• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-prinsip berikut ini akan memaparkan hak prosedural investor asing yang dilindungi berdasarkan FET. Prinsip prosedural mencakup kewajiban untuk memberikan keadilan dalam prosedur peradilan maupun administrasi serta transparansi dalam sistem hukum host state.

Methanex Corp. v. United States, op. cit., para. 15. 152

Ibid., para. 101-102. 153

i. Transparansi

Prinsip transparansi dalam hubungannya dengan FET adalah keterbukaan dan kejelasan dalam prosedur dan rezim hukum yang berlaku di host state. 154 Transparansi dianggap dapat meningkatkan prediktabilitas dan stabilitas hubungan investasi dan oleh karena nya memberikan dorongan untuk dilakukannya investasi. Secara umum, suatu sistem hukum dianggap transparan apabila (i) 155 peraturan hukumnya ditulis dengan jelas, tidak ambigu, dan mudah diakses; (ii) informasi terkait disediakan untuk diakses secara bebas sehingga dapat memperkirakan aktifitas dan kebijakan pemerintah; dan (iii) disertai prosedur yang jelas, dengan cara yang sesuai dengan aturan dan kebijakan yang dapat ditinjau. 156

Sejumlah perjanjian investasi internasional telah secara tegas menyatakan kewajiban atas transparansi hukum, biasanya mewajibkan host state untuk menerbitkan undang-undang, peraturan, prosedur dan praktik administrasi dalam cara apapun yang terkait dengan kepentingan investor asing. Ketentuan 157

Dalam konteks lain, konsep transparansi dapat digunakan untuk 154

menggambarkan hubungan antara suatu institusi internasional dengan negara anggotanya atau proses partisipasi dalam komunitas di dalam institusi internasional tersebut. Dalam konteks hukum investasi internasional, transparansi juga dapat mencakup penjabaran kewajiban perusahaan yang mewajibkan investor asing untuk memberikan informasi mengenai perusahaan kepada host state. Lihat: UNCTAD, Transparancy, UNCTAD/ITE/ IIT/2003/4 (2004), hlm. 18.

Ibid., hlm. 7; C. S. Zoellner, Transparency: An Analysis of an Evolving 155

Fundamental Principle in International Economic Law, Mich. J. Intl L. 27 (2006), hlm. 579.

Zoellner, op. cit., hlm. 583-585. 156

A. Kotera, Regulatory Transparency, sebagaimana dikutip dalam P. 157

Muchlinski et. al. (eds.), The Oxford Handbook of International Investment Law, (Oxford: Oxford University Press, 2008), hlm. 625-628.

transparansi ini mencakup kewajiban pemerintah untuk menyediakan serangkaian informasi mengenai pemerintahan, beserta prosedur cara penukaran informasi yang dapat dilakukan. 158

Dalam Pasal X GATT, WTO dalam US-Shrimps case telah menghubungkan prinsip transparansi dengan prinsip due process of law serta syarat prosedur yang adil. Kegagalan untuk menyediakan informasi yang 159 dibutuhkan mengenai regulasi dagang tertentu dan ketidakterbukaan dalam prosedur dapat dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan Pasal XX GATT. Transparansi dalam 160 kerangka hukum nasional beserta prosedurnya dianggap penting dalam proses pertimbangan keputusan.

Putusan arbitrase pertama dengan isu FET dan transparansi adalah putusan dalam kasus Metalclad v. Mexico. Mahkamah memasukkan kewajiban 161 transparansi dari Pasal 1105 NAFTA, dan kemudian meninjau dalam kaitannya dengan FET:

“Prominent in the statement of principles and rules that introduces the agreement is the reference to ‘transparency’ -(NAFTA Article 102(1)). The tribunal understands this to include the idea that all relevant legal requirements for the purpose of initiating, completing and successfullyoperating investments made, or intended to be made, under the agreement should be capable of being readily known to all affected investors of

UNCTAD, op. cit., hlm. 22. 158

United States Import Prohibition of Certain Shrimp and Shrimp Products, 159

WTO Dispute Settlement Body WT/DS58/AB/R (Report of the Appellate Body, 12 Oktober 1998), para. 182-183.

