• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Produksi dan Pemurnian Inhibitor Katepsin

4.2.3 Produksi Inhibitor Katepsin

Produksi dilakukan berdasarkan penelitian dari tahap awal yaitu menggunakan ekstrak daging patin, karena mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan ikan bandeng. Ekstrak kasar inhibitor katepsin yang dihasilkan dari ikan patin mempunyai aktivitas 1,6450 U/ml dengan konsentrasi protein 0,4081 mg/ml sehingga aktivitas spesifiknya sebesar 4,03 U/mg.

Ekstrak kasar selanjutnya diendapkan dengan ammonium sulfat 70% (w/v). Endapan yang dihasilkan dilarutkan dengan buffer pH 5,5. Endapan tersebut mempunyai aktivitas sebesar 1,722 U/ml dengan konsentrasi protein 0,3221 mg/ml sehingga aktivitas spesifiknya adalah 5,3475 U/mg. Kemudian didialisis dan diperoleh kandungan protein 8,1605 mg dengan aktivitas spesifik 5,805 U/mg. Inhibitor katepsin selanjutnya dimurnikan dengan penukar ion DEAE Sephadex A-50. Berdasarkan hasil pemurnian ini didapatkan aktivitas spesifik sebesar 18,762 U/mg dengan kelipatan pemurnian 4,65 kali. Tahap akhir pemurnian adalah filtrasi gel. Hasilnya menunjukkan peningkatan aktivitas spesifik yang cukup tinggi menjadi 68,159 U/mg dengan kelipatan kemurnian sebesar 16,91 kali. Data setiap tahap pemurnian dirangkum pada Tabel 7.

Penelitian yang sama juga dilakukan Choi et al. (2002) pada telur ikan skipjack tuna dengan teknik kromatografi penukar ion dan filtrasi gel yang berhasil mendapatkan inhibitor protease tripsin dengan kelipatan pemurnian sampai 18,18 kali. Hasil kelipatan pemurnian inhibitor protease bisa lebih besar lagi jika menggunakan teknik kromatografi affinitas, seperti yang dilakukan Ustadi et al. (2005) yang berhasil mendapatkan inhibitor sistein protease kelipatan kemurnian sebesar 49,69 kali dari ekstrak telur ikan glassfish dengan aktivitas spesifik 3,97 U/mg.

Tahap pemurnian Volume (ml) Protein (mg/ml) Aktivitas inhibitor (U/ml) Total protein (mg) Total aktivitas Aktivitas spesifik (U/mg) Yield (%) Kelipatan pemurnian Ekstrak kasar 300 0,4081 1,6450 122,4380 493,506 4,0306 100,00 1,00 Pengendapan 50 0,3221 1,7222 16,1029 86,111 5,3475 17,45 1,33 Dialisis 30 0,2720 1,5794 8,1605 47,381 5,8061 9,60 1,44 Penukar ion 5 0,1059 1,9867 0,5294 9,933 18,7625 2,01 4,65 Gel filtrasi 5 0,0268 1,8281 0,1341 9,141 68,1590 1,85 16,91 Tabel 7 Peningkatan aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai tahap pemurnian

4.3 Karakterisasi Inhibitor Katepsin

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH, jenis pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion, dan suhu (Suhartono 1989). Tujuan karakterisasi inhibitor katepsin ini untuk mengetahui kondisi optimum dari kerja inhibitor enzim. Karakterisasi dilakukan pada ekstrak kasar dari ikan bandeng dan ikan patin, dan pada ekstrak inhibitor katepsin setelah pengendapan ammonium sulfat dengan aktivitas penghambatan tertinggi. Karakterisasi yang dilakukan meliputi penentuan suhu dan pH optimum, stabilitas panas dan pH, kemudian dilakukan juga karakterisasi untuk mengetahui pengaruh beberapa ion logam terhadap ekstrak inhibitor katepsin..

