• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 4. Metodologi Penelitian

6. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Meminta persetujuan calon responden untuk memperlihatkan surat keterangan dokter yang menyatakan calon responden terdiagnosa asma.

2. Menjelaskan tujuan, manfaat, prosedur pengumpulan data pada calon responden.

3. Meminta persetujuan calon responden untuk tidak melakukan teknik pernapasan ataupun alternatif pernapasan lain untuk menurunkan gejala asma selama 1 bulan penelitian.

4. Memberikan informed consent kepada calon responden. 5. Mengisi kuesioner data demografi oleh responden.

6. Melakukan pengisian lembar kuesioner observasi tentang gejala asma pada responden di awal pertemuan sebelum pemberian intervensi sehingga diperoleh data tentang gejala asma.

7. Menjelaskan jadwal kontrak kegiatan penelitian secara keseluruhan kepada responden.

8. Menjelaskan jadwal kontrak latihan kepada responden kelompok intervensi. 9. Mendemonstrasikan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan sangat mudah sebanyak 2 kali, selama 20 menit/ session kepada responden kelompok intervensi di hari pertama minggu pertama latihan.

10. Meminta responden kelompok intervensi untuk mengulang kembali tahapan latihan teknik pernapasan Buteyko sebanyak 2 kali seperti yang telah diperagakan peneliti.

11. Melatih responden kelompok intervensi dalam melakukan tahapan latihan teknik pernapasan Buteyko selama 20 menit pada hari kedua minggu pertama latihan.

12. Memberikan protokol dan panduan latihan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan sangat mudah di akhir latihan pada hari kedua minggu pertama latihan.

13. Meminta kesediaan dan kejujuran responden untuk melakukan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan sangat mudah setiap harinya.

14. Mendemonstrasikan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan mudah sebanyak 2 kali, selama 20 menit/ session kepada responden kelompok intervensi pada hari pertama minggu kedua latihan.

15. Meminta responden kelompok intervensi untuk mengulang kembali tahapan latihan teknik pernapasan Buteyko sebanyak 2 kali seperti yang telah diperagakan peneliti.

16. Melatih responden kelompok intervensi dalam melakukan tahapan latihan teknik pernapasan Buteyko pada hari kedua minggu kedua latihan.

17. Memberikan protokol dan panduan latihan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan mudah di akhir latihan pada hari kedua minggu kedua latihan. 18. Meminta kesediaan dan kejujuran responden untuk melakukan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan mudah setiap harinya.

19. Mendemonstrasikan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan sedang sebanyak 2 kali kepada responden kelompok intervensi pada hari pertama minggu keempat latihan.

20. Meminta responden kelompok intervensi untuk mengulang kembali tahapan latihan teknik pernapasan Buteyko sebanyak 2 kali seperti yang telah diperagakan peneliti.

21. Melatih responden kelompok intervensi dalam melakukan tahapan latihan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan sedang pada hari kedua minggu keempat latihan.

22. Memberikan protokol dan panduan latihan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan sedang di akhir latihan pada hari kedua minggu kempat latihan. 23. Meminta kesediaan dan kejujuran responden untuk melakukan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan sedang setiap harinya.

24. Melatih responden kelompok intervensi dalam melakukan tahapan latihan teknik pernapasan Buteyko dengan tingkat kesulitan sedang pada hari terakhir minggu keempat latihan.

25. Melakukan pengisian lembar kuesioner observasi post intervensi pada minggu terakhir latihan hingga diperoleh penurunan gejala asma setelah latihan teknik pernapasan Buteyko selama 1 bulan.

26. Melakukan pengisian lembar kuesioner observasi tentang gejala asma pada kelompok kontrol di akhir minggu keempat dari 1 bulan jadwal penelitian.

Peneliti seharusnya memantau dan memastikan latihan teknik pernapasan Buteyko yang dilakukan oleh responden setiap harinya. Namun, karena

keterbatasan peneliti maka peneliti hanya mampu melakukan pengumpulan data seperti penjabaran di atas.

7. Analisa Data

Setelah dilakukan pengumpulan data maka dilakukan analisa data. Data yang diperoleh dari setiap responden pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi yaitu berupa data demografi. Pada kelompok intervensi diperoleh data hasil pengisian kuesioner penurunan gejala asma sebelum dan sesudah intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak dilakukan intervensi teknik pernapasan Buteyko diperoleh data berupa hasil pengisian kuesioner tentang gejala asma pada awal dan akhir penelitian. Data penelitian tersebut dibandingkan dengan menguji hipotesa penelitian sehingga diketahui efektivitas teknik pernapasan Buteyko terhadap penurunan gejala asma. Selanjutnya dilakukan pengolahan data.

7.1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif digunakan untuk menyajikan data-data demografi yang meliputi jenis kelamin, usia, TB (Tinggi Badan), BB (Berat Badan), lama terdiagnosa asma, penggunaan bronkodilator, suku, pekerjaan dan data penurunan gejala asma pre dan post dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase.

