• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

C. Prosedur Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tahapan, yakni penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan memperoleh pati ubi jalar sebagai bahan pembuat edible coating dan menentukan konsentrasi pati dan CMC yang memberikan viskositas tidak terlalu kental juga tidak terlalu encer dengan pengamatan secara visual (subjektif). Sementara itu, penelitian utama meliputi pembuatan edible coating yang selanjutnya diaplikasikan pada apel potong segar untuk diamati. Tahapan penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8.

*

Pembuatan pati untuk bahan dasar edible coating

(Gambar 10)

Pengamatan

Densitas kamba

Penentuan konsentrasi pati dan CMC untuk edible coating

Penilaian subjektif (secara visual) berdasarkan viskositas, yakni tidak terlalu encer dan tidak terlalu kental

Konsentrasi pati dan CMC yang

diinginkan

Penelitian utama

Pembuatan edible coating

(Gambar 14) Pati 1% (b/v) CMC 0.5%(b/v) Perbandingan pati ubi jalar:tapioka 4:0 (A1)

Rendemen Derajat putih

Pati 1% (b/v) CMC 1%(b/v) Pati 2% (b/v) CMC 0.5%(b/v) Pati 2% (b/v) CMC 1%(b/v) Penelitian pendahuluan Perbandingan pati ubi jalar:tapioka 3:1 (A2) Perbandingan pati ubi jalar:tapioka 2:2 (A3) Perbandingan pati ubi jalar:tapioka 1:3 (A4) Perbandingan pati ubi jalar:tapioka 0:4 (A5) Kontrol (A6)

Aplikasi pada apel potong segar (Gambar 17)

*

Gambar 8. Diagram alir penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) yang digunakan sebagai bahan penghasil pati diperoleh dari Pasar Anyar Bogor dan hanya dari satu pedagang untuk menjaga keseragaman. Pembuatan pati mengacu pada Shinta (2007) dengan modifikasi yang dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10.

*

Pengamatan

Ubi jalar segar bersih (10 kg)

Disortasi

Dibersihkan (abrassive peeler) Kotoran

Dirajang (slicer)

Diblender Air

Diperas

Disaring (kain batis) Ampas Suhu ruang (B1) Suhu 5°C (B2) Organoleptik Warna Susut bobot Laju respirasi

*

Gambar 9. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar (Shinta, 2007)

*

Diendapkan selama 5 jam

Pati ubi jalar basah

Dikeringkan dengan oven 40°C

Pati ubi jalar kering

Air Diperas

Disaring dengan kain saring Ampas Ubi jalar segar (5 kg)

Disortasi

Dicuci dan dikupas

Ubi jalar bersih (3.1 kg)

Diparut dengan mesin pemarut kelapa Digiling

Disaring dengan pengayak 100 mesh

*

Gambar 10. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar modifikasi

Modifikasi pembuatan pati ubi jalar dilakukan pada tahapan pembersihan, pemarutan, dan pengeringan. Pengupasan kulit pada penelitian ini tidak menggunakan abrassive peeler melainkan dilakukan secara manual agar tidak banyak bagian yang terbuang sehingga dapat mengurangi rendemen. Pemarutan juga dilakukan dengan mesin pemarut kelapa agar lebih efisien. Pengeringan menggunakan oven (Gambar 11) pada proses pembuatan pati dilakukan dua kali, yakni sebelum dan sesudah pengecilan ukuran menggunakan blender kering yang terdapat pada Gambar 12.

Gambar 11. Oven yang digunakan untuk pengeringan pada pembuatan pati

Diendapkan selama 5 jam pada suhu ruang

Pati ubi jalar basah

Dikeringkan dengan oven 40°C selama 4 jam

Disaring dengan pengayak 100 mesh

Pati ubi jalar(5.1 kg) Filtrat

Dihaluskan (blender kering) skala 1

Gambar 12. Blender kering yang digunakan untuk pengeringan pada pembuatan pati

Selain pembuatan pati, pada penelitian pendahuluan juga dilakukan penentuan konsentrasi pati dan CMC yang memberikan viskositas tidak terlalu kental juga tidak terlalu encer yang dinilai secara visual (subjektif). Terdapat empat kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang dicobakan, yaitu (1) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 0.5% b/v, (2) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 1% b/v, (3) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 0.5% b/v, dan (4) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 1% b/v. Volume yang dimaksud yakni volume larutan pati setelah ditambahkan dengan CMC. CMC digunakan sebagi campuran pati karena kemampuannya menyerap oksigen tanpa meningkatkan kandungan karbondioksida.

