• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profesi Wartawan

BAB IV DAMPAK PEMBREDELAN PERS

B. Profesi Wartawan

Umumnya bahwa kedudukan pers dimata hukum itu sama hal ini yang berlaku pers Liberal ala barat, seperti pers di Amerika, dan di semua negara yang disebut Barat, tunduk dan sering diseret ke meja hijau oleh pemerintah, birokrat ataupun oleh dunia bisnis dan masyarakat dengan tuntutan pidana maupun perdata, karena dianggap merugikan kepentingan pihak yang terkena pemberitaan negatif pers.

Di depan hakim, hukum dan pengadilan pers itu sama saja derajatnya dan bukan diistimewakan. Yang membedakan dengan negara berkembang, seperti Indonesia di negara yang bercorak manunggal, kekuasaan kehakiman dan yudikatif maupun cabang legislatif masih sangat resesi posisinya terhadap kuasa eksekutif yang dominan. Karena itu eksekutif merasa perlu mengambil jalan pintas, pencabutan SIUPP dan membredel pers, padahal antara 1966-1974, lembaga eksekutif Indonesia juga sudah pernah berani menghormati kekuasaan yudikatif dan peradilan, yaitu ketika pemimpin redaksi surat kabar harian Nusantara, Mr. T.D Hafas, dihadapkan ke meja hijau atas pelanggaran pasal yang terkenal sebagai

haatzai artikelen.

106

Pembredalan merupakan mimpi buruk bagi pers Indonesia masa Orde Baru, kehidupan para wartawan pun harus selalu bersikap kompromistis agar surat kabar tidak dibredel, sehingga kompromi menjadi hal yang biasa masa Orde Baru agar pers tetap bertahan. Kehidupan para wartawan demi memperjuangkan kebebasan pers masa Orde Baru bukanlah hal yang mudah dan berjalan begitu saja, semuanya penuh dengan tekanan dan bayang-bayang pembredelan, yang bahkan bisa menyebabkan mereka dipenjara dan kehilangan pekerjaan.107

Sebagian dari mereka, yang pendirian bebasnya bertentangan dengan kebijakan pemerintah dan organisasi wartawan tunggal, harus diungsikan oleh pimpinannya. Mereka harus digeser dari kedudukan semula di bidang redaksi ke bidang yang mungkin sama sekali tidak pernah menjadi cita-cita seumur hidup, seperti perpustakaa, penelitian dan pengembangan atau tata usaha. Beberapa orang masih boleh mengerjakan karya-karya jurnalistik, tetapi tidak boleh mencantumkan namanya. Mereka seolah-olah hanyalah sejumlah angka di tengah seonggojan manusia. Ada pula yang harus bersembunyi “di bawah tanah” untuk menghindari kejaran polisi yang akan menangkapnya, walaupun pimpinan redaksinya berusaha membujuk wartawan itu supaya menyerahkan diri.108

Sejumlah wartawan ditangkap, kemudian diintrogasi oleh kepolisian dan diperiksa oleh kejaksaan, mereka harus divonis pengadilan seolah-olah selalu harus di penjarakan. Mereka dihukum karena menerbitkan majalah tanpa mendapat surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dari Departemen Penerangan atau karena memuat tulisan yang tidak menyenangkan para pejabat pemerintah dalam terbitan

107

Mochtar Lubis,2008, Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,Hlm. 15.

108

bawah tanah mereka. Akibat psikologis lain terhadap para wartawan, antara lain timbul rasa ketidakpastian dalam profesi. Juga dalam melakukan tugas sehari-hari sebagai wartawan, selalu mengalami kesulitan dalam menentukan berita mana yang boleh dan tidaknya, sumber-sumber berita pun ikut tidak pasti karena takut memberikan informasi. Kerugian material sudah jelas, dengan tidak terbitnya surat kabar sampai waktu yang tidak ditentukan. Karena mengambangnya berita-berita akibat ketidakpastian para wartawan menyebabkan isi surat kabar tidak menarik, sehingga para langganan kehilangan minat untuk membaca surat kabar, maka turunlah tiras surat kabar setelah terjadinya pembredelan.109

Pencabutan SIUPP Tempo, Editor, Detik pada tanggal 21 Juni 1994, memberikan pukulan berat bagi pemimpin redaksi dan para wartawan yang hidup dibawah naungan majalah yang telah dicabut SIUPPnya, reaksi solidaritas sesama wartawan membanjiri demonstrasi untuk membantalkan pencabutan SIUPP terhadap tiga majalah tersebut. Namun apalah arti kebebasan pers bagi penguasa yang ada hanyalah alasan kenapa SIUPP ketiga majalah tersebut dicabut salah satunya karena sudah berani mengangkat perkembangan politik, serta sosial dan pelanggaran HAM.

