• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proklamasi dan Pancasila Otentik Versi Orde Baru

OLEH:R.N. Bayu Aji

Dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya

mana yang hanya sekedar konsep atau bahkan palsu.

Da la m menent uka n ma na ya ng otentik dan tidak, Ia menjelaskan bahwa istilah otentik har us diartikan sebagai “yang sejati” dan “yang dapat dipercaya”. Naskah yang otentik dan rumusan yang otentik dari sesuatu hal hanyalah ada satu. Apabila ada naskah lebih dari satu, maka harus ada penetapan. Apabila dari naskah- naskah itu atau dari rumusan-rumusan itu sudah ditentukan dan ditetapkan yang sejati, maka yang lainnya bisa dianggap “konsep” atau “rencana” atau dapat dianggap “tidak sejati” atau “palsu”.

Terkait dengan naskah Proklamasi, paling tidak ada dua naskah. Pertama,

Proklamasi yang berupa tulisan tangan So ekar no dengan keterangan “wakil- wakil bangsa Indonesia” selaku siapa ya ng memprok la ma sika nnya. Kedua,

adalah naskah ketika Sajuti Melik dengan keterangan penulisan tanggal “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05” dan kemudian memakai “Atas nama bangsa Indonesia” beserta tanda tangan Soekarno dan Hatta. Menurut buku ini, yang otentik adalah yang kedua yang kemudian dibacakan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno di Gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56.

Da la m k ur un wa kt u 20 t a hun setelah kemerdekaan, sempat muncul istilah naskah Proklamasi yang otentik. Selama naskah otentik itu hilang, maka yang dikenal seluas-luasnya adalah naskah konsep atau “klad” yang menurut Sajuti Melik pada dinihari tanggal 17 Agustus 1945 diambil dan dibawa pulang dari r umah Laksamana Maeda oleh B.M.

Diah dan kemudian disimpannya setelah dicetak dalam surat kabar Merdeka yang diterbitkannya bulan Oktober 1945.

Sementara itu, mengenai rumusan Pa n ca sila, t erd a p at em p at r u mu s a n menur ut buku ini. Pertama, r umusan Pancasila Yamin dalam sidang BPUPKI yang terdiri dari Peri Kebangsaan, Peri Kema nu sia a n, Peri Ket u ha na n, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat yang dibacakan 29 Mei 1945. Kedua,

r umusa n So ekar no ya ng terdiri dari Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demok rasi, Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dibacakan 1 Juni 1945. Meskipun Soekarno telah menamakannya Pancasila, namun menurut Nugroho Notosusanto bahwa nomenklatur Pa n ca sila t er s ebu t m er up a ka n at a s petunjuk seorang teman Soekarno yang juga merupakan ahli bahasa.

Ketiga, ada la h r umusa n ya ng disusun oleh Pa nit ia Sembila n ya ng kemudian menjadi Piagam Jakarta dengan sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- p em elu k nya”. Keempat, m er up a ka n r umusan Panca sila yang s ep erti kita kenal sekarang ini yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 pada sidang PPKI.

Ma na ya ng otent ik? Dijela ska n secara eksplisit dalam buku ini bahwa rumusan Pancasila yang otentik bukanlah rumusan pertama oleh M. Yamin, bukan rumusan yang kedua oleh Soekarno dan rumusan ketiga oleh Panitia Sembilan. Rumu s a n ya ng otent ik ada la h ya ng

keempat. Ditegaskan pula bahwa ketiga rumusan sebelumnya merupakan konsep belaka meskipun dalam rumusan kedua Soekarno telah menyebut nama Pancasila. Dalam keterangan kesimpulan buku ini juga dijelaskan bahwa lahirnya Pancasila tidak perlu dikaitkan dengan seorang tokoh secara mutlak yakni Soekarno.

Perihal penting yang bisa dirujuk dalam menentukan yang otentik adalah saat pengesahan resmi formalnya daripada mer ujuk pada dok umennya. Mela lui Instruksi Presiden No. 12/1968 tanggal 13 April 1968 ditetapkan bahwa rumusan yang otentik termuat dalam pembukaan UUD 1945 dan sudah ditegaskan pula dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 t a ngga l 5 Juli 196 6 d a n kemudia n ditetapkan lagi dalam Tap MPR No. V/ MPR/1973 tanggal 22 Maret 1973 serta Tap MPR No. II/MPR/1978 tanggal 22 Maret 1978 (hlm. 22-23).

