• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi serta Produktivitas Beras dan Jagung Sumatera Utara

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti maka dapat dilihat kondisi produksi Beras dan Jagung di Sumatera Utara (1991-2005) dengan melihat tabel-tabel beserta grafik berikut ini.

Tabel 5. Produksi Beras Sumatera Utara (1991-2005)

Tahun Produksi Beras (Ton)

1991 1.725.608,376 1992 1.829.762,608 1993 1.844.272,064 1994 1.946.534,720 1995 1.981.024,856 1996 1.982.432,320 1997 2.030.114,192 1998 2.098.902,968 1999 2.181.303,760 2000 2.221.007,896 2001 2.080.294,360 2002 1.992.888,760 2003 2.150.743,400 2004 2.160.670,224 2005 2.178.752,376 Total 30.404.312,880 Rataan 2.026.954,192 Sumber : Lampiran 4

Dari Tabel 5 terlihat bahwa sepanjang tahun 1991-2005, Produksi Beras terbesar di Sumatera Utara terjadi pada tahun 2000 yakni 2.221.007,896 Ton dan Produksi Beras terendah yakni pada tahun 1991 sejumlah 1.725.608,376 Ton. Dimana, Total Produksi Beras sepanjang tahun 1991-2005 di Sumatera Utara mencapai 30.404.312,880 Ton dengan Rataan Total Produksi sebesar 2.026.954,192 Ton beras per tahunnya.

Kondisi produksi beras di Sumatera Utara (1991-2005) dapat juga dilihat melalui gambar berikut ini.

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Produksi Beras (Ton)

Gambar 6. Produksi Beras Sumatera Utara (1991-2005)

Dari Gambar 6 diatas, terlihat bahwa sepanjang tahun 1991-2005 cenderung terjadi peningkatan produksi beras dari tahun ke tahun, meskipun sempat terjadi penurunan jumlah produksi pada tahun 2001 hingga 2002 dengan puncak produksi tertinggi yakni pada tahun 2000. Meskipun produksi beras Sumatera Utara terus meningkat, namun peningkatan yang terjadi setiap tahunnya tidak terlalu besar. Sehingga, perlu diperhatikan kondisi produksi beras

Sumatera Utara pada tahun-tahun mendatang, apakah masih dapat mencukupi kebutuhan penduduk Sumatera Utara itu sendiri dengan kendala-kendala yang juga perlu dipertimbangkan.

Kondisi produktivitas beras di Sumatera Utara (1991-2005) dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6. Produktivitas Beras Sumatera Utara (1991-2005)

Tahun Produktivitas Beras (Kw/Ha)

1991 24,20 1992 24,31 1993 24,44 1994 24,56 1995 24,91 1996 25,09 1997 25,45 1998 25,47 1999 26,01 2000 26,20 2001 25,94 2002 26,04 2003 26,06 2004 26,15 2005 26,50 Total 25,45 Rataan 25,42 Sumber : Lampiran 7

Dari Tabel 6 diatas, produktivitas beras tertinggi Sumatera Utara disepanjang tahun 1991-2005 terjadi pada tahun 2005 yakni sebesar 26,50 Kw/Ha. Sedangkan produktivitas beras terendah terjadi pada tahun 1991 yakni sebesar 24,20 Kw/Ha. Total produktivitas beras disepanjang tahun (1991-2005) adalah sebesar 25,45Kw/Ha dan rataaan produktivitas sebesar 25,42 Kw/Ha per tahun.

Kondisi produktivitas beras Sumatera Utara (1991-2005) dapat dilihat pada gambar berikut.

23,00 23,50 24,00 24,50 25,00 25,50 26,00 26,50 27,00 199119921993199419951996199719981999200020012002200320042005 Produktivitas Beras (Kw/Ha)

Gambar 7. Produktivitas Beras Sumatera Utara (1991-2005)

Dari Gambar 8 diatas, tampak bahwa setiap terjadi peningkatan produktivitas beras setiap tahunnya, namun dengan pertumbuhan yang rendah. Karena dapat dilihat dengan pergeseran angka produktivitas yang tidak jauh berbeda per tahunnya.

