• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antigen ES-L3-Gs yang dihasilkan kemudian disuntikan pada dua ekor kelinci percobaan untuk mendapatkan immunoglobulin G anti ES-L3-Gs. Kelinci yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci ras white New Zealand betina umur dua bulan, berat badan masing-masing satu setengah kg. Hewan coba dipelihara dan diberi obat anti cacing sebelum digunakan agar bebas dari penyakit

18

cacing dan ivomex® agar tidak terkena infeksi penyakit parasit.Dosis imunisasi protein antigen ES-L3-Gs pada masing-masing kelinci adalah 600 µL/ekor.Imunisasi pertama dilakukan dengan rute intra vena (i.v). Imunisasi kedua dilakukan seminggu setelah imunisasi pertama dengan rute subcutan (s.c) menggunakan Freud adjuvant komplit dengan perbandingan antara antigen dan adjuvant sama banyak. Penyuntikan ketiga sampai kelima dengan interval dua minggu melalui rute s.c menggunakan Freud adjuvant inkomplit dengan perbandingan yang sama.

Koleksi antibodi poliklonal dilakukan dengan mengambil serum darah kelinci dari vena auricularis pada telinga, setiap seminggu setelah penyuntikan kedua hingga minggu ke 16. Darah kelinci yang telah membentuk antibodi IgG anti ES-L3-Gs dimasukkan ke dalam incubator suhu 37°C dengan posisi miring selama 30 menit, kemudian disimpan dalam refrigerator semalam pada suhu 4°C dan disentrifus dengan kecepatan 2000 x g selama 15 menit. Serum yang terpisah di bagian atas dikumpulkan menggunakan mikropipet.Keberadaan antibodi anti ES-L3-Gs dari kelinci diperiksa secara kualitatif menggunakan metode Agar Gel Precipitation Test (AGPT) menurut Eisen (1973).

Serum yang diperoleh dimurnikan untuk mendapatkan IgG menggunakan Montage® Antibody Purification Kit and Spin Column with PROSEP®-A Media(Merck, Jerman). Media PROSEP®-A yang digunakan dipre-ekuilibrasi menggunakan 10 mL Binding Buffer A dengan mensentrifus spin column kecepatan 500 x g selama 30 menit pada suhu 4°C. sampel berupa serum kelinci anti ES-L3-Gs disaring menggunakan 0.2 µm Steriflip-GP filter. Sepuluh ml serum yang telah difiltrasi ditambahkan dengan 10 mLBinding Buffer A (perbandingan 1:1 v/v) disentrifus kecepatan 500 x g selama 30 menit pada suhu 4°C. Supernatant di dasar tabung setelah 30 menit dibuang, kemudian spin column dibilas menggunakan 20 mLBinding Buffer A dan disentrifus kecepatan 500 x g selama 30 menit pada suhu 4°C untuk menghilangkan kontaminan yang tidak terikat. Sebanyak 10 mL Elution Buffer B2 ditambahkan langsung ke dalam spin column dalam tabung steril baru yang telah diisi 1.3 mL Neutralization Buffer C dan disentrifus kecepatan 4500 x g selama 40 menit pada suhu 4°C.Supernatant di dasar tabung yang mengandung IgG diambil, kemudian difiltrasi menggunakan Amicon® 30.000 yang disentrifus dengan kecepatan 4500 x g selama 25 menit pada suhu 4°C. Supernatant berisi IgG dialiquot dalam tabung-tabung mikro 1.5 mL dan disimpan pada suhu -20°C. Konsentrasi IgG yang telah dipurifikasi diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm dengan metode Bradford.

Produksi dan deteksi antibodi poliklonal anti antigen somatik Gnathostoma juga dilakukan sama dengan produksi dan deteksi antibodi poliklonal anti ES-L3-Gs. Antibodi poliklonal anti antigen somatik Gnatostoma ini diproduksi untuk dilakukan reaksi immunoblotting sebagai pembanding reaksi immunoblotting antara antibodi poliklonal anti ES-L3-Gs dengan antigen ES-L3-Gs, sehingga diharapkan pita protein spesifik dapat terdeteksi.

