• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-prinsip Keadilan

Dalam dokumen HUKUM, KEADILAN DAN HAK ASASI MANUSIA (Halaman 184-197)

PRINSIP-PRINSIP KEADILAN

B. Prinsip-prinsip Keadilan

Berangkat dari realitas bahwa keadilan ternyata menyang-kut banyak hal, maka proses penegakan keadilan di segala bidang harus berlandaskan pada beberapa prinsip, di antaranya:

1. al-Musāw☼h dan at-Taswiyah

Prinsip pertama yang harus dipatuhi dalam konteks upaya penegakan keadilan adalah al-musāwah, yang berarti memperlakukan semua pihak secara sejajar di depan hukum atau peradilan. Prinsip yang tidak kalah pentingnya adalah

at-taswiyah, yaitu upaya menyamakan antara hak satu dengan hak yang lain. Itu hanya bisa ditempuh dengan mengambil sesuatu dari tangan orang yang tidak berhak, dan mengembalikannya kepada yang berhak.

Dengan demikian, berbicara tentang “persamaan” sejati-nya adalah berbicara tentang hak asasi manusia sebagai makhluk merdeka. Sebagai makhluk merdeka, manusia selalu mendambakan terpenuhinya hak-hak mereka secara wajar atas nama keadilan. Adalah sebuah kebohongan besar bila seruan penegakan keadilan tidak disertai dengan upaya mewujudkan prinsip persamaan hak tersebut. Persamaan hak inilah yang seharusnya menjadi concern setiap penegak hukum, utamanya mereka yang memiliki kekuasaan. Keinginan sementara pihak untuk mendapat prioritas khusus mengalahkan yang lain hanya akan mencederai rasa keadilan bersama. Karena itu, tidak ada seorang pun boleh diperlakukan secara diskriminatif atas nama apa pun, termasuk agama. Dalam sebuah hadis dinyatakan:

34

Rasulullah memberi hak kepada orang Yahudi di Khaibar untuk bekerja dan bercocok tanam, dan bagi mereka separuh dari hasil panen yang dihasilkan. (Riwayat al-Bukh☼r◄ dari „Abdull☼h bin „Umar)

Hadis ini secara jelas menyatakan bahwa siapa pun berhak memperoleh haknya secara sempurna, meski ia berasal dari agama yang berbeda. Harus diakui, upaya mewujudkan prinsip persamaan hak ini seringkali terganjal oleh pihak-pihak yang merasa memiliki kekuasaan dan kekuatan di masyarakat, baik secara politik maupun ekonomi. Karena itu, prinsip persa-maan hak meniscayakan adanya kesadaran individu menyang-kut hak orang lain sekecil dan selemah apa pun dia. Di titik

inilah Islam menunjukkan eksistensinya sebagai pelindung hak-hak kaum marginal. Itu karena setiap manusia tercipta dari bahan yang sama dan terlahir sebagai makhluk yang merdeka, sehingga ia harus dilindungi serta diperlakukan secara adil dalam konteks mendapatkan hak-haknya tersebut. Al-Qur′an menegaskan:

Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangan-nya (Hawa) dari (diri)-pasangan-nya; dan dari keduapasangan-nya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan meng-awasimu. (an-Nisā′/4: 1)

Ayat ini bisa menjadi landasan ideal bagi prinsip taswiyah.

Setiap manusia, apa pun latar belakangnya, berasal dari asal yang satu. Karena itu, tidak boleh seseorang merasa berhak diprioritaskan mengalahkan yang lain.

Persamaan hak sebagai salah satu prinsip keadilan terkait dengan banyak hal, sebagian di antaranya dianggap paling mendasar, seperti hak setiap orang untuk mendapat perlakuan wajar dalam pergaulan sosial, posisi yang setara di depan hu-kum dan peradilan, pendidikan yang baik, pelayanan kesehatan yang memadai, kesempatan bekerja secara wajar dan bermarta-bat untuk memperoleh kehidupan yang layak. Ini semua men-jadi tanggung jawab pemerintah (waliyyul-amr), baik di tingkat pusat maupun daerah. Ketika seorang pemimpin tidak mampu memenuhi hak-hak asasi rakyatnya maka pemimpin macam ini

sudah tidak dibutuhkan lagi dalam kehidupan kemasyarakatan.

