• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Antibodi Poliklonal Avian influenza H5N

Antibodi poliklonal AI H5N1 dalam serum marmut dapat dideteksi dengan uji Agar Gel Presipitasi (AGP) dan uji hambatan hemaglutinasi (HI) (OIE 2005).

4.2.1 Reidentifikasi Serum Anti AI H5N1 (Ab1)

120 bp 250 pb 200 pb 150 pb 400 pb 300 pb 200 pb 100 pb 100 pb 55 pb 50 pb

Reidentifikasi serum anti AI H5N1 (Ab1) dengan uji AGP menunjukkan reaksi positif terhadap antigen AI H5N1 dengan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 10). Hasil ini menunjukkan bahwa telah terbentuk antibodi yang homolog terhadap virus AI H5N1 yang diimunisasikan.

Gambar 10 Reaksi Presipitasi Serum Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian Influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi: Ag. Antigen AI H5N1; 1. Serum marmut 1; 2. Serum marmut 2; 3. Serum marmut 3; 4. Serum marmut 4; 5. Serum marmut 5; 6. Serum marmut 6; ( ) Garis presipitasi Keberadaan antibodi poliklonal Avian Influenza H5N1 dideteksi dengan uji HI. Hasil titer antibodi dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 11. Titer antibodi yang terbentuk satu minggu setelah imunisasi ke tiga sebesar 1351.12 (210.4) . Claassen et al. (2007), mengukur titer antibodi yang dihasilkan oleh ayam layer (white leghorn) SPF terhadap beberapa vaksin AI subtipe H5N1 produksi lokal yang berisi master seed virus AI H5N1 strain Legok. Titer antibodi yang dihasilkan setelah vaksinasi dan diuji dengan HI adalah tinggi yaitu 28-11. Li et al. (2005) dalam penelitiannya mengatakan bahwa hasil titer antibodi terhadap virus AI sebanyak 2 10 (1024) adalah tinggi dan dapat dilakukan panen serum untuk penelitian selanjutnya.

Tabel 4 Titer Antibodi Poliklonal AI H5N1 dengan Uji HI Titer Antibodi

Marmut

Pre imunisasi I II III

Ag 1 4 5 2 6 3

1 0 64 128 2048 2 0 128 128 512 3 0 64 64 1024 4 0 32 64 2048 5 0 256 256 1024 6 0 128 256 512 7 0 64 128 2048 8 0 128 128 2048 9 0 128 256 2048 10 0 128 256 2048 GMT 0 97.01 147.03 1351.12

Keterangan: I. Pasca imunisasi pertama; II. Pasca imunisasi kedua; III. Satu minggu pasca imunisasi ketiga; GM. Geometric Mean Titer

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu (minggu) T ite r A n ti b o d i (G M T Titer

Gambar 11 Gambaran Titer Antibodi Poliklonal AI H5N1

Semua virus influenza A memiliki nukleokapsid dan antigen matriks secara antigenik yang sama. Antigen matrik tersebar lebih cepat dibandingkan dengan antigen nukleoklapsid. Uji AGP digunakan secara luas di berbagai negara untuk deteksi antibodi dan antigen spesifik virus AI. Uji AGP dilakukan untuk melihat reaksi pengendapan antigen oleh antibodi spesifik. Pengendapan antigen oleh antibodi ini diperlihatkan oleh adanya garis presipitasi di media agar gel. Jika sediaan antibodi tidak homolog dengan antigen maka tidak akan terbentuk garis presipitasi.

Penggunaan uji AGP dalam penelitian ini karena teknik imunopresipitasi merupakan salah satu cara yang masih dipakai untuk menganalisis atau mengukur kadar antigen atau antibodi. Antibodi yang direaksikan dengan antigen spesifik membentuk kompleks yang tidak larut (presipitat) yang dapat dianalisis dengan berbagai cara. Reaksi presipitasi dapat dilangsungkan dalam media cair maupun media semisolid (gel). Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam teknik imunopresipitasi. Hal yang paling menentukan adalah spesifisitas antiserum atau antibodi yang digunakan dan larutan standar yang stabil dengan kadar yang pasti. Reaksi imunopresipitasi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah aviditas antibodi. Aviditas antibodi menentukan derajat stabilitas kompleks antigen-antibodi pada tempat pengikatan (antigen binding site). Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk cenderung berdisosiasi bila antibodi mempunyai aviditas yang lemah, sebaliknya makin tinggi aviditas antibodi makin stabil kompleks yang terbentuk. Faktor-faktor lain yang berpengaruh misalnya suhu, pH dan molaritas larutan yang dipakai, dan yang tidak boleh diabaikan adalah perbandingan antara konsentrasi antigen dengan antibodi dalam reaksi.