Tahap 4 Immunoblotting

Hasil elektroforesis SDS-PAGE pita polipeptida dari antigen ES-L3-Gs, dipindahkan secara elektroforesis ke membran nitroselulosa (0.45 µm, protran Schleicher & Schuell Bioscience GmbH, Jerman) dengan arus konstan pada 400

19 mA selama satu jam. Standar protein berat molekul yang terpisah pada membran nitroselulosa diwarnai dengan larutan Ponceau S (Sigma) dan dicuci dengan air suling untuk menghilangkan kelebihan warna (overstaining). Membran nitroselulosa yang terblotting direndam dalam susu skim (blotto) 2% dalam PBS-0.02% NaN3 selama satu jam pada platform goyang untuk memblokir situs pengikatan non-spesifik pada membran. Membran dicuci dengan alir mengalir untuk membersihkan kelebihan susu skim. Membran secara individual direaksikan dengan serum kelinci yang diencerkan 1:5000 dengan susu skim 5% pada suhu kamar semalam pada platform goyang. Membran dicuci tiga kali dengan PBST (PBS tween 0.1%) masing-masing lima menit untuk menghapus antibodi yang tidak terikat, kemudian membran direaksikan dengan antibodi sekunder yaitu IgG anti rabbit yang telah dikonjugasi dengan enzim peroksidase (anti rabbit IgG alkaline phosphatase conjugate) yang diencerkan 1:2500 dengan susu skim 5% selama satu jam di suhu kamar pada platform goyang. Membran kemudian dicuci tiga kali dengan PBST masing-masing lima menit, dan aktivitas enzim dibiarkan untuk berkembang dengan menambahkan substrat BCIP-NBT yang mengandung hidrogen peroksida pada platform goyang. Reaksi selesai ketika pita berwarna coklat gelap muncul pada garis nitroselulosa reaktif.Reaksi dihentikan dengan mencuci garis menggunakan air suling untuk menghapus pewarna latar belakang, dan garis kemudian dikeringkan di udara (Anantaphruti et al. 2005; Wongkham et al. 2000). Reaksi antara antibodi kelinci anti ES-L3-Gs dengan antigen parasit nematoda lain (ES L3 Spiroksis) juga dilakukan untuk melihat adanya reaksi silang. Reaksi yang sama juga dilakukan antara anti ES-L3-Gs dengan serum negatif sebagai kontrol negatif. Reaksi immunoblotting juga dilakukan antara antibodi poliklonal anti antigen somatik Gnathostoma dengan antigen somatik Gnathostoma sebagai pembanding pita-pita protein yang muncul.

Analisis Data

Data yang diperoleh merupakan data deskriptif.Identifikasi spesies Gnathostoma di Indonesia dilakukan dengan membandingkan morfologi dan morfometri spesies yang diamati dengan literatur, identifikasi hingga tingkat spesies dilakukan dengan membandingkan hasil analisa sekuensing dengan data pada Bank Gen NCBI.Analisis data immunoblottingdilakukan dengan melihatpita-pita protein yang ter-blottinghasil reaksi immunoblottingAntigen ES-L3-Gs dengan IgG anti antigen ES-L3-Gsdan dibandingkan dengan hasil reaksi immunoblotting ES-Ag L3 Spiroksis dengan IgG anti Antigen ES-L3-Gs dan hasil reaksi immunoblotting antigen somatik dengan IgG anti antigen somatik Gnathostoma. Pita protein yang spesifik merupakan pitayang ter-blottinghanya pada hasil reaksi immunoblottingAntigen L3-Gs dengan IgG anti Antigen ES-L3-Gs. Setiap reaksi immunoblotting dilakukan pengulangan dua kali untuk melihat kekonsistensian hasil.