Berdasarkan kondisi produksi beras dapat dilihat bahwa disepanjang tahun 1991-2005 kondisi perberasan Sumatera Utara mengalami peningkatan jumlah produksi beras, hanya saja angka kenaikan produktivitas beras tersebut kecil setiap tahunnya. Terjadinya musibah kemarau panjang pada semester kedua 1997 kemudian disambung dengan krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi sosial dan politik yang semakin menekan pertumbuhan produksi beras.

Meski dapat dapat diusahakan peningkatan produksi beras pada tahun 1999 dan 2000 namun tidak dapat bertahan karena kemudian produksi beras

kembali merosot di tahun selanjutnya yakni 2001 hingga 2002. Hal ini disebabkan karena pengaruh El Nino yang kemudian diikuti La Nina, semakin berkurangnya luas panen beras sejak tahun 2001 (lihat lampiran 6), serta naiknya harga-harga input produksi dan tertekannya harga beras produksi sejak tahun 1998.

(Husodo, 2004)

Sedangkan untuk kondisi produksi Jagung di Sumatera Utara (1991-2005) dapat diperhatikan melalui tabel berikut ini.

Tabel 7. Produksi Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

Tahun Produksi Jagung (Ton)

1991 222.162 1992 262.412 1993 271.298 1994 311.916 1995 371.578 1996 398.708 1997 459.714 1998 509.809 1999 619.667 2000 666.764 2001 634.162 2002 640.593 2003 687.360 2004 712.558 2005 735.456 Total 7.504.157 Rataan 500.277,133 Sumber : Lampiran 5

Dari Tabel 7 terlihat bahwa di sepanjang tahun 1991-2005,jumlah Produksi jagung terbesar di Sumatera Utara terjadi pada tahun 2005 sebesar 735.456 Ton. Sedangkan Produksi Jagung terkecil terjadi pada tahun 1991 sebesar 222.162 Ton. Dimana, Total Produksi Jagung Sumatera Utara (1991-2005) adalah

sebesar 7.504.157 Ton dengan Rataan Total Produksi Jagung yakni 500.277,133 Ton per tahunnya.

Kemudian dapat dilihat pula grafik kondisi produksi jagung Sumatera Utara (1991-2005) dari gambar berikut ini.

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Produksi Jagung (Ton)

Gambar 8. Produksi Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

Pada Gambar 8 diatas, tampak bahwa produksi Jagung di Sumatera Utara (1991-2005) terus meningkat dengan pesat, meskipun sempat terjadi penurunan produksi mulai tahun 2000, namun meningkat lagi dari tahun 2003 hingga mencapai puncak produksi tertinggi di tahun 2005.

Besarnya produktivitas jagung Sumatera Utara (1991-2005) dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 8. Produktivitas Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

Tahun Produktivitas Jagung (Kw/Ha)

1991 23,69 1992 22,63 1993 22,23 1994 22,13 1995 22,49 1996 22,91 1997 23,19 1998 27,81 1999 31,08 2000 30,05 2001 31,91 2002 32,24 2003 32,61 2004 33,16 2005 33,65 Total 28,25 Rataan 27,45 Sumber : Lampiran 8

Dari Tabel 8 diatas, produktivitas jagung Sumatera Utara disepanjang tahun 1991-2005 untuk yang tertinggi terjadi pada tahun 2005 yakni sebesar 33,65 Kw/Ha. Sedangkan produktivitas jagung yang terendah terjadi pada tahun 1994 yakni sebesar 22,13 Kw/Ha. Total produktivitas jagung disepanjang tahun (1991-2005) adalah sebesar 28,25 Kw/Ha dan Rataan produktivitas sebesar 27,45Kw/Ha per tahun.

Kondisi produktivitas jagung Sumatera Utara (1991-2005) dapat dilihat pada gambar berikut.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Produktivitas Jagung (Kw/Ha)

Gambar 9. Produktivitas Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

Dari Gambar 9 diatas, tampak bahwa sempat terjadi penurunan produktivitas jagung dari tahun 1992-1994, namun bukan merupakan perubahan yang signifikan. Kemudian produktivitas jagung kembali meningkat sejak tahun 1995, walau sempat terjadi penururnan produktivitas di tahun 2000 namun dapat tetap meningkat kembali hingga tahun-tahun selanjutnya.

