• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL PENERJEMAHAN AL QURAN METODE

Dalam dokumen Penerjemahan al-Quran metode granada (Halaman 13-72)

Granada, Dasar Penyusunan Metode Granada, dan Tujuan Granada, serta Biografi Solihin Bunyamin Ahmad.

BAB IV : Aplikasi Metode Granada dalam Menerjemahkan al Quran. Meliputi Proses belajar mengajar, Aplikasi Metode Granada dalam menerjemahkan Al Quran, faktor pendukung dan penghambat, serta kelebihan dan kekurangan metode Granada dalam proses penerjemahan.

BAB II

TEORI TERJEMAH DAN

METODE PENERJEMAHAN AL QURAN

A. Teori Terjemah 1. Pengertian Terjemah

Terjemahan didefinisikan secara beragam rupa dengan sepenuhnya bergantung pada pandangan yang diemban oleh sang pemberi definisi. Orang mungkin memberi definisi berdasarkan pada pengalihan bentuk-bentuk dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, mungkin pula orang memberi definisi dengan menekankan terjemahan sebagai pengalihan arti dan pesan dari suatu bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa), atau bahkan berdasarkan pada pandangan yang mengusung terjemahan sebagai suatu proses transfer budaya. Berikut merupakan petikan beberapa pendapat ahli bahasa tentang definisi terjemahan yang kerap menjadi rujukan para pelaku dan pemerhati terjemahan.

Catford (1995:20), dalam bukunya A Linguistic Theory of Translation,

mendefinisikan terjemahan sebagai pengalihan wacana dalam bahasa sumber (BSu) dengan wacana padanannya dalam bahasa sasaran (BSa). Disini, Catford menekankan bahwa wacana alihan haruslah sepadan dengan wacana aslinya. Karena padanan merupakan kata kunci dalam proses terjemahan, dengan sendirinya pesan dalam wacana alihan akan sebanding dengan pesan pada wacana asli. Sebaliknya, jika wacana alihan dan wacan asli tidak sepadan, wacana alihan tidaklah dianggap sebagai suatu terjemahan.

Berbeda dari Catford, Levy menekankan bahwa terjemahan merupakan suatau keterampilan dimana identitas penerjemah dapat direfleksikan dalam

bentuk opininya. Levy dalam bukunya Translation as A Decision Process (dikutip dalam Holidaja, 1993:49) mengemukakan bahwa terjemahan adalah suatu proses kreatif yang selalu memberi kebebabasan atau pilihan pada penerjemah bertali beberapa kemungkinan kesepadanan terdekat dalam membuahkan makna situasional. Lebih lanjut Levy mengatakan sebagai suatu proses kreatif. Terjemahan memberi peluang kepada penerjemah dalam bentuk kebebasan atau otonomi untuk menemukan kesepadanan yang persis menurut konteks situasi. Dengan otonomi ini, seorang penerjemah memiliki peluang yang besar dan signifikan dalam mengembangkan keterampilan dan kebiasaannya. Dia bebas untuk berkreasi menginterpretasikan apa yang telah dituliskan oleh penulis asli selama tidak keluar dari konteks.

Sejalan dengan paparan Levy, Larson (1984:3), dalam bukunya Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Aquivalence, mendefinisikan terjemahan sebagai suatu perubahan dari bentuk BSu kedalam BSa dimana makna harus dijaga untuk tetap sama. Dia memaparkan bahwa terjemahan terdiri atas penelusuran leksikon, struktur gramatial, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari BSu, menganalisanya untuk menentukan makna dan kemudian merekonstruksi makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang wajar dalam BSa. Dengan kata lain, Larson mengisyaratkan bahwa terjemahan merupakan pengalihan makna dari BSu ke dalam BSa, makna

tersebut dialihkan ke dalam BSa melalui struktur semantik dan ia harus dipertahankan walaupun bentuknya berubah. 3