20

21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Isolasi dan Identifikasi Morfologi dan Molekuler Larva Tiga (L3)

Gnathostoma spinigerum

Lebih dari 1000 kista diisolasi dari 985 sampel ikan belut rawa (Monopterus alba) hidup dari Palembang yang dikirim oleh perusahan pengumpul dan eksportir selama bulan November 2011 sampai Juli 2012. Kista yang diambil terkonsentrasi pada jaringan otot dan hati ikan belut rawa. Lebih dari 400 kista yang diamati menunjukkan terdapat larva tiga (L3) Gnathostoma (Gambar 6) dengan ciri-ciri adanya kepala berbentuk bohlam (head bulb) dengan deretan kait di sekelilingnya. Sejumlah total 316 ekor larva tiga (L3) yang menunjukkan ciri-ciri Gnathostoma dikeluarkan dari kista dan diamati. Hasil pengamatan morfologi (n = 316) menunjukkan karakteristik yang spesifik yaitu adanya kepala berbentuk bohlam (head bulb) dengan empat deretan kait (H) (Gambar 7B). Sepasang bibir (L) berada pada ujung anterior tubuh dan dikelilingi oleh empat ballonet. Duri-duri (S) terletak secara merata pada permukaan tubuh dari bagian anterior dan semakin menurun jumlahnya secara bertingkat sampai ujung posterior (Gambar 7C). Esofagus (E) besar dengan panjang hampir sepertiga dari panjang tubuh, dan terhubung dengan intestine (I). Dua pasang kantung servikal (CP) teramati di sekitar esofagus (Gambar 7D). Pengamatan morfometri menunjukkan bahwa ukuran tubuh larva Gnathostoma (Gambar 7A) pendek, tebal dan melengkung, dengan panjang 2.06 – 3.81 mm (rata-rata 2.87 ± 0.42 mm) dan lebar 0.26 – 0.56 mm (rata-rata 0.43 ± 0.05 mm). Larva mempunyai Jumlah kait pada deret pertama, kedua, ketiga dan keempat berturut-turut adalah 32 – 46 buah (rata-rata 37.26 ± 4.18 buah), 36 – 48 buah (rata-rata 42.17 ± 3.30 buah), 40 – 50 buah (rata-rata 44.96 ± 2.48 buah), dan 44 – 52 buah (rata-rata 48.70 ± 2.53 buah).

Prevalensi Gnathostomiasis pada ikan belut rawa mencapai 53.33 % dengan intensitas berkisar 1 – 20 ekor larva per belut. Prevalensi L3 Gnathostoma di ikan belut rawa dapat dilihat pada tabel 1. Prevalensi dan intensitas infeksi larva Gnathostoma pada belut tinggi terjadi pada bulan Nopember sampai Februari, sedangkan infeksi rendah pada bulan Mei – Juni.

22

Identifikasi molekuler dilakukan untuk peneguhan terhadap identifikasi morfologi. Pengujian PCR menggunakan primer daerah daerah ribosomal ITS1, yaitu Lim1657 F (Almeyda-Artigas et al., 2000) dan 58S2 R (Ando et al., 2006) terhadap delapan belas ekor L3 Gnathostoma yang masing-masing diambil 2 ekor dari setiap bulan menunjukkan posisi profil molekuler yang sama untuk setiap isolate pada 900-an bp (Gambar 8). Hasil produk PCR dilanjutkan untuk proses

Tabel 1 Prevalensi dan intensitas L3 Gnathostoma pada belut rawa (November 2011 – Juli 2012) dari Palembang