Larutan edible coating yang terlalu encer akan mengurangi efek penghambatan reaksi pencoklatan produk, dalam hal ini apel potong segar. Sementara itu, larutan edible coating yang terlalu kental selain mengakibatkan lapisan yang terbentuk tidak merata, juga akan memperlama waktu pengeringan produk serta dapat mengakibatkan fermentasi anaerobik.

Setelah diperoleh kombinasi pati dan CMC yang tepat, penelitian dilanjutkan dengan pembuatan larutan edible coating yang selanjutnya digunakan untuk melapisi apel potong segar. Mekanisme pembuatan edible coating mengacu pada Santoso et al. (2004) dengan modifikasi yang dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

Gambar 13. Diagram alir pembuatan edible coating (Santoso et al., 2004)

Gambar 14. Diagram alir pembuatan edible coating modifikasi

Pati

Air Diaduk dengan mixer selama 15 menit

Disaring

Gliserol 15% (v/b tapioka), asam

stearat, CMC

Dipanaskan pada suhu 70°C sambil terus diaduk

Degassing selama 20 menit

Larutan edible coating

Didinginkan sampai suhu kamar

Pati (2 gram)

CMC (1 gram) Air destilata (197 ml)

Diaduk manual menggunakan gelas pengaduk

Diaduk dengan magnetic stirer skala 8 selama 15 menit

Dipanaskan sampai suhu 85°C, sambil diaduk dengan magnetic stirer

Gliserol 15% (v/b pati)

Degassing dengan pompa vakum sampai tidak ada gelembung lagi

Tahapan yang dimodifikasi pada pembuatan edible coating adalah penambahan CMC dan penggunaan magnetic stirrer. Penambahan CMC pada penelitian ini dilakukan bersamaan dengan pencampuran pati dan air destilata untuk kemudian diaduk dengan gelas pengaduk. Tujuan pengadukan dengan gelas pengaduk adalah untuk mengurangi gumpalan yang diakibatkan adanya CMC sehingga larutan lebih homogen. Pada penelitian ini digunakan magnetic stirrer (Gambar 15) sebagai pengganti mixer. Penggunan magnetic stirrer menyebabkan proses pembuatan edible coating lebih mudah karena pengadukan berlangsung otomatis. Pembuatan edible coating juga tidak ditambahi asam stearat dan degassing dilakukan sampai tidak terlihat gelembung lagi.

Gambar 15. Pemanasan dan pengadukan pati menggunakan magnetic stirrer

2. Penelitian Utama

Setelah diperoleh kombinasi pati dan CMC yang sesuai pada penelitian pendahuluan yaitu konsentrasi pati 1% b/v dan CMC 0.5% b/v, penelitian dilanjutkan dengan aplikasi larutan edible coating tersebut pada apel potong segar. Pati yang digunakan tidak hanya dari pati ubi jalar tapi juga tapioka. Tapioka ini kemudian dicampurkan pati ubi jalar menjadi lima kombinasi perlakuan. Yaitu (1) perbandingan pati ubi jalar:tapioka 4:0, (2) perbandingan pati ubi jalar:tapioka 3:1, (3) perbandingan pati ubi jalar:tapioka 2:2, (4) perbandingan pati ubi jalar:tapioka 1:3, dan (5) perbandingan pati ubi jalar:tapioka 0:4. Penggunaan tapioka sebagai

campuran pati disebabkan kemudahan mendapatkannya di pasaran dan sering digunakan sebagai bahan baku industri. Pencampurannya dengan pati ubi jalar untuk mengetahui efektivitas kedua pati tersebut ketika dijadikan bahan baku edible coating.

Apel yang telah dilapisi edible coating dengan berbagai kombinasi perlakuan kemudian diamati laju respirasi, warna, susut bobot, dan organoleptik. Cara aplikasi edible coating terhadap apel potong segar mengacu pada Layuk et al. (2002) dengan beberapa modifikasi. Secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17.

