• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan peternak responden di Kabupaten HSS, HST dan HSU, diperoleh informasi tentang profil peternak itik Alabio (Lampiran 4). Identitas peternak responden dari ketiga kabupaten

memiliki rataan umur masih dalam kisaran kelompok usia produktif

(

42.33

tahun±2.12

),

dengan pengalaman beternak cukup lama (20.85 tahun±3.10

),

sehingga

memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas usaha beternak itik Alabio yang lebih baik. Pengalaman beternak yang diperoleh dari penelitian ini, lebih tinggi dari yang dikemukakan Biyatmoko (2005), yaitu rataan pengalaman beternak itik Alabio di daerah Hulu Sungai, Kalimantan Selatan sekitar 9.69 tahun, sementara Rohaeni (1997) melaporkan bahwa pengalaman beternak itik Alabio di Kalimantan Selatan umumnya lebih lama dibanding Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, masing-masing 3.92 tahun dan 3.18 tahun. Tingkat pendidikan responden umumnya masih rendah, yaitu SD (91.66%±5.33), walaupun ada yang berpendidikan SMA, tetapi persentasenya lebih kecil

(

8.33%±1.63). Pekerjaan utama responden adalah beternak itik (58.33%±2.05)

dan berkebun di sawah/ladang (41.66%±1.54), dengan tujuan utama pemeliharaan itik untuk menghasilkan telur konsumsi lebih dominan

(

90.0%±5.66) dan telur tetas (10.0%±1.00). Hal ini sesuai dengan laporan

Setioko & Istiana (1999) bahwa tujuan utama pemeliharaan itik Alabio di Kalimantan Selatan adalah untuk menghasilkan telur konsumsi, dan sebagian kecil peternak merupakan penghasil telur tetas.

Kepemilikan ternak itik Alabio di Kabupaten HST lebih tinggi bila dibandingkan HSS dan HSU. Rataan kepemilikan di HSS (395 ekor betina), HST (737 ekor betina) dan HSU (495 ekor betina). Berdasarkan jumlah rataan kepemilikan ternak itik Alabio, maka masing-masing peternak di ketiga lokasi memiliki 415 ekor/peternak, yang menurut Rohaeni & Rina (2006); Hamdan & Zuraida (2007), batas minimal usaha itik Alabio yang layak dan menguntungkan untuk skala keluarga adalah >300 ekor. Sebaliknya Biyatmoko (2005) menyatakan bahwa kepemilikan itik Alabio sebanyak 200 ekor dengan pemberian pakan lokal dan rataan produksi telur 70% masih menguntungkan.

Laporan lain dikemukakan Hamdan et al. (2010) bahwa rataan kepemilikan itik Alabio petelur di Kecamatan Babirik, HSU sebanyak 249 ekor/peternak dengan rataan produksi telur 66.29% dan dinilai masih menguntungkan. Besarnya rataan kepemilikan itik Alabio di HST yang lebih tinggi dibanding HSS dan HSU, diduga disebabkan kepemilikan modal masing-masing peternak responden berbeda-beda. Modal yang memadai dapat digunakan untuk membeli dan memelihara ternak itik dalam skala lebih besar. Hal ini sesuai dengan pendapat

Sumadi et al. (2004) dan Sudaryanto (2005), bahwa banyaknya jumlah

kepemilikan ternak disebabkan besarnya modal yang dimiliki, daya dukung lahan dan sosial ekonomi masyarakat yang berbeda. Pemeliharaan itik Alabio yang dilakukan peternak umumnya sistem intensif (91.67%±3.44) dan hanya sebagian kecil yang masih melakukan pemeliharaan semi intensif (8.33%±1.44), dengan konstruksi bangunan kandang panggung dan kombinasi antara panggung dengan umbaran.

Kejadian penyakit yang sering menyerang itik Alabio adalah lumpuh (55.0%±2.55), prolapsus oviduct (8.33%±1.77) dan penyakit lainnya sebesar

8.33%±1.09

.