Berdasarkan kondisi produksi jagung (1991-2005) diatas, produksi dan produktivitas jagung di Sumatera Utara cenderung terus meningkat. Dengan meningkatnya produksi jagung tersebut, ketersediaan atau surplus pangan di Sumatera Utara akan semakin besar, dan akan membantu stok pangan secara nasional. Namun, impor jagung Indonesia sejak 1998 terus meningkat seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kebutuhan jagung untuk konsumsi maupun bahan baku industri domestik. Ini akibat potensi yang ada belum tergarap secara

Sejak awal Pelita I, laju pertumbuhan produksi berbagai komoditas pangan termasuk beras cukup tinggi pada pertengahan tahun 70-an dikarenakan pembangunan pertanian di Indonesia yang dilaksanakan secara intensif, termasuk wilayah Sumatera Utara. Pertumbuhan produksi tersebut terus berlanjut, yakni pada periode III (1979-1983) produksi padi tumbuh 6,6 % per tahun. Pada periode IV (1983-1987) pertumbuhan tersebut terus berlanjut namun dengan laju yang melandai terutama padi 3,3 % per tahun, hingga pada tahun 1984 Indonesia telah mencapai swasembada beras. Pada periode selanjutnya, yakni Pelita V (1989-1993), laju pertumbuhan tersebut semakin menurun walaupun masih menunjukkan angka positif dengan pertumbuhan padi sekitas 2,9 % per tahun.

Pada tiga tahun pertama selama Pelita VI yakni tahun 1994-1996, pertumbuhan produksi masih terus meningkat walaupun dengan pertumbuhan yang semakin menurun. Namun kemarau panjang pada semester kedua 1997 telah menyebabkan penurunan produksi pada hampir semua komoditas yang cukup tajam pada tahun 1998, kecuali ikan. Penurunan produksi tersebut terutama disebabkan oleh penurunan luas panen dan produktivitas, yang merupakan akibat dari (1) Mundurnya musim tanam dan gangguan produksi karena kemarau panjang. (2) meningkatnya harga sarana produksi secara tajam karena merosotnya nilai rupiah yang sangat menurunkan daya beli petani.

Pada tahun 1999-2000, upaya-upaya yang dilakukan demi memacu kembali produksi melalui rehabilitasi irigasi desa, perluasan tanam komoditas pangan pada lahan-lahan perkebunan, pasang surut dan transmigrasi, penyediaan saprodi serta perluasan kredit usahatani dengan ditunjang oleh iklim yang sangat

kondusif, maka produksi berbagai komoditas mulai kembali meningkat walaupun belum menyamai angka sebelum krisis tahun 1996.

Namun besarnya jumlah penduduk yang berkembang sekitar 1,6 % per tahun pada tahun 1999, menyebabkan produksi beberapa komoditas tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri. Ditambah dengan adanya perkembangan pengetahuan dan selera masyarakat, serta kelancaran arus distribusi/perdagangan ke kota-kota besar, telah mendorong peningkatan impor berbagai komoditas pangan. Selama periode 1995-1999 impor gandum, beras, kedelai, daging, sayur-sayuran dan buah-buahab menunjukkan volume yang cukup besar. Disamping menguras devisa negara, situasi ketergantungan yang cukup besar ini dalam jangka panjang dapat meningkatkan kerentanan ketahanan pangan dan gizi secara nasional. (Suryana, 2003)

Namun sekarang ini, fenomena penggunaan jagung sebagai bahan baku altenatif pembuatan biofuel dan etanol seperti di negara Amerika dan China, telah memaksa negara tersebut membatasi arus ekspor jagungnya ke negara lain. Alhasil, stok jagung dunia mengalami penurunan dan harga pun melambung tinggi. Hal ini juga berdampak terhadap Indonesia. Petani dalam negeri diminta mengembangkan terus tanaman jagungnya dalam rangka memanfaatkan permintaan yang tinggi atas komoditi tersebut pada tahun ini hingga mendorong lonjakan harga jual di dalam negeri.

Karena lonjakan harga jual jagung tersebut, membuat sejumlah pengusaha berminat melakukan kerjasama dengan produsen-produsen benih jagung hibrida untuk mengelola lahan jagung dalam skala yang luas di Indonesia. Sumatera Utara

termasuk salah satu diantara beberapa wilayah yang dilirik swasta untuk areal pengembangan jagung, yakni seluas 15.000 Ha. (Asteria, 2008)

Dari hasil pemaparan kondisi produksi beras dan jagung serta poduktivitas beras dan jagung diatas, maka untuk hipotesis 2 dapat diterima karena baik produksi beras dan produktivitas beras (1991-2005) mengalami kenaikan setiap tahunnya dan produksi serta produktivitas jagung (1991-2005) juga mengalami kenaikan setiap tahunnya. Namun, untuk produksi beras menalami kenaikan dengan laju pertumbuhan yang rendah tidak seperti laju pertumbuhan kenaikan produksi jagung yang cukup tinggi.

