt menetapkan bilangan pembagi 1, 2, 3, 4 ... dst, lalu Webster/

St Laguё menyempurnakan dengan bilangan pembagi 1, 3,

5, 7... dst.

Dengan rumusnya masing-masing, kedua metode proporsional tersebut secara teknis sulit diterapkan, karena rumus itu berlaku dengan asumsi daerah pemilihan sudah ada. Padahal kedua metode itu digunakan justru untuk membentuk daerah pemilihan. Untuk mengatasi hal ini,

langkah pembentukan daerah pemilihan diawali dengan menghitung jumlah kursi setiap wilayah (dengan yuridiksi tertentu, misalnya berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, atau penyebaran etnis dan agama) yang sudah diketahui jumlah penduduknya. Dengan demikian setiap wilayah akan mendapatkan jumlah kursi perwakilan (bisa tak mencapai satu kursi, bisa juga lebih dari satu kursi), yang lalu bisa digabung atau dibelah untuk mencapai kursi maksimal yang diperbolehkan.

Tentu saja untuk sistem pemilu mayoritarian, setiap daerah pemilihan (yang merupakan gabungan atau belahan dari wilayah), hanya mendapat jatah satu kursi; sedang untuk sistem pemilu proporsional, setiap daerah pemilihan (yang merupakan gabungan atau belahan), bisa mendapatkan dua kursi atau lebih, sesuai kesepakatan.

Pengabaian terhadap prinsip kesetaraan dalam pemben- tukan daerah pemilihan menimbulkan malapportionment, yakni pembagian kursi yang tidak proporsional dengan jumlah penduduk. Malapportionment ini bisa terjadi ka- rena keputusan politik (misalnya di Amerika Serikat setiap negara bagian mendapat 1 kursi DPR, sehingga meskipun jumlah penduduk negara bagian itu tidak mencapai harga penduduk 1 kursi, negara bagian itu tetap mendapatkan 1 kursi DPR), tetapi juga hasil penghitungan yang tidak pas. Bagaimanapun perbandingan kursi dengan penduduk keti- ka dihitung berdasar harga kursi per penduduk tidak selalu menghasilkan angka utuh. Kekurangan di depan koma atau kelebihan di belakang koma, itulah yang menimbulkan ma- lapportionment. Oleh karena itu para ahli sepakat, jika ke-

kurangan atau kelebihan harga kursi itu masih dalam kisar- an -10% sampai +10%, maka tetap dianggap proporsional.

Sementara itu pengabaian terhadap prinsip integralitas wilayah menimbulkan gejala gerrymandering, yaitu pembuatan batas-batas wilayah daerah pemilihan sedemikian rupa sehingga menguntungkan partai politik dan calon tertentu. Istilah tersebut berasal dari Gubernur Massachusetts Amerika Serikat, Elbridge Gerry (1810- 1812) yang membuat batas-batas daerah pemilihan dengan memasukkan tempat tinggal para pendukungnya (meskipun hal ini membuat daerah pemilihan tampak tidak menyatu), sehingga partainya bisa memenangkan kursi di daerah pemilihan tersebut.

Dalam dokumen MENETAPKAN ARENA PEREBUTAN KURSI DPRD PE (Halaman 35-41)

Dokumen terkait