• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

B. Sistem Informasi Akuntansi Prosedur Penerimaan dan Pengeluaran Kas PT (PERSERO) Angkasa Pura I Bandar Udara Adi Sucipto Yogyakarta

2) Prosedur Pencatatan a) Kode Rekening

Untuk prosedur pencatatan pada prosedur penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha, perusahaan juga menggunakan klasifikasi kode akun seperti pada prosedur penerimaan kas dari penjualan tunai. Hal ini bertujuan untuk memudahkan

pencatatan baik dengan manual ataupun saat entry ke komputer. Dan juga bertujuan untuk menjaga kerahasiaan data– data perusahaan, karena hanya pihak–pihak terkait yang mengetahui atau mempunyai daftar kode–kode tersebut.

Dalam kode akun untuk prosedur penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha, menggunakan kelompok akun 1 yang menunjukkan komponen aktiva. Tiga digit pertama kode akunnya yaitu 113. Lebih spesifik lagi, untuk mencatat jenis – jenis piutang yang ada, misalnya untuk piutang pelayanan jasa penerbangan domestik, kode akunnya yaitu 113.11031.1.

Untuk selengkapnya mengenai klasifikasi akun untuk penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha, dapat dilihat pada bagian lampiran.

b) Faktur penjualann (FP)

Faktur dibuat oleh dinas komersil. Pencatatan piutang atau penjualan kredit yang terjadi dilakukan oleh dinas komersial pada BRPK. Sedangkan pencatatan piutang yang sudah dibayar dilakukan oleh bagian akuntansi. Piutang debitur yang tertera pada faktur dan sudah dibayar dicatat oleh bagian akuntansi pada Kartu Piutang.

Untuk FP sendiri, perusahaan mempunyai kode faktur sendiri yang nantinya bisa memudahkan dalam pencatatan Kode faktur bertujuan untuk membeda–bedakan faktur–faktur dari jenis piutang–piutang yang berbeda, dan juga untuk

mempermudah pencatatan. Kode faktur tersebut adalah sebagai berikut :

X X X - X X • X X X X • X • X X X X X X X

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Keterangan :

1-3 = kode lokasi kantor cabang dan kantor pusat 4 = digit pemisah dengan tanda garis (-)

5&6 = tahun pembuatan faktur

7 = digit pemisah dengan tanda titik (•)

8-11 = jenis faktur yang diambil dari kode jurnal 12 = digit pemisah dengan tanda titik (•)

13 = digit kode valuta

14 = digit pemisah dengan tanda titik (•) 15-21 = nomor faktur

Sebagai contoh yaitu faktur dengan nomor faktur atau kode faktur JOG.2005.AP00.1.0000023. Faktur ini berarti dibuat di kantor cabang Angkasa Pura I Yogyakarta, pada tahun 2005, untuk mencatat pendapatan lain–lain, dalam satuan rupiah, dan merupaan faktur ke-23 yang dibuat pada tahun tersebut.

c) Jurnal

Prosedur pencatatan jurnal didasarkan pada BPK yang sudah diotorisasi oleh pejabat yang berwenang dan yang dilampiri dengan dokumen pendukung BPK yang lengkap.

Sama halnya seperti jurnal dalam penerimaan kas dari penjualan tunai, jurnal dalam prosedur penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha juga dicatat dengan komputer, Selain itu juga menggunakan kode jurnal yang sudah ditetapkan. Misalnya untuk peneimaan kas dari pendapatan sewa tanah, kode jurnalnya yaitu AD05.1.

