• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. PRODUKSI ENZIM ARABINOSA ISOMERASE

Produksi enzim AI dilakukan dengan memodifikasi medium ekspresi. Modifikasi medium ekspresi dilakukan karena enzim target yang diharapkan tidak terekspresi secara maksimal pada medium ekspresi yang biasa digunakan yaitu media cair Luria Bertani (LB). Pita yang masih tipis dari analisis SDS-PAGE (data tidak ditampilkan) menunjukkan bahwa tidak diperolehnya kondisi overekspresi.

Berdasarkan penelitian Putri (2010) diketahui bahwa limbah cair tahu yang ditambahkan ekstrak khamir dan diatur pH-nya dapat digunakan sebagai medium pertumbuhan dan medium ekspresi protein rekombinan. E. coli transfroman yang ditumbuhkan pada media limbah cair tahu dengan penambahan ekstrak kamir 0,5% (m/v) memberikan level ekspresi yang tinggi. Penggunaan limbah cair tahu sebagai medium ekspresi lebih memudahkan tahapan pemisahan enzim target dari protein membran setelah freeze-thaw dibandingkan medim LB.

~56 kDa

LB LCT+YE

Gambar 11. Perbandingan ekpresi enzim AI pada 2 jenis medium ekpresi berbeda. Keterangan: LB = luria bertani, LCT+YE=limbah cair tahu + yeast extract, M=marker, ni= non induksi, t=total suspensi sel, s2=supernatan 2, p2=pellet 2.

66.2 kDa

45 kDa

35 kDa

25 kDa

Dari analisis dengan SDS-PAGE (gambar 11) telah terkonfirmasi bahwa medium ekpresi yang lebih baik untuk produksi enzim arabinosa isomerase adalah limbah cair tahu yang ditambahkan ekstrak kamir (LCT+YE). Media cair LB juga dapat digunakan sebagai medium ekspesi, akan tetapi pita (band) enzim target yang dihasilkan sangat tipis dibandingkan dengan medium LCT + YE. Perlakuan non induksi atau tanpa penambahan isopropyl-beta-D-thiogalactopyranosidasei (IPTG) bertujuan agar lebih meyakinkan bahwa yang terekspresi dengan berat molekul 56 kDa adalah enzim target. Sedangkan adanya running terhadap total, supernatant ke-2 dan pellet ke-2 agar diketahui bahwa enzim AI terdapat pada supernatan.

Sistem ekspresi protein rekombinan dengan inang E. coli BL21 dan plasmid pET21b merupakan sistem ekspresi modern dan telah banyak diterapkan. Gen target yang dikloning pada plasmid pET21b berada pada posisi hilir (downsteam) dari promoter atau T7 promoter. T7 promoter berada pada bagian hulu dari operator. T7 promoter ini hanya akan mengenali T7 RNA polimerase dari T7 faga pada E. coli BL21 untuk memulai transkripsi gen target. Karena keberadaan represor pada operator masing-masing genom E. coli BL21 (DE3) dan plasmid pET menyebabkan kecil kemungkinan T7 RNA polimerase diproduksi. Meskipun diproduksi, plasmid pLysS yang mengkode T7 lisosim akan menginaktifkan T7 RNA polimerase sebelum bergabung dengan T7 promoter. Jika T7 lisosim tidak mampu juga menginaktifkan seluruh T7 RNA polimerase, maka keberadaan represor pada operator pET akan menghambat transkripsi gen target (Sambrook & Russell 2001). Penambahan IPTG sebagai senyawa penginduksi akan menyebabkan represor terlepas dari operator sehingga RNA polimerase diproduksi dan kemudian berikatan dengan T7 promoter (Sorensen & Mortensen 2005). Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya enzim target yang dihasilkan apabila tidak diinduksi dengan IPTG. Oleh karena gen pengkode T7 RNA polimerase berasal dari virus bakteri (faga), maka proses transkripsi ini akan berlangsung dengan cepat dan T7 RNA polimerase diproduksi dalam jumlah banyak.

