• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Pengumpulan Data

III. METODE PENELITIAN

3.4. Prosedur Pengumpulan Data

3.4.1 Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat

Pengukuran parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan secara insitu pada tiap stasiun penelitian dengan pengulangan sesuai periode pengambilan sampel udang putih pada saat air pasang dan surut. Khusus untuk fraksi substrat, pengukuran dilakukan di laboratorium. Prosedur pengukuran parameter fisik- kimia air dan substrat adalah sebagai berikut:

- Suhu air dasar perairan diukur dengan mengambil sampel air menggunakan botol niskin, lalu diukur suhunya dengan termometer Hg.

- Kecerahan air diukur menggunakan sechi disc.

- Kedalaman perairan diukur menggunakan tali penduga pada saat pengambilan sampel makrozoobentos.

- Fraksi substrat diukur dengan mengambil contoh substrat sebanyak 100 g menggunakan ekman grab, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80°C, lalu diayak dengan sieve shaker untuk dianalisa fraksi substratnya.

- Oksigen terlarut diukur dengan titrasi winkler.

- Salinitas air diukur menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan satu tetes air pada permukaan refraktometer, lalu ditutup dengan kaca penutup yang terdapat pada alat tersebut, selanjutnya dilakukan pembacaan melalui skala yang tertera pada alat tersebut untuk menggambarkan kadar salinitas perairan. Pengukuran salinitas susbstrat dilakukan dengan menyaring air substrat menggunakan kertas saring berukuran pori 0,45 μm (Hutagalung et al. 1997), selanjutnya air yang tersaring diteteskan sebanyak satu tetes pada permukaan refraktometer, lalu dibaca kadar salinitasnya.

- pH air diukur menggunakan pH meter.

- Pengukuran NO3 dan PO4 dilakukan dengan mengambil contoh air pada tiap

stasiun. Pengambilan contoh air dilakukan pada air permukaan sedalam 30 cm menggunakan botol berwarna gelap/botol Winkler. Contoh air

(Hutagalung et al. 1997), dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisa kandungan unsur haranya.

3.4.2 Parameter Biologi

3.4.2.1 Pengukuran Vegetasi Mangrove

Pengukuran vegetasi mangrove dilakukan mulai dari tingkat pohon dan permudaan pada tiap stasiun menggunakan metode transek garis (line transect) sepanjang 30 m, yang ditempatkan tegak lurus garis pantai menuju ke arah darat/belakang hutan mangrove (Kusmana 1997; Bengen 2002; Fachrul 2007). Pada tiap stasiun dipasang 3 buah transek garis dengan jarak antar transek 20 m. Data vegetasi mangrove diambil dari tiap transek menggunakan metode kuadrat dengan membuat 3 buah plot berukuran 10 m x 10 m untuk kategori pohon (diameter batang ≥ 10 cm) yang ditempatkan di sebelah kiri dan atau kanan transek. Pada setiap plot 10 m x 10 m selanjutnya dibuat plot berukuran 5 m x 5 m untuk mengukur kategori permudaan mangrove (tinggi tanaman ≥ 1,5 m, diameter batang < 10 cm) seperti disajikan pada Gambar 6. Vegetasi mangrove yang ditemukan pada tiap plot selanjutnya diidentifikasi menggunakan buku acuan menurut Bengen (2002) dan Kusmana et al. (2005), lalu dihitung jumlah individu perjenis untuk setiap kategori guna mengetahui kerapatan jenisnya. Dihitung juga indeks dominansi jenis mangrove pada tiap stasiun.

Gambar 6 Disain metode transek garis dalam pengukuran vegetasi mangrove. 5 m x 5 m plot pengamatan permudaan mangrove, 10 m x 10 m plot pengamatan pohon, laut, lumpur.

3.4.2.2 Pengukuran Produksi Serasah Mangrove

Pengukuran produksi serasah mangrove dilakukan dengan cara mengumpulkan guguran serasah pada tiap stasiun menggunakan litter-trap (jaring perangkap serasah) masing-masing sebanyak 45 buah per stasiun (Gambar 7).