Untuk selengkapnya mengenai kode jurnal, dapat dilihat pada lampiran.

e) Bukti penerimaan kas (BPK)

BPK dalam prosedur peneriman kas dari pembayaran piutang usaha juga belum bernomor urut cetak. Pengisian BPK dilakukan pertama oleh kasir dengan mengetikan keterangan transaksi dan jumlahnya dalam angka dan terbilang. Selain itu juga nomor BPK, nomor bank, nomor cek atau giro, nama bank dan lain–lain sesuai transaksinya. Kemudian dicoding oleh bagian akuntansi sesuai dengan kode akun serta ditulis jumlahnya dan diverifikasi.

f) Kuitansi (KW)

KW dibuat oleh pihak penerima uang yaitu bagian kasir. KW ini sudah bernomor urut cetak yang sudah dibuat dari percetakan. Penerimaan kas dari penjualan tunai yang dibuatkan KW dicatat oleh kasir pada Buku Harian Kas.

3) Pemisahan Tugas

Pemisahan tugas dilakukan sesuai dengan struktur organisasi yang ditetapkan dan juga sesuai dengan jumlah sumber daya manusia yang ada. Pada prosedur penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha ini, terdapat bagian penagihan yang berada dalam satu dinas dengan bagian kasir, tetapi mempunyai tugas yang berbeda dengan kasir, yaitu hanya melakukan penagihan piutang ke debitur. Tetapi yang menerima uang pembayaran piutang tetap dilaksanakan kasir, karena debitur langsung membayar ke perusahaan, bisa dengan tunai datang langsung ke kasir, atau dengan cek, atau dengan transfer bank.

Fungsi pencatatan juga terpisah dari fungsi operasional, yaitu bagian akuntansi yang melakukan pencatatan terpisah dari kasir. Selain itu unit pajak juga dipisahkan dari kasir maupun akuntansi karena mempunyai tugas sendiri yang terkait dengan pajak.

4) Pengendalian Akses

Pengendalian akses disini maksudnya pengendalian keamanan aset–aset perusahaan yang berhubungan dengan penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha. Misalnya uang pembayaran dari debitur, dokumen–dokumen terkait dan lain sebagainya.

Pengendalian akses dalam prosedur penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha ini kurang lebih sama dengan prosedur penerimaan kas dari penjualan tunai. Pengendalian akses yang pertama yaitu penyimpanan uang di brankas dan penyetoran ke

bank tiap harinya jika sudah melebihi Rp 3.500.000,-. Kedua, penyimpanan dokumen terkait seperti FP, SPF, KW, dan BPK oleh unit–unit terkait yang berhak menyimpannya sesuai dengan distribusi masing–masing dokumen. Ketiga, penggunaan program GL plus untuk memasukkan data dan menyimpannya dan online hanya di bagian akuntansi dan dengan bagian–bagian terkait dengan penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha seperti dinas Perbendaharaan dan PKBL. Keempat, pemisahan ruangan masing–masing dinas. Dan yang terakhir, dilakukannya rekonsiliasi bank pada prosedur penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha.

f. Evaluasi Sistem Informasi Akuntansi Penerimaan Kas dari Pembayaran Piutang Usaha

1) Kebaikan

Pada umumnya, kebaikan prosedur penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha kurang lebih sama dengan prosedur penerimaan kas dari penjualan tunai yaitu, sudah ada pemisahan tugas dalam unit–unit organisasi terkait, dokumen–dokumen sudah dibuat sesuai kebutuhan dan sesuai dengan transaksi yang terjadi, catatan–catatan akuntansi sudah cukup lengkap sesuai dengan transaksi dan sesuai dengan kebutuhan, pencatatan di bagian akuntansi sudah menggunakan komputer dan sudah dilakukan rekonsiliasi antara pihak perusahaan dengan bank.