4.3.1 Suhu Optimum

Inhibitor protease katepsin memiliki aktivitas maksimum pada suhu tertentu. Aktivitasnya akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu sehingga mencapai suhu optimum. Setelah itu kenaikan suhu lebih lanjut akan menyebabkan aktivitas menurun. Suhu optimum inhibitor katepsin baik dari ekstrak kasar ikan patin, ekstrak ikan bandeng, dan ekstrak inhibitor ikan patin hasil pengendapan dengan ammonium sulfat, yaitu 40 oC seperti yang disajikan pada Gambar 13. 0 20 40 60 80 100 10 20 30 40 50 60 70 suhu (oC) Akt ivi tas p e n g h a mb at a n ( % ) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 10 20 30 40 50 60 70 Suhu oC % pe ng ha ba ta n (A) (B)

Gambar 13 Persentase (%) penghambatan inhibitor protease ekstrak kasar ikan patin dan bandeng pada suhu 10-70 oC.(A) ; Aktivitas penghambatan inhibitor ekstrak ikan patin setelah pengendapan dangan ammonium sulfat 70% (B). (□) inhibitor bandeng, (■) inhibitor patin.

Ekstrak inhibitor protease katepsin masih mempunyai aktivitas yang cukup tinggi sampai suhu 70 oC. Pada saat suhu dinaikkan, maka akan menyebabkan peningkatan aktivitas inhibitor hinggga mencapai maksimum dan jika dilanjutkan terus naik maka akan menyebabkan penurunan aktivitas inhibitor dengan pola yang berbeda pada setiap bentuk inhibitor. Inhibitor proteinase sistein dapat bersifat thermostabil atau stabil pada suhu tinggi karena adanya asam amino hidrofobik, jembatan disulfida, dan intensitas interaksi elektrostatik. Rantai samping dari asam amino yang bersifat elektrostatik (bermuatan) seperti asam aspartat, asam glutamat, dan arginin menyebabkan struktur enzim dan inhibitor proteinase lebih kaku (rigid), sehingga sangat tahan terhadap perubahan suhu yang cukup tinggi.

Suhu mempengaruhi laju reaksi katalisis inhibitor enzim dengan dua cara. Pertama, kenaikan suhu akan meningkatkan laju reaksi inhibitor enzim sampai batas tertentu. Peningkatan suhu yang berlebih akan berpengaruh terhadap perubahan konformasi substrat (enzim), sehingga sisi aktif substrat (enzim) mengalami hambatan untuk memasuki sisi aktif inhibitor enzim, dan dapat menurunkan aktivitas inhibitor enzim. Kedua, peningkatan energi termal molekul yang membentuk struktur protein inhibitor enzim itu sendiri akan menyebabkan rusaknya interaksi nonkovalen seperti ikatan hidrogen, ikatan van der walls, ikatan hidrofobik, dan interaksi elektrostatik yang menjaga struktur tiga dimensi inhibitor enzim secara bersama-sama, sehingga inhibitor enzim mengalami denaturasi. Denaturasi protein menyebabkan struktur lipatan inhibitor enzim membuka pada bagian permukaannya sehingga sisi aktif inhibitor enzim berubah dan sebagai akibatnya akan terjadi penurunan aktivitas inhibitor enzim (Hames dan Hoper 2000).

4.3.2 Penentuan pH Optimum

Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi. Setiap enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH yang menyebabkan aktivitas maksimal. Profil aktivitas pH enzim menggambarkan pH pada saat pemberi dan penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada pada tingkat ionisasi yang diinginkan. Namun pada pH tertentu (ekstrim) dapat

menyebabkan enzim terdenaturasi yang menyebabkan enzim kehilangan aktivitas biologisnya (Lehninger 1993).