Begitu rakyat merasa hak-haknya terpasung, cepat atau lambat, itu akan mengakibatkan instabilitas sosial yang berujung pada sikap-sikap anarkis seperti kita saksikan akhir-akhir ini.

Tidak ada gunanya pemerintah memberikan izin pendiri-an lembaga pendidikpendiri-an berstpendiri-andar nasional bahkpendiri-an internasio-nal, rumah-rumah sakit dengan fasilitas yang canggih, perang-kat perundangan atau hukum yang rinci dengan sarjana-sajana hukum yang mumpuni, jika rakyat jelata tidak bisa dan tidak boleh memanfaatkannya dan memperoleh perlindungan hukum secara wajar serta sejalan dengan rasa keadilan. Ini sama saja membuat rakyat miskin tidak boleh pandai, tidak layak hidup sehat, dan tidak berhak mendapat kenyamanan dan ketenangan dalam menjalankan aktifitasnya. Jelas ini merupakan anomali hukum bahkan bisa dikatakan sebagai kejahatan kemanusiaan.

Realisasi persamaan hak hanyalah omong kosong belaka jika perlakuan sama (al-musāw☼h), terutama dalam ranah hukum dan peradilan, tidak mereka dapatkan. Inilah tuntutan keadilan yang harus benar-benar diupayakan penegakannya. Dalam eksekusi keadilan, setiap pihak tidak boleh pilih kasih, terinter-vensi, apalagi sampai dipengaruhi oleh perasaan like and dislike.

Hukum yang berlaku di suatu negara harus bisa menyentuh setiap orang tanpa pandang bulu. Setiap orang harus merasa aman dan nyaman dalam melakukan aktivitasnya di bawah na-ungan hukum yang jelas, terlebih ketika ia sedang berperkara.

Dengan kata lain, siapa saja yang bersalah harus dihukum se-suai kesalahannya dan sese-suai hukum yang telah disepakati bersama, tanpa memandang agama, kelompok, golongan, jenis kelamin, suku, dan bahasanya. Prinsip ini dapat dilihat pada ayat-ayat berikut:

Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari ke-duanya seratus kali. (an-Nūr/24: 2)

Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijak-sana. (al-Mā′idah/5: 38)

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. (al-Baqarah/2: 178)

Rangkaian ayat di atas menunjukkan bahwa Islam tidak pernah membedakan status sosial dan jenis kelamin. Sanksi hu-kum harus diberlakukan kepada siapa saja, baik laki-laki mau-pun perempuan, tuan maumau-pun hamba, pejabat maumau-pun rakyat, muslim maupun nonmuslim, seperti ditunjukkan oleh redaksi-redaksi dalam ayat-ayat di atas yang bersifat umum.

Kehancuran umat-umat masa lalu salah satunya diakibat-kan oleh ketidaktegasan dalam penerapan sanksi hukum. Mere-ka menerapMere-kannya secara tebang pilih. Rasulullah menjelasMere-kan hal ini dalam sabdanya:

35

Hai manusia, sesungguhnya kebinasaan yang menimpa orang-orang sebelum kamu adalah apabila ada orang mulia yang mencuri, mereka biarkan saja. Apabila rakyat jelata yang mencuri maka mereka meng-hukumnya. Demi Allah, andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya. (Riwayat al-Bukh☼r◄ dan Muslim dari ‘►isyah)

Dalam hadis lain dinyatakan:

36

Tahukah kalian, siapakah orang yang lebih dulu berada di bawah naungan Allah pada hari Kiamat? Mereka menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian beliau bersabda lagi, “(Yaitu) orang yang apabila didatangkan kebenaran kepadanya ia langsung meneri-manya; jika ia ditanya tentang kebenaran ia langsung menjawabnya; jika memutuskan suatu perkara untuk orang lain, ia lakukan itu seperti ia memutuskan untuk dirinya sendiri. (Riwayat A♥mad dari „►isyah)

Berperilaku adil senantiasa dikaitkan dengan kearifan (wisdom, ♥ikmah), yaitu kualitas pribadi yang diperoleh dari pengetahuan menyeluruh dan seimbang tentang suatu perkara.