Kejadian penyakit prolapsus oviduct pada itik Alabio pada hasil

pengamatan ini, lebih rendah dibandingkan dengan laporan Rohaeni (1997) sebesar 17.02%, tetapi kejadian penyakit lumpuh lebih tinggi (70.21%). Kejadian

prolapsus oviduct pada saat itik sedang produksi telur tinggi, diduga karena

ukuran alat reproduksi belum optimal disebabkan oleh dewasa kelamin terlalu dini, sehingga sering tersembulnya saluran telur, sedangkan penyakit lumpuh diduga oleh sistem perkandangan yang terlalu sempit sehingga itik kurang leluasa bergerak. Bila dihubungkan dengan kandungan kalsium pada pakan yang dianalisis dari HSS, HST dan HSU (Tabel 14), kemungkinan besar kejadian penyakit lumpuh yang relatif tinggi tersebut, karena kurangnya kalsium yang dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wahju (1997), bahwa kekurangan zat mineral tertentu antara lain kalsium dalam pakan dapat menyebabkan kelumpuhan pada ternak. Kejadian penyakit yang tinggi umumnya menyerang pada musim pancaroba, yaitu peralihan antara musim kemarau ke penghujan 75.0%±6.77, sedangkan kejadian penyakit lainnya pada musim hujan. Tingkat mortalitas yang disebabkan serangan penyakit bervariasi. Rataan

mortalitas tertinggi pada tingkat serangan penyakit 5-10% (50.0%±1.88) dan

terendah 6.33%±1.11 pada tingkat serangan penyakit (11 - 20%). Upaya yang

(

50.0%±2.66), melapor kepada petugas Dinas Peternakan terdekat untuk

melakukan tindakan pengobatan dengan obat komersial

(

33.33%±1.77) dan

belum pernah diobati sebesar 16.67%±1.23. Tingkat kesadaran peternak dalam hal penanganan penyakit sudah baik. Hal ini membuktikan bahwa pentingnya

upaya pencegahan (preventif), supaya tidak menyebar luas dan berdampak

terhadap kerugian yang lebih besar.

Berdasarkan kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa tingkat pengalaman peternak dalam usahatani itik Alabio cukup lama, walaupun tidak didukung dengan tingkat pendidikan yang memadai. Namun demikian, dengan

pengalaman dan kearifan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki peternak,

serta didukung kondisi alam yang memungkinkan, merupakan modal yang baik untuk pengembangan itik Alabio secara berkelanjutan. Di sisi lain, tingkat kesadaran dan pengetahuan peternak yang tinggi dalam upaya penanggulangan penyakit pada itik Alabio, baik dengan obat-obatan tradisional maupun obat komersial, dapat mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas ternak itik yang lebih tinggi lagi, sehingga jumlah kepemilikan itik dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan lebih banyak lagi.

Bertolak dari uraian di atas, ketersediaan dan kesiapan sumber daya manusia/peternak dalam rangka mengelola usaha ternak itik Alabio dari ketiga Kabupaten (HSS, HST dan HSU) di Kalimantan Selatan sudah memadai. Namun untuk lebih mengembangkan usaha ternak tersebut masih diperlukan dukungan, peran dan campur tangan pemerintah daerah setempat, dalam hal bantuan modal untuk meningkatkan skala usaha ternak itik Alabio berwawasan agribisnis secara komersial yang lebih baik dan menguntungkan.