Dalam buku yang ditulis oleh J. C. Catford, terbit tahun 1965 pada Oxford University Press, berjudul A linguistic Theory of Translation. Catford mendefinisikan penerjemahan sebagai “the replacement of textual material in another langauage (the sourch language SL), yang diartikan sebagai ‘penggantian bahan kenaskahan dalam satu bahasa (bahasa sumber) dengan padanan bahan kenaskahan dalam satu bahasa lain (bahasa sasaran)’.”4

Newmark (1988:5) dalam bukunya A Teks Book of Translation

memandang terjemahan adalah mengungkapkan makna suatu wacana ke dalam bahasa lain seperti wacana yang dimaksudkan oleh penulisnya.

Bislin (1976) seperti dikutip suryawinata 1989 menunjuk bahwa terjemahan adalah pengalihan pikiran dan ide dari BSa ke dalam BSu, baik itu bahasa lisan maupun tulisan, baik bahasa itu sudah memiliki otobiografi (sistem tulis) ataupun belum, baik itu bahasa isyarat untuk orang-orang tuli ataupun bukan.5

Dalam buku Menjadi Penerjemah yang ditulis oleh Ibnu Burdah, dia mendefinisikan terjemahan sebagai suatu usaha memindahkan pesan dari teks barbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia

3

O. Setaiwan Djuharie, Teknik dan Panduan Menerjemahkan Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia, Bandung: Yrama Widya, 2005, h. 20, cet 2.

4

A.Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, Yogyakarta: Kanisius, 1989

5

(bahasa sasaran). Definisi sederhana tersebut memuat unsur-unsur utama dalam penerjemahan, yaitu:6

a. Bahasa Sumber atau

Seorang penerjemah harus mampu bernalar dan memiliki (yang barangkali dapat diistilahkan dengan sebutan) wawasan teknik yang memungkinkannya mengikuti setiap penalaran yang terdapat dalam teks yang harus diterjemahkan, dan memungkinkannya bernalar bagi dirinya sendiri tentang berbagai masalah yang harus dijumpainya dalam menerjemahkan. Tanpa kemampuan itu ia akan tersesat karena tidak mungkin menerjemahkan sesuatu dengan layak tanpa memahaminya. Kekurangmampuan itu mungkin disebabkan oleh keseganan untuk berusaha berpikir sebagaimana yang dituntut kepadanya.

Kesalahan penerjemah merupakan kesalahan yang serius, jika hasil terjemahan melenceng dari apa yang ingin disampaikan teks aslinya. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh kecerobohan, kelalaian atau pemaksaan diri penerjemah untuk melakukan hal diluar kemampuannya. Kesalahan-kesalahan saperti ini sebenarnya masih dapat dihindari, jika penerjemah mengetahui betul apa yang dikehendaki oleh teks asli, ataupun ia menolak pekerjaan yang diluar kemampuannya.

b. Bahasa Sasaran atau

Bahasa Indonesia adalah salah satu tabi’ yang menyerap banyak sekali kosa kata dalam peristilahan bahasa Arab. Proses ini berjalan beriringan dengan proses Islamisasi dan hubungan yang intensif antara Indonesia dan Timur Tengah

6

(Arab). Perjumpaan keduanya bukan dalam posisi yang seimbang, tatapi sebaliknya, salah satu pihak (bahasa Arab) mendominasi atau mempengaruhi pihak lain (bahasa Indonesia).

Latar historis tersebut sesungguhnya merupakan iklim yang sangat menguntungkan bagi dunia penerjemahan Arab–Indonesia. Sebagai akibat dari melimpahnya kata-kata Arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia, banyak sekali ditemukan kesamaan kosa kata di antara kedua bahasa tersebut.

Di sisi lain kondisi ini kadang-kadang justru ‘menjebak’ penerjemah. Sebab adanya kesamaan istilah tidak otomatis menunjukan adanya kesamaan makna dan persepsi dari masing-masing penuntutnya.