Selain kelebihan–kelebihan di atas yang secara umum sama pada tiap–tiap prosedur, prosedur penerimaan kas dari pembayaraan piutang usaha juga mempunyai kelebihan khusus untuk prosedur ini sendiri. Kelebihan – kelebihan tersebut adalah : a) Bagian penagihan sudah terpisah dari kasir. Hal ini untuk

menciptakan suatu pengendalian intern yang baik terkait dengan unit–unit organisasi, dimana fungsi penagihan yang bertanggung jawab untuk menagih piutang dari debitur dipisahkan dari kasir yang menerima pembayaran piutang dan penyetoran ke bank.

b) Bagian akuntansi sudah terpisah dari kasir. Hal ini untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan catatan akuntansi untuk menutupi kecurangan yang dilakukan oleh karyawan. c) Bagian penagihan hanya melakukan penagihan berdasarkan FP

yang dibuat dinas komersil, dan SPF yang dibuat kasir.

d) Pembayaran piutang langsung dilakukan debitur ke kasir atau dari bank (transfer), sehingga menghindari kemungkinan adanya penyelewengan yang dilakukan petugas penagihan, ataupun hilangnya setorran secara tidak sengaja sehingga menghambat pembayaran piutang.

e) Prosedur pencatatan sudah dilakukan dengan baik karena selain perusahaan telah membuat klasifikasi kode–kode akun, perusahaan juga membuat klasifikasi kode faktur. Dengan demikian data akuntansi perusahaan bisa terjamin

kerahasiaannya dan terhindar dari adanya kemungkinan penyalahgunaan data akuntansi. Klasifikasi ini juga untuk membeda–bedakan jenis–jenis piutang yang ada, yang bermacam-macam.

f) FP, BKP, SPF, KW dan Bukti setor sudah disimpan sendiri– sendiri oleh pihak–pihak yang berkaitan dan dipisah – pisahkan dalam tempat sendiri–sendiri menurut jenis dokumen dan tanggal dibuatnya. Hal ini untuk menjaga kerahasiaan data perusahaan dan memudahkan pengarsipan.

2) Kelemahan

a) BPK perusahaan belum bernomor urut cetak, masih ditulis tangan oleh yang membuat BKP. Jika BKP belum diberi nomor urut cetak, akan memungkinkan terjadi kesalahan penulisan nomor urut sehingga menjadi tidak urut dan berpengaruh pada pencatatan dan pengarsipan. Jika BKP tidak urut nomornya atau terlewati satu atau beberapa nomor, maka bisa menimbulkan dugaan hilangnya dokumen tersebut yang mengindikasikan terjadi penyelewengan penerimaan kas oleh kasir ataupun bagian penagihan karena piutang tidak ditagih atau penerimaan tersebut tidak dicatat dan dibuatkan bukti oleh kasir karena digunakan untuk kepentingan sendiri.

b) FP terlalu banyak dibuat rangkapnya dan didistribusikan pada pihak–pihak yang tidak terkait langsung dan mengetahui prosedur penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha.

Seperti misalnya FP didistribusikan pada general manager dan SPI pusat yang tidak terkait langsung dengan prosedur penerimaan kas dari piutang usaha. Hal ini sebenarnya merupakan pemborosan bagi perusahaan karena harus membuat rangkap FP yang banyak untuk pihak – pihak yan tidak terkait langsung dengan prosedur penerimaan kas dari putang usaha ini.

c) Kasir tidak menyimpan salah satu rangkap FP. Padahal SPF disimpan oleh petugas penagihan, dan kasir tidak punya arsip yang lengkap, kecuali kuitansi, ataupun catatan piutang yang dibayar debitur, untuk mencocokan dengan pembayaran piutang debitur selanjutnya.

d) SPF dibuat oleh kasir yang sebenarnya tidak tahu menahu mengenai piutang yang ada atau berkaitan langsung dengan penjualan kredit. Dan juga di kasir tugasnya hanyalah dalam hal penerimaan dan pengeluaran uang. Hal ini bisa mengakibatkan kesalahan dalam penagihan piutang. Selain itu juga menambah tugas kasir yang sebenarnya sudah terlalu banyak.

e) Dokumen yang masuk bagian akuntansi yaitu BKP yang dilampiri KW-4 dan FP-2,4,6 setelah dicoding dan verifikasi, harus keluar lagi dari bagian akuntansi untuk diotorisasi pejabat berwenang yang lain. Hal ini tidak efektif dan juga bisa menimbulkan kemungkinan dokumen hilang ditengah proses

otorisasi yang nantinya bisa berpengaruh pada pencatatan selanjutnya ataupun pengarsipan. Seharusnya bagian akuntansi menjadi fungsi terakhir yang melaksanakan prosedur penerimaan kas.