De-Soekarnoisasi

Kebesaran nama Soekarno begitu menancap dalam memori rakyat Indonesia d a n ra s a-ra s a nya m engha nt ui O rd e Baru. Oleh karena itu muncul ide dan usaha untuk mencoba mengikis memori kolektif ters ebut. Rezim Orde Bar u akhirnya menciptakan istilah Orde Lama bagi kep em impina n So ekar no unt uk menampung memori kolektif yang harus dilupa kan atau dihindari ma syara kat. Orde Baru mengangkat dirinya melalui penurunan citra Orde Lama, meskipun s t r u kt u r bud aya p olit i k O rd e Bar u merupakan adaptasi Demokrasi Terpimpin era Soekarno. Sejalan dengan itu, dalam lingkup kehidupan keseharian, rak yat Indonesia diwajibkan untuk tetap bersih atau ba hkan memb ersihkan diri dari p engar uh-p engar uh Orde Lama yang hanya boleh dikenang sebagai sejarah masa lalu yang tidak boleh mengalir ke masa depan.

Na m p a k nya, O rd e Bar u t id a k ingin tersaingi dan ter usik oleh sisa- sisa keb esara n So ekar no ya ng tela h

terlanjur mengendap dalam memori rakyat Indonesia dan juga dunia Internasional. Layaknya duri dalam daging yang suatu saat bisa saja merusak, Orde Baru hendak menghilangkan ingatan tentang hal-hal yang berbau Soekarno, termasuk sebagai penulis naskah Proklamasi dan penggali serta penggasas Pancasila.

Segera setelah kekuatan Soekarno melemah dan seiring menguatnya Orde Baru, Pancasila yang semula diperingati pada 1 Juni yang merujuk pidato Soekarno di BPUPKI tidak lagi diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Perdebatan mengenai hari lahir Pancasila menur ut buku ini tidak bermanfaat karena Pemerintah telah menetapkan bahwa yang diperingati dan dirayakan bukanlah hari lahir Pancasila, melainkan hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober 1965 yang dimaknai

Judul buku :

Naskah Proklamasi Yang Otentik Dan Rumusan Pancasila Yang Otentik

Penulis : Nugroho Notosusanto Cetakan : Kelima, 1983

Tebal : 40 halaman ; 22 x 15 cm

oleh Orde Bar u sebagai keberhasilan penggagalan pemberontakan G30S/PKI di Era Soekarno.

Begitu juga dengan naskah Proklamasi yang otentik bukanlah tulisan tangan So ekar no, melainkan na ska h ketikan Sajuti Melik. Penetapan otentik dan yang hanya konsep belaka atau bahkan palsu pada naskah Proklamasi dan Pancasila saat Orde Baru melalui buku ini tidaklah bebas nilai dan dapat dikatan sebagai upaya deSoekarnoeisasi.

hazanah

K

D

i d a la m p er sid a nga n Mahkamah Konstitusi (MK), b eb erapa ka li terlontar wacana dari ahli yang memberikan ket era nga n agar MK Indonesia bisa membuat keputusan meniru MK Thailand. Publik yang mendengar, baik yang berada di dalam ataupun di luar ruang persidangan, menjadi bertanya- tanya seperti apakah sebenarnya peran dan keputusan yang dikeluarkan oleh MK Thailand. Perlukah MK Indonesia meniru MK T ha ila nd? Saya ngnya, referensi tentang MK Thailand di Indonesia saat ini masih sangat terbatas. Salah satu studi yang mengkaji perbandingan langsung antara MK Thailand dan MK Indonesia dapat ditemukan di dalam buku JCL Studies in Comparative Law No. 1 (2009) dengan tema Constitutional Courts: A Comparative Studies. Penulisnya adalah A n d r ew Ha rd i ng, P r ofe s o r Hu k u m Asia-Pasifik dari University of Victoria (Kanada) dan Peter Leyland, Profesor Hukum Publik dari London Metropolitan University (Inggris), dengan judul artikel

“The Constitutional Courts of Thailand and Indonesia: Two Case Studies from South East Asia”. Tulisan berikut ini akan menguraikan kajian dan hasil perbandingan dari kedua penulis tersebut.

