• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil batimetri dapat memberikan informasi mengenai struktur dan asal pembentukan dasar laut karena dasar perairan sendiri dapat berupa pasir, lumpur, atau batuan. Profil batimetri merupakan informasi awal dalam pertimbangan kegiatan bawah laut seperti pemasangan kabel dan peletakan pipa bawah laut. Kemiringan dan unsur yang menyusun dasar perairan merupakan hal yang sangat dipertimbangkan dalam kegiatan tersebut. Jalur pipa dan kabel bawah laut ditentukan secara optimal dengan mengacu pada peta geologi dasar laut.

Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat unik karena perairan tersebut mendapatkan pengaruh dari dua perairan yang berbeda yaitu dari perairan Laut Jawa sebagai perairan dangkal dan dari perairan Samudra Hindia. Gambar 15 merupakan jalur atau track kapal survei batimetri yang dilakukan di lokasi penelitian oleh BPPT.

32

Gambar 15. Track kapal survei batimetri di lokasi penelitian

Profil batimetri perairan Selat Sunda mempunyai gradasi yang nyata, hal tersebut ditunjukkan dari hasil pemeruman kedalaman bervariasi antara 17,5 m sampai dengan 175 m. Perubahan kedalaman terjadi secara bergradasi mulai dari perairan Banten dan berangsur-angsur bertambah dalam menuju ke perairan Lampung.

Nilai keakuratan data yang diperoleh selama akuisisi dijaga agar selalu tinggi. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan peta batimetri yang akurat. Berdasarkan ketentuan IHO Tahun 2008, lokasi penelitian termasuk dalam orde dua dengan ketelitian horizontal sebesar 150 meter. Spasi lajur perum maksimum orde ini yaitu empat kali kedalaman rata-rata. Special Publication No. 44 (S.44)-IHO Tahun 1998 menjelaskan bahwa skala pemeruman menentukan resolusi dari

peta batimetri yang dihasilkan (Lampiran 3). Gambar 16 merupakan profil tiga dimensi batimetri lokasi penelitian.

Gambar 16. Profil 3 dimensi batimetri lokasi penelitian

E E E E 5052’ S 5054’ S 5056’ S 5058’ S 6000’ S 6002’ S E E E E 5052’ S 5054’ S 5056’ S 5058’ S 6000’ S 6002’ S

P. Sangiang

34

Gambar 16 menunjukkan profil batimetri Selat Sunda yang diperoleh dari hasil pemeruman, dimana pada gambar tersebut terlihat pola batimetri yang tidak rata. Hasil pemeruman menujukkan bahwa perairan ini termasuk dalam kategori perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata antara 35-52,5m. Kedalaman perairan yang terdeteksi menunjukkan adanya variasi kedalaman yang berbeda untuk setiap posisi lintang dan bujur, ada yang berupa paparan dan ada juga yang berupa slope.

Kedalaman tertinggi berada kordinat 5054’32,14” LS dan 105047’19,21” BT dengan nilai kedalaman antara 157,5-175,5 m. Posisi tersebut merupakan sebuah palung, yaitu dasarlaut yang dalam yang biasanya diakibatkan oleh menyusupnya lempeng samudera ke bawah lempeng benua. Jadi lokasi palung berada di

daerah-daerah tumbukan lempeng benua dan samudera. Kedalaman palung sangat berbeda dengan kedalaman di daerah sekitarnya. Selain itu juga palung terdapat pada kordinat 6000’58,12” LS dan 105051’46,38” BT. Palung pada kordinat ini terbentuk lebih lebar namun memiliki kedalaman yang berbeda, yakni lebih dangkal berkisar antara 140-157,5 m.

4.3. Klasifikasi Dasar Perairan

Sedimen laut merupakan akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan-pecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk melalui proses kimia yang terjadi di laut (Gross, 1999). Selat sunda mempunyai jenis sedimen yang beragam, menurut Helfinalis (2003) jenis sedimen di dasar perairan Selat Sunda terdiri atas clayey silt, sand, silty clay, clayey sand, silt, silty sand dan sandy silt.