Inhibitor katepsin yang merupakan protein mengikuti sifat-sifat protein yang mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun basa terutama pada gugus residu terminal karboksil dan terminal aminonya. Perubahan aktivitas inhibitor protease dapat terjadi akibat adanya perubahan ionisasi pada gugus ionik inhibitor pada sisi aktifnya maupun sisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi sisi aktif. Gugus ionik berperan dalam menjaga konformasi sisi aktif dalam mengikat substrat (enzim) (Nurhayati 2006). Gugus fungsional pada sisi aktif yang dapat terionisasi, memegang peranan penting pada suatu reaksi katalis enzim. Reaksi pengikatan dan pelepasan ion hidrogen pada gugus fugsional tersebut dapat dianggap sebagai reaksi antara enzim dengan suatu ligan secara umum (logam, asam, atau molekul lain) (Suhartono 1989).

Data mengenai pH optimum inhibitor katepsin disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa pH optimum inhibitor protease katepsin dalam bentuk ekstrak kasar maupun setelah pengendapan dengan ammonium sulfat adalah 8. Ekstrak inhibitor dari ikan bandeng maupun ikan patin juga mempunyai pH optimum yang sama, berada pada kisaran pH 7-9. Kisaran pH ini menujukkan bahwa ekstrak inhibitor katepsin termasuk inhibitor protease alkalin atau bersifat basa.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 3 4 5 6 7 8 9 10 pH % pe ngha m ba ta n 0 20 40 60 80 100 3 4 5 6 7 8 9 10 pH A k ti vi ta s p e ng ham b at an ( % ) (A) (B)

Gambar 14 Persentase (%) penghambatan inhibitor protease ikan patin dan bandeng pada pH 3-10 (A) ; Aktivitas penghambatan inhibitor ekstrak ikan patin setelah pengendapan dangan ammonium sulfat 70% (B). (□) inhibitor bandeng, (■) inhibitor patin.

Penelitian yang lain menunjukkan bahwa inhibitor protease seperti sistatin mempunyai aktivitas penghambatan pada kisaran pH alkalin. Penelitian Ustadi et al. (2005), ekstrak inhibitor protease dari telur ikan glassfish

mempunyai aktivitas yang tinggi pada kisaran pH 7-9 dan optimum pada pH 8. Penelitian oleh Li et al. (2008) inhibitor sistein protease dari plasma ikan chum salmon menujukkan aktivitas pada pH 6,0 -9,0 dan optimum pada pH 7,0.

4.3.3 Stabilitas terhadap Panas

suhu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 akt iv it a s p engh amb a tan (% ) 30 40 50 60 70 80 90 100

Analisis dilakukan dengan cara menginkubasi inhibitor protease pada kisaran suhu 10-70 oC selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pengukuran aktivitas inhibitor pada kondisi optimum. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui tingkat ketahanan inhibitor protease pada suhu yang lebih tinggi dari suhu optimumnya. Gambar 15 menunjukkan tingkat stabilitas panas inhibitor protease dari bentuk ekstrak kasar dan hasil pengendapan. Hasil penelitian memperlihatkan aktivitas inhibitor yang cukup tinggi sampai suhu 50 oC.

Gambar 15 Stabilitas panas inhibitor katepsin pada suhu 10-70 oC. –●– ekstrak kasar, –– hasil pengendapan.

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa inhibitor katepsin dalam bentuk ekstrak kasar dan hasil pengendapan relatif stabil sampai suhu 50 oC. Hal ini disebabkan inhibitor katepsin masih mempunyai konformasi struktur yang utuh termasuk ikatan-ikatan yang ada di dalamnya. Kondisi ini menyebabkan sisi aktifnya masih terlindungi dari perubahan suhu.

4.3.4 Stabilitas terhadap pH

Analisis ini dilakukan dengan cara menyimpan ekstrak inhibitor pada kisaran pH 3-10 selama 10 menit pada suhu 37 oC. Selanjutnya inhibitor tersebut diuji aktivitasnya pada kondisi optimum. Hasil penelitian stabilitas ekstrak kasar dan hasil pengendapan inhibitor diperlihatkan pada Gambar 16. Inhibitor katepsin yang disimpan pada kisaran pH tersebut menunjukkan bahwa inhibitor tersebut tahan dan stabil pada kisaran pH 7-8

pH 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 A k ti v ita s p eng ham b at an (% ) 20 30 40 50 60 70 80 90

Gambar 16 Stabilitas inhibitor katepsin pada kisaran pH 3-10. –●– ekstrak kasar, –– hasil pengendapan.