5.3. Peramalan Konsumsi serta Produksi Beras dan Jagung Sumatera Utara (2010-2020)

Beras

Dari data-data Total Produksi dan Konsumsi Beras Di Sumatera Utara sepanjang tahun 1991-2005 yang telah tersaji sebelumnya, maka dapat diperoleh model trend linier untuk masing-masing item produksi dan konsumsi tersebut. Persamaannya yaitu sebagai berikut (Lampiran 9).

Y1 = 2026954 + 27862,056 X

Untuk Produksi Beras di Sumatera Utara. Persamaan tersebut berarti bahwa setiap tahun produksi beras akan meningkat sebesar 27862,056 Ton.

Y2 = 1415333 + 3499,630 X

Untuk Konsumsi Beras di Sumatera Utara. Persamaan tersebut berarti bahwa setiap tahun konsumsi beras akan meningkat sebesar 3499,630 Ton.

Tabel 9. Angka Ramalan Produksi dan Konsumsi Beras Sumatera Utara (2010-2020)

Tahun Produksi (Ton) Konsumsi (Ton)

2010 2.361.298,672 1.457.328,236 2011 2.389.160,728 1.460827,839 2012 2.417.022,784 1.464.327,442 2013 2.444.884,840 1.467.827,045 2014 2.472.746,896 1.471.326,648 2015 2.500.608,952 1.474.826,251 2016 2.528.471,008 1.478.325,854 2017 2.556.333,064 1.481.825,457 2018 2.584.195,120 1.485.325,060 2019 2.612.057,176 1.488.824,663 2020 2.639.919,232 1.492.324,266

Sumber : Olahan Lampiran 9

Dari Tabel 9 diatas, dapat dilihat bahwa untuk tahun 2010-2020 baik produksi juga konsumsi atas beras di Sumatera Utara dapat diramalkan bahwa tetap meningkat setiap tahunnya. Walaupun dapat diramalkan bahwa angka produksi padi akan meningkat hingga 2020, namun berkurangnya luas panen padi, kenaikan harga-harga sarana produksi, alih fungsi lahan pertanaman padi menjadi pertanaman komoditas yang lebih menguntungkan petani, dan sebagainya, akan dapat menekan angka produksi tersebut. Sedangkan di lain hal, konsumsi atas beras tersebut akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambah pula jumlah penduduk setiap tahun.

Kondisi produksi dan konsumsi beras Sumatera Utara untuk tahun 2010-2020 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Produksi (Ton) Konsumsi Beras (Ton)

Gambar 10. Ramalan Produksi dan Konsumsi Beras Sumatera Utara (2010-2020)

Pada Gambar 10 diatas, tampak bahwa dapat diramalkan bahwa hingga tahun 2020 produksi beras Sumatera Utara akan tetap dapat mencukupi kebutuhan dalam Sumatera Utara. Hal ini terlihat karena garis produksi beras masih berada diatas garis konsumsi. Sementara itu, garis konsumsi beras meski perlahan tetapi pasti juga meningkat setiap tahun ke depan hingga 2020 karena pertambahan jumlah penduduk.

Namun, dalam hal ini ada beberapa hal dan kondisi yang perlu diperhatikan pula, yakni bahwa produksi beras Sumatera Utara bukan pula mutlak untuk konsumsi Sumatera Utara sendiri tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan wilayah lain di Indonesia ini. Terdapat pula hal-hal yang dapat terus menekan pertumbuhan produksi padi Sumatera Utara, serta mengingat bahwa Indonesia akan menghadapi kondisi pasar bebas. Hal tersebut akan dapat mengganggu

konsumsi penduduk Sumatera Utara yang dominan akan beras yang meningkat jumlahnya setiap tahun.

Jagung

Dari data-data Total Produksi dan Konsumsi Jagung Di Sumatera Utara sepanjang tahun 1991-2005 yang telah tersaji sebelumnya, maka dapat diperoleh model regresi untuk masing-masing item produksi dan konsumsi tersebut. Persamaannya yaitu sebagai berikut (Lampiran 10).