Itik Alabio merupakan salah satu itik lokal di Kalimantan Selatan yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Pola pemeliharaan itik Alabio

saat ini, sudah bergeser dari cara lanting (tradisional) ke sistem semi intensif dan

intensif. Perubahan pola pemeliharaan secara intensif perlu dukungan teknologi yang memperhatikan prinsip manajemen usaha peternakan modern, berorientasi ekonomis dan berwawasan lingkungan, serta didukung penyediaan faktor-faktor produksi yang berkualitas terutama ternak bibit dan pakan. Kebutuhan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar, tidak dapat dipenuhi dengan cara pemeliharaan tradisional, melainkan dengan cara intensif. Pemeliharaan itik Alabio secara intensif, salah satu upaya alternatif untuk memenuhi kebutuhan bibit yang berkualitas. Namun, terlebih dahulu perlu diketahui keragaan atau spesifikasinya. Informasi keragaan atau spesifikasi itik Alabio penghasil bibit, diperlukan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menyusun atau membuat standarisasi.

Standarisasi perlu dilakukan dalam rangka mendukung pelestarian sumber daya genetik ternak asli Indonesia, perlindungan konsumen, peningkatan kualitas itik lokal dan peningkatan kinerja agribisnis dan agroindustri. Standarisasi itik Alabio sebagai penghasil bibit, dapat disusun antara lain berdasarkan data atau informasi keragaan/spesifikasi yang meliputi sifat-sifat kuantitatif (ukuran-ukuran tubuh, bobot badan dan produksi telur), sifat kualitatif dan keragaman protein darah. Berdasarkan hasil persamaan dan korelasi, menunjukkan bahwa, faktor peubah pembeda antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari Kabupaten HSS, HST dan HSU adalah panjang tubuh (0.668-0.920), panjang kepala (0.643 - 0.755), tinggi kepala (0.575 - 0.690), panjang leher (0.515 - 0.795) dan panjang punggung (0.600 - 0.841). Terdapat kesamaan antara peubah yang diamati pada ukuran dan bentuk tubuh, diduga bibit yang digunakan masing-masing peternak berasal dari sumber yang sama. Sebaliknya, bobot badan yang diperoleh dari ketiga lokasi penelitian tidak dapat dijadikan sebagai faktor peubah pembeda, hal ini disebabkan hasil persamaan dan nilai korelasi yang diperoleh tidak memiliki nilai hubungan yang kuat, hanya berkisar antara 0.043 - 0.472 atau 4.30% - 47.2%. Sifat kuantitatif penting yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dari itik Alabio adalah produksi telur. Rataan produksi telur yang diperoleh selama lima bulan pengamatan cukup tinggi berkisar antara 67.11%±2.75 - 76.48%±3.13.

Bila dihubungkan dengan kualitas nutrisi pakan, maka produksi telur yang tinggi berkorelasi positif dengan konsumsi pakan dan zat gizi (protein dan asam amino) yang tinggi atau sebaliknya (Suwindra 1998). Produksi telur yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu kriteria seleksi, untuk memperoleh produksi

telur yang tinggi. Warwick et al. (1995) menyatakan bahwa parameter genetik

yang perlu diketahui antara lain nilai korelasi genetik pada sifat-sifat produksi yang memiliki nilai ekonomis penting. Warna bulu dominan pada itik Alabio di Kabupaten HSS, HST dan HSU merupakan ciri khas suatu bangsa itik petelur. Selain menjadi ciri atau identitas suatu bangsa, warna bulu juga dapat berpengaruh terhadap sifat produksi (Martojo 1992; Hardjosubroto 2001). Fries & Ruvinsky (1999) menyatakan bahwa warna bulu selain menjadi ciri atau identitas suatu bangsa ternak, juga dapat memberikan dampak terhadap sifat produksi terutama di daerah tropis, dengan intensitas cahaya matahari tinggi. Selain itu, warna bulu juga dapat mempengaruhi tinggi rendahnya harga ternak yang bersangkutan di pasaran.