g) Sistem otorisasi terlalu banyak dan dilakukan oleh pihak–pihak yang tidak terlalu terkait dengan prosedur penerimaan kas dari pembayaran piutang ini. Misalnya otorisasi BKP yang juga dilakukan oleh manajer keuangan dan umum yang sebenarnya tidak terkait langsung pada prosedur ini, ataupun mengetahui proses pencatatannya. Hal ini mengakibatkan pertanggung jawaban terhadap penerimaan kas menjadi semu, karena seharusnya orang yang melakukan otorisasi adalah orang yang ikut bertanggung jawab terhadap penerimaan kas dari piutang tersebut, tidak sekedar membubuhkan tanda tangan. Selain itu, dengan otorisasi yang begitu banyak, mengakibatkan prosedur menjadi rumit dan memakan terlalu banyak waktu.

f) Bukti setor bank, hanya ada satu rangkap untuk bagian akuntansi. Sedangkan di kasir sebagai pihak yang menyetor tidak menyimpan. Padahal bukti setor ini seharusnya disimpan keduanya sebagai pihak yang terkait, yang nantinya sangat berguna untuk pengecekan dan pencocokan pada saat melakukan rekonsiliasi antara kasir dengan bagian akuntansi.

3) Rekomendasi

a) Distribusi dan rangkap FP sebaiknya diubah dan dikurangi. Bagian kasir yang bertugas menerima pembayaran piutang usaha sebaiknya menyimpan salah satu rangkap FP untuk arsip yang bisa digunakan untuk melakukan pencocokan dengan petugas penagihan atau fungsi lain yang terkait. Kemudian FP tidak perlu didistribusikan ke GM ataupun SPI karena mereka tidak terkait langsung dengan prosedur ini. Jika akan melakukan pemeriksaan rutin setahun sekali, maka GM ataupun SPI bisa menggunakan arsip bagian akuntansi untuk dicocokan dengan fungsi lain yang terkait.

b) Untuk lebih meringkas dokumen – dokumen yang ada, dalam membuat bukti adanya penerimaan kas, bisa dilakukan hanya dengan membuat BPK saja. Dokumen KW bisa dihilangkan, fungsinya bisa digantikan oleh BPK. Jadi, perangkapan BPK ditambahkan menjadi lima kali dan distribusinya ditambahkan ke pelanggan atau debitur dan dinas komersial.

c) SPF sebaiknya dibuat oleh dinas komersil yang berkaitan langsung dengan penjualan kredit, dan juga yang mempunyai buku rekap penjualan kredit. Atau dengan kata lain dinas komersillah yang mengetahui adanya piutang usaha tersebut. d) BPK sebaiknya diberi nomor urut cetak dari perusahaan agar

nantinya berpengaruh pada pengarsipan dan pencatatan selanjutnya.

e) Sistem otorisasi BPK sebaiknya hanya dilakukan oleh pihak yang terkait langsung dan benar–benar mengetahui adanya penerimaan kas dari pembayaran piutang ini. BPK tidak perlu diotorisasi oleh manajer keuangan dan umum yang tidak terkait langsung, cukup diotorisasi olah asman PPKBL sebagai atasan kasir yang membuat BPK dan asman akuntansi dan anggaran yang melakukan pencatatan.

f) Bukti setor dari bank jika hanya mendapat satu rangkap, sebaiknya dicopy oleh bagian kasir untuk nantinya yang asli diberikan ke bagian akuntansi. Hal ini berguna sebagai dokumen pendukung dalam melakukan pencocokan pencatatan antara kasir dan akuntansi.

Untuk lebih jelasnya mengenai rekomendasi untuk penerimaan kas dari pembayaran piutang usaha, dapat dilihat pada gambar IV.5 berikut ini.