Bulan Jumlah (Ekor) Prevalensi

(%) Rata-rata larva / ikan (kisaran) Total Infeksi November 2011 Desember 2011 Januari 2012 Pebruari 2012 Maret 2012 April 2012 Mei 2012 Juni 2012 Juli 2012 125 240 120 120 120 110 30 30 90 39 95 52 64 24 29 0 0 13 31.2 39.58 43.33 53.33 20 26.36 0 0 14.44 3.05 (1 – 7) 7.44 (5 – 20) 7.48 (3 – 15) 4.02 (1 – 13) 2.5 (1 – 5) 1.55 (1 – 3) 0 (0) 0 (0) 1.54 (1 – 3) Gambar 7 Morfologi L3 Gnathostoma pada belut rawa

H: kepala; L: bibir; S: duri-duri; I: intestine; E: Esofagus; CP: kantung servikal; dan R: rektum

23

sekuensing menggunakan primer yang sama. Identitas hasil sekuens dianalisis dan dibandingkan dengan gen ribosomal DNA dari Gnathostoma yang terdapat pada GeneBank menggunakan Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) (www.ncbi.nih.gov/BLAST/). Hasil analisa blastdelapan belas ekor L3 Gnathostoma yang disekuensing memiliki kemiripan basa nukleotida (maximal identity) tertinggi 98% dengan G. spinigerum (AB181155.1) yang terdapat di GeneBank (NCBI) dengan nilai maksimal (max score) 1411, query coverage 100% dan tingkat kesalahan (error value) 0.0 (Lampiran 5 dan 6). Total sekuens dengan primer Lim 1657 F dan 58S2 R untuk G. spinigerum (AB181155.1) adalah 917 base pair (bp). Sedangkan kemiripan dengan G. Bineculatum (AB181159.1) hanya 92%, nilai maksimal 597, query coverage 79% dan tingkat kesalahan 4 x 10-167. Kemiripan dengan G. hispidum (AB181158.1) adalah 100%, tetapi nilai maksimal yang diperoleh hanya 564, query coverage 79% dan tingkat kesalahan 4 x 10-157, total sekuens G. Hispidum 867 bp. Kemiripan dengan G. nipponicum (AB181157.1) adalah 96%, nilai maksimal yang diperoleh hanya 556, query coverage 80% dan tingkat kesalahan 7 x 10-1557, total sekuens G. nipponicum 1127 bp. Kemiripan dengan G. doloresi (AB181156.1) adalah 100%, tetapi nilai maksimal yang diperoleh hanya 508, query coverage 75% dan tingkat kesalahan 2 x 10-140, total sekuens 904 bp.

Produksi dan Karakterisasi Protein Antigen ES-L3-Gs

Produksi protein antigen ES-L3-Gs diperoleh dengan menginkubasi lima ekor larva per satu ml media RPMI pada inkubator CO2 5% pada suhu 37 °C selama empat hari, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Saksirisampant et al. (2001), yang menyatakan bahwa metabolisme hasil ES-L3-Gs optimum didapatkan setelah masa inkubasi empat hari pada suhu 37°C. Konsentrasi antigen ES-L3-Gs yang diperoleh sebelum purifikasi pada penelitian ini sangat kecil yaitu

Gambar 8 Hasil elektroforesis PCR L3 Gnathostoma Keterangan : Baris 1 = Marker 100 bp; Baris 2 = kontrol negatif; Baris 3 – 7 = DNA Gnathostoma pada belut rawa

24

rata-rata 13.5 ± 2.8 µg/ml. Kecilnya konsentrasi disebabkan kemungkinan antigen ini diperoleh dari bentuk larva tiga, serta ukuran dan jumlah larva per ml media. Setelah proses purifikasi menggunakan membran dialisis ternyata konsentrasi protein hilang, Sehingga ketika dilakukan proses elektroforesis menggunakan SDS-PAGE tidak terdapat satu pita protein yang terbentuk.