Mengingat standarisasi bibit induk itik Alabio belum ditetapkan, maka perlu disusun standarnya sebagai acuan yang dapat digunakan oleh seluruh

pemangku kepentingan (stake holder). Mengacu kepada Standarisasi Nasional

Indonesia (SNI) Nomor 7557 tahun 2009, tentang standarisasi itik Alabio meri (DOD), yang meliputi persyaratan kualitatif, kuantitatif dan produksi yang dominan, maka hasil penelitian yang diperoleh telah memenuhi persyaratan sebagai salah satu bahan pertimbangan rekomendasi, untuk membuat atau menyusun standarisasi bibit/induk itik Alabio di tingkat lapang/peternak, sebagai berikut:

1. Persyaratan kualitatif meliputi warna bulu dominan pada itik Alabio jantan sebagai berikut bagian kepala atas (coklat totol-totol, putih, coklat totol-totol & putih), leher (coklat, abu kehitaman & putih keabuan), punggung (abu kehitaman & coklat), dada (coklat & putih keabuan), sayap (coklat & hijau kebiruan mengkilap), dan ekor (hitam), kerlip bulu (perak & hijau kebiruan

mengkilap), corak bulu (polos & hitam), serta warna paruh kaki dan shank

adalah kuning gading tua. Itik Alabio betina memiliki warna pada kepala bagian atas (hitam, putih, hitam & putih), leher (coklat keabuan & putih keabuan), punggung (coklat & coklat keabuan), dada (coklat keabuan & coklat), sayap (coklat keabuan & putih keabuan), dan ekor (coklat keabuan).

2. Persyaratan kuantitatif yaitu bobot badan itik Alabio betina umur 5-5.5 bulan berkisar antara 1560 - 1720 g dan jantan berkisar antara 1590 - 1720 g.

3. Persyaratan produksi meliputi rataan produksi telur selama lima bulan produksi berkisar antara 67.11% - 76.48%, daya tetas (60.44%), bobot telur

tetas (61.53 - 67.86 g), bobot tetas (40.65 – 43.92 g) dan warna kerabang

telur hijau kebiruan.

Hasil karakterisasi fenotipik dan genetik itik Alabio dalam dan antar populasi di Kabupaten HSS, HST dan HSU, berdasarkan protein darah, menunjukkan bahwa keragaman genetiknya berkisar antara 61.0% - 64.30%. Hal ini diduga bahwa masing-masing individu dalam populasi memiliki karakter yang sama. Kenyataan ini, membuktikan bahwa selama berpuluh-puluh tahun dan

secara turun temurun, dengan kearifan lokal (indigenous knowledge) yang

dimiliki peternak, itik Alabio telah mengalami seleksi secara alamiah. Di sisi lain, dengan keragaman yang cukup tinggi, itik Alabio mempunyai peluang untuk ditingkatkan produktivitasnya. Peningkatan produktivitas itik Alabio, salah satunya dengan sistem pemuliaan secara terarah dan terstruktur, baik terpisah ataupun kombinasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suparyanto (2003;2005) dan Prasetyo (2006), bahwa untuk meningkatkan produktivitas ternak itik dapat dilakukan program seleksi yang terstruktur, sehingga diperoleh itik yang lebih seragam.

Aktivitas tingkah laku memilih pakan pada itik Alabio, menunjukkan bahwa

bentuk pakan mempengaruhi tingkat kesukaan itik. Pakan berbentuk pellet lebih

disukai itik Alabio dewasa dari pada bentuk mash dan bentuk lainnya.

Implikasinya bahwa bentuk pakan pellet lebih efisien penggunaannya dibanding bentuk lainnya, karena tidak banyak yang terbuang/tercecer. Walaupun diakui bahwa itik dalam mengkonsumsi pakan cenderung banyak pakan tercecer atau terbuang. Kemampuan itik Alabio jantan mengawini betina, terutama pada pagi hari lebih baik dibanding siang dan sore hari, hal ini mengindikasikan bahwa untuk memperoleh daya tunas telur yang optimal, cara perkawinan antara itik Alabio jantan dan betina, sebaiknya dilakukan di dalam kandang (terkurung). Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil pengamatan bahwa cara perkawinan yang dilakukan di dalam kandang (terkurung), mampu menghasilkan daya tunas telur berkisar antara 88.27%±4.01 - 96.50%±4.5. Sebagai salah satu sumber plasma nutfah daerah dan nasional, eksistensi itik Alabio sebagai sumber daya genetik spesifik lokasi mempunyai peranan penting, dalam menambah jumlah koleksi