Perbandingan konsentrasi antigen dengan antibodi merupakan faktor terpenting dalam reaksi presipitasi. Pembentukkan presipitasi terjadi apabila antara konsentrasi antigen dengan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk (postzone effect), sedangkan antibodi berlebihan menyebabkan komplek antigen antibodi tetap ada dalam larutan tanpa membentuk presipitasi (prozone effect) (Kresno 2001). Hasil penelitian ini terlihat bahwa pembentukkan garis presipitasi antara antigen dan antibodi karena kosentrasi antigen dan antibodi seimbang (zone ekivalen) (Gambar 10). Titer antibodi terhadap AI H5N1 adalah 28-11 (Tabel 4), sedangkan titer antigen AI H5N1 standar sebesar 28-9.

Pembentukan antibodi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: imunogenesitas, kualitas, bentuk kelarutan stimulan, spesies hewan yang di injeksi, rute imunisasi, dan

sensitifitas assay (Bellanti 1993). Imunisasi terhadap marmut pada penelitian ini dilakukan sebanyak 3 kali. Tujuannya adalah untuk membentuk kondisi hiperimun pada marmut, sehingga dihasilkan antibodi dengan titer tinggi. Vaksin inaktif umumnya diperlukan dua atau tiga kali vaksinasi untuk memperoleh titer antibodi tinggi. Vaksinasi pertama adalah untuk memperkenalkan dan kedua sebagai booster atau ulangan sangat

diperlukan, supaya daya imunitasnya cukup tinggi (Roitt 2003; Rantam 2005). Titer antibodi yang tertinggi pada penelitian ini dicapai satu minggu setelah imunisasi ke tiga.

Hemaglutinasi adalah fenomena aglutinasi sel darah merah oleh virus tertentu antara lain oleh virus influenza, sebagian besar virus Myxo beberapa virus Pox (Variola, Vaccinia dan Ectromelia), semua virus Reo, sebagian besar virus Toga, beberapa virus Entero dan lainnya. Bagian virus yang mengaglutinasi sel darah merah disebut hemaglutinin. Virus akan menempel pada permukaan sel darah merah melalui hemaglutinin tanpa menembus masuk ke dalam sel tersebut. Tempat virus menempel pada permukaan sel darah merah merupakan reseptor yang terdiri dari karbohidrat (mukopolisakarida) bersifat seperti lem dan sifat kimiawinya mirip musin pada saluran pernafasan. Hemaglutinasi terjadi karena banyak virus melekat pada sel darah merah dan bila dua sel darah merah yang mengandung partikel virus pada permukaannya bersentuhan mereka saling menempel melalui jembatan protoplasma yang terbentuk antara kedua sel tersebut. Lama kelamaan terbentuk massa yang cukup besar besar terdiri dari sel darah merah yang saling berdekatan (aglutinasi) dan karena massa tersebut cukup berat secara perlahan-lahan akan mengendap ke dasar tabung atau microplate.

Hemaglutinasi oleh virus dapat dihambat oleh antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut, sehingga uji hambatan hemaglutinasi digunakan untuk mengetahui dan mengukur adanya antibodi dalam serum. Batas akhir aktivitas penghambatan adalah pengenceran tertinggi dari serum yang masih dapat menghambat secara sempurna penggumpalan sel darah merah. Uji hambatan hemaglutinasi merupakan salah satu uji serologik yang sederhana, cepat dan memiliki sensitiftas yang tinggi untuk deteksi antibodi virus AI (OIE 2008; Capua & Alexander 2009).

Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi selanjutnya. Titer antibodi masih rendah pada tahap respon permulaan. Antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Antibodi yang baru terbentuk merupakan faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas, hal ini terjadi karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi

terhadap antigen atau berafinitas tinggi, karena itu titer antibodi yang dihasilkan juga tinggi.

Vaksin inaktif diperlukan dalam jumlah banyak untuk dapat merangsang respon antibodi. Respon antibodi tergantung dari antigen yang berada dalam vaksin. Hubungan antara kandungan antigen dalam vaksin inaktif dan respon antibodi penting untuk mengetahui penggunaan vaksin yang optimal (Maas et al. 2007).