Sistein proteinase inhibitor dari hewan dan mamalia berupa sistatin mempunyai stabilitas yang besar terhadap suhu tinggi (sampai 100 oC) dan pH yang ekstrim (LMW-CPIs pH 2-12, kininogens pH 5-12) maupun spesifitasnya pada sistein protease (Otto dan Schirmeister 1997). Beberapa inhibitor protease dapat stabil setelah perlakuan panas pada suhu 95 oC selama 15 menit, seperti TIMPs dan sistatin (Nagase dan Salvesen 2001).

4.3.5 Pengaruh Ion Logam terhadap Aktivitas Inhibitor

Aktivator dan inhibitor secara kimiawi tidak dapat dibedakan. Namun dapat dibedakan setelah berinteraksi dengan enzim. Aktivator berikatan dengan enzim dan menyebabkan kenaikan kecepatan reaksi enzim, sedangkan inhibitor berikatan dengan enzim dan menyebabkan penurunan kecepatan reaksi. (Suhartono 1989). Beberapa ion logam mempengaruhi aktivitas enzim maupun

inhibitor yang merupakan protein. Ion logam ini ada yang membantu pengikatan antara enzim dengan substrat, ada yang berikatan dengan enzim secara langsung sehingga konformasi aktif enzim menjadi stabil, dan ada yang berikatan dengan inhibitor enzim sehingga mempengaruhi kerja inhibitor menghambat enzim. Gambar 17 memperlihatkan pengaruh ion logam terhadap aktivitas inhibitor katepsin. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

kontrol Ca2+ Mn2+ Co2+ Na+

Ion logam % pe ngha m ba ta n 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

kontrol Ca2+ Mn2+ Co2+ Na+

Ion logam % g b a ta n ha m pe n (A) (B)

Gambar 17 Pengaruh beberapa jenis logam terhadap aktivitas penghambatan ekstrak ikan bandeng (A) dan ikan patin (B), (□) 1 mM, (■) 5 mM Ion logam Mn2+ dengan konsentrasi 1 mM dan 5 mM dapat meningkatkan aktivitas penghambatan inhibitor, ion logam Na+ 1 mM sedikit menaikkan aktivitas penghambatan, namun menurunkan aktivitas pada konsentrasi 5 mM, sedangkan Ca2+ dan Co2+ sedikit menurunkan aktivitas inhibitor baik yang konsentrasi 1 mM maupun 5 mM. Berdasarkan penelitian Choi et al. (2002), ion logam Ca2+ menaikkan aktivitas penghambatan relatif inhibitor tripsin dari ekstrak telur ikan skipjack. Hal ini diduga bahwa ion logam Ca2+ dapat menghubungkan antara enzim dan inhibitor. Kemungkinan yang lain yaitu Ca2+ membatasi enzim sehingga menyebabkan modifikasi struktur yang dapat menaikkan pembentukan kompleks enzim dengan inhibitor (Cottin 1981 diacu oleh Choi et al. 2002).

Namun untuk inhibitor patin terjadi sebaliknya yaitu Ca2+ sedikit menurunkan aktivitas inhibitor. Hal ini diduga karena adanya perbedaan sisi aktif antara inhibitor tripsin dengan inhibitor katepsin yang termasuk jenis inhibitor sistein proteinase, sehingga mekanisme interaksi ion logam termasuk Ca2+ dengan inhibitor dan enzim berbeda.