Gambar 7 Prosedur penempatan litter-trap pada tiap stasiun. laut, lumpur. .

Litter-trap ditempatkan pada plot berukuran 10 m x 10 m secara acak, masing-masing sebanyak 5 buah (5 x 9 plot = 45 buah). Litter-trap yang digunakan berukuran 1 m x 1 m x 0.5 m dengan mesh size 1.5 mm x 1.5 mm, terbuat dari nilon yang setiap bagian tepinya dibingkai dengan kayu tipis (Brown 1984). Litter-trap dipasang dengan cara mengikat keempat sudutnya pada empat tegakan pohon, dengan posisi jaring berada di atas garis pasang tertinggi/bebas dari genangan air pasang. Serasah yang tertampung dalam litter-trap diambil setiap 30 hari selama 12 bulan, kemudian dipisahkan berdasarkan komponen daun, bunga/buah maupun ranting, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi label, dan dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, contoh serasah kemudian dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80°C sampai berat serasah konstan. Total nilai berat kering serasah pada tiap stasiun dalam selang waktu tertentu, akan menunjukkan produksi serasah di tiap stasiun penelitian (Proctor 1984). Prosedur pengukuran produksi serasah disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Prosedur pengukuran produksi serasah.

3.4.2.3 Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah

Laju dekomposisi serasah diukur dengan mengambil serasah daun yang sebelumnya ditampung dengan litter-trap (selain litter-trap untuk pengukuran produksi serasah) sebanyak 10 g, lalu dicuci dengan air dan dikering anginkan. Selanjutnya 10 g serasah daun tersebut dimasukkan ke dalam kantong serasah/

litter-bag berukuran 20 cm x 30 cm yang terbuat dari nilon dengan mesh size 1 mm x 1 mm (Yunasfi 2006), sehingga memberikan kemungkinan partikel-

partikel kecil dapat tercuci oleh arus pasang surut atau air hujan setelah sebagian sampel hancur. Jumlah kantong serasah yang digunakan sebanyak 35 buah untuk setiap stasiun (tiap kantong serasahberisi 10 g serasah), yang ditempatkan secara acak dengan cara mengikatnya pada pangkal batang pohon mangrove atau potongan pancang bambu yang ditancapkan ke dalam tanah sedalam 40 cm, sehingga tidak hanyut atau hilang terbawa arus pasang. Setiap 15 hari sekali

Guguran serasah mangrove (daun, bunga/buah, dan ranting)

Litter-trap berukuran 1 m x 1 m x 0,5 m, mesh size 1,5 mm x 1,5 mm (dipasang dengan mengikat keempat sudutnya pada empat tegakan pohon)

Serasah yang tertampung dalam litter-trap diambil setiap 30 hari selama 12 bulan

Serasah dipisahkan berdasarkan komponen daun, bunga/buah maupun ranting, dibersihkan dengan air, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi label

dan dibawa ke laboratorium

Serasah dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80°C sampai berat serasah konstan

Dihitung produksi serasah pada tiap stasiun dengan mengukur:

1. Produksi serasah dalam selang waktu 30 hari = Total berat kering serasah yang tertampung dalam 45 litter trap dalam selang waktu 30 hari, dengan satuan: g/m2/30 hari

2. Produksi serasah selama 12 bulan (mulai bulan ke-1 sampai ke-12), dengan satuan: g/m2/th

dilakukan pengambilan terhadap 5 buah litter-bag yang ditempatkan pada tiap

stasiun, hingga hari ke- 75 (2,5 bulan pengamatan) setelah serasah diletakkan di lapangan. Waktu pengamatan ini didasarkan pada penelitian yang telah

dilakukan oleh Brotonegoro dan Abdulkadir (1978); Soenardjo (1999) yang menyatakan proses dekomposisi serasah daun sudah terjadi pada hari ke- 7 sampai hari ke- 15 setelah serasah diletakkan di lapangan, dan dekomposisi total terjadi pada hari ke 60 - 75.