34 Limbah cair tahu yang ditambahkan ekstrak khamir (LCT+YE) dapat

digunakan sebagai medium untuk memproduksi enzim AI asal Geobacillus stearothermophilus lokal menggunakan inang E. coli BL21 pLysS pET21b dikarenakan medium ekspresi ini mengandung sumber carbon (C), nitrogen (N) dan mineral yang dibutuhkan oleh bakteri transfroman tersebut. Limbah cair tahu cukup potensial digunakan sebagai media fermentasi karena masih memiliki komponen nutrisi yang cukup lengkap bagi pertumbuhan mikroba (Kawira 1993). Limbah cair tahu mengandung 0.01% sumber karbon, 0.08% sumber nitrogen dan 27.5% mineral berupa kalsium, magnesium, besi, natrium, kalium, dan fosfor (Nurdin 1989). C dan N berguna sebagai sumber energi untuk metabolisme atau sintesis protein. Sedangkan mineral berfungsi sebagai kofaktor serta membantu membawa nutrisi ke dalam sel.

Pemilihan media fermentasi merupakan faktor yang sangat penting dalam memproduksi enzim dari mikroba, disamping faktor lain seperti kondisi fermentasi dan spesies mikroorganisme (Aunstrup 1979). Menurut Meyrath & Volvasek (1975), konsentrasi karbon murni yang rendah dan protein yang tinggi pada media akan meningkatkan produksi enzim dari mikroba. Ketika bakteri diinokulasikan ke dalam medium, bakteri akan memanfaatkan karbon sebagai sumber energi untuk beradaptasi dengan medium. Setelah sumber karbon murni habis atau tersisa sedikit, bakteri kemudian mulai mensintesis enzim-enzim yang dapat digunakan untuk menghidrolisis protein menjadi asam-asam amino. Asam-

Gambar 12. Mekanisme ekspresi terinduksi IPTG pada inang E. coli BL21(DE3) dengan sistem pET (Sorensen & Mortensen 2005)

asam amino ini akan digunakan sebagai sumber energi oleh bakteri untuk bertahan hidup dan melakukan replikasi.

Limbah cair tahu diperkirakan masih mengandung sedikit sumber karbon dari pati kedelai. Protein pada limbah cair tahu berasal dari kedelai. Dalam proses pembuatan tahu, pada proses ekstraksi dengan air panas, sekitar 79-82% kandungan protein kedelai dapat diekstrak. Dari protein yang terekstrak ini, pada waktu pengendapan tahu tidak semuanya mengendap. Banyaknya protein yang dapat digumpalkan atau diendapkan tergantung pada jenis penggumpalnya. Karena tidak terekstraksinya dan terendapnya semua protein yang terdapat pada kedelai, maka pada limbah cair tahu masih terdapat protein kedelai (Nurdin 1989). Penambahan ekstrak khamir ke dalam media limbah cair tahu meningkatkan kandungan nutrisi medium. Ekstrak khamir merupakan protein sel tunggal yang kaya akan asam amino, peptida, vitamin-vitamin B dan trace element. Ekstrak khamir juga mengandung asam nukleat terutama RNA (Singleton & Sainsbury 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (1989) menunjukkan bahwa limbah cair tahu lebih baik dalam menghasilkan enzim protease asal bakteri Bacillus licheniformis BCC 0607 dibandingkan medium sintetis. Pada penelitian ini, medium LCT+YE lebih baik sebagai medium ekpresi enzim AI dibandingkan LB karena LCT+YE mengandung mineral yang lebih lengkap. Natrium, kalium dan kalsium menjaga agar protein dan komponen nutrisi lainnya dapat secara simultan dibawa ke dalam sel melalui mekanisme transpor aktif. Sedangkan magnesium (Mg) berfungsi sebagai kofaktor esensial dalam sintesis protein. Sintesis protein oleh E. coli membutuhkan Mg untuk mengaktifkan asam amino dari poolnya, mengawali proses translasi (initiation) dan pada tahap pemanjangan (elongation) menjadi oligopeptida atau protein (Stader 1995; Prescott 2002). Kalsium juga diketahui dapat meningkatkan produksi enzim rekombinan pada E. coli BL21. Penelitian yang telah dilakukan oleh Delgado (2009) menunjukkan bahwa level ekpresi protein rekombinan oleh E. coli BL21 secara jelas meningkat 15% lebih tinggi pada medium LB yang ditambahkan kalsium (Ca) dibandingkan medium LB saja. Ca diduga berperan sebagai pembawa pesan intreseluler (intracellular messenger) dalam sel prokariotik.