Jika penjelasan ini dibawa dalam ranah hukum dan peradilan maka seorang hakim dituntut untuk benar-benar menguasai delik permasalahan yang dihadapinya sebelum ia menjatuhkan putusan. Bagaimanapun juga, semua putusan yang ia jatuhkan pasti memiliki kekuatan hukum yang mengi-kat. Hakim yang kurang menguasai delik perkara yang dihadapinya bukan tidak mungkin akan menjatuhkan putusan yang timpang dan tidak adil. Di sini, kualitas pribadi seorang hakim sangat menentukan karena upaya suap menyuap rentan dihadapinya.

2. Proporsional

Prinsip berikutnya dari keadilan adalah proporsional, yaitu meletakkan sesuatu pada posisi yang sesuai dengan pro-porsinya atau dengan kata lain, memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, yang men-jadi titik tekan pada kata adil adalah unsur proporsionalnya, bukan unsur kesamaan. Misalnya, orang tua yang memiliki tiga anak dengan jenjang sekolah yang berbeda. Ia tidak dapat dika-takan adil bila ia memberi uang saku kepada mereka dalam jumlah yang sama. Betapa tidak, mereka memiliki kebutuhan yang berbeda; si sulung pasti membutuhkan uang saku lebih banyak ketimbang si bungsu. Dengan memberi uang saku se-cara sama, orang tua tersebut berarti telah mengecewakan sejumlah pihak, dan tidak memenuhi rasa keadilan. Dengan demikian, adil dalam hal ini adalah antonim dari zalim, yang didefinisikan dengan “meletakkan sesuatu pada posisi yang ti-dak sesuai dengan proporsinya.”

Dengan mengacu pada prinsip proposional ini, maka hakim bukanlah satu-satunya pihak yang dituntut untuk berbuat adil. Semua pihak sesuai dengan kapasitasnya masing-masing harus pula menjalankan prinsip ini. Orang yang dikarunia banyak harta, misalnya, maka ukuran keadilannya adalah bagaimana ia mendapatkan kekayaan itu dan kemana ia membelanjakannya.

Sesuai tujuan dan fungsinya, harta harusnya dipakai sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia secara wajar. Artinya, jika harta tidak dimanfaatkan sesuai tujuan dan fungsinya, maka pemilik harta bisa dikatakan zalim karena telah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Qarun adalah contohnya. Ia, sebagai konglomerat, telah berpe-rilaku zalim karena harta yang ia miliki hanya digunakannya untuk mempertegas status sosialnya. Dengan hartanya ia berbuat sesuka hati tanpa mempertimbangkan masyarakat di sekitarnya yang serba berkekurangan. Lebih dari itu, ia tidak

segan menampakkan arogansinya ketika orang lain berusaha menasehatinya. Kisah itu Allah abadikan dalam firman-Nya:

Dia (Karun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah dia (Karun) kepada kaumnya dengan kemegahannya. Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata, “Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Karun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, “Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar.” (al-Qa☺a☺/28: 78-80)

Dari kisah ini bisa diambil pelajaran bahwa penafian peran Allah dalam kegiatan ekonomi hanya akan melahirkan praktik-praktik perekonomian sekuler yang sama sekali tidak memberi ruang bagi mereka yang lemah. Sementara itu, yang kuat akan cenderung bersikap arogan dan tidak segan

melaku-kan cara-cara ilegal ketika cara yang legal tidak memungkinmelaku-kan- memungkinkan-nya untuk mewujudkan keinginan nafsumemungkinkan-nya.

Demikian juga kekuasaan; ia seharusnya digunakan untuk upaya merealisasikan kesejahteraan rakyat. Tidak diragukan lagi, orang yang memanfaatkan kekuasaan untuk sekadar mewujud-kan ambisi pribadinya adalah orang yang zalim. Sikap macam ini bukan saja sangat terlarang dalam agama, tetapi juga menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Perilaku seperti ini akan menggugah kecaman dari rakyat, dari strata mana pun dan latar belakang apa pun. Dalam kaidah fikih dinyatakan:

Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya harus didasarkan pada kemas-lahatan umum.