Jenis sedimen clayey silt tersebar dari perairan barat Banten hingga ke sisi perairan timur Bakauhuni. Penyebaran tersebut sangat dipengaruhi oleh aktifitas arus yang melintasi perairan Selat Sunda.

Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dapat dilakukan dengan menggunakan nilai sebaran amplitudo, yaitu kuatnya intensitas sinyal suara yang diterima oleh receiver dalam bentuk energi listrik. Data amplitudo difilter dan diinterpolasi dengan menggunakan metode Gaussian Weighted Mean. Pemilihan metode tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo seluruh lokasi

pemeruman. Gaussian Weighted Mean melakukan pemfilteran terhadap data amplitudo dari setiap beam. Amplitudo pada metode ini merupakan fungsi eksponensial dari arah antar beam dan normal factor. Nilai amplitudo yang digunakan sebagai patokan dalam klasifikasi jenis sedimen dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti source level, frekuensi yang digunakan, sudut datang, jarak kolom air, kekerasan, kekasaran, ukuran butiran, densitas dan luas permukaan (Urick, 1983).

Berdasarkan data survei PPPGL terdapat 22 stasiun pengambilan data sampel coring dengan jenis sedimen yang teridentifikitasi yaitu silty sand, sandy silt, sand dan rocks (Lampiran 4). Setiap sampel coring memiliki data posisi atau kordinat, kordinat tersebut dioverlay terhadap nilai amplitudo yang dihasilkan dari hasil pemeruman. Setiap jenis sedimen akan mempunyai kisaran amplitudo, nilai inilah yang digunakan untuk klasifikasi dasar perairan. Kisaran nilai amplitudo dari setiap jenis sedimen dapat dilihat pada Gambar 17.

36

Gambar 17. Grafik sebaran nilai amplitudo berdasarkan data coring

Pengambilan data sampel coring dilakukan di sekitar jalur penelitian. Gambar 17 menunjukkan sebaran nilai ampltitudo dasar perairan yang diperoleh dari data pemeruman yang telah diekstrak dengan mencocokkan kordinat sampel coring. Berdasarkan hasil pencocokan tersebut diperoleh sebaran nilai amplitudo dengan nilai minimum sebesar 250 dan nilai maksimum sebesar 500. Kisaran nilai amplitudo tersebut didasarkan pada jenis sedimen yang ditemui dari hasil pengambilan sampel coring, dimana terdiri atas empat jenis sedimen yaitu, silty sand, sandy silt, sand dan rocks. Keempat jenis sedimen tersebut kemudian diplotkan kedalam peta klasifikasi dasar perairan.

Penelitian mengenai klasifikasi jenis sedimen dasar laut menggunakan nilai amplitudo dicocokkan dengan hasil pengambilan sampel coring telah dilakukan oleh Aritonang pada tahun 2010 di perairan Labuhan Maringgai (Lampung)-Bojonegara (Banten) menggunakan data multibeam Elac Seabeam 1050 D. Penelitian yang sama dilakukan oleh Gumbira pada tahun 2011 sebagai

pertimbangan dalam kegiatan peletakan pipa bawah laut di perairan Balongan, Indramayu. Hasil penelitian tersebut menujukkan sebaran sedimen di lokasi penelitain dengan kisaran ampltitudo tertentu yang bergantung pada jenis

sedimennya. Tabel 5 memperlihatkan kisaran ampltitudo dan jenis sedimen dari penelitian yang pernah dilakukan.