Profil protein ES-L3-Gs sebelum purifikasi hasil elektroforesis menggunakan SDS-PAGE menghasilkan 11 pita protein yaitu 61.8, 57.4, 54.6, 49.5, 44.9, 41.7, 37.85, 31.9, 18.6, 12.6 dan 5 kDa (Gambar 9) menggunakan marker 40 kDa. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sugaron et al. (2003) terhadap protein antigen ES-L3-Gs, yang hanya menemukan 6 pita polipeptida dengan berat molekul 43, 41, 24, 22, 21 dan 19.5 kDa.

Produksi Poliklonal Antibodi

Keberadaan antibodi poliklonal anti antigen ES-L3-Gs(IgG anti ES-L3-Gs) pada serum kelinci dari minggu pertama sampai minggu ke enam belas tidak dapat terdeteksi melalui reaksi AGPT. Keberadaan antibodi dalam serum ditandai dengan terbentuknya garis presipitasi antara antigen ES-L3-Gs dengan serum darah kelinci (Gambar 10).

Garis presipitasi yang tidak tampak pada pengujian AGPT serum kelinci minggu pertama hingga minggu ke enam belas menunjukkan konsentrasi antibodi dalam serum kelinci belum dapat terdeteksi melalui reaksi AGPT. Pembentukan antibodi dapat bervariasi dan tergantung pada banyak faktor, seperti imunogenitas, bentuk, stabilitas stimulant, spesies hewan, rute injeksi, dan konsentrasi antigen yang diinjeksikan, serta sensitivitas uji yang digunakan untuk mendeteksi antibodi (Mayer, 2009). Konsentrasi antigen yang dihasilkan dalam penelitian ini sangat rendah, yaitu rata-rata 13.5 ± 2.8 µg/ml, sehingga membutuhkan jumlah yang banyak dan waktu yang cukup lama untuk merangsang timbulnya antibodi.

Gambar 9 Profil protein antigen ES L3 Gnathostoma A: marker; B: antigen ES

25

Pengukuran spektrofotometer terhadap konsentrasi antibodi yang dihasilkan pada serum kelinci sebelum purifikasi adalah 41.17 µg/ml. Setelah proses pemurnian didapatkan konsentrasi antibodi berupa IgG adalah 28.3 µg/ml. Konsentrasi antibodi terendah yang mampu dideteksi menggunakan uji AGPT adalah 30 µg/ml (Tizzard, 2004).

Immunoblotting

Pada penelitian ini, protein ES yang diekstraksi dari L3 G.spinigerum

dipisahkan menggunakan SDS-PAGE dan dianalisis menggunakan

immunoblotting. Hasil immunoblotting dapat dilihat pada Gambar 11. Analisa

immunoblotting antara antigen ES-L3-Gs dengan serum kelinci negatif tidak memperlihatkan adanya blot pita hasil reaksi. Analisis immunoblotting dari antigen ES-L3-Gs dengan antibodi poliklonal IgG kelinci yang dihasilkan dari imunisasi kelinci dengan antigen tersebut memperlihatkan adanya lima blot pita protein, yaitu pada 12.6, 18.6, 37.9, 41.7 dan 49.5 kDa. Terlihatnya blot hasil reaksi antara antigen ES-L3-Gs dengan antibodi poliklonal IgG kelinci menunjukkan bahwa antigen ES-L3-Gs memiliki sifat imunogenik yang cukup tinggi. Satu pita protein yang menghasilkan warna blot paling tebal adalah pada 18.6 kDa.