Y1 = 500277,1 + 39902,746 X

Untuk Total Produksi Jagung di Sumatera Utara. Persamaan tersebut berarti bahwa setiap tahun produksi jagung akan meningkat sebesar 39902,746 Ton.  Y2 = 11362,056 - 363,499 X

Untuk Konsumsi Jagung di Sumatera Utara. Persamaan tersebut berarti bahwa setiap tahun produksi jagung akan turun sebesar 363,499 .

Tabel 10. Angka Ramalan Produksi dan Konsumsi Jagung Sumatera Utara (2010-2020)

Tahun Produksi (Ton) Konsumsi (Ton)

2010 979.110,052 7.000,068 2011 1.019.012,798 6.636,569 2012 1.058.915,544 6.273,070 2013 1.098.818,290 5.909,571 2014 1.138.721,036 5.546,072 2015 1.178.623,782 5.182,573 2016 1.218.526,528 4.819,074 2017 1.258.429,274 4.455,575 2018 1.298.332,020 4.092,076 2019 1.338.234,766 3.728,577 2020 1.378.137,512 3.365,078 Sumber : Lampiran 10

Dari Tabel 10 diatas, terlihat dapat diramalkan bahwa produksi jagung di Sumatera Utara hingga tahun 2020 akan terus meningkat. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan konsumsi jagung di Sumatera Utara akan menurun hingga 2020 dan mungkin berlanjut hingga tahun-tahun selanjutnya bila dominasi konsumsi atas beras tetap bertahan di Sumatera Utara. Padahal sebenarnya, Indonesia memiliki berbagai jenis sumber bahan pangan karbohidrat, dimana diantaranya jagung merupakan salah satu komoditi pangan yang dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan.

Kondisi produksi dan konsumsi jagung Sumatera Utara untuk tahun 2010-2020 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Produksi (Ton) Konsumsi Jagung (Ton)

Gambar 11. Ramalan Produksi dan Konsumsi Jagung Sumatera Utara (2010-2020)

Pada Gambar 11 diatas, tampak untuk peramalan produksi dan konsumsi jagung di Sumatera Utara hingga tahun 2020 menunjukkan bahwa produksi jagung akan berada diatas konsumsi penduduk Sumatera Utara. Karena seperti yang diketahui, bahwa besarnya alokasi produksi jagung tersebut adalah terhadap

kebutuhan ternak. Sementara, penduduk Sumatera Utara juga belum memanfaatkan jagung dengan baik sebagai sumber bahan pangan karena masih menjadikan beras sebagai bahan pangan pokok.

Dari analisis diatas, maka hipotesis 3a dapat diterima karena produksi dan konsumsi beras Sumatera Utara (2010-2020) akan mengalami trend yang menaik. Hal tersebut dikarenakan karena semakin bertambahnya jumlah penduduk Sumatera Utara setiap tahunnya, namun konsumsi bahan pangan pokok penduduk tersebut masih mengutamakan beras. Meski produksi akan beras diperkirakan akan menaik, namun ada beberapa hal yang dapat menyebabkan produksi beras malah dapat menurun untuk tahun-tahun mendatang. Sehingga dapat menyulitkan konsumsi pangan penduduk bila masih terkonsentrasi pada beras. Sedangkan, hipotesis 3b tidak dapat diterima karena walaupun produksi jagung Sumatera Utara (2010-2020) akan mengalami trend yang menaik namun tidak sama halnya untuk konsumsi jagung karena bila saat ini sebahagian besar penduduk Sumatera Utara masih menjadikan jagung sebagai bahan makanan selingan, maka untuk konsumsi jagung penduduk untuk tahun-tahun mendatang pun dapat terus turun.

Dari hasil peramalan tersebut juga dapat dilihat bahwa, untuk tahun-tahun mendatang, besar pertambahan produksi jagung akan lebih tinggi daripada beras yang dapat dilihat dari koefisien regresi X untuk produksi jagung lebih besar dibandingkan pada produksi beras dengan selisish sebesar 12.040,69 Ton per tahun. Sedangkan besar pertambahan konsumsi beras akan tetap lebih tinggi daripada konsumsi jagung yang dapat dilihat dari koefisien regresi X untuk produksi beras yang lebih besar dibandingkan dengan jagung yakni dengan selisih sebesar 3863,129 Ton per tahun.