Ibid., para. 184. 160

Metalclad Corp. v. Mexico, op. cit. 161

another party. There should be no room for doubt or uncertainty on such matters. Once the authorities of the central government of any party … become aware of any scope for misunderstanding or confusion in this connection, it is their duty to ensure that the correct position is promptly determined and clearly stated so that investors can proceed with all appropriate expedition in the confident belief that they are acting in accordance with all relevant laws.” 162

Mahkamah memutus bahwa dengan menolak menerbitkan izin bagi pembangunan TPA milik investor, host state telah gagal dalam menjamin kerangka hukum yang transparan dan dapat diprediksi sebagaimana telah diekspektasikan oleh investor. Dengan demikian, putusan Metalclad tersebut 163 menunjukkan adanya hubungan erat antara prinsip transparansi dengan ekspektasi investor berdasarkan FET.

Dalam kasus Siemens AG v. Argentina, Mahkamah memutuskan telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip FET dengan alasan karena kurangnya transparansi oleh host state. Kasus tersebut berkenaan dengan kontrak penyediaan jasa untuk pengembangan dan pemeliharaan sistem identifikasi pribadi berbasis komputer (computer-based personal identification system), termasuk pengembangan kartu identitas nasional. Setelah adanya perubahan personil 164 pemerintahan dan masalah teknis, kontrak tersebut ditinjau kembali dan akhirnya dibatalkan seluruhnya oleh pemerintah Argentina dengan alasan darurat hukum, yang memungkinkan pemerintah Argentina untuk melakukan renegosiasi kontrak

Metalclad Corp. v. Mexico, op. cit., para. 76. 162

Ibid., para. 85, 89, 99. 163

Siemens AG v. Argentina, op. cit., para. 81, 97. 164

semasa krisis finansial Argentina. Dalam proses pengadilan, Mahkamah menyetujui pembelaan investor yang mengklaim bahwa penutupan akses berkas administrasi untuk keperluan pengajuan banding yang dilakukan oleh pemerintah Argentina telah menunjukkan kurangnya transparansi dan telah melanggar kewajiban FET. 165

Penjelasan lebih lanjut mengenai transparansi diberikan oleh Mahkamah dalam kasus Champion Trading Co. and others v. Egypt, yaitu kasus mengenai peraturan yang memberikan subsidi terhadap privatisasi industri kapas di Mesir. 166 Perusahaan investor tidak mendapat subsidi yang dijanjikan tersebut, dan kemudian menuduh bahwa cara dan prosedur pemerintah memilih perusahaan untuk disubsidi di bawah standar internasional dan oleh karena itu telah melanggar prinsip transparansi dalam hukum internasional. Dalam 167 pertimbangannya, Mahkamah tidak menyinggung isu apakah hukum internasional benar-benar mewajibkan host state untuk bertindak secara transparan; dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa Mahkamah menerima argumen investor

Ibid., para. 114, 308. 165

Champion Trading Co. and Ameritrade International Inc. v. Egypt, ICSID 166

Case No. ARB/02/9, Award, 27 Oktober 2006, para. 40.

Ibid., para. 104, 108. Prinsip Transparansi yang digunakan Claimant mengacu 167

kepada transparansi dalam kasus-kasus WTO dan kasus Tecmed. Claimant awalnya menggugat pelanggaran FET, namun kemudian mengubah gugatannya menjadi pelanggaran atas prinsip transparansi menurut Pasal II(4) US-Egypt BIT, yang menyatakan bahwa:

“The treatment, protection and security of investments shall never be less than that required by international law and national legislation. 