Hasil immunoblotting antara antigen somatik L3 G. spinigerum dengan antibodi kelinci anti antigen somatik L3 G. spinigerum yang dilakukan oleh peneliti (tidak dipublikasikan), memperlihatkan adanya lebih dari 20 pita protein yang berada di antara 7.7 kDa sampai 204 kDa. Hasil immunoblotting antara antigen somatik L3 G. spinigerum dengan antibodi kelinci anti antigen somatik L3 G. spinigerum ini kemudian dibandingkan dengan hasil immunoblotting antara antigen ES-L3-Gs dengan antibodi poliklonal IgG kelinci pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat blot pita protein ES-L3-Gsyang terdapat juga pada antigen somatik G. spinigerum, yaitu 18.6, 37.9, 41.7 dan 49.5 kDa. Chaicumpa (2010) mengatakan bahwa protein yang dihasilkan dari proses metabolisme cacing (hasil ekskretori sekretori) menempati 0.23% dari

Gambar 10 Hasil AGPT IgG serum kelinci

Ab: antibodi anti ES-Ag L3 Gs; Ag: Antigen ES-Ag L3 Gs; Gp: Garis presipitasi.

Hasil AGPT dari serum hasil imunisasi ke-tiga atau minggu ke- enam dari imunisasi pertama.

26

keseluruhan protein yang dihasilkan oleh cacing, tetapi antigen ES memiliki tingkat spesifitas yang lebih tinggi dibandingkan protein cacing lainnya. Pita protein yang secara konsisten paling dikenali baik pada antigen somatik maupun antigen ES L3 Gs ada pada berat molekul 18.6 kDa.

Blot juga terlihat pada reaksi antara antibodi poliklonal dari serum kelinci yang disuntikan antigen ES L3 G.spinigerum dengan antigen ES L3 Spiroksis yang juga terdapat pada belut (Gambar 12). Terdapat beberapa pita blot yang sama antara antigen ES L3 G.spinigerum dan ES L3 Spiroksis, yaitu pada sekitar 37, 18 dan 12 kDa. Hal ini kemungkinan disebabkan karena Spiroksis dan

Gnathostoma merupakan cacing nematoda yang berasal dari famili yang sama.

Spiroksis dan Gnathostoma juga merupakan L3 nematoda yang ada di belut, sama-sama membentuk kista dan mempunyai habitat mikro yang sama yaitu pada hati dan daging. Pita blot spesifik yang hanya terdapat pada antigen ES L3 G.spinigerum adalah 41.7 dan 49.5 kDa

Gambar 11 Hasil immunoblotting

A: IgG anti Ag somatik G. sipinigerum dengan Ag somatik G. sinigerum;

B: IgG anti ES-Ag G. sipinigerum dengan ES-Ag G. sinigerum;

27

Pembahasan

Isolasi dan Identifikasi Morfologi dan Molekuler Larva Tiga (L3)

Gnathostoma spinigerum

Hasil identifikasi dan karakterisasi morfologi dan morfometri sebanyak larva tiga Gnathostoma yang terdapat pada belut rawa di Palembang Indonesia menunjukkan bahwa semuanya mengarah pada Gnathostoma spinigerum. Ciri spesifik dari tiap spesies Gnathostoma dapat dibedakan dari bagian kepala yang berbentuk bohlam. Larva G. nipponicum mempunyai kepala dengan tiga deretan kait, sedangkan G. spinigerum memliki empat deretan kait.G. hispidum juga memiliki empat deretan kait pada kepalanya, hanya saja jumlah kait pada setiap deretnya lebih sedikit dibandingkan dengan G. spinigerum. Jumlah kait pada deret 1, 2, 3, dan 4 berturut-turut adalah ± 45 buah, ± 48 buah, ± 50 buah dan ± 52 buah (Bong-Kwang et al. 2008; Daengsvang 1980). Ukuran G. spinigerum yang ditemukan di Myanmar dan Thailand adalah panjang 2.65 mm dan lebar 0.32 mm. Empat deretan kait terdapat dibagian kepala. Ukuran dan jumlah kait pada tiap deret tersebut tidak berbeda jauh dengan G. Spinigerum yang ditemukan pada penelitian ini.