keanekaragaman ternak unggas lokal asli Indonesia. Itik Alabio telah beradaptasi dan berkembang biak dengan baiki wilayah Kalimantan Selatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/8/2006, tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik, maka upaya pelestarian dan pengembangan itik Alabio sebagai salah satu sumber plasma nutfah itik lokal di Kalimantan Selatan penting dilakukan. Hal ini salah sdatu upaya untuk mengantisipasi pengurasan populasi itik yang lebih besar lagi. Walaupun itik Alabio belum termasuk populasi dengan kategori terancam, yang menurut Departemen Pertanian (2006), kategori populasi terancam berkisar antara 1000 - 5000 ekor, sementara populasi itik Alabio berdasarkan Direktorat Jenderal Peternakan (2009) tercatat sebanyak 4.194.535 ekor.

Pengembangan itik Alabio di Kalimantan Selatan dengan pewilayahan (sumber bibit dan produksi), perlu dipertahankan dan dilaksanakan lebih baik lagi, sesuai dengan potensi dan daya dukung lahan yang ada. Hal ini mengacu kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, bahwa untuk mengantisipasi terjadinya penggerusan materi genetik ternak lokal Indonesia, yaitu dengan melaksanakan

program pewilayahan yang dibagi atas: a) wilayah sumber bibit, adalah wilayah

yang melaksanakan pengembangbiakan secara murni, dengan

mempertimbangkan jenis ternak dan rumpun, agroklimat, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, budaya serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti yang telah dilakukan di Desa Mamar, Kabupaten Hulu Sungai Utara yakni sebagai sentra

penghasil bibit (DOD), b) wilayah produksi, yaitu wilayah yang melakukan

pengembangbiakan dengan tujuan komersial, yang memungkinkan

menggunakan teknik-teknik perkawinan silang dan penggemukan. Wilayah produksi itik Alabio antara lain Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan dan kabupaten lainnya yang potensial untuk pengembangan itik Alabio sebagai sentra produksi, terutama untuk menghasilkan telur konsumsi dan itik

potong, dan c) wilayah konservasi adalah wilayah yang melakukan aktivitas

penangkaran hewan/ternak asli yang masih ada, atau mengembangbiakan hasil dari suatu wilayah sumber bibit (Departemen Pertanian 2006), baik konservasi

secara in-situ maupun ex-situ (Mansjoer 2002; Setioko 2008). Wilayah-wilayah

tertentu yang memiliki daya dukung lahan dan sumber pakan, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, perlu dipertahankan sebagai kawasan konservasi itik Alabio, sehingga kemurniannya dapat dijaga dengan baik. Selain itu,

keberadaan dan peranan asosiasi peternak itik Alabio/pedagang itik yang sekarang kondisinya belum menggembirakan perlu didorong dan ditingkatkan lagi. Peranan kelembagaan sebagai wadah bagi peternak itik Alabio dalam bentuk asosiasi ini, diharapkan mampu mempercepat transfer teknologi dari lembaga penelitian sebagai perekayasa teknologi kepada peternak sebagai pelaku usaha. Partisipasi, dukungan dan peran aktif semua pihak dalam menjaga kelestarian itik Alabio sangat diharapkan, sehingga keberadaan itik Alabio dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya genetik ternak lokal dalam program pemuliaan ternak di Indonesia. Didukung dengan kemampuan dan pengalaman

peternak dalam budidaya itik Alabio, serta kearifan lokal (indigenous knowledge)

yang dimiliki menunjukkan bahwa, pola pelestarian itik Alabio yang telah dilakukan masyarakat peternak di Kabupaten HSS, HST dan HSU, serta didukung oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan sudah baik. Namun demikian, dalam rangka menghadapi pasar bebas upaya perlindungan terhadap plasma nutfah itik Alabio perlu dilakukan dengan baik dan berkesinambungan. Dalam hal ini, dukungan Pemerintah Pusat sangat diperlukan, antara lain menerbitkan Undang Undang Perlindungan Varietas Ternak, biosekuriti secara ketat serta monitoring dan evaluasi berkala dan berkelanjutan.