36 C. OPTIMASI PRODUKSI DENGAN LAMA WAKTU INDUKSI

Ekspresi protein rekombinan dengan sistem terinduksi masih merupakan pilihan untuk memproduksi enzim AI. Enzim AI yang dihasilkan dari beberapa genus bakteri, menggunakan senyawa penginduksi supaya gen target mengalami transkripsi dan translasi. Lama waktu induksi yang digunakan untuk ekspresi enzim ini bervariasi. Lee et al (2005a) memproduksi enzim AI asal G. stearothermophilus T6 dan B. halodurans dengan lama waktu induksi 4 jam, sedangkan Lee et al (2004) menggunakan lama waktu induksi 5 jam untuk ekpresi enzim AI asal T. maritima. Chouayekh et al (2007), Cheng et al (2009) dan Cheng et al (2010) memproduksi enzim AI yang masing-masing secara berurutan berasal dari L. plantarum, B. stearothermophilus IAM 11001, dan Acidothermus cellulolytics dengan lama waktu induksi 6 jam. Kim et al (2002) menggunakan lama waktu induksi 15 jam untuk menghasilkan enzim AI asal T. neapolitana. Enzim AI asal Lactobacillus sakei dihasilkan dengan menginduksi inang ekspresi selama semalaman (overnight) (Rhimi et al 2010). Lama waktu induksi yang dilakukan pada studi tersebut diatas adalah untuk menghasilkan enzim AI, dan pada studi tersebut tidak disebutkan atau dibahas tentang optimasi produksi.

Menurut Donovan (1996) terdapat dua poin penting yang perlu diperhatikan agar diperoleh hasil maksimum dari ekspresi terinduksi protein rekombinan pada bakteri. Yang pertama adalah siklus pertumbuhan bakteri tersebut, sehingga diketahui kapan induksi mulai dilakukan. Dan yang kedua yaitu lama waktu induksi. Induksi sebaiknya dilakukan pada saat siklus bakteri telah mencapai setengah fase eksponensial (mid eksponential) karena pada fase ini metabolisme bakteri berlangsung cepat dan sinstesis senyawa metabolitnya meningkat beberapa kali lipat dibandingkan fase-fase lainnya. Semakin lama induksi dilakukan maka semakin lama represor terlepas dari operator dan RNA polimerase yang dihasilkan akan semakin banyak pula. Kopetzki et al (1989) menyatakan bahwa induksi yang terlalu kuat akan menyebabkan beban metabolisme bagi inang dan bisa merangsang terbentuknya inclusion bodies. Oleh karena itu, konsentrasi senyawa penginduksi yang ditambahkan harus minimal. Konsentrasi akhir senyawa penginduksi sebesar 1 mM pada media ekpresi merupakan konsentrasi yang ideal.

Jam ke-0 Jam ke-4 Jam ke-8 Jam ke-12 Jam ke-16 Jam ke-20 Jam ke-24 116 kDa 66.2 kDa 45 kDa 35 kDa ~ 56 kDa

Khoo et al (2010) menyimpulkan bahwa konsentrasi IPTG 1 mM adalah konsentrasi terbaik untuk menghasilkan protein rekombinan menggunakan inang E. coli. Chen & Morgan (2006) menyebutkan bahwa waktu induksi yang terlalu lama akan menyebabkan nutrisi yang diperlukan oleh kultur akan cepat habis. Sehingga sangat penting untuk menyeimbangkan kapasitas induksi dan produksi protein rekombinan, agar diperoleh enzim target dalam jumlah banyak dan dengan aktivitas maksimum.

M

Gambar 13. Grafik optical density (kerapatan sel) dan aktivitas enzim yang dikoleksi dari kultur serta setelah induksi

Gambar 14. SDS-PAGE hasil optimasi produksi enzim dengan lama waktu induksi. Running dari kiri ke kanan M=marker dan jam setelah induksi (berurutan dari kiri ke kanan: total

-0.3 0.2 0.7 1.2 1.7 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 O D = 6 0 0 n m a k ti vi ta s e n zi m (U /m l)

Kultur dan lama Induksi

38

Pada gambar 14 terlihat hasil ekspresi enzim target (supernatan ke-2) antara jam ke-12 , 16 dan 20 hampir sama tebal (bandnya). Akan tetapi pada gambar 13 terlihat produksi enzim AI yang paling optimum adalah dengan lama waktu induksi 16 jam. Gambar 13 menunjukkan bahwa aktivitas enzim tertinggi terdapat pada lama waktu induksi 16 jam dan 20 jam. Tetapi induksi 16 jam memiliki aktivitas enzim pada bagian supernatan yang lebih tinggi (±2000 U/ml) dibandingkan jam ke-20 (±1500 U/ml). Bagian supernatan ke-2 merupakan bagian enzim yang larut dan memiliki aktivitas tinggi.