Hasil identifikasi morfologi dan morfometri perlu diteguhkan dengan teknik molekuler untuk memastikan spesies Gnathostoma yang ditemukan pada belut rawa. Pengujian PCR menggunakan primer daerah ribosomal mencakup sebagian 18S, ITS1 komplit dan sebagian 5.8S terhadap delapan belas ekor L3 Gnathostoma menunjukkan posisi profil molekuler yang sama untuk setiap isolat pada 900-an base pair (bp), sama dengan G. spinigerum (AB181155.1) yaitu 917 bp.Daerah ITS1 G. spinigerum komplit mempunyai ukuran 633 bp, sedangkan produk PCR yang dihasilkan mempunyai ukuran sekitar 900-an bp, hal tersebut disebabkan karena primer Lim 1657 F dan 58S2 R daerah ribosomal sebagian 18S, ITS1 komplit dan sebagian 5.8S. Kemiripan basa nukleotida (maximal identity)

Gambar 12 Hasil immunoblotting IgG anti ES-Ag L3 Gs dengan ES-Ag Spiroksis

28

98% dengan max score 1411 (tertinggi), query coverage 100% dan tingkat kesalahan (error value) 0.0 menunjukkan bahwa Gnathostoma yang menginfeksi ikan belut rawa dari Palembang adalah G. spinigerum.

Perbedaan prevalensi dan intensitas infeksi larva Gnathostoma setiap bulan pada belut rawa dan keberadaan belut rawa di alam dipengaruhi oleh keberadaan dari cyclop sebagai makanan ikan belut rawa. Keberadaan cyclop sebagai inang antara pertama larva Gnathostomadi Thailand, yaitu Mesocyclops leuckarti, Eucyclops agilis, Cyclops varicans, dan Thermocyclops sp. meningkat selama musim hujan (Janwan et al. 2011). Rojekittikhun et al. (1998, 2004) mengatakan bahwa infeksi larva Gnathostoma tertinggi di Thailand terjadi pada bulan Oktober sampai Desember. Rojekittikhun et al. (1998) menyebutkan bahwa perbedaan tingkat infeksi ini disebabkan karena perbedaan curah hujan. Tingkat infeksi meningkat ketika musim hujan tiba dan infeksi tertinggi akan terjadi pada bulan dengan curah hujan tertinggi. Ketika musim hujan berakhir maka infeksi L3 Gnathostoma menurun sampai dengan nol. Hal ini dikarenakan jumlah cyclop meningkat ketika curah hujan tinggi dan berkurang ketika curah hujan rendah. Di Indonesia sendiri khususnya Palembang dengan klimatologi yang hampir sama dengan Thailand, belum diketahui jenis-jenis cyclop sebagai inang antara pertama Gnathostoma, sehingga belum diketahui juga mengenai pengaruh curah hujan terhadap keberadaan cyclop.

Prevalensi dan intensitas infeksi tentu juga dipengaruhi keberadaan dari telur Gnathostoma yang dikeluarkan oleh inang definitif. Keberadaan dan jumlah populasi inang definitif di sekitar habitat belut dan cyclop di Palembang belum diketahui secara pasti. Perkembangan telur untuk terembrionisasi dan menetas di air membutuhkan waktu 1 – 2 minggu, dan sekurangnya tujuh hari untuk berkembang menjadi L3 awal pada cyclop.Jika tidak terdapat hujan maka sangat tidak memungkinkan telur mencapai reservoir air dimana cyclop, sebagai inang antara pertama, berada. Periode perkembangan Gnathostoma dari telur pada feses kucing atau anjing sampai membentuk kista L3 pada hati dan daging belut membutuhkan waktu sekitar 1 – 2 bulan. L3 dapat ditemukan pada hati dan daging belut dua minggu setelah cyclop yang terinfeksi tertelan, dan membentuk kista dalam waktu 4 – 5 minggu setelah tertelan (Daengsvang, 1980). Kurun waktu tersebut menurut Rojekittikhun et al. (1998) terjadi pada sikus hidup Gnathostoma di Thailand dan negara beriklim tropis basah lainnya seperti Mexico (Rusnak and Lucey 1993)

Tingginya intensitas infeksi larva juga tidak mempengaruhi ukuran belut, karena semakin besar ukuran belut terdapat kecenderungan semakin besar jumlah larva yang ditemukan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena larva membentuk kista yang membuat tubuh belut mampu bertoleransi terhadap kista dorman ini.