Beberapa enzim dan inhibitor memerlukan ion-ion tertentu untuk menjaga kestabilan aktivitasnya. Ion-ion tersebut dapat bertindak sebagai inhibitor pada konsentrasi tertentu, tetapi dapat juga menjadi aktivator pada konsentrasi yang berbeda. Ion logam dapat membentuk suatu kompleks dengan substrat dan sisi aktif enzim sehingga menggabungkan keduanya dalam bentuk aktif. Ion logam juga berfungsi sebagai senyawa penarik kuat elektron pada tahap tertentu dalam siklus katalitik (Lehninger 1993).

4.3.6 Perbandingan Aktivitas Inhibitor Komersial

Fungsi dari protease inhibitor yang paling penting dalam sistem biologis salah satunya adalah mengontrol aktivitas protease. Inhibitor alami pada beberapa penelitian telah berhasil di ekstrak dan dimurniankan dengan potensi yang tidak kalah dengan inhibitor komersial. Untuk mengetahui Potensi suatu inhibitor protease dari ekstrak ikan dapat dilakukan dengan cara membandingkan dengan inhibitor komersial seperti ethylene diamin tetra acetic (EDTA), pepstatin, dan

phenyl methyl sulfonyl fluoride (PMSF) pada konsentrasi 1 mM dan 5 mM.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa inhibitor protease katepsin dari ekstrak ikan patin mempunyai aktivitas persen penghambatan yang hampir sama dengan PMSF konsntrasi 1 mM dan 5 mM, namun masih dibawah aktivitas penghambatan dari inhibitor pepstatin 1 µM (94,20%) serta aktivitas penghambatan EDTA sebesar 91,071% (1 mM) dan 92,857% (5 mM). Data mengenai perbandingan inhibitor katepsin dengan inhibitor lainnya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Perbandingan aktivitas inhibitor komersial dengan inhibitor ekstrak patin. No. Inhibitor Penghambatan (%)

1 Inhibitor ekstrak patin 82,251

2 Pepstatin 1mM 94,260

3 PMSF 1mM 83,929

4 PMSF 5mM 83,036

5 EDTA 1mM 91,071

4.3.7 Penentuan Bobot Molekul

Penentuan bobot molekul dilakukan dengan teknik SDS PAGE (Sodium

dedocyl sulphates-polyacrylamida gel electrophoresis). Metode ini menggunakan

2 macam gel yaitu gel penahan (stacking gel) dan gel pemisah (resolving gel) yang mengandung akrilamida, SDS, APS (ammonium persulfat) dan TEMED. Gel akrilamida diperoleh dengan polimerisasi akrilamida dengan metilen bis akrilamida sebagai crosslinking agent dan APS sebagai katalisator. Penambahan deterjen anionik seperti SDS (sodium dodesilsulfat), β-merkaptoetanol dan pemanasan akan merusak struktur tiga dimensi protein. Beta merkaptoetanol akan memecah ikatan disulfida dan mereduksinya menjadi gugus sulfihidril, sedangkan SDS akan bereaksi dengan protein membentuk kompleks bermuatan negatif sehingga protein akan bergerak dalam medan listrik hanya berdasarkan pada ukuran molekul. (Rosenberg 1996).

Proses elektroforesis dilakukan pada ruang dingin agar tidak terjadi denaturasi protein, dengan menggunakan voltase 100 volt dan 50 mA selama kurang lebih 1,5 jam. Selama proses berlangsung, molekul protein yang berukuran lebih kecil akan bergerak lebih cepat melintasi gel, sedangkan yang berukuran lebih besar akan bergerak lebih lambat sehingga pada akhirnya molekul berberat molekul rendah akan mempunyai Rf (jarak tempuh) yang lebih jauh dibandingkan dengan yang berukuran lebih besar. Hasil analisis dengan elektroforesis dirangkum pada Tabel 9

Tabel 9 Bobot molekul (kDa) pada setiap tahap pemurnian

Ekstrak kasar Pengendapan Dialisis Penukar ion Gel filtrasi 126,026 126,026 126,026 101,181 106,891 101,181 68,900 72,788 72,788 58,439 55,317 55,317 37,669 33,752 33,752 55,317 31,949 28,627 28,627 27,098 21,756 22,984 22,984 24,281 18,453 17,467 18,453 17,467 15,651 16,534 15,651 15,651 15,651 14,024 14,815 14,024 14,024 12,566 12,566 12,566