Gambar 16. Diagram alir aplikasi edible coating pada apel potong segar (Layuk et al., 2002)

Apel

Dikupas

Dipotong dengan ukuran 3 x 1.5 x 1.5 cm

Dicelupkan larutan asam askorbat dan asam sitrat 1:1 (5 menit)

Dicelupkan dalam larutan edible coating (5 menit)

Dikeringkan pada suhu 50°C selama 20 menit

Diletakkan dalam cawan petri

Dimasukkan dalam stoples tertutup

Gambar 17. Diagram alir aplikasi edible coating pada apel potong segar modifikasi

Modifikasi proses yang dilakukan berupa pengecilan ukuran apel potong segar menjadi 2 x 1.5 x 1cm dari semula 3 x 1.5 x 1.5 cm. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan keterbatasan biaya. Selanjutnya pengeringan tidak dilakukan menggunakan oven tapi dengan kipas angin. Wadah yang digunakan adalah styrofoam dan ditutup dengan wrapping film. Hal ini dilakukan karena styrofoam merupakan jenis pengemas yang mudah ditemui. Setiap wadah styrofoam berisi empat buah potongan apel. Dan setiap kombinasi perlakuan terdiri atas dua wadah sebagai ulangan.

D. Pengamatan

Pengamatan dibagi menjadi dua, yakni pengamatan untuk penelitian pendahuluan dan pengamatan untuk penelitian utama. Pengamatan yang

Apel

Dicuci

Dipotong dengan ukuran 2 x 1.5 x 1cm

Dicelupkan larutan asam askorbat dan asam sitrat 1:1 (5 menit)

Dicelupkan dalam larutan edible coating (5 menit)

Ditiriskan

Dikeringkan dengan kipas angin hingga kering

Diletakkan dalam styrofoam

Ditutup dengan wrapping film

dilakukan pada penelitian pendahuluan meliputi pengamatan rendemen pati, derajat putih, dan densitas kamba. Sedangkan pengamatan yang dilakukan pada penelitian utama meliputi laju respirasi, susut bobot, warna, dan organoleptik.

1. Rendemen

Rendemen pati ubi jalar dihitung berdasarkan perbandingan bobot kering pati yang diperoleh terhadap bobot umbi segar tanpa kulit (bobot bersih). Perhitungan rendemen menggunakan rumus :

100% x b a pati Rendemen = Keterangan :

a = Bobot kering pati ubi jalar b = Bobot umbi ubi jalar bersih

2. Derajat Putih

Derajat putih diukur menggunakan alat Whitenessmeter. Pada alat ini dibandingkan derajat putih contoh dengan derajat putih standar (MgO) yang bernilai 100%. Skala terkecil dari Whitenessmeter adalah 0 % (sama dengan warna hitam) dan skala terbesar adalah 100 % (sama dengan warna putih standar MgO). Pembacaan derajat putih contoh dapat dilihat langsung pada skala yang terdapat pada Whitenessmeter. Derajat putih dari contoh yang diukur mempunyai nilai 0-100 %.

3. Densitas Kamba (Afdi, 1989)

Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan yang berupa tepung atau biji-bijian yang dinyatakan dalam g/ml. Sampel dituang ke dalam gelas ukur 100 ml. Penuangan dilakukan dari ketinggian 10 cm. Kemudian diratakan dengan penggaris. Selanjutnya gelas ukur yang berisi pati ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi sampel dengan volume ruang yang ditempati seperti yang terdapat pada rumus di bawah ini.

Densitas kamba = ukur gelas volume ukur) gelas (berat - pati) ukur gelas (berat +

Nilai densitas kamba penting dalam hal konsumsi suatu produk pangan. Densitas kamba suatu bahan mempengaruhi jumlah bahan yang bisa dikonsumsi dan biaya produksinya (Peleg, 1983). Nilai densitas kamba berbanding terbalik dengan kekambaan. Semakin kecil nilai densitas kamba maka kekambaan produk tersebut semakin besar (bulky). Artinya untuk satuan berat yang sama, produk yang memiliki densitas kamba lebih kecil akan memerlukan tempat yang lebih besar.

4. Laju Respirasi

Laju respirasi diukur dengan menggunakan sistem tertutup, dengan menempatkan buah apel potong segar (fresh-cut apple) ± 250 gram ke dalam toples dan ditutup rapat supaya tidak ada udara yang masuk ke dalam sistem.

Pada saat pengukuran, dua buah selang yang terhubung dengan

Gas Analyzer dimasukkan ke dalam toples yang akan diukur laju respirasinya. Pengukuran gas CO2 dilakukan secara bertahap, mulai dari 4, 8, 12, sampai 24 jam sekali setiap harinya hingga tujuh hari atau hingga produk rusak.