Gambar 13 menunjukkan bahwa kultur dan induksi jam ke-0 tidak memiliki aktivitas enzimatis terhadap substrat galaktosa yang diberikan. Hal ini menjelaskan bahwa tidak ada enzim AI yang diproduksi pada perlakuan tersebut. Karena jika dibandingkan dengan jam ke-4 setelah induksi, aktivitas enzim AI nampak meningkat secara tajam. Dari gambar 13 diketahui bahwa aktivitas enzim AI terus meningkat apabila waktu induksi diperpanjang hingga 16 jam. Kemudian setelah itu, aktivitas enzim AI kembali menurun. Gambar 13 juga menunjukkan bahwa enzim AI diproduksi secara optimal pada fase stasioner dari fase pertumbuhan inang ekspresi (E. coli BL21 pET21b-araA). Enzim dari mikroba dihasilkan secara optimal pada akhir fase eksponensial atau awal fase stasioner. Tetapi ada juga enzim dihasilkan secara maksimal pada fase stasioner. Optimasi produksi enzim keratinase dari bakteri termofilik diperoleh pada fase pertumbuhan stasioner (Gumulya 2004). Dan enzim protease dari Bacillus subtilis rekombinan dihasilkan secara maksimal pada awal fase stasioner (Sugiarto 2001). Saat memasuki fase stasioner, bakteri akan mengeluarkan senyawa metabolit lebih banyak. Hal ini merupakan bentuk respon stress bakteri terhadap kondisi yang sedang dialaminya, karena akan memasuki fase kematian (Jay et al 2005).

Pada gambar 13 terlihat bahwa pellet ke-2 yang merupakan campuran membrane sel bakteri dan inclusion bodies tidak memiliki aktivitas apabila induksi dilakukan selama 4 dan 8 jam. Tetapi jika waktu induksi diperpanjang maka pellet sedikit memberikan aktivitas. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya beberapa bagian enzim yang membentuk inclusion bodies dan bergabung bersama pellet ke-2. Kemungkinan terbentuknya inclusion bodies dipertegas melalui keberadaan pita pada posisi 56 kDa dibagian pellet dari perlakuan 12-24

jam setelah induksi (gambar 14). Sedangkan perlakuan 4 dan 8 jam setelah induksi tidak terdapat pita pada bagian pelletnya. Sorensen & Mortensen (2005) menyatakan bahwa masalah yang sering timbul ketika memproduksi enzim rekombinan adalah terbentuknya inclusion bodies. Inclusion bodies adalah aggregat protein target yang tidak larut dan tidak aktif. Inclusion bodies terbentuk karena kesalahan pelipatan (folding) protein akibat dari kondisi stress mikroba sehingga menyebabkan terjadinya beban metabolisme. Salah satu faktor penyebab terjadinya respon stress mikroba dan beban metabolisme adalah tingkat ekspresi yang tinggi. Pada penelitian ini, isolasi enzim AI dilakukan dengan 2 kali sentrifugasi. Setelah induksi dihentikan dengan meletakkan kultur di es, kemudian kultur disentrifugasi dan akan diperoleh supernatan ke-1 (S1) dan pellet ke-1 (P1). Supernatan ke-1 yang merupakan medium ekspresi dibuang sedangkan pellet ke-1 yang merupakan total suspensi sel bakteri ditambahkan larutan buffer dan diberi perlakukan freeze-thaw. Setelah itu, total suspensi sel disentrifugasi kembali untuk mendapatkan supernatan ke-2 (S2) dan pellet ke-2 (P2). Penjelasan lebih rinci mengenai mekanisme pemisahan enzim AI dengan inclusion bodies akan dibahas pada bagian purifikasi.