Ini bisa dilihat pada kasus Fir‘aun. Al-Qur′an melukis-kan Fir„aun sebagai sosok penguasa atau raja yang sangat ditakuti. Kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Mesir. Bahkan ia menganggap kalau hidup-matinya rakyat Mesir sangat tergan-tung pada jasa baiknya. Fir„aun adalah salah satu pemimpin paling tiran dan arogan dalam sejarah manusia. Ia acapkali membuat kebijakan semena-mena dengan merusak tatanan keseimbangan dalam masyarakat dan alam dengan tidak menghiraukan dampak sosial dan lingkungan dari kebijakannya itu. Ini tercantum dalam firman Allah:

Pergilah kepada Fir„aun; dia benar-benar telah melampaui batas.

(◘☼h☼/20: 24)

Bentuk ma☺dar dari kata •agā adalah •ugyān, yang biasa diartikan dengan “sikap kemaksiatan tingkat tinggi yang melampaui batas kewajaran dan kepatutan sebagai makhluk dan hamba Allah.”37 Faktor paling dominan yang menjadikan

manusia bersikap •ugyān (tiranik) adalah kekayaan dan kekua-saan. Artinya, jika tidak diarahkan secara proporsional, dua hal ini akan menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Karenanya, yang dikritik oleh Al-Qur′an bukan kekuasaan dan kekayaan, melainkan cara memanfaatkannya. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, karena itu sangat wajar kalau kekayaan dan kekuasaan yang dipunyainya diarahkan untuk mewujudkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat banyak, sebagai wujud tanggung jawabnya kepada Sang Pemberi kekuasaan, Allah.

Dari kisah Fir„aun ini diketahui bahwa Al-Qur′an tidak begitu saja mengecam kekuasaan. Al-Qur′an mengapresiasi ke-kuasaan jika itu disertai kesadaran untuk menggunakannya demi kemaslahatan orang banyak sebagai refleksi penghambaan kepada Allah. Kecaman Al-Qur′an dialamatkan kepada setiap bentuk kekuasaan yang mengarah pada pemaksaan dan pemasungan hajat hidup orang lain. Inilah wujud ketidakadilan, meletakkan sesuatu bukan pada tempat yang semestinya.

Seorang ilmuwan, begitu pun, bisa dikatakan zalim apabi-la ia memanfaatkan ilmunya semata untuk memperaapabi-lat masya-rakat awam dan memenuhi ambisi pribadinya. Ilmu yang harus-nya digunakan sebesar-besarharus-nya untuk kemaslahatan orang ba-nyak, ia pakai sebagai alat untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya. Hal ini bisa kita lihat pada kisah berikut:

Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami kepadanya, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang yang sesat. Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalau-nya dijulurkan lidahmenghalau-nya dan jika kamu membiarkanmenghalau-nya dia menjulur-kan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir. (al-A‘rāf/7: 175-176)

Ayat ini mengisahkan seorang lelaki dari Bani Israil bernama Bal‘am bin Bā‘urā′.38 Ia adalah ulama besar yang sangat mustajab doanya. Sayang, kekuatan doanya itu justru digunakannya untuk mencelakakan pihak lain, yakni Musa dan pengikutnya, demi menuruti hawa nafsunya untuk memperoleh kenikmatan duniawi.39 Akhirnya ia mati dalam kehinaan dan ke-nistaan. Bal‘am telah bersikap tidak adil karena menggunakan ilmunya tidak sesuai dengan karakter ilmu itu sendiri, yakni sebagai wujud penghambaan kepada Allah dan demi kemanu-siaan. Wallāhu a„lam bi☺-☺awāb.[]

Catatan:

1 az-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, (al-Maktabah asy-Syāmilah), juz 3, h. 391.

2 Ibnu ‘Āsyūr, at-Ta♥rīr wat-Tanwīr, (al-Maktabah asy-Syāmilah), j. 8, h.

112.

3 Khadījah an-Nabrāw◄, ♦uqūqul-Insān fīl-Islām, (Mesir: Dārus-Salām, 2006) h. 289.

4 al-Jurjān◄, at-Ta„rīfāt, (al-Maktabah asy-Syāmilah), juz 1, h. 47.

5 al-A☺fahān◄, al-Mufradāt fi Garībil-Qur′ān, (Mesir: al-Maktabah at-Tauf◄qiyyah, tt.), pada entri „adala, h. 329.