The BIT also contains specific transparency requirements, which, however, were not expressly mentioned by the tribunal. That provision in Article II(8) of the BIT reads: 


Each party and its subdivisions shall make public all laws, regulations, administrative practices and procedures, and adjudicatory decisions that pertain to [or] affect investments in its territory of nationals or companies of the other party.”

bahwa kewajiban transparansi tersebut memang berlaku. Meskipun demikian, Mahkamah menolak adanya pelanggaran kewajiban transparansi oleh host state akibat kurangnya alat bukti. Selanjutnya Mahkamah menyebutkan:

It was … the obligation of the claimants to prove that the settlements were not made in a transparent manner. The tribunal notes that the laws and decrees regarding the organisation of the cotton trading structures ... were public, available, or have been published or produced by the respondent upon the request of the claimants. The claimants were in a position to know beforehand all rules and regulations that would govern their investments for the respective season to come. The claimants have not produced any evidence or even pertinent arguments that Egypt violated the principle of transparency under international law and this claim therefore also has to be denied. 168

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa isu transparansi kerap kali menjadi dasar gugatan dalam sengketa investasi. Meskipun cenderung kontroversial, prinsip ini semakin banyak diakui oleh mahkamah arbitrase sebagai salah satu prinsip dalam FET. Untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman 169 yang berujung pada gugatan, diperlukan adanya komunikasi yang jelas antara host state dengan pihak investor; selain itu, pemberian akses atas berkas ataupun informasi tertentu dapat menjadi salah satu cara untuk menunjukkan prosedur yang adil dan terbuka. Di lain pihak, kompleksitas dalam rezim hukum negara tertentu tidak berarti negara bertindak tidak adil secara sengaja, terutama apabila undang-undang negara tersebut dapat diakses secara bebas oleh investor.

Champion Trading Co. and others v. Egypt, op. cit., para. 164. 168

Kotera, op. cit., hlm. 634. 169

ii. Due Process of Law

Untuk memenuhi standar perlindungan FET terhadap investor, prinsip prosedural lainnya adalah due process of law untuk mencegah ketidakadilan terhadap investor. Sebagai contoh, dalam kasus Middle East Cement v. Egypt 170 171 yang muncul berdasarkan BIT antara Yunani-Mesir, host state mengambilalih 172 dan melelang mesin milik Claimant tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Claimant. Mahkamah berpendapat bahwa pengambilalihan aset Claimant ini tidak sesuai dengan due process of law dan telah melanggar standar FET. 173

Salah satu konsep yang penting dalam due process of law adalah pengingkaran keadilan atau yang biasa disebut dengan denial of justice. Secara 174 sederhana, denial of justice merupakan munculnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional apabila negara tidak memenuhi standar tertentu dalam menyelenggarakan peradilan terhadap investor asing. Denial of justice 175 dianggap penting bahkan konsep sentral dalam standar minimum internasional. Konsep denial of justice semakin luas dan berkembang, baik dalam forum arbitrase maupun sumbernya. Salah satunya, konsep ini muncul dalam Pasal 11

Lihat Waste Management Inc. v. Mexico, op. cit., para. 98.; Jan de Nul NV v. 170

Egypt, ICSID Case No. ARB/04/13, Award, 6 November 2008, para. 187; AMTO LLC v. Ukraine, SCC Case NO. 080/2005, Award, 26 Maret 2008, para. 75.

Middle East Cement Shipping & Handling Co. S.A. v. Arab Republic of 171

Egypt, ICSID Case No. ARB/99/6, Award, 12 April 2002.

Agreement for the Promotion and Reciprocal Protection of Investments, 172

Greece-Egypt, 16 July 1993, 1895 UNTS 173.

Middle East Cement Shipping, op. cit., para. 143. 173

Samosir, Zefanya B.P., Konsep Denial of Justice dalam Arbitrase 174

Internasional, (Bandung: CV Keni Media, 2015), hlm. 3. Ibid.