Pada setiap pengukuran, serasah daun yang tersisa dalam litter-bag dikeluarkan dan dibersihkan dari lumpur yang kemungkinan melekat menggunakan air, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi label, dan dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80°C sampai bobot serasah konstan. Bobot kering serasah ini disebut sebagai bobot kering serasah setelah waktu pengamatan (Xt).

Bobot kering serasah awal (X0) pada tiap stasiun diketahui dengan mengambil sampel serasah daun yang sebelumnya ditampung dalam litter-trap sebanyak 10 g, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Kantong plastik yang berisi serasah tersebut selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dibersihkan serasahnya dengan air tawar, lalu dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80°C sampai bobot serasah konstan (Ashton et al. 1999). Laju dekomposisi serasah dapat diketahui dari nilai bobot kering serasah awal dikurangi bobot kering serasah setelah waktu pengamatan dibagi lamanya waktu pengamatan. Persentase sisa serasah daun mangrove selama eksprimen dihitung dengan menggunakan rumus menurut Boonruang (1984). Nilai bobot kering yang digunakan adalah rataan bobot kering serasah pada setiap stasiun. Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Prosedur pengukuran laju dekomposisi serasah.

3.4.2.4 Pengambilan Contoh Plankton dan Makrozoobentos

Pengambilan contoh plankton dan makrozoobentos dilakukan sebelum pengambilan contoh udang putih, baik pada saat pasang maupun surut. Titik pengambilan sampel plankton disesuaikan dengan titik pengambilan sampel udang putih maupun titik untuk pengukuran faktor fisik-kimia perairan. Contoh plankton diambil menggunakan plankton net berbentuk kerucut dengan diameter 10 g dimasukkan ke dalam litter-bag untuk pengamatan eksprimental/ di lapangan (jumlah litter-bag tiap stasiun 35 buah)

10 g dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label (jumlah kantong plastik untuk tiap stasiun 5 buah)

Serasah daun yang tertampung dalam litter-trap

Kantong serasah diambil setiap 15 hari sampai hari ke- 75 (2,5 bulan pengamatan)

Serasah dikeluarkan dari litter-bag dan dibersihkan dari lumpur yang melekat dengan air

Litter-bag diikat pada pangkal batang mangrove atau potongan pancang bambu yang ditancapkan ke dalam tanah sedalam 40 cm

Dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan dengan oven pada temperatur 80°C sampai bobot serasah konstan

Dibawa ke laboratorium, dibersihkan dengan air tawar, dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80°C sampai bobot serasah konstan

Bobot kering serasah awal =X0

Bobot kering serasah setelah waktu pengamatan = Xt

Laju dekomposisi serasah

T X X R= 0− t

Persentase sisa serasah daun mangrove selama eksprimen

100 0 0 x X X X Y= − t

Nilai konstanta laju dekomposisi Xt = X0.e-kt

mulut jaring berukuran 30 cm, panjang 1 m dan mesh size 80 μm. Pengambilan

sampel plankton dilakukan dengan cara menyaring air sebanyak 100 liter ke dalam plankton net, yang diambil menggunakan ember bervolume 5 liter

sebanyak 20 kali penyaringan. Contoh air yang tersaring dalam plankton net selanjutnya dimasukkan ke dalam botol sampel dengan volume 25 ml (Fachrul

2007), diberi lugol 10% sebanyak 3 tetes sebagai pengawet, lalu dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, sampel plankton (25 ml) yang telah diberi

pengawet diteteskan ke dalam Sedgwick Rafter Counting Cell sebanyak 1 ml menggunakan pipet tetes, lalu diamati di bawah mikroskop binokuler dengan metode sapuan, yaitu mengamati jumlah jenis plankton yang tampak pada seluruh bagian Sedgwick Rafter counting cell menggunakan perbesaran 10 x 40 mikron, selanjutnya diidentifikasi menggunakan buku acuan Newell dan Newell (1977) dan Tomas (1997).

Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan menggunakan Ekman grab yang terbuat dari baja dengan berat 3,2 kg, berukuran 30 cm x 30 cm. Titik pengambilan sampel makrozoobentos juga disesuaikan dengan titik pengambilan sampel udang putih. Contoh makrozoobentos yang didapat selanjutnya disaring menggunakan ayakan/sieve dengan mesh size 0,5 mm, lalu dicuci dengan air, dimasukkan ke dalam botol sampel, diawetkan dengan formalin 10% (Sasekumar 1984; Fachrul 2007), diberi label, dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi menggunakan buku acuan Roberts et al. (1982), Kozloff dan Price (1987) dan Dharma (1988)dengan bantuan mikroskop stereo.

3.4.2.5 Pengambilan Contoh Udang Putih

Pengambilan contoh udang putih dilakukan di kawasan perairan pantai, maupun estuari yang berada di kawasan ekosistem mangrove, berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan (pertambakan, permukiman, dan pertanian), serta karakteristik khusus yang terdapat pada setiap stasiun, menggunakan jaring ambai berbentuk kerucut. Ambai yang digunakan memiliki panjang total 15 m, terbagi atas empat bagian yang memanjang menurut besar kecilnya mata jaring yaitu: bagian muka/sayap, tengah, belakang, dan kantong/cod end (Gambar 10).

Gambar 10 Ambai yang digunakan untuk pengambilan sampel udang putih.

Kecenderungan bentuk jaring yang memanjang antara lain agar sasaran tangkap yang terdorong masuk ke dalam jebakan jaring kantong akan sulit keluar kembali dari mulut kantong. Jaring ambai ini terbuat dari bahan nilon polyfilament dengan bukaan mulut berukuran 4 m x 2 m (berbentuk empat persegi), dan pada kanan kiri mulut jaring terdapat gelang yang terbuat dari besi berjumlah 2 buah. Gelang tersebut berfungsi untuk mengikat tali yang akan diikatkan ke tiang pancang. Pengambilan contoh udang putih dilakukan sebanyak empat kali setiap bulannya (seminggu sekali) dalam waktu yang sama (mulai jam 16.00 WIB sampai dengan 19.00 WIB) secara statis/menetap, baik pada saat pasang maupun surut dengan posisi ambai diletakkan melawan arus (mengikuti kebiasaan nelayan setempat). Pada tiap stasiun dipasang 3 unit ambai (jumlah ambai yang dipasang setiap bulan 12 unit dengan 2 kali perlakuan, yaitu pada saat pasang dan surut). Pengambilan hasil tangkapan contoh udang dilakukan setelah 2 jam pemasangan ambai, dengan mengangkat bagian bawah mulut jaring ke permukaan air lalu menyatukan bibir bagian bawah mulut jaring dengan bagian atasnya.

Udang yang didapat dari 12 unit ambai tersebut, selanjutnya dikompositkan menjadi satu unit contoh untuk tiap stasiun, lalu dilakukan pengamatan dan pemotretan untuk dibuat deskripsinya menggunakan buku acuan menurut Lovett (1981), Dore dan Frimodt (1987), Chaitiamvong dan Supongpan (1992), dihitung kelimpahan individu per jenis kelamin, kelas ukuran dan tingkat kematangan gonad udang betina. Dilakukan analisa distribusi spasial udang putih (menurut

kelas ukuran, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad), distribusi temporal pada setiap bulan pengamatan, pola pertumbuhan, parameter pertumbuhan, umur teoritis, ukuran minimum dan maksimum, laju mortalitas pada tiap stasiun, serta rekruitmen pada setiap bulan pengamatan. Dilakukan juga analisa terhadap aspek reproduksi, mencakup rasio kelamin pada tiap stasiun, ukuran udang pertama kali matang gonad, dan pola pemijahan pada setiap bulan pengamatan.

Dokumen terkait