Penentuan bobot molekul dilakukan pada ekstrak kasar, hasil pengendapan ammonium sulfat, hasil dialisis, hasil pemurnian dengan filtrasi gel dan penukar ion. Pada penelitian ini menggunakan marker (penanda) prestained protein marker dengan bobot molekul 175-7 kDa, yang terdiri dari MBP (

maltose-binding protein) -β-galactosidase (175 kDa), paramyosin (80 kDa),

MBP-CBD (chitin binding domain) (58 kDa), CBD-mxe intein-2CBD (46 kDa),

CBD-mxe intein (30 kDa), CBD-BmFKBP13 (25 kDa), lysozyme (17 kDa), aprotinin (7 kDa). Hasil analisis dengan elektroforesis disajikan pada Gambar 18.

15,65 kDa

Gambar 18 Hasil elektroforesis: (M) Marker, (1) ekstrak kasar, (2) pengendapan ammonium sulfat, (3) hasil dialisis, (4) penukar Ion, (5) filtrasi gel.

Berdasarkan Gambar 18 pada kolom 1, 2, dan 3, nampak bahwa ekstrak inhibitor protease katepsin masih mempunyai banyak pita (11 band) yang berarti masih banyak molekul disini, termasuk pula protein yang berasal dari sel dan protein pengotor lainnya. Setelah mengalami proses pemurnian dengan kromatografi penukar ion terlihat adanya pengurangan jumlah pita menjadi 6 pita, hal ini berarti selama proses kromatografi banyak menghilangkan protein sehingga yang tersisa adalah protein inhibitor yang lebih murni. Hal ini juga terlihat pada Tabel 7, yang menunjukkan kelipatan pemurnian yang lebih tinggi sebesar 4,65 kali. Tingkat kemurnian paling tinggi yaitu 16,91 kali didapatkan setelah inhibitor protease katepsin dimurnikan dengan kromatografi filtrasi gel yang menghasilkan hanya 1 buah pita dengan bobot molekul 15,65 kDa (Gambar 18 kolom 5, dan Tabel 9).

Penelitian Ustadi et al. (2005) yang melakukan pemurnian inhibitor dari telur ikan berhasil mendapatkan inhibitor sistein protease berupa sistatin I dengan berat molekul 18 kDa. Sedangkan Cao et al. (2000) yang melakukan pemurnian dari daging skeletal ikan croaker berhasil mendapatkan tripsin inhibitor dengan berat molekul 18,18 kDa.

Sistatin adalah inhibitor sistein protease yang secara luas tersebar pada jaringan hewan dan cairan tubuh. Sistatin diklasifikasikan dalam tiga group berdasarkan struktur molekulnya. Kelompok I sistatin yang sedikit ikatan disulfida seperti sistatin A, B dan rat cystatin β. Kelompok II sistatin yang mempunyai karakteristik dua ikatan disulfida seperti human cystatin, chiken cystatin, dan rat cystatin. Kelompok I dan II ini mempunyai berat molekul 10 sampai 20 kDa (Oliviera et al. 2003; Ustadi et al. 2005). Kelompok inhibitor sistein lainnya seperti koninogen mempunyai berat molekul 45,8 sampai 51 kDa (Ylonen et al. 2002). Salarin dengan berat molekul 43 kDa (Olonen et al. 2003)

5.1 Kesimpulan

Penelitian tentang purifikasi dan karakterisasi inhibitor katepsin dari ikan bandeng dan ikan patin ini telah berhasil mendapatkan metode tentang optimasi ekstraksi inhibitor dari ikan patin dan bandeng, diperoleh metode purifikasi terbaik yang menghasilkan inhibitor dengan aktivitas dan kelipatan pemurnian yang cukup tinggi, serta mendapatkan beberapa karakteristik dari inhibitor protease katepsin.