Ayat 2 (a) ASEAN Comprehensive Investment Agreement yang menyebutkan “fair and equitable treatment requires each Member State not to deny justice in any legal or administrative proceedings in accordance with the principle of due process.” 176

Sejumlah mahkamah arbitrase mengakui bahwa adanya denial of justice merupakan pelanggaran terhadap standar FET. Namun, sampai saat ini belum ada Claimant yang berhasil memenangkan gugatan berdasarkan denial of justice yang muncul dari BIT. Sebagai contoh, dalam kasus Azinian v. Mexico yang muncul 177 berdasarkan NAFTA, pemerintah kota Naucalpan de Juarez memutuskan kontrak dengan perusahaan milik Claimant karena dugaan adanya wanprestasi dan kesalahan interpretasi kapasitas perusahaan. Ketika kasus tersebut dibawa ke pengadilan Meksiko, pengadilan membenarkan terminasi kontrak dan tidak menemukan adanya denial of justice. Kalahnya Claimant dalam gugatan tersebut lebih karena kesalahan dalam pembelaan, dan Mahkamah memberikan pertimbangan terhadap isu apakah Claimant dapat menggugat atas dasar denial of justice oleh pengadilan Meksiko. Mahkamah lebih lanjut menjelaskan:

[a] denial of justice dapat terjadi apabila pengadilan terkait menolak untuk menerima gugatan, menunda nya sampai jangka waktu yang tak terbatas, atau apabila pengadilan memutus dengan cara yang tidak pantas. … Terdapat tipe keempat dalam denial of justice, yaitu penerapan hukum secara curang dan buruk. 178

ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA), 26 Februari 2009, 176

Pasal 11 Ayat 2 (a).

Azinian v. United Mexican States, ICSID Case No. ARB/97/2, Award, 1 177

November 1999.

Ibid., para. 102-103. 178

Dalam menerapkan standar ini, Mahkamah tidak untuk bertindak sebagai pengadilan tingkat banding terhadap pengadilan Meksiko. Sebaliknya, Mahkamah berpendapat bahwa “…adanya kemungkinan negara bertanggungjawab secara internasional atas putusan pengadilannya tidak serta merta memberikan hak kepada Claimant untuk meminta peninjauan atas putusan pengadilan nasional suatu negara sekalipun pengadilan internasional memiliki kewenangan untuk itu. Hal ini tidak benar secara umum, dan juga tidak benar dalam NAFTA.” 179

Mahkamah kemudian menimbang apakah putusan pengadilan Meksiko merupakan ‘penerapan hukum secara curang’. Mahkamah berpendapat bahwa kesalahan dalam penafsiran kapasitas perusahaan merupakan alasan yang cukup bagi pemerintah kota untuk membatalkan kontrak berdasarkan hukum Meksiko, dan oleh karena nya, tidak terdapat penerapan hukum yang salah. Mahkamah 180 memutuskan bahwa tidak terjadi denial of justice terhadap investor dalam hal ini.

Dalam kasus Mondev v. United States yang juga muncul berdasarkan 181 NAFTA, Otoritas Pembangunan Boston (Boston Redevelopment Authority) membatalkan kontrak terkait proyek pembangunan kota dengan perusahaan Claimant. Ketika perusahaan menggugat otoritas tersebut di pengadilan Massachussetts, pengadilan menolak gugatan dan putusan tersebut dibawa ke Mahkamah Agung Massachusetts, yang juga menolak gugatan Claimant. Dalam

Ibid., para. 99. 179

Ibid., para 103. 180

Mondev International Ltd. v. United States, ICSID Case No. ARB/99/02, 181

mempertimbangkan apakah terdapat denial of justice dalam putusan pengadilan Massachusetts, Mahkamah arbitrase menerapkan empat tipe pelanggaran yang dapat dianggap sebagai denial of justice sebagaimana dikutip dalam kasus Azinian di atas. Mahkamah mempertimbangkan bahwa putusan Mahkamah 182 Internasional dalam kasus ELSI mendefinisikan ‘arbitrariness’ sebagai “a wilful disregard of due process of law…which shocks a sense of judicial propriety” dan menggunakan definisi tersebut sebagai standar untuk menguji denial of justice. 183 Mahkamah lebih lanjut mengamati bahwa standar pengujian adalah apakah, pada tingkat internasional dan dengan mengacu pada norma-norma keadilan yang diterima secara umum, sebuah pengadilan dapat memutus, berdasarkan seluruh fakta yang ada, bahwa putusan yang disengketakan adalah tidak adil dan tercela, dengan hasil bahwa investasi tersebut telah diperlakukan secara tidak adil dan sejajar. 184