Menurut Saltveit (_______), persamaan laju respirasi gas CO2 dan O2 adalah sebagai berikut :

dt dx x W V R = Keterangan :

R = Laju respirasi (ml/kg jam)

V = Volume bebas dalam respiration chamber (liter) W = berat bahan (kg)

dt dx

5. Susut Bobot

Penentuan susut bobot dilakukan dengan mengukur bobot apel potong segar yang telah dikemas setiap hari. Pengukuran dihentikan hingga umur simpan yang diketahui melalui pengukuran laju respirasi pada tahapan sebelumnya. Bobot apel potong segar pada H-0 ditentukan sebagai bobot awal. Susut bobot merupakan selisih dari bobot pada sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Persamaan yang digunakan untuk mengukur susut bobot adalah sebagai berikut :

Susut bobot = _ ×100% o t o W W W Keterangan : o

W = Bobot sampel pada hari ke-0 (gram)

t

W = Bobot sampel pada hari ke-n (gram)

6. Warna

Intensitas warna diukur dengan menggunakan Chromameter

Minolta CR-200 seperti terlihat pada Gambar 18. Pada Chromameter

Minolta CR-200 digunakan sistem Y, x, dan y. Nilai ini kemudian dikonversi ke dalam nilai L untuk menunjukkan kecerahan (Lightness). Rumus konversi yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 7a. Sebelum pengukuran dilakukan, Chromameter dikalibrasi dahulu dengan

calibration plate yang berwarna putih.

Nilai x yang diperoleh dari pengukuran Chromameter digunakan untuk mengetahui nilai Browning Index (BI). Browning Index (BI) biasanya digunakan sebagai indikator tingkat pencoklatan pada produk- produk mengandung gula. Semakin tinggi nilai BI menunjukkan semakin tinggi intensitas warna coklat pada produk. Berdasarkan Perez-Gago et al. (2003), nilai BI diperoleh menggunakan rumus sebagai berikut :

100 x 0.172 0.31) - (x BI=

x adalah cromaticity coordinate yang diperoleh dari pembacaan

Chromameter.

7. Organoleptik

Salah satu syarat edible coating adalah tidak berasa dan jernih (Gontard dan Guilbert, 1994). Dengan alasan itulah dilakukan pengujian organoleptik terhadap produk apel potong segar yang telah dilapisi edible coating dengan berbagai konsentrasi pati ubi jalar-tapioka. Untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap apel yang telah dilapisi.

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik parameter warna dan rasa pada skala 1-5. Masing-masing kriteria penilaian tersebut adalah (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) netral/biasa, (4) suka, dan (5) sangat suka. Jumlah panelis yang digunakan adalah 31 orang panelis. Data yang diperoleh diolah secara statistika menggunakan ANOVA melalui program SPSS 15.

Pada uji penerimaan tidak ada contoh pembanding atau contoh baku dan panelis dilarang mengingat atau membandingkan dengan contoh yang diuji sebelumnya. Tanggapan harus diberikan secara cepat dan spontan. Bahkan tanggapan yang sudah diberikan tidak boleh ditarik kembali meskipun kemudian timbul keragu-raguan. Uji penerimaan lebih subjektif daripada uji pembedaan. Karena itu beberapa panelis yang ekstrim senang atau benci terhadap suatu komoditi atau bahan tidak dapat lagi digunakan untuk melakukan uji penerimaan (Soekarto,1981).

E. Rancangan Percobaan

Faktor yang dicobakan dalam penelitian ini meliputi perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka (A) dan suhu penyimpanan (B) yang dilakukan dengan dua kali ulangan. Faktor perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka terdiri atas enam taraf atau perlakuan, yakni A1 (perbandingan pati ubi jalar:tapioka 4:0), A2 (perbandingan pati ubi jalar:tapioka 3:1), A3 (perbandingan pati ubi jalar:tapioka 2:2), A4 (perbandingan pati ubi jalar:tapioka 1:3), dan A5 (perbandingan pati ubi jalar:tapioka 0:4), serta kontrol (A6) yaitu apel yang tidak dilapisi edible coating. Suhu penyimpanan terdiri atas dua taraf, yakni B1 (suhu ruang) dan B2 (suhu 5°C). Masing-masing faktor menggunakan Rancangan Acak Lengkap sebagai rancangan percobaannya.