Dengan alasan-alasan pencabutan SIUPP yang sebenarnya sama dengan pembredelan hanya itu pembredelan secara legal agar bisa berlindung di bawah peraturan Menpen ttng SIUPP. Wartawan yang mencoba berjuang membela harkat pers kini makin mengalami berbagai represi. Hal ini telah ditunjukan secara berlebihan oleh aparat berseragam loreng. Terutama saat membungkam “aksi 27

109

Juni” para wartawan dihadapi dengan tindak kekerasan. Beberapa wartawan menjadi korban pemukulan. Sikap saling pengertian antara wartawan dengan aparat keamanan yang terjadi selama ini, pupus sudah. Tekanan terhadap para wartawan saat ini memang besar. Di tingkat intern, para wartawan yang terlibat aksi mendapat berbagai tekanan dari pimpinannya.110 Jadi bisa dimaklumi bila tidak ada pemimpin redaksi yang berani menghadapi desingan “peluru”. Pemimpin redaksi kini lebih banyak yang bersembunyi dalam berbagai pembelaan dan siasat untuk terus berjuang dengan cara moderat, dari pada “sesekali berani mati”. Mereka bisa menindas diri sendiri lewat self sensorship yang merusak jiwa, semangat dan hati nurani wartawan.111

Pencabutan SIUPP yang memiliki kekuatan di bawah peraturan Menpen yang mulanya menjadi suatu peristiwa yang bisa dipahami bagi kalangan konglomerat, bagi para wartawan yang memperjuangakan kebebasan pers dan idealisme sebagai seorang wartawan sesuai dengan kode etik jurnalistik, pemberdelan dibalik pencabutan SIT, SIC dan setelah diberlakukannya UU PP No.11 tahun 1982, dengan di tambahkannya pasal tentang wajib memiliki SIUPP, pencabutan izin terbit yang telah berubah-ubah hanya menjadi topeng dibalik pembredelan, izin terbit yang harus dimiliki oleh Pers hanya sebagai alat untuk melegalkan pembungkaman pembritaan pers yang dapat menggangu kestabilan politik dan keamanan.

Tindakan pemerintah terhadap pencabutan ataupun pembatalan izin terbit sudah cukup dipahami oleh pers, namun pembatalan SIUPP Tempo, Detik, Editor

110

Ayu Utami ,et al,1994, Bredel 1994:Kumpulan tulisan tentang pembredelan Tempo, Detik, Editor,Jakarta:Aliansi Jurnalis Independen.hlm. 17.

111

sudah tidak lagi dapat memaksakan para wartawan untuk hidup selalu penuh dengan kompromi di bawah pemerintahan otoriter. Kehidupan pers yang serba kompromi dengan penguasa mengakibatkan terjadinya perpecahan dikalangan pemerintah, ada wartawan yang masih berjuang demi kebebasan pers meskipun penuh dengan akibat yang membahayakan, dan adapula wartawan yang lebih memilih kehidupan aman dan mengabaikan kebebasan serta solidaritas sesama wartawan dengan hidup diantara para pejabat pemerintah.

Wartawan-wartawan yang sudah tidak lagi bisa memahami pemberdelan ditengah isu perpecahan ditubuh intern wartawan, sejumlah wartawan dari berbagai kota di Jawa berkumpul, dan kemudian memproklamirkan “Deklarasi Sirnagalih pada 7 Agustus 1994 yang berisikan sebagai berikut: 112

“Bahwa seungguhnya kemerdekaan berpendapat, memperoleh informasi,

dan kebebasan berserikat adalah hak asasi setiap warga negara. Bahwa sejarah pers Indonesia berangkat dari pers perjuangan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta melawan kesewenang-wenangan. Dalam melaksanakan misi perjuangannya, pers Indonesia menempatkan kepentingan dan keutuhan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun golongan. Indonesia adalah negara hukum, karena itu pers Indonesia melandaskan perjuangannya pada prinsip-prinsip hukum yang adil dan bukan pada kekuasaan. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka kami menyatakan: menolak segala bentuk campur tangan, intimidasi, sensor dan pembredelan yang mengingkari kebebasan berpendapat dan ak warga negara memperoleh informasi. Menolak segala upaya mengaburkan semangat pers Indonesia sebagai pers perjuangan. Menolak pemaksaan informasi sepihak untuk kepentingan pribadi dan golongan, yang mengatasnamakan kepentingan bangsa. Menolak penyelewengan hukum dan produk-produk hukum yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Menolak wadah tunggal profesi kewartawanan. Memproklamirkan pendirian Aliansi Jurnalis Independen sebagai salah satu wadah perjuangan pers Indonesia.