Menurut Biyatmoko (2005), arah pengembangan itik Alabio ke depan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:

1. Pengembangan kawasan terpadu. Pengembangan kawasan terpadu dapat dilakukan dengan cara pemetaan kawasan pengembangan itik Alabio secara terarah, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Tengah, yang meliputi kawasan pengembangan itik petelur (telur tetas dan konsumsi), itik pembesaran dan itik potong, yang diikuti dengan upaya perbaikan manajemen budidaya itik Alabio (penyempurnaan dan pendampingan teknik perkandangan, pembuatan ransum, pemilihan bibit, pencatatan produksi telur

(recording), pencegahan dan pengendalian penyakit, serta teknologi

pengolahan pasca panen.

2. Pembentukan kawasan sentra pengembangan pemurnian itik Alabio.

Kawasan sentra pengembangan permurnian itik Alabio atau Village Breeding

Unit (VBU). VBU dapat dilakukan dengan cara mengkaji ulang pemetaan

kawasan khusus, bagi pengembangan dan pemurnian itik Alabio yang memiliki daya dukung lahan dan potensi pakan yang baik. Selain itu, kerja sama dengan pihak luar untuk melakukan kajian yang komprehensif dan

mendalam tentang perbaikan dan peningkatan mutu genetik (genetic

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Faktor peubah pembeda antara ukuran dan bentuk tubuh itik Alabio dari

Kabupaten HSS, HST dan HSU adalah panjang tubuh, panjang kepala, tinggi kepala, panjang leher dan panjang punggung.

2. Secara morfologis itik Alabio yang berasal dari Kabupaten HSS, HST dan

HSU memilki bentuk dan ukuran tubuh yang relatif sama.

3. Keragaman genetik berdasarkan protein darah itik Alabio dari Kabupaten

HSS, HST dan HSU berkisar antara 61.0 - 64.3%, sehingga itik Alabio mempunyai potensi untuk ditingkatkan produktivitasnya melalui program pemuliaan secara terstruktur dan terarah.

4. Jarak genetik yang didasarkan pada frekuensi gen menunjukkan bahwa itik

Alabio dari HST dan HSU lebih dekat hubungan kekerabatannya bila dibanding dengan HSS.

5. Warna bulu dominan itik Alabio betina dan jantan adalah putih keabuan,

coklat keabuan, hijau kebiruan, abu kehitaman dan hitam. Corak bulu coklat totol-totol, dan hitam, sementara fluoresens bulu hijau kebiruan mengkilap dan polos. Warna bulu pada bagian kepala itik Alabio betina terdiri atas coklat, putih, coklat dan putih, sedangkan pada jantan adalah

hitam, putih, hitam dan putih. Warna paruh, kaki dan shank baik jantan

maupun betinaadalah kuning gading tua.

6. Pakan berbentuk pellet merupakan pakan ideal untuk itik dewasa, sehingga

dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam penentuan bentuk pakan yang efisien.

7. Cara perkawinan itik Alabio yang tepat dapat dilakukan pagi hari pada

kandang terkurung, untuk memperoleh fertilitas telur yang optimal.

8. Keragaan atau spesifikasi, baik berupa sifat-sifat kualitatif, kuantitatif

maupun produksi dominan itik Alabio yang diperoleh dari penelitian ini, dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bahan persyaratan dalam penyusunan atau membuat standarisasi itik Alabio bibit induk di tingkat lapang atau peternak.