Bahwa turunnya harga beras di pasar dunia secara drastis setelah tahun 1984 dan 1996, ternyata menekan harga beras dalam negeri yang mengakibatkan turunnya insentif untuk berproduksi padi dalam negeri Setelah tahun 1990, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras terbesar dunia. Pada masa yang akan datang upaya peningkatan produksi beras Indonesia semakin sulit, menghadapi pasar dunia yang semakin terbuka.

Situasi perberasan internasional yang berdampak terhadap perberasan Indonesia, yakni antara lain :

 Jumlah beras yang diperdagangkan masih tipis (6% produksi beras dunia), walaupun produksi beras dunia meningkat selama tiga dasawarsa ini.

 Pemberlakuan AFTA dan ketentuan dari WTO.

 Harga beras menurun dan dengan fluktuasi yang relative lebih kecil dari sebelum tahun 1980an, dan

 Perhatian negara maju untuk mendukung pendanaan bagi lembaga penelitian pertanian internasional mulai menurun, padahal peranan lembaga tersebut sangat penting.

Sementara itu, di dalam negeri sendiri terdapat beberapa lingkungan strategis yang mempengaruhi yang mempengaruhi perberasan dalam negeri, diantaranya :

 Menurunnya keungggulan komparatif padi di lahan beririgasi. Sementara itu, pengembangan lahan beririgasi di Luar Jawa, termasuk Sumatera Utara, sangat lambat, setelah dihentikannya investasi pemerintah pada pengembangan prasarana irigasi sehingga saingan komoditas lain terhadap padi juga meningkat.

Tanaman padi di lahan beririgasi cenderung mulai didesak oleh tanaman jagung hibrida dan hortikultura yang dapat memberikan keuntungan lebih tinggi.

 Berlanjutnya konversi lahan pertaian kepada kegiatan non-pertanian, menyebabkan semakin sempitnya basis produksi pertanian. Demikian halnya dengan ketersediaan sumber daya air untuk pertanian yang telah semakin langka.

 Kebijakan pengembangan komoditas pangan, termasuk teknologinya yang terfokus pada beras telah mengabaikan potensi sumber-sumber pangan karbohidrat lainnya. Kondisi demikian berpengaruh pada rendahnya keanekaragaman bahan pangan yang tersedia bagi penduduk. Selanjutnya apabila teknologi pengembangan aneka panagn local tidak segera dilakukan, maka bahan pangan local akan tertekan karena membanjirnya berbagai jenis pangan olahan impor.

 Lambatnya laju kenaikan produksi disebabkan menurunnya penerimaan petani sebagai akibat peningkatan biaya produksi karena harga pupuk, upah dan sewa mesin pertanian meningkat, sedangkan harga riil padi menurun.

Menurut Sombilla et al. (2001), apabila tidak ada perubahan kebijakan yang berlaku saat ini dan tidak adanya terobosan teknologi baru, maka Indonesia akan tetap menjadi net import beras terbesar dunia dengan jumlah 3 juta ton/tahun. Apabila laju pertumbuhan penduduk bias ditekan ke tingkat 1 %/tahun menjelang tahun 2010 maka net import dapat ditekan menjadi 1 juta ton/tahun pada tahun 2025, dan apabila ada terobosan teknologi yang cukup tinggi maka impor dapat ditekan menjadi 0,5 juta ton pada tahun 2025. Akan tetapi apabila pertumbuhan produktivitas hanya sedikit meningkat dari periode 1990-1997,

maka impor mencapai 2,5 juta ton tahun 2025. Dengan demikian Indonesia hanya akan mampu mencukupi kebutuhan permintaan beras dalam negeri apabila ada terobosan kebijakan dan terobosan teknologi baru yang cukup berarti. Sehingga dapat dkatakan bahwa Indonesia masih akan tetap menjadi importer beras terbesar dunia menjelang tahun 2020. (Kasryno, 2003)

Hal tersebut tentunya dapat mengganggu bahkan mengancam kondisi ketahanan pangan nasional dan daerah, karena bila konsumsi sebagian besar penduduk Indonesia masih didominsai oleh beras. Tentunya negara harus lebih banyak menguras devisa dalam hal impor untuk memenuhi permintaan beras dalam negeri yang akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Tentunya diperlukan kebijakan-kebijakan untuk dapat menjaga ketahanan pangan baik nasional maupun daerah.