Antibodi yang dihasilkan dari imunisasi marmut dengan vaksin AI H5N1 inaktif strain Legok adalah antibodi poliklonal karena antibodi ini dihasilkan oleh turunan dari beberapa sel B yang mengenali epitop berbeda pada antigen yang sama (Alberts et al.

2002). Menurut Roitt (2003), antibodi poliklonal dihasilkan dengan cara menyuntikkan antigen ke dalam tubuh hewan lalu memurnikan antibodi dari serum darah. Antibodi ini umumnya bereaksi dengan banyak epitop Berdasarkan definisinya antibodi poliklonal adalah antibodi yang diperoleh dari hiperimun, disebut juga serum hiperimun dan dapat bereaksi dengan sejumlah determinan antigen yang berbeda pada antigen (bereaksi pada banyak epitop).

4.2.2 Pemurnian Imunoglobulin G Anti AI H5N1 (Ab1)

Pemurnian Imunoglobulin G dilakukan dengan menggunakan Montage Antibody Purification Kit & Spin Column with Procep A (Millipore). Pemurnian dilakukan untuk mendapatkan IgG murni sehingga memudahkan proses pemotongan F(ab)2 dari Fc. Kit ini mempergunakan protein A, yaitu protein dinding sel Staphylococcus aureus yang akan berikatan dengan bagian Fc dari IgG.

Reidentifikasi IgG AI H5N1 dengan uji AGPmenunjukkan reaksi positif dengan antigen AI H5N1, ditunjukkan dengan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 12). Hal ini berarti bahwa terjadi reaksi serologi yang homolog antara IgG H5N1 dengan antigen AI H5N1 karena IgG AI H5N1 merupakan antibodi spesifik terhadap virus AI H5N1. Konsentrasi IgG AI H5N1 yang diperoleh sebesar 8 mg/ml.

3 2

Ag 1

Gambar 12 Reaksi Presipitasi Imunoglobulin G Marmut Spesifik Terhadap Antigen Virus Avian Influenza H5N1 Pada Uji Agar Gel Presipitasi: Ag. Antigen AI H5N1; 1,2,3,4,5. IgG AI H5N1; ( ) Garis presipitasi

Imunoglobulin G (IgG) adalah klas imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam serum darah dan mempunyai afinitas yang tinggi untuk berikatan dengan antigen. Imunoglobulin G mampu menetralisasi virus dengan cara mengaglutinasi dan mempresipitasikan antigen (Alberts et al. 2002; Roitt 2003).

4.2.3 Pemotongan Imunoglobulin G AI H5N1 dan Pemurnian Fragmen F(ab)2

Pemotongan Imunoglobulin G (IgG) dengan pepsin untuk memperoleh fragmen F(ab)2 yang selanjutnya akan dimurnikan. Enzim pepsin hampir menghancurkan bagian fragmen Fc tetapi tidak menghancurkan kedua fragmen Fab (Gambar 13).

Gambar 13 Skema Pemotongan Imunoglobulin dengan Enzim Pepsin: A. Imunoglobulin yang dipotong dengan enzim pepsin; B. Fragmen Fc; C. Fragmen F(ab)2

Pemurnian fragmen F(ab)2 dengan desalting menggunakan Amicon Ultra 15. Protein dengan berat molekul < 30 kDa akan berada pada bagian bawah dan protein dengan berat molekul yang lebih tinggi akan berada di bagian atas. Fragmen F(ab)2 akan berada pada bagian atas, karena protein ini memiliki berat molekul 110 kDa. Fragmen F(ab)2 kemudian didialisis untuk menghilangkan garam yang terdapat pada larutan protein. Dialisis dilakukan menggunakan PBS pH 8,0 selama 24 jam. Proses dialisis ini

4 5

6

pepsin

A B C

Daerahpengikatanantigen

Antibodi

akan menyebabkan molekul-molekul garam keluar melalui pori-pori tabung secara bertahap hingga konsentrasi garam di dalam dan di luar tabung dialisis menjadi sama. Fragmen F(ab)2 hasil pemurnian ini kemudian di analisa profil pita proteinnya menggunakan Sodium Dodecyl Sulphonat Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS- PAGE) dan diukur konsentrasinya dengan spektrofotometer ultraviolet.

Profil pita protein Imunoglobulin G dan fragmen F(ab)2 dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15. Imunoglobulin G mempunyai berat molekul 150 kDa dan fragmen F(ab)2 mempunyai berat molekul 110 kDa.