Saran

Dalam upaya membuat atau menyusun standarisasi itik Alabio bibit di tingkat lapang, hendaknya mengacu kepada persyaratan yang telah ditetapkan yaitu persyaratan kualitatif (warna bulu dominan pada bagian kepala, leher, badan, sayap, punggung dan ekor), persyaratan kuantitatif (bobot badan jantan dan betina dewasa), serta persyaratan produksi (produksi telur, daya tetas, daya tunas, bobot tetas dan warna kerabang telur). Selain itu, untuk lebih melengkapi hasil penelitian ini, sebaiknya pengambilan jumlah sampel yang lebih representatif dan besar serta lokasi yang lebih beragam, sehingga dapat mencerminkan Kalimantan Selatan. Penelitian di bidang genetika molekuler yang terarah dan mendalam perlu dilakukan untuk melihat keragaman genetik yang komprehensif. Telaah lebih lanjut tentang kondisi sosial ekonomi peternak itik Alabio dari masing-masing wilayah pengembangan, untuk mengetahui lebih dalam tentang kelayakan usaha beternak itik Alabio yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan.

Alfiyati A. 2008. Si Penghasil telur dan daging yang handal dari Kalimantan

Selatan. Bibit. Med Info Perb Ternak 2 (1):19-21.

[AOAC] The Association of Official Agricultural Chemist. 2005. Official methods of

analysis 18th. Rev.ed. Washington DC.

Appleby MC, Mench JA, Hughes BO. 2004. Poultry Behaviour and Welfare.

Center of Agriculture Bioscientific (CAB) Publishing. London.

Applegate TJ, Harper D, Lilburn L. 1998. Effects of hen age on egg composition

and embryo development in commercial Pekin ducks. Poult Sci

77:1608-1612.

Avanzi CF, Crawford RD. 1990. Mutation and major variant in muscovy duck. Di

dalam: Crawford RD (ed). Poultry Breeding and Genetics. Elsevier.

Amsterdam

Azmi, Gunawan, Suharnas E. 2006. Karakteristik morfologis dan genetik itik

Talang Benih di Bengkulu. Di dalam: Cakrawala Baru IPTEK Menunjang

Revitalisasi Peternakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan

dan Veteriner. Bogor, 5-6 September 2006. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. hlm. 716-722.

Azmi, Gunawan, Suharnas E. 2008. Studi karakteristik morfologis dan genetik

kerbau Benuang di Bengkulu. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional

Usaha Ternak Kerbau; Jambi, 22-23 Juni 2007. Dinas Peternakan Propinsi

Jambi bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jambi.

Baruah KK, Sharma PK, Bora NN. 2001. Fertility, hatchability and embryonic

mortality in ducks. J Ind Vet 78:529-530.

Barnard C. 2004. Animal Behaviour, Mechanism, Development, Function and

Evaluation. Pearson Education Limited. Prentice Hall England. British

Library Cataloguing Publication Data. London.

Biyatmoko D. 2005. Petunjuk teknis dan saran pengembangan itik Alabio. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. 9 hlm.

Biyatmoko D. 2005a. Kajian arah pengembangan itik di masa depan. Ekspose

Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau dan Itik serta Diseminasi

Teknologi Peternakan Tahun 2005; Banjarbaru, 11 Juli 2005. Dinas

Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru. 13 hlm.

Bley TAG, Bessei W. 2008. Recording of individual feed intake and feeding

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Hulu Sungai Utara dalam Angka. Amuntai [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Hulu Sungai Tengah dalam Angka. Barabai [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Hulu Sungai Selatan dalam Angka.

Kandangan.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kalimantan Selatan dalam Angka. Banjarmasin.

Brahmantiyo B, Prasetyo LH, Setioko AR, Mulyono RH

.

2003. Pendugaan jarak

Dokumen terkait