Contoh : kata yang biasa diartikan sabar.

Apabila tidak jeli dan waspada terhadap bahasa serapan semacam ini, penerjemah akan mudah menggunakan kata tersebut dalam terjemahannya. Padahal, oleh penutur masing-masing bahasa pemaknaan kedua kata tersebut dipersepsikan sangat berbeda. Dalam bahasa Arab, makna dari kata sabar lebih dominan kepada ‘aktivitas’. Misalnya sabar dalam melakukan tugas berat, sabar dalam berjuang, dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, makna dari kata sabar lebih bersifat ‘pasif’, seperti sabar menerima musibah, sabar menerima penderitraan, dan sebagainya. Kata Arab sabar dalam banyak kasus sesungguhnya akan lebih tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “teguh, tegar, atau gigih”, ketimbang diterjemahkan sebagai kata ‘sabar’ itu sendiri.

Hal lain yang lebih menarik adalah adanya perkembangan terahir sejak peradaban Barat menggeser peradaban Islam, dan muncul sebagai peradaban

major dunia. Kekuatan Barat pun kemudian menjadi super power. Perubahan konteks peradaban ini membawa perubahan signifikan dalam peta relasi linguistik dunia. Barat menjadi ‘imam dan guru’, sementara yang lain (termasuk Arab dan Indonesia) menjadi tabi’ (pengikut). Bahasa Arab dan bahasa Indonesia berada pada posisi yang kurang lebih sama, sebagai tabi’ dari bahasa-bahasa lain, yaitu bahasa-bahasa Barat, terutama bahasa Inggris. Implikasi linguistik dari keadaaan ini adalah, bahasa Indonesia tidak secara dominan berkiblat dan menyerap bahasa Arab semata, akan tetapi beralih kepada bahasa Inggris. Bahkan bahasa Arab sendiri juga berkiblat dan menyerap banyak istilah dan pengaruh dari bahasa Inggris.

2. Jenis - Jenis Terjemahan

Istilah metode berasal dari bahasa Inggris yaitu method7. Dalam

Macquarie Dictionary (1982), metode didefinisikan sebagi:

“Way of doing something, especially in accordence with a definitc plan” atau metode adalah suatu cara untuk melakukan sesuatu, terutama yang berkaitan dengan rencana (tertentu).8

Ada beberapa metode dan jenis terjemahan yang diterapkan dalam praktik menerjemahkan. Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor:

1. Adanya perbedaan beberapa sistem antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran.

2. Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan.

7

Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo,2000), h.23

8

3. Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi. 4. Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks.

Dalam proses menerjemahkan yang sesungguhnya, keempat faktor tersebut tidak selalu berdiri sendiri, dalam artian bahwa ada kemungkinan seorang penerjemah menetapkan dua atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam proses penerjemahan sebuah teks.9

Pada umumnya terjemahan terbagi atas dua bagian besar: terjemahan harfiah (literal translation) dan terjemahan yang tidak harfiah atau bebas (non-literal translation dan free translation). Pembagian terjemahan juga dapat dibuat berdasarkan definisi yang digunakan Larson (1984), misalnya, membagi terjemahan menjadi terjemahan yang berdasarkan makna (maning-based translation) dan terjemahan yang berdasarkan bentuk (form-based translation). Yang harfiah adalah terjemahan yang berdasarkan atau mengutamakan bentuk menurut Larson dan yang bebas dapat disepadankan dengan terjemahan berdasarkan makna atau yang mementingkan makna. Nidan dan Taber (1969) membagi terjemahan ke dalam terjemahan yang harfiah dan yang dinamis.10

Kurang lebih ada delapan metode penerjemahan yang sering digunakan dalam proses penerjemahan, masing-masing metode memiliki kekurangan dan kelebihan, sehingga penggunaan metode tersebut harus disesuaikan dengan