Tabel 5. Kisaran ampltitudo dan jenis sedimen di lokasi penelitian Peneliti Kisaran

Amplitudo

Jenis Sedimen Ukuran Butiran (mm) Aritonang (2010) 311-352 Silty clay 0,004-0,062 352-399 Clayey silt <0,004 399-428 Sandy silt 0,062-2 Gumbira (2011) 300-350 Silt 0,01-0,08 350-400 Silty clay 0,008-0,01 400-450 Clayey silt 0,001-0,01 Penelitian ini (2012) 250-297 Silty Sand 0,004-0,04 297-360 Sandy Silt 0,04-0,062 360-403 Sand 0,062-2 403-500 Rocks > 256

Dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan

menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut. Perbedaan nilai amplitudo yang didapatkan disebabkan kedalaman kolom perairan dan ukuran butiran sedimen yang berbeda (Urick, 1983). Nilai amplitudo yang berada di luar kisaran dianggap sebagai data yang tidak terdeteksi. Nilai amplitudo difilter sehingga hanya dihasilkan nilai amplitudo dari lokasi penelitian. Nilai inilah yang kemudian dianalisis lebih lanjut untuk melihat sebaran sedimen di lokasi penelitian. Gambar 18 merupakan perbedaan antara nilai ampltitudo yang belum difilter dan setelah difilter.

38

Gambar 18. Kisaran nilai amplitudo: (a) sebelum difilter, (b) setelah difilter

Gambar 18a merupakan kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian yang belum difilter. Pada gambar tersebut terdapat dua kisaran nilai amplitudo yang mempunyai selang sangat besar, pertama pada nilai amplitudo terendah yaitu pada selang -371,096 ke 267,273 dan kedua terdapat pada akhir selang yaitu dari 398,735 ke 1300,730. Nilai ini diindikasi berasal dari data yang tidak terdeteksi, sehingga untuk selanjutnya kisaran nilai ini tidak diperlukan. Kisaran nilai ampltitudo yang tidak diperlukan dibuang atau difilter melalui perangkat lunak MB System berbasis linux. Pemfilteran ini dilakukan secara manual dengan cara mengamati kisaran nilai amplitudo kemudian mengubah nilai dan selang

amplitudo yang benar-benar berasal dari lokasi penelitian. Setelah dilakukan pemfilteran kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian berada pada selang 250-500 (Gambar 18b), nilai inilah yang kemudian dipakai untuk melihat sebaran sedimen.

a b

Peta klasifikasi dasar perairan memperlihatkan sebaran jenis sedimen yang teramati secara spasial melalui pemeruman. Data hasil pemeruman yang diolah menjadi peta klasifikasi dasar perairan merupakan hasil olahan nilai amplitudo yang terdeteksi. Klasifikasi dasar perairan pada penelitian ini dimulai dari perairan di sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Kisaran nilai amplitudo dari 250-500 terdiri atas empat jenis sedimen, dimana setiap jenis sedimen mempunyai kisaran nilai amplitudo yang berbeda-beda.

Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat unik, hal demikian terlihat pada sebaran sedimen yang berbeda dengan perairan yang lain. Perairan Selat Sunda mendapatkan pengaruh dari dua perairan yang mempunyai karakter berbeda yaitu Laut Jawa dan Samudera Hindia. Laut Jawa relatif mempunyai aktifitas oseanografi yang lemah, berbeda dengan perairan Samudera Hindia yang mempunyai aktifitas oseanografi yang relatif lebih tinggi. Hal tersebut

berpengaruh terhadap sebaran sedimen di sekitar Pulau Sangiang, dimana pada sebelah barat pulau sangiang jenis sedimen didominasi oleh rocks dan di sebelah timur didominasi oleh sandy silt. Hal ini terjadi karena energi atau arus yang berasal dari perairan Samudera Hindia lebih besar dari arus Laut Jawa yang bergerak ke arah perairan Selat Sunda, sehingga partikel yang berukuran kecil akan terbawa oleh energi atau arus yang berasal dari perairan Samudera Hindia ke sebelah timur dan timur laut Pulau Sangiang. Gambar 19 merupakan peta

40

Gambar 19. Peta klasifikasi jenis sedimen dasar perairan di lokasi penelitian

Klasifikasi jenis sedimen dasar perairan yang terlihat pada gambar di atas sebagian besar ditutupi oleh jenis sedimen sandy silt dengan persen penutupan