6 Ibnu ‘Āsyūr, at-Ta♥rīr, juz 8, h. 112.

7 ar-Rāzī, Mafātī♥ul-Gaib, (al-Maktabah asy-Sy☼milah), juz 9, h. 452.

8 al-Jurjānī, at-Ta„rīfāt, (al-Maktabah asy-Syāmilah), juz 1, h. 47.

9 Ibnul-Man♂ūr, Lisānul-„Arab, (al-Maktabah asy-Syāmilah), juz 11, h.

430.

10 al-A☺fahānī, al-Mufradāt, h. 329.

11Ibnul-Man♂ūr, Lisānul-„Arab, (al-Maktabah asy-Syāmilah), juz 11, h.

430.

12 Ibnu ‘Āsyūr, at-Ta♥rīr wat-Tanwīr, (al-Maktabah asy-Syāmilah), j. 5, h.

184

13 az-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, (al-Maktabah asy-Syāmilah), juz 1, h. 423.

14 Ibnu ‘Āsyūr, at-Ta♥rīr, jilid 4, h. 48.

15 Ibnu „Āsyūr, at-Ta♥rīr, juz 14, h. 18.

16 al-A☺fahānī, al-Mufradāt, pada entri qasa•a, h. 404.

17 Ibnu „Āsyūr, at-Ta♥rīr, juz 15, h. 364.

18 az-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, j. 7, h. 157.

19 Ibnu „Āsyūr, at-Ta♥rīr, juz 4, h. 54. Rasµlillāh dan Abū D☼wūd, Sunan Ab◄ D☼wūd, kitab al-Aq○iyah, bab al-Qādī Mukh•i′.

25 Diriwayatkan oleh al-Bukh☼r◄ dari „►isyah, seperti dikutip oleh Ibnu

„Āsyūr, at-Ta♥rīr, juz 4, h. 54.

26 ar-Rāzī, Mafātī♥, juz 7, h. 19.

27 al-Biqā‘ī, Na☾mud-Durar, (al-Maktabah asy-Syāmilah), juz 4, h. 45.

28 al-A☺fahānī, al-Mufradāt, pada entri wasa•a, h. 537.

29 a•-◘abarī, Jāmi‘ul-Bayān, (al-Maktabah asy-Syāmilah), jilid 5, h. 168 dan al-A☺fahānī, al-Mufradāt, pada entri wasa•a, h. 537.

30 Ibnu Ka♧īr, Tafsīrul-Qur′ān al-„A☾īm, (al-Maktabah asy-Syāmilah)

31 a•-◘abarī, Jāmi‘ul-Bayān, juz 3, h. 142.

32 Ibnu „Āsyūr, at-Ta♥rīr, juz 2, h. 18.

33 az-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, juz 6, h. 462.

34Sa♥ī♥ul-Bukh☼r◄, kitab asy-Syirkah, dalam bab musyārakatu♣-♣immī wal-musyrikīn fīl-muzāra„a, No. 2318.

35Hadis riwayat al-Bukh☼r◄ dan Muslim dari „►isyah (☻a♥i♥ul-Bukh☼r◄, Kitābul-♦ud‼d, b☼b Karāhiyatusy-Syafā„ah f◄l-♥add, no. 6290, dan ☻a♥◄♥ Muslim, Kitābul-♦ud‼d, Bāb Qa•‘u Yaddisy-Syar◄f wa Gairih◄, no. 3196).

36A♥mad bin ♦anbal, Musnad A♥mad, b☼b ♥ad◄♧us-sayyidah „►isyah, No.

23243.

37al-A☺fahānī, al-Mufradāt, pada entri •agā, h. 307.

38 Nama Bal‘am memang diperdebatkan di kalangan mufasir. Namun, yang jelas ayat di atas turun berkenaan dengan seseorang laki-laki dari generasi terdahulu dari Bani Israil (lihat Ibnu Ka♧īr, Tafsīrul-Qur'ān al-„A☾īm, (al-Maktabah asy-Syāmilah), jilid 3, h. 508.

39Ibnu Ka♧īr, Tafsīrul-Qur'ān al-„A☾īm, jilid 3, h. 508.

KEADILAN DALAM

Dalam dokumen HUKUM, KEADILAN DAN HAK ASASI MANUSIA (Halaman 184-197)

Dokumen terkait