Mahkamah kemudian mengakui bahwa standar yang diberlakukan tersebut bersifat ‘agak luas’, tetapi mengingat bahwa tidak ada rumusan lain yang lebih tepat untuk diberlakukan untuk mencakup segala bentuk kemungkinan. 185 Claimant memiliki empat hal yang menjadi dasar gugatan terhadap adanya denial of justice oleh pengadilan Massachusetts. Tiga diantaranya adalah mengenai dugaan bahwa pengadilan telah memberlakukan hukum yang baru atau telah

Ibid., para. 126. 182

Elettronica Sicula S.p.A. (ELSI) (United States v. Italia), ICJ, 20 July 1989, 183

para. 128.

Mondev v. US, op. cit., para. 127. 184

Ibid. 185

menerapkan hukum dengan tidak tepat. Mahkamah berpendapat bahwa memberlakukan hukum baru merupakan kewenangan hakim berdasarkan sistem common law, dan bahwa isu-isu prosedural merupakan diskresi pengadilan setempat. Dasar tuntutan ke empat adalah bahwa pengadilan Massachusetts memberikan imunitas terhadap otoritas tertentu dari adanya gugatan yang berasal dari hubungan kontraktual. Hal ini, dalam arti luas, merupakan hak setiap negara bagian, sehingga Mahkamah kemudian memutuskan tidak ada denial of justice dari putusan tersebut.

Dalam Bayinder v. Pakistan, sebuah kasus yang muncul berdasarkan 186 Turkey-Pakistan BIT, Claimant menggugat bahwa pengadilan Pakistan telah melanggar due process melalui suatu surat yang ditulis oleh salah seorang pejabat pemerintah kepada pejabat lainnya yang berisi prediksi bahwa pemerintah akan memenangkan gugatan pemutusan kontrak yang dibawa ke pengadilan setempat. Mahkamah menolak argumentasi ini. Claimant juga menduga bahwa sistem peradilan di Pakistan terkenal buruk, namun Mahkamah tidak menemukan ada bukti yang cukup untuk mendukung dugaan ini. 187

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa dalam hukum investasi internasional, FET mencakup serangkaian besar prinsip-prinsip perlindungan yang berlaku bagi investor. Namun dalam praktik arbitrase penyelesaian sengketa investasi, penerapan prinsip-prinsip tersebut kerap kali menghasilkan putusan

Bayindir Insaat Turizm Ticaret Ve Sanayi A.S. v. Islamic Republic of Pakistan, 186

ICSID Case No. ARB/03/29, Decision on Jurisdiction, 14 November 2005. Ibid., para. 252.

yang berbeda-beda. Hal ini didukung oleh pendapat Mahkamah arbitrase yang berulang-ulang menekankan bahwa putusan atas gugatan FET akan selalu tergantung pada kondisi dari masing-masing kasus. 188

CME Czech Republic B.V. v. Czech Republic, UNCITRAL, Partial Award 13 188

September 2001, para. 336; Mondev v. United States, op. cit., para 118; Petrobart v. Kyrgyz Republic, Stockholm Chamber Case No. 126/2003 (Energy Charter) Final Award, 29 Maret 2005, para. 26; Noble Ventures v. Romania, op. cit., para 181; MTD v. Chile, op. cit., para 109; ADC v. Hungary, op. cit., para 44; Waste Management v. Mexico, op. cit., para. 99 dalam GAMI Investments v. Mexico, para. 96.

Dokumen terkait