9

M. Rudolf, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1949) cet. Ke-1, h. 29

10

Maurits D.S. Simatupang, Pengantar Teori Terjemah, (Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional: Universitas Indonesia 1999/2000) h.39

kepentingan dan praktik penerjemahan yang akan dilakukan. Kedelapan metode tersebut adalah:

1. Penerjemahan Kata demi Kata

Proses penerjemahan dalam metode ini biasanya kata-kata Teks Sasaran langsung diletakkan di bawah versi teks sumber. Secara umum metode ini dipergunakan sebagai tahapan pra-penerjemahan dalam menerjemahkan teks yang sukar dipahami mekanisme Bahasa Sumbernya. Dalam proses penerjemahan metode ini dapat terjadi pada tahap analisis atau tahap awal pengalihan. Namun metode penerjemahan semacam ini mempunyai kegunaan atau tujuan khusus, dan di Indonesia metode ini tidak lazim digunakan.

Contoh:

ﻡ ! " # $% & ' (ی

Artinya: Di mana kitab yang membelinya Ahmad kemarin?11

2. Penerjemahan Harfiah

Metode penerjemahan harfiah ini biasa disebut sebagai penerjemahan

Faithful Translation.12 Hal ini didasarkan pada konsepsi bahwa penerjemahan hendaknya berlaku setia atau sejalan dengan naskah aslinya. Metode ini dapat digunakan untuk membantu penerjemah melihat masalah yang harus diatasi.

11

Rofi’i, Dalil fi al-Tarjamah; Bimbingan Tarjamah Arab-Indonesia (Jakarta: Persada Kemala, tt), h. 2

12

Nurachman Hanafi, Teori Dan Seni Menerjemahkan, (Ende: Nusa Indah, 1986), h. 23 cet 1

13

Contoh:

*+ ,- . $ /ی

Artinya: Membeli pedagang hasil pertanian13 3. Penerjemahan Setia

dalam metode ini penerjemahan dilakukan dengan mencoba memproduksi makna kontekstual Teks Sumber (Tsu) dengan masih dibatasi struktur gramatikalnya. Penerjemahan ini sangat berpegang teguh pada maksud dan tujuan Teks Sumber (Tsu), sehingga hasil terjemahan dengan menggunakan metode ini akan terlihat kaku dan seringkali terlihat asing. Metode ini dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk membantu penerjemah dalam proses awal pengalihan.

Contoh:

000

1'ﻥ ی 3' ﻡ (ی% 1'ﻥ%4 5

000

Artinya: Agar dia memohon izin kamu yang telah memiliki dia tangan-tangan kananmu.14

4. Penerjemahan Semantis

Berbeda dengan penerjemahan setia yang kaku dan tidak kenal kompromi dengan kaidah Teks Sasaran (Tsa), penerjemhan semantis lebih fleksibel dan harus mempertimbangkan unsur estetika teks

14

Bahasa Sumber (Bsu) dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang hanya sedikit bermuatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang fungsional.

Contoh:

ی (ﻡ6

7 ی ﺏ 9' :

5 ;<=ﺱ ? @

Artinya: Barangsiapa mengambil kekufuran sebagai pengganti keimanan, ia tersesat dari jalan yang benar (QS. Al-Baqarah: 108).15

5. Adaptasi (termasuk saduran)

Adaptasi merupakan metode yang paling bebas dan paling dekat dengan Bsu. Istilah “saduran” dapat dimasukkan di sini asalkan penyadurannya tidak mengorbankan hal-hal penting dalam Bsu. Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi yang mempertahankan tema, karakter, atau alur. Tetapi dalam penerjemahan, terjadi peralihan budaya budaya Bsu ke budaya Bsa, dan teks asli ditulis kembali serta diadaptasikan ke dalam Bsa.

Contoh:

ﻥ* ﺏ ﻥ* ﻥ !