5.4. Alternatif Kebijakan Pangan

Melihat hasil peramalan terhadap Produksi dan Konsumsi Beras di Sumatera Utara, dapat diperkirakan bahwa Sumatera Utara masih akan surplus beras pada tahun-tahun mendatang. Namun, terus berkurangnya areal tanaman padi dengan total sekitar 37.000 hektare dalam lima tahun terakhir, patut kita waspadai terutama bila menyangkut tentang ketahanan pangan Sumatera Utara itu sendiri. Kemudian, seperti halnya Kabupaten Tobasa yang mulai lebih mengembangkan produktivitas jagungnya dengan keseriusan Pemerintah Kabupaten setempat yang diperlihatkan dengan Dinas Pertanian Kabupaten Tobasa membantu petani dengan menyediakan 14 unit traktor untuk dipakai secara gratis, sehingga mereka tidak perlu lagi menyewa; petani tinggal menyiapkan operator dan bahan bakar. Selain bibit gratis, petani juga mendapat

pupuk dan obat. Dari total 106 ton bibit jagung yang sudah dibagikan, 57 ton adalah jenis hybrida dan 49 ton komposit. Hal tersebut dikarenakan telah ditandatanganinya kesepakatan kerjasama Gubernur Gorontalo dan Bupati Tobasa sekitar Februari 2008. Dalam hal penyediaan jagung atas kontrak kerja antara Gorontalo dan Malaysia. Bukan tidak mungkin bagi daerah-daerah lain di dalam Propinsi Sumatera Utara ini akan mengikuti jejak Kabupaten Tobasa tersebut. Mengingat keuntungan yang diperoleh dari bertanam jagung saat ini dapat lebih besar ketimbang bertanam padi karena lonjakan harga jagung dunia akibat meningkatnya minat pasar dunia terhadap jagung dalam rangka pengembangan energi alternatif etanol dan biodiesel, dimana jagung merupakan bahan baku etanol. (Siahaan, 2008)

Bila produksi beras dalam negeri semakin menurun akibat beberapa hal termasuk hal diatas hingga mengakibatkan Indonesia akan terus melakukan impor, maka harga beras akan kian naik. Ketika harga beras menjadi semakin mahal, sementara itu konsumsi penduduk masih terkonsentrasi pada beras, maka dapat diperkirakan bahwa keadaan pangan nasional dan daerah akan memprihatinkan.

Sementara itu, saat ini dimana konsumsi komoditas pangan-pangan pokok yang telah lama dikenal masyarakat menurun, konsumsi mi justru semakin meningkat. Sehingga dimasa mendatang, mi diperkirakan akan menjadi pesaing beras. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi mi juga didorong oleh kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri yang berlangsung lama. Monopoli impor gandum oleh Bulog dan proses penggilingannya oleh PT Bogasari Flour Mills serta kebijakan lain, mengakibatkan tepung terigu dapat dijumpai dimana-mana dalam jumlah yang melimpah dengan harga yang

terjangkau. Jenis, bentuk dan cara memasak mi yang beragam ikut memacu masyarakat, baik kalangan atas maupun bawah untuk mengkonsumsi mi.

Satu hal yang perlu diingat bahwa pada masa keadaaan perekonomian nasional yang cenderung masih terpuruk saat ini, Indonesia tidak bisa terus bergantung kepada impor terhadap pemenuhan kebutuhan beras ataupun gandum dalam negeri. Karena akan semakin terkurasnya devisa negara, sementara devisa tersebut masih sangat banyak diperlukan untuk pembangunan negara. Padahal, beragamnya pangan lokal terdapat di seluruh nusantara, termasuk Sumatera Utara, semestinya dapat dimanfaatkan menyangkut konsumsi pangan nasional dan daerah.

Dalam memantapkan ketahanan pangan, selain diupayakan peningkatan produksi pangan melalui usaha-usaha ekstensifikasi dan intensifikasi. Terdapat satu upaya yang sedikit terabaikan yakni Kebijakan Diversifikasi Pangan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Diversifikasi produksi pangan dilakukan melalui pengembangan pangan karbohidrat khas Nusantara spesifik lokasi seperti jagung dan umbi-umbian, pengembangan produk melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas Nusantara, dan peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein dan

Dokumen terkait