Silty sand Sandy silt Sand Rocks

P. Sangiang

5052’ S 5054’ S 5056’ S 5058’ S 6000’ S 6002’ S 5052’ S 5054’ S 5056’ S 5058’ S 6000’ S 6002’ S E E E E E E E E

sebesar 49%. Kisaran nilai amplitudo jenis sedimen ini berada pada 297-360. Sandy silt di lokasi penelitian menyebar secara merata yaitu dari perairan di sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Helfinalis (2003) menyatakan bahwa endapan sedimen di perairan Ciwandan dan perairan Anyer didominasi oleh kerikil dan pasir. Jenis sedimen berikutnya yaitu silty sand dengan persen penutupan sebesar 18,22%. Jenis sedimen ini terfokus pada perairan Selatan Lampung yaitu pada kordinat 5052’-5056’ LS dan 105047’-105050’ BT. Selain itu silty sand juga berada di sebelah selatan Pulau Sangiang. Rocks atau batuan hanya berada di sebelah barat Pulau Sangiang dengan persen penutupan sebesar 11,69%. Jenis batuan dari hasil coring merupakan batuan yang berupa pecahan-pecahan karang. Jenis sedimen yang terakhir yaitu sand dengan persen penutupan sebesar 16,82% yang berada di sekitar pulau Sangiang dan sebagian kecil

menyebar di sepanjang jalur penelitian.

Pada peta klasifikasi dasar perairan terdapat spot-spot yang berwarna hitam, bagian ini merupakan bagian yang tidak teridentikasi atau bagian yang tidak termasuk ke dalam selang nilai amplitudo yang ada. Nilai amplitudo yang lebih besar dari 500 diartikan bahwa jenis sedimen yang tidak teridentifikasi lebih keras dari jenis sedimen rocks sedangkan nilai amplitudo yang lebih kecil dari 250 diartikan bahwa jenis sedimen lebih lunak dari silty sand. Dengan demikian nilai amplitudo yang lebih besar dari 500 dan lebih kecil dari 250 dikatakan sebagai kelas yang tidak teridentifikasi. Jenis sedimen yang tidak teridentifikasi memiliki persen penutupan sebesar 4,27%. Gambar 20 merupakan presentasi sebaran sedimen di lokasi penelitian.

42

Gambar 20. Persentase sebaran sedimen di lokasi penelitian

Sedimen di laut tersusun oleh 4 komponen pokok yang diklasifikasikan berdasarkan asal-usulnya, yaitu sebagai sedimen terigenik (dari daratan dan lingkungan vulkanik), biogenik (dari aktifitas organisme), halmirogenik (dari reaksi inorgenik) dan kosmogenik (dari luar angkasa). Menurut Rubiman (2003), sedimen di perairan Selat Sunda tersusun dari endapan biogenik, terigenik dan halmirogenik. Jenis sedimen pada penelitian ini umumnya didominasi oleh jenis sedimen golongan biogenik yaitu jenis sedimen yang berasal dari organisme laut yang telah mati terdiri atas remah-remah tulang, gigi-geligi dan cangkang-cangkang tanaman maupun hewan mikro. Hasil coring menunjukkan jenis sedimen pada lokasi penelitian berasal dari cangkang-cangkang organisme dan batuan berasal dari pecahan karang (Lampiran 5).

4.4. Ketentuan Pembangunan Jembatan

Penelitian ini mengkaji pra-studi pembangunan jembatan Selat Sunda hanya pada dua parameter dari paket I yaitu profil batimetri dan pasang surut. Profil batimetri di perairan Selat Sunda sangat bervariasi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya kedalamannya bergradasi mulai dari perairan Banten yang berangsur-angsur bertambah dalam menuju ke perairan Lampung. Berdasarkan hasil pemeruman yang telah dilakukan kedalaman berkisar antara 17,5-175 m. Perairan Selat Sunda yang merupakan penghubung Pulau Sumatera dan Pulau Jawa memiliki kondisi batimetri yang sangat bervariasi. Pada umumnya perairan sebelah timur bagian utara Selat Sunda cukup dangkal dengan kedalaman rata-rata berkisar antara 20 hingga 80 m, sedangkan untuk perairan sebelah barat bagian selatan Selat Sunda pada umumnya masih terpengaruh oleh kedalaman dari Samudera Hindia yaitu kedalamannya lebih dari 100 m. Informasi kedalaman ini merupakan informasi awal yang sangat penting untuk melihat dimana lokasi peletakan tiang beton yang cocok agar dapat menopang beban dalam jangka waktu yang sangat lama. Gambar 21 merupakan rencana peletakan tiang beton dan jembatan gantung ultra panjang pada jembatan Selat Sunda.