Pada gambar 14 terlihat bahwa induksi jam ke-0 tidak terdapat pita pada posisi 56 kDa. Ini karena induksi baru diberikan dan ekspresi gen target belum terjadi. Pita dari total suspensi sel pada jam ke-12, 16 dan 20 setelah induksi tidak terlalu jelas dibandingkan jam ke-4, 8 dan 24. Hal ini disebabkan karena running SDS-PAGE atau analisis dengan SDS-PAGE terhadap jam ke-4, 8 dan 24 setelah induksi dilakukan terlebih dahulu. Sedangkan running terhadap jam ke-12, 16 dan 20 setelah induksi dilakukan beberapa hari kemudian. Sehingga diduga enzim total terdegradasi oleh protease-protease yang kemungkinan terdapat pada bakteri. Menurut Stader (1995), E. coli BL21 sangat sedikit mengeluarkan protease Lon dan ompT (protease VII). Namun E. coli juga mampu menghasilkan protease- protease lainnya, baik protease spesifik ataupun protease non-spesifik. Beberapa protease spesifik dan non-spesifik yang mampu dihasilkan oleh E. coli antara lain yaitu protease III dan IV yang berada pada bagian dalam membran (inner membrane), protease V yang dihasilkan dari membran luar dan membran dalam

40

bakteri, serta protease VI dan serin protease yang dihasilkan oleh membran luar E. coli.

Setelah total suspensi sel (T) dikoleksi, kemudian total suspensi sel ini disimpan pada suhu 4ºC, sedangkan enzim pada supernatant 2 dan pellet 2 disimpan pada suhu -20ºC. Enzim pada total suspensi sel masih bergabung dengan protein-protein lain termasuk dengan protein membran sel. Sedangkan enzim pada supernatant ke-2 lebih murni dan telah terpisah dari protein membran sel serta disimpan pada suhu freezer (-20ºC) yang dapat menginaktifkan enzim secara maksimal. Oleh karena itulah pita pada supernatan ke-2 dari induksi jam ke-12, 16 dan 20 masih terlihat jelas dan tebal.

D. PURIFIKASI

Setelah diperoleh kondisi optimum untuk memproduksi enzim arabinosa isomerase (AI) yaitu dengan menggunakan medium (LCT+YE) dan lama waktu induksi 16 jam, kemudian enzim yang dihasilkan dimurnikan (purifikasi) untuk keperluan karakterisasi dan untuk menghilangkan protein lain yang berikatan dengan enzim AI. Purifikasi dilakukan dengan 3 tahap antara lain: 1) freeze-thaw, 2) heat treatment, dan 3) kolom ion-exchange. Pemilihan metode freeze-thaw sebagai bagian dari tahapan purifikasi karena ekstrak enzim AI berada dalam sitosol bakteri. Dengan freeze-thaw menggunakan suhu -70ºC sebanyak 3 kali ulangan, akan melukai membran sel bakteri. Kristal-kristal es yang terbentuk akan membuat lubang pada membran sel sehingga ketika disentrifugasi, cairan sitoplasma akan mudah dipisahkan dari membran atau protein membran dan inclusion bodies. Inclusion bodies adalah protein target yang tidak larut dan memiliki aktivitas yang sangat rendah, bahkan kemungkinan tidak memiliki aktivitas. Keuntungan memproduksi enzim termostabil adalah dapat mempermudah tahapan purifikasi. Menurut Olichon et al (2007), metode heat treatment dapat menyederhanakan protokol purifikasi protein termotoleran. Heat treatment atau perlakuan panas pada kondisi stabil enzim target akan mendegradasi enzim ataupun protein lain yang tidak tahan panas.

Tahapan akhir dari purifikasi yaitu melewati enzim AI pada kolom yang berisi resin dietil amino etil (DEAE). Resin DEAE merupakan resin anion exchange. Resin DEAE yang bermuatan positif akan mengikat enzim AI yang

bermuatan negatif ketika enzim AI dilewatkan pada kolom. Muatan negatif pada enzim AI karena enzim ini telah dicampurkan dengan buffer tris HCl pH 7.5 pada saat isolasi. Pada kondisi pH diatas pI-nya (pH isoelektrik) enzim AI akan bermuatan negatif. Kolom kromatografi DEAE dapat memisahkan enzim AI dari protein lain yang bermuatan positif. Enzim AI yang berikatan negatif akan berikatan dengan resin DEAE yang bermuatan positif. Enzim AI dielusi dengan garam NaCl, ion garam yang bermuatan negatif dengan afinitas yang lebih kuat akan cenderung berikatan dengan DEAE, sehingga enzim AI akan meluruh.