Model linier yang digunakan untuk faktor perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka adalah sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya, 2002) :

Yij = µ + τi + εij

Keterangan :

i = 1,2,3,4,5,6 dan j = 1,2

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

βj = Pengaruh faktor suhu penyimpanan pada taraf ke-j εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Untuk faktor suhu penyimpanan model linier yang digunakan adalah sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya, 2002) :

Yij = µ + τi + εij

Keterangan :

i = 1,2 dan j = 1,2

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

βj = Pengaruh faktor suhu penyimpanan pada taraf ke-j εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Data yang diperoleh diolah secara statistika menggunakan instrumen ANOVA melalui program SPSS 15. Bila terjadi perbedaan nyata antar perlakuan, akan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan 99% (α = 0.01).

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan

Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan menggunakan blender kering, selanjutnya pati disaring menggunakan ayakan 100 mesh. Pengayakan ini menghasilkan pati yang halus seperti terlihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Pati ubi jalar yang telah diayak

Tahapan selanjutnya yang dilakukan setelah pembuatan pati adalah penentuan konsentrasi pati dan CMC yang memberikan viskositas tidak terlalu kental juga tidak terlalu encer. Terdapat empat kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang dicobakan, yaitu (1) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 0.5% b/v, (2) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 1% b/v, (3) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 0.5% b/v, dan (4) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 1% b/v. Volume yang dimaksud yakni volume larutan pati setelah ditambahkan dengan CMC. Berdasarkan pengamatan subjektif secara visual terhadap viskositas yang dihasilkan keempat kombinasi konsentrasi pati dan CMC, diperoleh kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang menghasilkan edible coating tidak terlalu encer dan juga tidak terlalu kental, yakni kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang pertama dengan konsentrasi pati 1% b/v dan CMC 0.5% b/v.

1. Rendemen

Rendemen yang dihasilkan dari proses pembuatan pati sebesar 16.1%. Jika dibandingkan kadar pati rata-rata yang terdapat pada ubi jalar, yakni 22.4% (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura dan IPB, 1999), maka efisiensi pembuatan pati ubi jalar adalah 71.9%. Efisiensi tidak mencapai 100% kemungkinan disebabkan pemerasan yang kurang sempurna sehingga masih banyak pati yang tertinggal pada ampas.

2. Derajat Putih

Derajat putih rata-rata yang dimiliki pati ubi jalar adalah 86.4%. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan standar derajat putih tapioka mutu I dan II berdasarkan SNI 01-3451-1994, yakni 94.5% dan 92.0%.

Perbedaan derajat putih ini terutama dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor genetik mempengaruhi pati dalam dua hal, yaitu secara tidak langsung dan secara langsung. Secara tidak langsung mempengaruhi melalui kandungan berbagai komponen lain yang terdapat pada bahan yang mengandung pati dan secara langsung mempengaruhi melalui tingkat keputihan pati. Bahan hasil tanaman yang mengandung pati biasanya juga mengandung komponen lain seperti pigmen dan berbagai mineral (Ega, 2002).

3. Densitas Kamba

Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik bahan yang dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan itu sendiri dalam satuan gram/mililiter.

Nilai densitas kamba yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.5 ± 0.09 g/ml. Nilai standar deviasi yang kecil menunjukkan bahwa densitas kamba yang dihasilkan pada penelitian ini mendekati nilai densitas kamba yang sebenarnya. Dibanding densitas kamba pati jagung yang berkisar antara 0.575 – 0.687 g/ml (Ikhlas, 1992), nilai densitas kamba pati ubi jalar yang diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil. Hal ini menunjukkan

bahwa untuk satuan berat yang sama, pati ubi jalar akan menempati ruang yang lebih besar dibanding pati jagung.

B. Penelitian Utama 1. Laju Respirasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur simpan produk apel potong segar untuk suhu ruang hanya 40 jam atau ± 2 hari karena lewat jam tersebut produk sudah mengalami kerusakan, yakni ditumbuhi kapang dan berlendir. Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Produk yang telah mengalami kerusakan pada penyimpanan suhu ruang (kiri) dan 5°C (kanan)

Gambar yang dilingkari menunjukkan kapang yang tumbuh pada apel potong segar. Sementara itu, untuk suhu penyimpanan 5°C produk dapat bertahan hingga jam ke-168 atau ± 4 hari. Informasi mengenai lama penyimpanan ini perlu untuk menentukan berapa lama analisis-analisis berikutnya, seperti analisis susut bobot dan warna.