Artinya: mumpung padhang rembulane16 6. Penerjemahan Bebas

15

Moh. Mansyur dan Kustiawan, Pedoman bagi Penerjemah Arab-Indonesia, Indonesia-Arab, (Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002), h. 112

16

Metode ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks Bsu. Biasanya, metode ini berbentuk sebuah parafrase yang dapat lebih panjang atau lebih pendek dari aslinya. Metode ini sering digunakan di kalangan media massa. Metode ini mempunyai kegunaan yang sangat khusus. Seorang penerjemah harus berhati-hati dalam memilih metode ini sebagai metode penerjemahannya serta memikirkan kapan dan apa tujuan penerjemahannya.

Contoh:

Aی 6 ﺏ B C * ( Aی D E@ / ی ﻡ F

G*6 H ﺏ

D C * (

Artinya: Isi di luar tanggung jawab percetakan.17

7. Penerjemahan Idiomatik

Metode ini bertujuan memproduksi pesan dalam teks Bsu, tetapi sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna.

I6 ی I . :

Artinya: Harta haram tidak akan bertahan lama.18

8. Penerjemahan Komunikatif

17

Moh. Mansyur, Pedoman, h. 112

18

Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dipahami oleh pembaca. Oleh karena itu, versi TSa-nyapun langsung bisa diterima. Metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Contoh:

( ﺱ J K @ L6M , ﻡ

Artinya: Suami Fatimah meninggal dunia dua jam yang lalu.19

3. Proses Penerjemahan

Proses terjemahan (das Ubersetzen, The translating), seperti yang dikatakan ilmuwan bahasa dari Jerman, G Jagger (11:1994) adalah transformasi teks dari satu bahasa ke teks bahasa lain tanpa mengubah isi teks asli. Jadi terjemahan adalah jenis transformasi antarbahasa yang berbeda dengan jenis transformasi intrabahasa, yakni transformasi yang terjadi di dalam bahasa itu sendiri.20

Secara skematis proses penerjemahan dapat digambarkan sebagai berikut:21

19

Moh. Mansyur, Pedoman, h. 47

20

Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan, (Bekasi: Kesaint Blanc, 2006), Cet I, h. 9

21

Zuchridin Suryawinata, Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), h. 14

Teks Bsu

evaluasi dan revisi proses batin transfer padanan Pesan dlm Bsu Pesan dlm Bsa Teks Bsa analisis pemahaman restrukturisasi

Dengan demikian, proses penerjemahan dapat diterangkan dengan lebih jelas yaitu melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap analisis dan pemahaman: struktur lahiriah dan pesan dalam Bsu dianalisis menurut hubungan gramatikal, makna atau kombinasi kata-kata, serta makna tekstual dan makna kontekstual. Ini merupakan proses transformasi balik (back transformation).

2. Tahap transfer: materi yang sudah dianalisis dan dipahami maknanya diolah oleh penerjemah dalam pikiran (batin) dari Bsu ke dalam Bsa. Hal ini masih merupakan proses batin.

3. Setelah diperoleh padanan makna dalam Bsa, maka penerjemah mencari padanan kata, ungkapan, atau kalimat yang tepat dalam Bsa. Pada tahap ini, penerjemah perlu menstrukturkan kembali yang sesuai dengan kaidah-kaidah Bsa.

4. Pada tahap terakhir, telah diperoleh padanan yang paling cocok. Di dalam penerjemahan teks yang sederhana proses seperti digambarkan di atas terjadi dengan sederhana dan cepat. Tetapi, di dalam penerjemahan teks yang kompleks ataupun penerjemahan ungkapan atau istilah yang sukar dicari padanannya, proses tersebut dapat berlangsung berkali-kali dengan disertai pertimbangan dan revisi, hingga diperoleh padanan yang paling tepat.

Dalam proses trasformasi terjemahan, kita selalu berhadapan dengan dua teks (teks bahasa asli dan teks bahasa terjemahan). Setiap satuan bahasa dalam setiap bahasa mengandung dua sisi/tingkat (level): tingkat pengungkapan (level of epression) dan tingkat isi (level of content).