Hasil pengamatan prevalensi dan intensitas infeksi L3 Gnathostoma pada belut rawa dari Palembang ini, memberikan berbagai kerangka untuk penelitian lebih dalam mengenai perlunya pencarian inang antara potensial dari G. Spinigerum di Indonesia dan jumlah populasi dari inang antara berdasarkan perubahan iklim. Hal ini diperlukan sebagai upaya pengendalian terhadap tingginya tingkat prevalensi yang mencapai 53.33% dan intensitas infeksi pada belut rawa, sehingga upaya pencegahan Gnathostomiasis pada manusia, inang antara dan inang definitif dapat dilakukan. Penanaman belut budidaya juga dapat memperhitungkan pengaruh curah hujan dan pakan, karena pada umumnya belut

29 budidaya juga masih diberikan pakan berupa kopepoda, yang belum diketahui potensinya sebagai inang antara larva Gnathostoma.

Produksi dan Karakterisasi Protein Antigen ES-L3-Gs

Konsentrasi protein ES-L3-Gs sebelum purifikasi yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 13.5 ± 2.8 µg/ml. Konsentrasi protein ES-L3-Gs asal belut yang dihasilkan tidak memiliki konsentrasi yang cukup sebagai antigen untuk memproduksi antibodi poliklonal yang akan digunakan dalam pengujian immunoblotting.Persyaratan sebuah antigen yang baik agar dapat menginduksi antibodi poliklonal berkisar antara 50-1000 µg/ml (Kuby 2007). Kecilnya konsentrasi ini kemungkinan disebabkan oleh ukuran dan jumlah G. Spinigerum yang kecil dan sedikit. Perlu dilakukan penambahan atau pengurangan jumlah ekor L3 G. spinigerum pada setiap ml media RPMI, karena pada penelitian ini jumlah larva/ml media RPMI adalah 5 ekor. Optimalisasi jumlah larva per ml media perlu dilakukan, karena mungkin juga kepadatan tinggi dari larva per ml media akan mempercepat terjadinya metabolisme dari larva-larva tetapi tidak memberikan protein antigen yang maksimal secara kuantitas maupun kualitas. Ukuran larva yang sangat kecil bisa juga menghasilkan protein produk Eksretori-Sekretori (ES) larva sedikit.

Kecilnya konsentrasi ini juga mungkin disebabkan karena masa inkubasi larva Gnathostoma pada media RPMI. Penelitian ini mengikuti hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Saksirisampant et al. (2001), yang menyatakan bahwa metabolisme hasil ES-L3-Gstertinggi didapatkan setelah masa inkubasi empat hari pada suhu 37°C.Kondisi yang sedikit berbeda mungkin mempengaruhi konsentrasi protein yang dihasilkan, sehingga menyebabkan masa inkubasi empat hari pada suhu 37°C tidak memberikan protein hasil produk Eksretori-Sekretori (ES) yang maksimalsecara kuantitas maupun kualitas pada penelitian ini. Perlakuan perbedaan masa inkubasi dan suhu inkubasi perlu dilakukan untuk mencari kondisi optimum yang akan memberikan hasil produk Eksretori-Sekretori (ES) yang maksimal. Suhu inkubasi pada penelitian ini adalah 37°C, seperti diketahui suhu tersebut merupakan suhu tubuh manusia, sedangkan belut merupakan vertebrata air yang mempunyai suhu tubuh 25°C. Inkubasi pada media buatan perlu dilakukan pada suhu 25°C, sehingga dapat diketahui perbedaan

Dokumen terkait