• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-prinsip HAM berkenaan dengan kebebasan beragama tersebut meliputi:

1. Universalitas

The Vienna Declaration and Programme of Action, sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang HAM tahun 1993 menegaskan bahwa semua HAM adalah universal dan tidak dapat diasingkan, tidak dapat dibagi, saling berhubungan dan bergantung satu sama lain (”All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated”). HAM disebut universal. Universal di sini bermakna bahwa HAM memiliki prinsip yang dimiliki dalam

83

50 nilai-nilai etik dan moral yang tersebar di seluruh wilayah dunia, dan pemerintah termasuk masyarakatnya harus mengakui dan menyokong hak-hak asasi manusia.

Ini menunjukkan bahwa HAM itu ada dan harus dihormati oleh seluruh manusia secara mutlak. Mutlak dalam artian tidak tergantung posisi, situasi, kondisi suatu wilayah atau bangsa tertentu.84 Karakteristik utama yang membedakan HAM dari hak-hak lainnya adalah universalitas mereka yang menurut teori klasik, mereka dikatakan 'melekat' (inheren) pada diri setiap manusia berdasarkan kemanusiaannya.85

Prinsip universalitas HAM ini dapat dijumpai dalam Article 1 UDHR yang menyatakan “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.” All human beings berarti setiap orang memiliki hak yang sama, dimana hak ini tidak boleh diabaikan atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau status yang lainnya. Sifat universal HAM terhadap setiap/seluruh manusia inilah yang ditimbulkan atas melekatnya HAM pada diri setiap manusia sejak ia lahir.86

2. Non-discrimination

84

Nihal Jayawickrama, Op.cit. hlm. 157. 85

Paul Sieghart dalam Ibid., hlm. 174. 86

51 HAM bersifat non-diskriminasi. ICCPR, ICESCR, ECHR, dan ACHR, melarang diskriminasi dalam penikmatan hak-hak yang dijamin. Namun berdasarkan Article 26 ICCPR, pernyataan (ketentuan) ini menekankan adanya perbedaan hak substantif atas ”right to equality before the law” dengan “the equal protection of the law”.87

Sifat non-diskriminasi HAM terlihat dalam instrumen hukum berupa:

Article 2 UDHR: “Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty.

Article 2(1) ICCPR: “Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and to ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.”

Article 14 ECHR: “The enjoyment of the rights and freedoms set forth in this Convention shall be secured without discrimination on any ground such as

87

52

sex, race, colour, language, religion, political or other opinion, national or social origin, association with a national minority, property, birth or other status.”

Pasal 28B ayat (2) UUD 1945: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Prinsip non-diskriminasi dalam HAM menjadi tanggungjawab setiap institusi penegak HAM, khususnya pemerintah. Hak untuk tidak didiskriminasi dalam menikmati hak-hak yang dijamin juga dilanggar ketika sebuah negara tanpa pembenaran yang obyektif dan masuk akal, gagal untuk melakukan reparasi terhadap orang yang berbeda situasi.88

3. Diperkuat oleh Hukum (Rule of Law)

Dalam hubungan dengan HAM, prinsip rule of law bersifat jaminan atau memperkuat eksistensi HAM. Penguatan itu dilakukan dalam bentuk legalitas hak di mana eksistensi hak maupun segala tindakan pemerintah yang dapat berpengaruh terhadapnya secara langsung maupun tidak langsung (misal:

88

53 pembatasan terhadap HAM) seyogianya diatur oleh peraturan perundang-undangan (dalam hal ini yang secara formal adalah konstitusi dan legislasi).89

Di Indonesia, refleksi dari prinsip rule of law dalam kaitan dengan HAM nampak dalam ketentuan substantif yang mengenumerasikan HAM, syarat pembatasannya, maupun kewajiban terhadap HAM. Hal terakhir ini nampak dalam ketentuan sebagai berikut:

a. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

b. Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Tujuan intrinsik dari prinsip rule of law adalah memberikan kepastian hukum perlindungan terhadap HAM itu sendiri.90 Peraturan perundang-undangan dalam kerangka prinsip rule of law berfungsi untuk membatasi kekuasaan negara, termasuk dalam rangka menentukan syarat pembatasan hak melalui aktivitas rule-making.

Implikasi prinsip rule of law terhadap hak atas kebebasan beragama sebagai HAM adalah meletakkan kaidah dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan yang sifatnya memperkuat eksistensi hak tersebut. Bentuk

89

Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon Press, 1983, hlm. 18. 90

54 preskripsi yang dihasilkan oleh prinsip rule of law adalah sebagai berikut.

Pertama, negara harus membuat peraturan perundang-undangan yang memajukan jaminan non-intervensi negara terhadap dimensi internal kebebasan beragama yang notabene merupakan hak absolut.91

Kedua, negara juga harus mengakomodasi kebebasan mengekspresikan agama/kepercayaan warga negaranya dengan menyusun peraturan perundang-undangan yang mewujudkan toleransi antar umat beragama. Poin utama di sini adalah negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan terhadap ekspresi keagamaan dalam rangka melindungi kebebasan beragama itu sendiri: “In order to protect religious freedom, we have to place some limits on religious expression.”92

Kebebasan mengekspresikan agama/kepercayaan perlu dibatasi dalam rangka mewujudkan toleransi melalui instrumen hukum yaitu peraturan perundang-undangan. Namun dalam melaksanakan aktivitas rule-making nya, pembatasan yang dibuat oleh negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh menjadi dorongan timbulnya intoleransi.

91

General comment No. 22: Article 18 ICCPR (Freedom of thought, conscience or religion) paragraf 1, 3, 8. Lihat juga Malcolm D. Evans, Religious Liberty and International Law in Europe, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. 221.

92

Melissa S. Williams & Jeremy Waldron, Toleration and Its Limits, New York: New York University Press, 2008, hlm. 7.

Dokumen terkait