Deklarasi yang dikeluarkan 7 Agustus 1994 itu, mencoba merevitalisasi peranan pers sebagai kekuatan pembangun, kekuatan pengontrol, yang bukan

112

sekedar menjadi alat politik pemerintah. Melalui deklarasi tersebut, para wartawan juga memproklamirkan sebuah organisasi baru yang disebut Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Kehadiran AJI akan menguji dan mempertanyakan kembali keberadaan PWI sebagai satu-satunya organisasi profesi resmi wartawan. Jelas dalam kasus pembredelan, PWI lebih meyuarakan kepentingan birokrat Departeman Penerangan dari pada anggotnya. Rasanya aneh, bila ada ratusan wartawan kehilangan pekerjaan akibat medianya dibredel tanpa proses peradilan, PWI hanya berkata bisa memaklumi, sikap PWI yang lebih memihak para pemegang kekuasaan dari pada solidaritas terhadap sesama wartawan, membuat seroang Mochtar Lubis keluar dari keanggotaan PWI karena ketika ia di penjara tidak ada tindakan yang dilakukan oleh PWI. Sikap berani PWI inilah yang memberikan suatu kesadaran bagi para wartawan yang masih memperjuangkan kebebasan pers meskipun di bawah tekanan pemerintah, bergabung dalam AJI yang memberikan mereka ruang baru untuk memperjuangkan kebebasan pers.

Setelah G 30 S, Orde Baru menggunakan PWI sebagai alat untuk membersihkan pers nasional dari anasir-anasir Orde Lama. PWI ganti memecati para wartawan yang dituduh terlibat gerakan makar itu atau dekat dengan PKI. Pada tahun-tahun pemantapan kekuasaan Orde Baru. PWI sudah tak berdaya lagi sebagai organisasi independen. PWI tak bisa lagi membela anggotanya ketika pemerintah membreidel puluhan surat kabar terkait dengan peristiwa Malari 1974. PWI digunakan juga sebagai alat konsolidasi politik, yaitu dengan meresmikannya sebagai organisasi wartawan satu-satunya di Indonesia, tepatnya pada 20 Mei 1975.

Peresmian itu memudahkan pemerintah untuk melakukan “Golkarisasi” di tubuh PWI, terutama ketika PWI diketuai Harmoko.

Harmoko sendiri memang tercatat sebagai ironi dalam sejarah pers nasional. Pada masa-masa awal Orde Baru, ia adalah wartawan yang paling sengit menolak keinginan pemerintah untuk menjadikan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. PWI semakin “jinak” setelah pemerintah berhasil mendudukan Harmoko sebagai ketua PWI dan Menteri Penerangan. Sehingga PWI dapat memaklumi ketika menyikapi pembredelan tiga media pada tahun 1994. Kooptasi negara Orde Baru ke dalam tubuh PWI sedemikian parah sehingga pemerintah membuatnya menjadi alat adu domba antar wartawan. Tercatat, PWI terlibat konflik permanen dangan AJI. Konflik bahkan sampai pada tingkat pengingkaran, di mana PWI tak mengakui kewartawanan yang menjadi anggota AJI. 113

Tidak banyak wartawan yang ikut bergerak menentang pembredelan. Di bagian redaksi, wartawan justru mendapat himbauan untuk tidak ikut bergerak, yang nekad harus menanggung resiko dan beberapa konsekuensi. Tampaknya era pers industri yang lebih mementingkan tiras dari pada idealisme berhasil mempolarisasi wartawan dalam kotak-kotak kepentingan bisnis perorangan yang bertopeng di balik kepentingan lembaga. Erosi tak hanya memudarkan etos pers Indonesia, tapi juga memudarkan solidaritas wartawan Indonesia.

Dokumen terkait