B. Metode Penerjemahan Al Quran

Ada beberapa metode terjemahan Al Quran yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat, di antara metode-metode tersebut adalah:

1. Metode Penerjemahan Al Quran Sistem 100 kali pandai

Metode terjeman Al Quran ini mulai diterapkan dalam upaya penerjemahan Al Quran sejak tahun 1973. metode ini pertama kali ditemukan oleh Syeh. H. Datuk Tombak Alam. Menurut metode ini, ada empat tahapan dalam penerjemahan Al Quran, yaitu:

a. Menerjemahkan secara harfiah dan menurut langgam susunan bahasa Arabnya, yang tentunya berbeda dengan susunan bahasa Indonesia. b. Menerjemahkan Al Quran dengan susunan bahasa Indonesia yang baik

dengan menambah kata-kata yang tidak ada bahasa Arabnya.

c. Membuang beberapa kata yang ada dalam Al Quran dalam terjemahan. d. Menggeser atau menyusun kalimatnya dalam terjemah, untuk dapat

menghasilkan bahasa Indonesia yang baik dan benar.22

22

Datuk Tombak Alam, Metode Menerjemahkan Al-Qur’anul Hakim 100 kali Pandai,

2. Metode penerjemahan Al Quran Sistem 40 jam

Mengapa harus Sistem 40 Jam? Hal ini disebabkan karena sistem ini diharapkan masyarakat bisa menguasai suatu kajian materi tertentu dalam setiap jenjang yang dapat dijangkau dalam durasi waktu 40 jam. Sebagaimana materi-materi kajian yang lain. Kajian terjemah ini dapat pula diberikan dua kali dalam setiap minggu, dan durasi waktu masing-masing 90 menit, berarti setiap minggu 3 jam, dengan demikian setiap bulannya 12 jam. Jadi dalam waktu 3 (tiga) bulan 12 x 3 jam = 36 jam, kemudian ditambah 4 jam lain sebagai langkah untuk mengadakan evaluasi secara umum.23

Dengan demikian, satu paket yang bermuatan 1 (satu) juz Al Quran, misalkan juz I kurang lebih terdiri dari 3.624 kosa kata, setelah dibagi ayat per ayat dalam setiap kali tatap muka, akan dapat direalisasikan dalam waktu 40 jam itu, ditambah dengan diadakan evaluasi di akhir setiap tatap muka, yang bukan saja berfungsi untuk memantapkan materi kajian yang diterima, tetapi juga bisa menimbulkan motivasi untuk berkompetisi antar peserta itu sendiri.

3. Metode Penerjemahan Granada Sistem 4 langkah

Metode granada ditemukan oleh Solihin Bunyamin Ahmad, Lc melalui pengalaman mengajar yang cukup lama dan semangat untuk bisa mencetak peserta didiknya menjadi pandai lebih cepat dibanding waktu yang dihabiskan untuk belajar menggunakan metode lain. Ketika seorang santri mengeluh akan

23

Pendidikan dan Pelatihan Program Terjemahan al-Quran Sistem 40 Jam, (Jakarta: Tim Penyelenggara Pelatihan Terjemah Al Quran Sistem 40 Jam TPPTQ Masjid Istiqlal),2001, h.1

susahnya mempelajari Bahasa Arab, dia mengatakan bahwa itu merupakan hal yang mudah. Padahal saat itu dia masih merasa kesulitan mengenal perubahan kata dan kedudukan kata dalam Bahasa Arab. Dengan hidayah Allah dia memaparkan beberapa poin untuk meyakinkan santrinya bahwa Bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa yang paling mudah dipelajari24. Di antara poin itu adalah:

1. Komponen dalam Bahasa Arab hanya ada tiga, yaitu kata benda, kata kerja, dan huruf bermakna.

2. Ciri-ciri kata benda secara garis besar hanya ada tiga, yaitua: diawali

:

(al) ada tanwin dan diawali oleh huruf I (mim). Adapun kata yang menunjukkan nama orang, binatang, kota, alam lain, atau nama pekerjaan itu pasti kata benda.