Hasil optimasi sumber inhibitor katepsin terbaik dari bagian kulit, daging dan organ dalam ikan bandeng dan ikan patin yaitu pada bagian daging yang diekstraksi pada suhu 80 oC dengan aktivitas penghambatan sebesar 87,84% pada ikan bendeng dan 90,28% dari ikan patin. Ekstrak inhibitor dari daging ikan patin merupakan ekstrak terbaik untuk dilakukan pemurnian.

Metode purifikasi inhibitor dilakukan beberapa tahap, yaitu pengendapan dengan ammonium sulfat 70%, kemudian didialisis dengan kantong dialisis cut off

12 kDa, selanjutnya dimurnikan dengan penukar ion DEAE Sephadex A-50, dan didapatkan aktivitas spesifik sebesar 18,762 U/mg dengan kelipatan pemurnian 4,65 kali. Tahap akhir pemurnian adalah filtrasi gel. Hasilnya menunjukkan peningkatan aktivitas spesifik yang cukup tinggi menjadi 68,159 U/mg dengan kelipatan kemurnian sebesar 16,91 kali.

Karakteristik inhibitor katepsin yang dihasilkan, yaitu suhu optimum 40 oC, dan pH optimum 8. Ekstrak inhibitor relatif stabil pada suhu 10-50 oC dan pada kisaran pH 7-9. Inhibitor ekstrak mempunyai bobot molekul 15,651 kDa. Ion-ion logam menurunkan aktivitas inhibitor katepsin kecuali ion logam Mn2+ dan Na+ 1 mM.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka perlu kajian lebih mendalam mengenai model dan mekanisme penghambatan. Perlu juga dilakukan teknik pemurnian dengan kromatografi yang berbeda seperti kromatografi affinitas agar mendapatkan kelipatan pemurnian yang lebih besar. Dikaji dari sisi molekuler, perlu dilakukan penelitian sekuens asam amino dan struktur molekulnya. Selain itu perlu juga dikaji potensi aplikasi inhibitor untuk menghambat proses kerusakan mutu oleh enzim protease pada produk perikanan seperti surimi dan produk segar lainnya. Perlu kajian lebih luas terhadap hasil penelitian ini terutama penggunaan enzim katepsin komersil dan teknik pengawetan inhibitor katepsin agar tahan lama dan mudah diaplikasikan.

Aehle W. 2004. Enzyme in Industry : Production and Application. Weinheim, German : WILEY-VCH Verlag GmbH & Co.

An H, Peters MY, Seymour TA, Morissey MT. 1995. Isolation and activation of chatepsin L-inhibitor complex from pacific whiting (Merluccius productus). J. Agricc. Food Chem. 43 : 327-330

Aoki T. Yamashita T. Ueno R. 2000. Distribution of cathepsins in red and white muscles among fish species. J. Fisheries Sci. 66 (4):776-782.

APB [Amersham Pharmacia Biotech]. 2001. Affinity Chromatography : Principle

and methods. Tokyo : Amersham Pharmacia Biotech AB.

Ashie INA, Smith JP, Simpson BK. 1996. Mechanisms for controlling enzymatic reactions in foods. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, 36(1&2), 1-30.

Bradford MM. 1967. A rapid and sensitive method for quantification of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein dye binding. Anal biochem. 72 : 234-254

Cao MJ, Osatomi K, Matsuda R, Ohkubo M. 2000. Purification of a Novel Serine Proteinase Inhibitor from the Skeletal Muscle of White Croaker (Argyrosomus argentatus). J. Biochem and Biophys Res Com. 272 : 485-489

Carreno FLG, Cortes PH. 2000. Use of protease inhibitors in seafood products. Dalam: Haard NF, Simpson BK, editor. Seafood Enzymes : Utilization

and Influence on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel

Dekker, Inc. hlm 531-547

Choi JH, Park PJ, Kim SK. 2002. Purification and characterization of a trypsin inhibitor from the egg of skipjack tuna Katsuwonus pelamis. Fisheries science. 68 : 1367-1373

Creighton T. 1997. Proteins : Structures and Molecular Properties 2nd Ed. New York: WH Freeman and Co

Davidson. 2001. SDS-PAGE Method. Davidson : Departement of Biology. http://www.bio.davidson.edu/COURSES/GENOMICS/method/SDSPAGE /SDSPAGE.html. [16 Juli 2008].

