• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profesionalisme Pelayanan Publik

Seperti diketahui, profesional merupakan istilah bagi seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah. Meskipun begitu, seringkali seseorang yang merupakan ahli dalam suatu bidang juga disebut ‘profesional’ dalam bidangnya meskipun bukan merupakan anggota sebuah entitas yang didirikan dengan sah. Sebagai contoh, dalam dunia olahraga terdapat olahragawan profesional yang merupakan kebalikan dari olahragawan amatir yang bukan berpartisipasi dalam sebuah turnamen/kompetisi demi uang.

Berbicara tentang pelayanan, tentu sudah tidak asing, sebab pelayanan adalah suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan unsur kesengajaan dan dilaksanakan dalam keadaan sadar, tujuanya adalah untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri, akan tetapi dalam masalah pelayanan itu, tidak semua orang bisa menjadi pelayan yang efesien dan profesional, karna untuk menjadi seorang pelayan yang efesien dan profesonal itu harus mempunyai ilmunya di dalam masalah pelayanan itu sendiri, adapun ilmunya dalam masalah pelayanan itu banyak yang mengatakan SSS (Salam Sapa Senyum) ini adalah modal utama bagi seorang pelayan, apabila orang tersebut sudah menerapkan ilmu yang diperolehnya insya allah orang tersebut bisa mencapai apa yang dia inginkan sebelum dia menjadi seorang pelayan.

Pelayanan itu sebenarnya adalah abdinya masyarakat dan abdinya neraga, dan pelayan itu sendiri harus mempunyai etika, karena dengan adanya etika orang tersebut bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, sedangkan administrasi adalah konkret dan harus mewujudkan apa yang diinginkan, berbicara etika dalam administrasi adalah bagaimana mengaitkan keduanya, mengenai tentang gagasan-gagasan dasar etika mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk, pelayanan publik itu mempunyai sebuah sasaran untuk membentuk perilalu dan pola fikir dari seseorang aparatur negara yang memahami tugas dan fungsi segai abdi dari masyarakat dan abdi negara sehingga mampu mencapai

Good Governance (Pemerintahan yang Baik) sebagai proses pencapai tujuan negara

yaitu bagaimana negara itu bisa maju dan sejahtera karena tugas utama dari pelayanan itu sendiri adalah menjalankan tugas umum pemerintahan dan tugas umum pembagunan untuk kesejahteraan masyarakat.

Dan apabila seorang pelayan itu sudah memgerjakan apa yang harus dia kerjakan dan tidak membawa kepentingan pribadi,kelompok, keluarga, pastinya pelayanannya akan berjalan dengan lancar, sekaligus negara akan menjadi maju dan tidak akan ketinggalan zaman serta masyarakatnya sendiri akan menilai baik kepada pelayanan tersebut dan merasa puas atas pelayanan yang diberikan kepadanya oleh karnanya seorang pelayan itu harus bisa memposisikan dirinya pada tempat dimanapun dia berada, dan memberi suri tauladan kepada masyarakat bagaimana untuk generasi selanjutnya akan menjadi lebih baik dan berkualitas.

Karyawan profesional adalah seorang karyawan yang digaji dan melaksanakan tugas sesuai juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan juknis (Petunjuk Teknis) yang dibebankan kepada dia. Sangat wajar jika dia mengerjakan tugas di luar Juklak dan Juknis dan meminta upah atas pekerjaannya tersebut. Karena profesional adalah terkait dengan pendapatan, tidak hanya terkait dengan keahlian. Oleh sebab itu, pelayanan professional berhubungan dengan kepercayaan klien terhadap profesi yang bersangkutan. Sebagai contoh pelayanan bantuan hukum oleh lawyer melibatkan kontrak kepercayaan antara kliennya dengan lawyer. Lawyer

mengetahui segala hal berkaitan dengan kliennya berdasarkan kepercayaan yang dibuat. Contoh yang lain di kesehatan adalah layanan pengobatan oleh medis. Dokter sebagai tenaga profesional akan mengelola pasien sejak masuk sampai dengan pulang atau meninggal dunia.

Lalu, bagaimana dengan pelayanan keperawatan? Perawat mengelola pasien berganti-ganti. Kapan pasien masuk atau pulang kadang-kadang tidak tahu sama sekali. Setiap menemukan masalah ditulis, didiangosis, dilakukan rencana tindakan, dilakukan tindakan, dilakukan evaluasi. Tetapi siapa yang bertanggungjawab terhadap semua itu. Bagaimana jika ada kesalahan mengidentifikasi data? Siapa yang mengoreksi? Berbekal perbandingan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pelayanan keperawatan yang seperti sekarang bukanlah pelayanan yang professional. Jika pelayanan belum professional maka jelas sekali tidak akan dapat dinilai tingkat profesionalitasnya. Efek dari ini adalah ketidakjelasan remunirasi bagi pelayanan profesional keperawatan itu sendiri. Ketidak profesionalan ini juga dapat diakibatkan oleh tidak adanya struktur yang menaunginya, atau yang mendukung bentuk pelayanan keperawatan profesional.