Pengukuran konsentrasi fragmen F(ab)2 dengan menggunakan spektrofotometer ultra violet diperoleh hasil sebesar 1 mg/ml. Jumlah ini cukup untuk digunakan sebagai antigen, guna menginduksi terbentuknya antibodi anti-idiotipe pada kelinci. Dosis antigen berkisar antara 10-100 µg (Leenars et al. 1997; Paryati 2006; Poetri et al. 2008). Secara in vivo dengan 100 µg fragmen F(ab)2 dapat mencegah virus AI H5N1 (Lu et al. 2006), namun untuk antigen protein dianjurkan memakai dosis antara 50-1000 µg (Leenars et al. 1994). M 1 2 3 4 5 220 100 60 50 40 30 25 20 15 10 M 1 2 225 150 100 75 50 35 25 15 10

Gambar 14 Profil pita protein Imunoglobulin G yang telah dipurifikasi: M. Marker (Invitrogen); 1. IgG Ab1; 2. IgG kelinci kontrol; 3. IgG Ab2; 4. IgG Ab2; 5. IgG kelinci standar (Promega)

Gambar 15 Profil pita protein Fragmen F(ab)2: M. Marker (Promega); 1. F(ab)2 ; 2. F(ab)2 dan Fc

Fragmen F(ab)2 adalah antibodi AI H5N1 (Ab1) dan digunakan untuk mengimunisasi kelinci untuk produksi antibodi anti-idiotipe (Ab2). Fragmen F(ab)2 ini mampu mengikat antigen seperti antibodi asal dan masih bersifat divalen. Fragmen ini masih dapat mempresipitasikan antigen karena masih mempunyai kedua binding site

(tempat ikatan) (Roitt 2003)

Menurut Rantam (2003), SDS-PAGE adalah protein dielektrophoresis dalam detergen ionik yaitu SDS. Detergen ini akan mengikat residu hidrophobik dari bagian belakang peptida secara komplit, dengan demikian protein SDS-komplek migrasi melalui poliakrilamid tergantung dari berat molekulnya. Ada dua sistem pada SDS yaitu kontinyu (Weber & Osbon) dan diskontinyu (Laemli). Sistem kontinyu, campuran protein dilapiskan pada bagian atas (bands pada bagian atas dari separating gel), sehingga kelemahan pada sistem ini akan terjadi resolusi dengan sampel. Penelitian ini menggunakan sistem diskontinyu, dimana protein migrasi dengan cepat melaui pelarut ion pada stacking gel dan separating gel. Protein terkonsentrasi pada garis tipis berupa pita atau band yang tipis.

Lebih lanjut Rantam (2003) menyatakan bahwa Polyacrylamide Gel

Electrophoresis (PAGE) adalah merupakan standar metode pengujian terhadap berat

molekul protein, struktur subunit dan kemurnian protein. Poliakrilamid adalah matrix pilihan untuk memisahkan protein yang mempunyai berat molekul antara 500-250.000 Dalton. Pori-pori pada matrik dibentuk oleh rantai cross-linking linear polyacrylamid

dengan bis acrylamide. Ukuran pori-pori berkurang sesuai dengan peningkatan total presentasi acrylamide atau peningkatan derajat presentasi konsentrasi campuran dengan

bisacrylamide. Dengan pembuatan atau pemilihan total konsentrasi yang tepat akan menentukan pula ukuran yang tepat terhadap ukuran protein yang diinginkan. Jadi semakin tinggi total presentasi akan menghalangi pergerakan protein ke dalam gel, begitu juga bila terlalu rendah total presentasi akan mengakibatkan pergerakan protein menjadi

terlalu cepat bergerak melalui gel yang mengakibatkan didapatkan protein spesifik rendah dan tidak sesuai dengan protein yang diinginkan. Awal terjadinyapolimerasi biasanya disempurnakan oleh ammonium persulfat dan dikatalisa oleh N,N,N,N- Tetramethylethylenediamine (TEMED).

Antibodi (Ab1) murni satu spesies yang disuntikkan ke spesies yang berbeda akan dikenali sebagai antigen asing dan menimbulkan respon humoral (Ab2) yang kuat (Harlow & Lane 1988; Roitt 2003). Penggunaan fragmen F(ab)2 dari antibodi sebagai Ab1 dapat meningkatkan spesifisitas dan mengurangi heterogenitas antibodi yang akan terbentuk dari hasil imunisasi menggunakan Ab1 sebagai antigen. Imunisasi dengan fragmen Fab IgG menunjukkan respon yang lebih besar dibandingkan imunisasi dengan IgG yang disebabkan sifat menghambat bagian Fc (Roitt 2003).