Dinu D, Dumitru IF, Nechifor MT. 2002. Isolation and Characterization of Two Chatepsin from Muscle of Carassius auratus gibelio. Roum. Biotecnol. Lett. 7 (3) : 753 : 758

DubeyVK, Pande M, SinghBK, Jagannadham MV. 2007. Papain-like proteases: Applications of their inhibitors. African Journal of Biotechnology. 9 (6): 1077-1086

Haard NF. 2000. Seafood enzymes: the role of adaptation and aother intraspesific factor. Dalam: Haard NF, Simpson BK, editor. Seafood Enzymes :

Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. New York:

Marcel Dekker, Inc. hlm 531-547

Hames BD, Hooper NM. 2000. Biochemistry: The Instant Notes. 2nd editioin. Hongkong : Spinger-Verlag.

Han Y, Yu H, Yang X, Rees HH, Liu J, Lai R. 2008. A serine proteinase inhibitor from frog eggs with bacteriostatic activity. J. Comp Biochem and Physi, Part B 149 : 58–62

Hultmann L. 2003. Endogenous proteolitic enzymes : Studies of their impact on fish muscle protein and texture. [thesis]. Faculty of Natural science and Technology. Norwegia.

Ismail A, Poernomo A, Sunyoto P, Wedjatmiko, Dharmadi, Budiman RAI. 1994. Pedoman Teknis Usaha Pembesaran Ikan Bandeng di Indonesia. Seri Pengembangan Hasil Penelitian No. 26/1993. Jakarta: Badan Litbang Pertanian.

Kolodziejska I, Sikorski ZE. 1996. Neutral and alkaline muscle proteases of marine fish and invertebrates - A review. Journal of Food Biochemistry, 20, 349-363.

Kubota M, Kinoshita M, Kubota S, Yamashita M, Toyohara H, Sakaguchi M..

2001. Possible implication of metalloproteinases in post-mortem tenderization of fish muscle. Fisheries Sci. 67(5):965-968.

Ladrat DC, Cheret R, Taylor R, Bagnis VV. 2006. Trends in postmortem aging in fish: understanding of proteolysis and disorganization of the myofibrillar structure. Critical Review in Food Science and Nutrition. 46 (5) : 409-421 Lehninger AL. 1993. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid 1. M. Thenawidjaja,

penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari: Principle of Biochemistry

Li DK, Lin H, Kim SM. 2008. Purification and Characterization of a Inhibitor sistein proteasefrom Chum Salmon (Oncorhynchus keta) Plasma. J. Agric. Food Chem. 56 : 106–111

Morrissey MT, Hartley PS, An H. 1995. Proteolysis in Pacific Whiting and Effect of Surimi Processing. J. Aqua. Food. Product. Technol. 4(4): 5-18

Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Bogor : PAU Bioteknologi, IPB

Mudjiman A. 1991. Budidaya Bandeng di Tambak. Jakarta: Penebar Swadaya. Nagase H, Salvesen GS. 2001. Finding, purification and characterization of

natural protease inhibitor. Dalam Beynon R, Bond JS, editor. Proteolitic

Enzymes : A Practical Approach. Ed ke-2. New York: Oxford university

press. hlm 131-147

Nurhayati T. 2006. Pemilahan dan karakterisasi inhibitor protease dari bakteri yang berasosiasi dengan spons asal perairan pulau panggang, kepulauan

Dokumen terkait