Umur simpan yang relatif singkat disebabkan kerusakan oleh mikroorganisme. Hal ini ditandai dengan munculnya lendir serta tumbuhnya kapang pada produk serta bau alkohol yang sangat menyengat. Dibandingkan buah utuh, buah potong segar (fresh-cut fruit) lebih rentan terhadap kerusakan akibat mikroorganisme. Hal tersebut terjadi akibat jaringan dan sel yang rusak pada buah potong segar (fresh-cut fruit) akibat pemotongan mampu menyediakan nutrisi yang dibutuhkan bagi tumbuhnya mikroorganisme (Toivonen dan DeEll-Jennifer, 2002). Kandungan air dan gula yang tinggi pada buah apel menciptakan kondisi

yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelapisan apel potong segar dengan edible coating tidak mampu menahan laju pertumbuhan mikroorganisme karena larutan edible coating yang digunakan tidak ditambahkan senyawa antimikroba seperti asam sorbat, kalium sorbat, atau asam propionat.

Selain disebabkan karakteristik buah potong segar (fresh-cut fruit) yang rentan dan larutan edible coating yang tidak dapat lagi berfungsi sebagai penahan laju pertumbuhan mikroorganisme, kerusakan akibat mikroorganisme pada apel potong segar juga dapat disebabkan pengolahan yang kurang higienis. Misalnya di dalam penelitian ini tidak dilakukan pencucian buah apel dengan air berklorinasi, baik sebelum maupun sesudah pemotongan. Pencucian hanya dilakukan saat sebelum pemotongan menggunakan air biasa. Pencucian menggunakan air berklorinasi saat sebelum pemotongan dapat menurunkan jumlah mikroba awal sehingga nantinya kandungan mikroba pada produk juga berkurang. Selain itu, peneliti juga tidak menggunakan masker pada saat pengolahan.

Kerusakan akibat mikroorganisme juga diakibatkan kondensasi yang terjadi saat produk dikeluarkan dari ruang penyimpanan dingin untuk diukur laju respirasinya. Kondensasi ini akan merangsang terjadinya pembusukan (Perera, 2007).

Bau alkohol yang menyengat yang merupakan hasil dari fermentasi anaerobik juga tercium pada produk apel potong segar saat akhir penyimpanan. Fermentasi anaerobik dilakukan oleh jenis mikroorganisme yang umum terdapat pada produk apel potong segar, yakni khamir dan bakteri asam laktat (BAL). Khamir dan BAL menggunakan gula sederhana yang terdapat pada apel potong segar untuk melakukan fermentasi dan menghasilkan alkohol, asam organik, serta CO2 (Chen, 2002). Pengukuran

laju respirasi dalam toples yang tertutup menyebabkan persediaan oksigen lama kelamaan akan berkurang. Sehingga untuk merombak gula yang terdapat pada apel potong segar dilakukan dengan fermentasi yang merupakan proses respirasi anaerobik.

Data yang digunakan untuk pengukuran laju respirasi hanya berdasarkan kadar CO2 yang dihasilkan. Hal ini disebabkan selama

respirasi jumlah CO2 yang keluar relatif cukup banyak sehingga

mempermudah pengukuran. Selain itu pembacaan alat sudah dilakukan secara digital sehingga keakuratan data dapat lebih terjamin dibanding pengukuran O2. Jenis alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Hasil penelitian yang terdapat pada Lampiran 4 memperlihatkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai laju respirasi apel potong segar. Nilai rata-rata laju respirasi apel potong segar yang disimpan pada suhu ruang lebih besar (54.21 ml/kg jam) dibanding apel potong segar yang disimpan pada suhu 5°C (10.56 ml/kg jam).

Nilai laju respirasi yang rendah pada suhu penyimpanan 5°C disebabkan pada suhu rendah umumnya kecepatan reaksi kimia mengalami penurunan. Seperti yang dikemukakan oleh Muchtadi (1992) bahwa untuk tiap kenaikan suhu 10°C, respirasi akan berlangsung dua atau tiga kali lipat lebih besar. Hal yang sama berlaku juga untuk kebalikannya. Untuk setiap penurunan suhu sebesar 10°C, respirasi akan berlangsung dua atau tiga kali lebih lambat.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai laju respirasi. Nilai laju respirasi apel kontrol tidak berbeda nyata dengan apel yang terlapis edible coating. Sehingga dapat disimpulkan bahwa larutan edible coating yang digunakan untuk melapisi apel potong segar tidak efektif dalam menahan laju respirasi.

Hal ini kemungkinan disebabkan proporsi gilerol yang terlalu besar sehingga mempengaruhi lapisan edible coating yang terbentuk. Gliserol merupakan pemlastis yang mampu menjadikan matriks lapisan edible coating lebih renggang sehingga meningkatkan permeabilitas. Peningkatan

Dokumen terkait