profesionalisme dan independensinya sejak program modernisasi Rama V. Kondisi ini kontras berbeda dengan di Indonesia, di mana peradilan memiliki tingkat reputasi yang rendah sepanjang sejarah republik, walaupun sekarang dinilai oleh mereka mulai membaik. Kepercayaan yang begitu besar terhadap peradilan di Thailand untuk memutus berbagai isu krusial bahkan ikut mendominasi proses peny usunan Konstitusi 2007. Secara teoritis, baik Kon s t it u si 1997 maupun Kon s t it u si 2007, sama-sama memasukan jaminan independensi kelembagaan MK Thailand. Harding dan Leyland memberikan contoh seperti adanya otonomi terhadap pegawai, administrasi, dan anggaran di MK Thailand; masa jabatan hakim konstitusi selama sembilan tahun dan hanya untuk satu periode saja; konflik kepentingan hakim konstitusi dilarang secara tegas sehingga tidak diperbolehkan menduduki posisi apapun di p emerintahan, mempunyai kepentingan bisnis, ataupun keterikatan di dalam profesi apapun. Selain it u, politisi, hakim, dan anggota dari badan independen lainnya di bawah Konstitusi secara spesifik tidak dibolehkan untuk memegang jabatan di MK Thailand.

S i s t e m p e n ga n g k a t a n h a k i m konstitusi di Thailand – yang menurut Harding dan Leyland paling kompleks di antara negara-negara lain – merupakan hal yang sangat penting. Berdasarkan Konstitusi Thailand, komposisi hakim k o n s t i t u s i d i p e r o l e h b e rd a s a r k a n profesionalisme dan ‘trained judicial talent’ s eh i ngga s el ek s i d i la k u ka n b erdasarkan p ertimbangan senioritas, p enga la ma n, da n kea hlia n. Menur ut Konst it usi 20 07, Ma hka ma h Agung menominasikan tiga calon hakim konstitusi dan Mahkamah TUN menominasikan dua hakim konstitusi. Sementara itu, empat hakim lainnya merupakan ahli di bidang ilmu politik dan hukum yang dipilih dengan membentuk suatu Panitia Seleksi yang

Judul Penelitian:

THE CONSTITUTIONAL COURTS OF THAILAND AND INDONESIA: TWO CASE STUDIES FROM SOUTH EAST ASIA

Penulis : Andrew Harding dan Peter Leyland

Sumber : JCL Studies in Comparative Law No. 1 - Constitutional Courts: A Comparative Study Penerbit : Wildy, Simmonds & Hill

Publishing Tahun : 2009

Studi yang dilakukan oleh Harding dan Leyland cukup menarik karena terkait dengan peran mahkamah konstitusi di dua negara demokrasi yang tengah berkembang dengan sistem yang berbeda. Thailand menerapka n b ent uk negara monark i konstitusional dengan sistem parlemen, sedangkan Indonesia menerapkan bentuk negara republik dengan sistem presidensiil. Selain itu, Thailand mengadopsi Konstitusi baru pada 1997 yang kemudian diganti kem b a l i d enga n Ko n s t i t u s i 20 07, sedangkan Indonesia mengubah secara ekstensif UUD 1945 secara bertahap pada kurun waktu 1999-2002. Persamaan di keduanya, para pengubah Konstitusi di kedua negara menitikberatkan pada t e r w u j u d n y a p e n g u a t a n t e r h a d a p pemisahaan kekuasaan negara dengan menempat kan ajudikasi konstit usional sebagai salah satu elemennya.

Dala m t ulisannya, Harding dan Leyla nd m emfok u ska n kajia n unt uk mengevaluasi sejauh mana tujuan dari sistem konst it usiona l dapat tercapa i dengan dibentuknya sebuah mahkamah konstitusi. Pembahasan dimulai dengan memaparkan konteks hukum dan politik di ma sing-ma sing negara, kemudia n dilanjutkan dengan analisa perbandingan terhadap kara kter lembaga, metode pengangkatan dan masa jabatan hakim, a k s e s b e r p e r k a r a p e m o h o n , d a n pendekatan dalam pembuatan putusan. Di bagian akhir, kedua penulis memberikan eva lua si singkat mengena i p er for ma kedua Mahkamah Konstitusi dengan latar belakang konstitusinya masing-masing.

Independensi dan Proses Seleksi Hakim

Tingkat kepercayaan terhadap suatu proses peradilan sebagai intisari konstitusi menurut Harding dan Leyland memerlukan pemahaman dalam konteks konstitusi dan politik. Para hakim dan sistem hukum di Thailand relatif memiliki reputasi baik atas

KAJIAN PERBANDINGAN MK THAILAND

Dokumen terkait