Mulai dari struktur organisasi atau tugas pokok dan fungsi yang mendukung. Setiap rumah sakit sebenarnya hanya membutuhkan 30-35 persen Ners dan Ners specialis akan dapat memberikan pelayanan keperawatan professional. Jumlah sisanya 65-70 % dapat diisi oleh perawat vokasional. Perawat yang profesional akan dapat mengelola asuhan keperawatan secara menyeluruh. Mulai asessment, diagnosis, rencana, tindakan, sampai evaluasi dilakukan oleh 1 orang perawat profesional. Tetapi dalam implementasinya perawat profesional dapat dibantu oleh perawat vokasional. Profesionalisme keperawatan bukan suatu mimpi, jika kita dapat mengubah system pelayanan keperawatan. Model-model praktik keperawatan profesional sudah banyak diterapkan dan diteliti. Pelatihan pelatihan sudah sudah sering dilakukan. Bahkan penelitian berkaitan dengan penerapan model tersebut juga sudah sering dilakukan dengan hasil yang baik.

Perawat yang kompeten sudah tersedia, model juga sudah ada, mengapa masih belum juga terwujud praktik keperawatan profesional. Kemauan kita sebagai manajer untuk memfasilitasi penerapan di rumah sakit sangat dibutuhkan. Profesionalisme pelayanan keperawatan seharusnya menjadi prioritas perubahan keperawatan saat ini. Tanpa ada struktur dan system yang mewadahi, semua inovasi keperawatan akan sulit terdokumentasi dengan baik dan menjadi evidence base untuk perkembangan keperawatan. Perjuangan struktur keperawatan dalam jajaran level strategis juga belum layak diperjuangkan dengan terlalu keras. Perjuangan jabatan struktural direktur keperawatan sebaiknya jangan terlalu dipaksakan jika sumber daya manusia yang akan mengisinya tidak tersedia. Hal ini akan menjadi blunder dalam perjuangan selanjutnya jika struktur ini tidak berfungsi dengan baik dan tidak memberikan kontribusi apapun bagi keperawatan.

Hal terbaik adalah meletakkan landasan yang kuat di level pelayanan langsung pasien. Pengaruh pada pasien harus jelas dirasakan agar pasien dapat membedakan pelayanan yang profesional dan yang tidak profesional sehingga akan tercapai kondisi ‘addicted’. Kondisi yang kita ciptakan akan menjadi kekuatan fundamental perkembangan keperawatan. Pondasi yang kokoh akan meningkatkan daya pantul untuk melakukan lompatan yang lebih tinggi. Lompatan kuantum yang kita harapkan akan segera terjadi. Profesionalisme keperawatan bukan menjadi pertanyaan lagi, tetapi sebuah jawaban terhadap tantangan kesehatan.

SINYALEMEN

terhadap ketidak berdayaan administrasi negara melalui birokrasinya dalam menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik sudah dirasakan sejak lama. Kondisi semacam ini dalam perdebatan administrasi negara sering disebut sebagai ‘krisis identitas’ yang mempertanyakan kecenderungan peran dan posisi administrasi negara sebagai ilmu ataukah sebagai praktik. Kesan semacam ini didukung oleh adanya fakta tumpang tindihnya antara posisi peran ilmu politik (ilmu pemerintahan) dan ilmu ekonomi (ilmu manajemen) dengan ilmu administrasi dalam praktik-praktik administrasi negara yang terkesan bersifat legal formal, spesifik, bernuansa budaya sentris, sampai dengan anggapan bahwa administrasi negara tidak memiliki persyaratan ilmiah dan teoritisasi yang sifatnya berlaku umum.

Oleh karena itu Robert Dahl (1947) menyarankan adanya studi perbandingan administrasi negara (atau studi perbandingan birokrasi) yang mampu melakukan terobosan, terutama dalam menjawab tantangan-tantangan pembangunan yakni masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial, terutama yang terjadi dinegara-negara berkembang dan dinegara-negara-dinegara-negara miskin. Produk dari pemikiran ini, kemudian berkembang dan melahirkan paradigma administrasi pembangunan (development administration paradigm) yang dibentuk oleh Ikatan Sarjana Administrasi Pembangunan Asia di Teheran (1966) yang bergerak dalam bidang penyempurnaan administrasi negara di wilayah timur.

BUDAYA PELAYANAN