3. Kata kerja terbagi menjadi tiga, yaitu: a. Kata Kerja Bentuk Lampau (KKBL)

b. Kata Kerja bentuk Sedang, Akan, atau Kebiasaan (KKBSAK) c. Kata Kerja Bentuk Perintah (KKBP)

4. Huruf bermakna adalah huruf yang memiliki makna, ciri-cirinya adalah jika ia bukan kata kerja dan juga bukan kata benda tetapi memiliki makna, maka ia adalah huruf, seperti artinya apakah. Dia juga mencoba meyakinkan santrinya bahwa dengan seizin Allah, dalam waktu singkat, mereka akan bisa menerjemah secara harfiyah. Mereka juga

24

Solihin Bunyamin Ahmad Lc, Panduan Belajar & Mengajar Metode Granada Sistem 4 Langkah, (Jakarta: Granada Investa Islami, 2003), cet ke-4. h.1

akan bisa menerjemah secara maknawiyah dengan latihan yang serius dan istiqamah. Selain itu, dia juga menganjurkan agar santrinya mendalami Bahasa Arab di lembaga-lembaga Bahasa Arab terdekat, karena metode Granada bukanlah metode yang sempurna. Metode Granada hanya bisa digunakan untuk menerjemah teks-teks Arab yang berharakat. Sedang dengan mempelajari Bahasa Arab di lembaga-lembaga Bahasa Arab mereka akan dididik untuk dapat bercakap-cakap bahkan membaca literatur dan menulis dengan Bahasa Arab yang tak berharakat.

BAB III

PROFIL PENERJEMAHAN AL QURAN METODE GRANADA

DAN BIOGRAFI SOLIHIN BUNYAMIN AHMAD

A. Profil Penerjemahan al Quran Metode Granada 1. Sejarah Penemuan Metode Granada

Metode Granada tentu bukan sebuah metode yang ditemukan Solihin dalam waktu yang singkat. Ada latar belakang yang tidak bisa ditepis Solihin sebagai sejarah panjang penemuan Metode Granada ini.

Awal ceritanya mungkin bisa diruntut sewaktu dia di kelas 4 SD, saat itu dia membaca sebuah buku berjudul Pandai Merangkum Pelajaran. Dari situlah dia mulai berlatih bagaimana buku pelajaran sekolah dapat dirangkum. Pada akhirnya, sembilan mata pelajaran untuk empat bulan berhasil dia rangkum dalam waktu dua bulan.

Dari ringkasan-ringkasan tersebut menjadi sumber inspirasi atau pola pikir bahwa segala sesuatu dapat diringkas. Bahkan dalam menghapal al Quran pun dia menggunakan cara meringkas, yaitu dengan cara menulis ayat pertama dari setiap halaman sehingga dia dapat mengingat setiap halaman.25

Tetapi pola pikir itu belum sepenuhnya menjadi cetusan awal kelahiran Metode Granada, justru pemicunya terjadi sekitar tahun 1998, setelah dia bertahun-tahun mengajar bahasa Arab di sejumlah instansi dan majlis taklim, namun peserta didiknya ada yang mengaluh akan susahnya mempelajari bahasa Arab.26

25

Solihin Bunyamin Ahmad Lc, Wawancara Pribadi, Jakarta 28 Februari 2008

26 Ibid.

Keluhan peserta didiknya kemudian membawanya untuk bekerja dan berpikir keras untuk mengelompokkan semua perubahan kata. Kerja kerasnya itu akhirnya mendapatkan jalan terang dari Allah sewaktu dia duduk di angkot

Dalam dokumen Penerjemahan al-Quran metode granada (Halaman 13-72)

Dokumen terkait