44

Sumber: Wiratman, 2008

Gambar 21. Rencana peletakan tiang beton dan jembatan gantung ultra panjang pada jembatan Selat Sunda

Berdasarkan hasil penelitian ini rencana peletakan tiang tersebut bisa dikatakan sesuai, dengan melihat kedalaman pada lokasi satu (Gambar 21). Lokasi tersebut mempunyai kedalaman berkisar 17-35 m, dimana pada lokasi tersebut terdapat punggungan laut. Menurut Usman et al., 2004 menyatakan bahwa punggungan laut dapat berfungsi sebagai tempat peletakan tiang pondasi di laut. Namun untuk mengetahui kekuatan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seperti dikorelasikan dengan data seismik. Hal yang sama terlihat pada lokasi 2,

J JeemmbbaattaannBBeettoonn J JeemmbbaattaannGGaannttuunnggUUllttrraa--PPaannjjaanngg 1 2 3 4 5 6 7

adanya punggungan laut yang lebih besar daripada wilayah 1. Pemasangan tiang berikutnya akan dilakukan di daratan Pulau Sangiang, dimana pada daerah ini tidak dilakukan pengamatan. Peletakan tiang pada Pulau Sangiang perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai struktur tanah pada pulau tersebut. Lokasi 4 dan 5 tidak dapat ditentukan kesesuaian peletakan tiang, hal ini

dikarenakan tidak adanya data kedalaman pada wilayah tersebut. Lokasi 6 dan 7 berada di luar lokasi penelitian. Gambar 22 merupakan rencana peletakan tiang beton yang diplotkan terhadap batimetri lokasi penelitian.

Gambar 22. Lokasi peletakan tiang beton pada jembatan Selat Sunda

1 5 4 3 2

P. Sangiang

46

Ketinggian tiang peyangga juga harus diperhatikan karena antara Pulau Prajurit dan Pulau Sangiang merupakan jalur Alur Layar Kepulauan Indonesia (ALKI), sehingga adanya jembatan Selat Sunda diharapkan tidak akan

mengganggu aktifitas pelayaran pada perairan tersebut.

Selain kedalaman perairain peletakan tiang juga memperhatikan jenis sedimen pada wilayah yang akan dijadikan tempat penempatan tiang. Lokasi 1 dan 2 memiliki jenis sedimen sandy silt, jenis sedimen ini merupakan jenis sedimen yang mempunyai gaya gesek yang tinggi. Menurut Usman et al, (2004) jenis tiang yang digunakan adalah tiang tahanan lekatan antara tiang dengan tanah (Friction piles) yaitu bila tiang dipancangkan pada tanah dengan nilai kuat gesek tinggi (jenis tanah pasir), maka beban yang diterima oleh tiang akan ditahan berdasarkan gesekan antara tiang dan tanah di sekeliling tiang.

Pasang surut dilokasi penelitian merupakan tipe pasang surut campuran yaitu memungkinkan dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi dan periode yang berbeda. Tipe pasang surut pada lokasi penelitian menunjukkan range yang tidak begitu besar antara kondisi pasang dan pada saat surut. Siswanto (2010) menyatakan bahwa tipe pasang surut ini

mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap sebaran dan distribusi sedimen permukaan dasar laut. Hal tersebut dirasa cocok apabila pada perairan ini akan dibangun jembatan karena aktifitas gerusan sedimen yang relatif kecil. Namun untuk lebih memastikan perlu dilakukan pengamatan lebih serius terhadap arus, baik arus permukaan maupun arus dalam.

47

Dokumen terkait