Protein yang meluruh ditampung masing-masing sebanyak 2 ml per fraksi dan kemudian diukur fingerprint proteinnya atau perkiraan kandungan proteinnya pada panjang gelombang 280 nm. Sebagian besar protein menunjukkan tingkat penyerapan maksimumnya pada panjang gelombang 280 nm, hal ini karena keberadaan rantai samping aromatik dari asam-asam amino (Gupta et al 2003).

Pada gambar 15 terlihat bahwa peak protein yang muncul berada pada fraksi 3-8, 32-37 dan 49-55. Fraksi 1-6 kemungkinan merupakan protein atau asam amino yang tidak berikatan dengan resin DEAE. Protein ini bermuatan positif, karena ketika sampel enzim AI di masukkan ke dalam kolom, fraksi yang keluar ditampung dan diberi nomor 1–6. Pencucian atau washing terhadap enzim AI yang tidak berikatan lainnya dilakukan menggunakan 10 mM buffer tris HCl, dan fraksi yang ditampung pada tahap washing diberi nomor 7-30. Ketika elusi dilakukan menggunakan 100 mM garam NaCl, protein yang awalnya berikatan mulai keluar pada fraksi 31-43. Akan tetapi enzim AI yang meluruh masih sedikit, sebab ketika dilakukan elusi menggunakan 300 mM NaCl terjadi peningkatan jumlah protein yang keluar. Hal ini terlihat pada gambar 15, tepatnya pada fraksi 49-55 yang puncak proteinnya sangat tinggi dibandingkan protein hasil peluruhan menggunakan 100 mM NaCl. Konsentrasi garam NaCl yang lebih tinggi menyebabkan kekuatan ionik antara resin dengan garam (ion Cl-

) lebih kuat dibandingkan dengan enzim. Sehingga posisi enzim yang terikat dengan resin DEAE digantikan oleh Cl-. DEAE adalah resin ion exchange yang lemah, artinya

tidak terlalu kuat dalam mengikat anion . Maka dari itu, konsentrasi 300 mM garam NaCl sudah cukup meluruhkan sebagian besar enzim. Penggunaan garam NaCl 400 dan 500 mM dapat dinyatakan sebagai tahapan regenerasi dalam

42

pemurnian enzim AI. Regenerasi bertujuan untuk meluruhkan semua protein yang masih berikatan dengan resin DEAE. Dan pada penggunaan garam NaCl 1 M dapat dinyatakan bahwa protein yang keluar tidak ada lagi. Apabila semua protein telah dikeluarkan dari kolom, maka akan lebih meyakinkan bahwa semua protein yang ada telah dikoleksi dan kolom dapat digunakan untuk purifikasi berikutnya.

Supaya dapat diketahui pada fraksi yang mana enzim AI berada, maka dilakukan pengujian SDS-PAGE dan aktivitas enzimatis pada panjang gelombang 560 nm serta konsentrasi protein dengan metode bradford. Fraksi yang dipilih adalah fraksi nomor 6, 15, 16, 35, 36, 50, 51, 52, 64, 65, 73, 74, 84 dan 85. Pemilihan fraksi ini didasarkan pada gambar 15 atas peak protein yang timbul dan fraksi-fraksi yang mewakili protein terelusi oleh berbagai gradien NaCl. Fraksi nomor 6 dipilih karena dapat mewakili fraksi sebelum dan sesudahnya yang tidak berikatan dengan resin DEAE. Fraksi 15 dan 16 merupakan fraksi yang terelusi pada saat washing atau pencucian. Tahap washing adalah tahapan pembersihan protein yang tidak berikatan dengan resin tetapi masih berada dalam kolom. Pencucian dilakukan dengan 0 mM NaCl dalam buffer tris HCl. Fraksi 35-36 dipilih karena fraksi ini mewakili protein terelusi oleh 100 mM NaCl dan

Gambar 14. Pengukuran kadar protein pada 280 nm terhadap enzim AI hasil kromatografi ion exchange dengan fase diam resin DEAE. Garam pengelusi NaCl. -200 -100 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 1 3 5 7 911131517192123252729313335373941434547495153555759616365676971737577798183858789 N a C l ( m M ) U V = 2 8 0 n m Nomor Fraksi

Dokumen terkait