7.2. Statistik Inferensial

Statistik inferensial digunakan untuk menganalisis penurunan gejala asma antara pre dan post kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Selanjutnya statistik inferensial juga digunakan untuk membandingkan perbedaan penurunan gejala asma antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.

Adapun uji inferensial yang dipakai adalah uji statistik parametrik yaitu uji

paired t-test yang digunakan untuk membandingkan penurunan gejala asma pre

dan post teknik pernapasan Buteyko pada kelompok intervensi dan untuk membandingkan ada atau tidaknya perbedaan gejala asma pada kelompok kontrol. Uji paired t-test digunakan karena data yang diperoleh berdistribusi normal.

Pada uji paired t-test tersebut diperoleh nilai p, yaitu nilai yang menyatakan besarnya peluang hasil penelitian (probabilitas). Kesimpulan hasilnya diinterpretasikan dengan membandingkan nilai p dan nilai alpha (α = 0.05). Bila nilai p ≤ α, maka keputusannya adalah Ha diterima (Portney & Watkins, 2000).

Untuk membandingkan ada atau tidaknya perbedaan penurunan gejala asma antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi setelah pemberian teknik pernapasan Buteyko, digunakan uji independent t-test. Uji independent t-test digunakan karena data yang diperoleh berdistribusi normal. Sama halnya dengan uji paired t-test, pada uji independent t-test diperoleh nilai p, yaitu nilai yang menyatakan besarnya peluang hasil penelitian (probabilitas). Kesimpulan hasilnya diinterpretasikan dengan membandingkan nilai p dan nilai alpha (α = 0.05). Bila nilai p ≤ α, maka keputusannya adalah Ha diterima (Portney & Watkins, 2000).

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai efektivitas teknik pernapasan Buteyko terhadap penurunan gejala asma pada penderita asma di Kota Medan.

1. Hasil Penelitian

Penelitian ini melibatkan 11 orang responden yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 6 orang pada kelompok intervensi dan 5 orang pada kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menguraikan karakteristik demografi responden, gejala asma pre dan post teknik pernapasan Buteyko pada kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol serta perbandingan penurunan gejala asma antara post intervensi teknik pernapasan Buteyko dengan post kontrol.

1.1. Karakteristik Demografi Responden

Responden penelitian ini adalah penderita asma yang memenuhi kriteria sampel penelitian dan berada di Kota Medan. Usia responden dalam penelitian ini berada pada rentang 21 - 54 tahun dan didominasi oleh responden dengan rentang usia 20-40 tahun (87.5%, n=7) yang merupakan rentang usia dewasa muda.

Berdasarkan jenis kelamin, responden perempuan hampir mendominasi (87.5%, n=7). Berat badan seluruh responden dalam penelitian ini berada pada rentang 39-70 kg. Mayoritas berat badan responden berada pada rentang 48-55 kg (62.5%, n=5).

Tinggi badan seluruh responden dalam penelitian ini berada pada rentang 153-163 cm. Mayoritas responden memiliki tinggi badan 156-158 cm (62.5%, n=5). Lamanya responden terdiagnosa asma pada umumnya berada pada rentang 16-20 tahun (37.5%, n=3).

Seluruh responden dalam mengatasi gejala asma memakai bronkodilator (100%, n=8). Mayoritas responden masih berstatus mahasiswa (50%, n=4). Berdasarkan kategori suku, kebanyakan responden merupakan suku Jawa (37.5%, n=3) dan suku Batak (37.5%, n=3). Karakteristik demografi responden dapat dilihat pada tabel 3 .

Tabel 3. Karakteristik Demografi Responden Karakteristik

Data Demografi

Responden Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Usia (tahun) 20-40 7 87.5 41-60 1 12.5 (M= 25.88, SD= 11.420), Min-max=21-54) 2. Jenis Kelamin Perempuan 7 87.5 Laki-laki 1 12.5 3. BB (kg) 39-47 1 12.5 48-56 5 62.5 57-65 1 12.5 66-74 1 12.5 (M= 54.13, SD= 8.855, Min-max=39-70) 4. TB (cm) 153-155 1 12.5 156-158 5 62.5 159-161 1 12.5 161-164 1 12.5 (M= 157.25, SD= 3.412, Min-max=153-163)

Lanjutan Tabel 3

Karakteristik Data Demografi

Responden Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Frekuensi (f) Persentase (%) 6. Indeks Massa Tubuh

<18.5 1 12.5 18.5-24.9 5 62.5 25.0-29.9 2 25.0 >30.0 0 0.0 (M= , SD= , Min-max= 2-18) 7. Lama terdiagnosa asma

1-5 2 25.0 6-10 1 12.5 11-15 2 25.0 16-20 3 37.5 (M= 11.38 , SD=6.140 , Min-max= 2-18 ) 8. Menggunakan Bronkodilator Ya 8 100 Tidak 0 0 9. Pekerjaan Mahasiswa 4 50.0 Wiraswasta 1 12.5 Guru 1 12.5 PNS 1 12.5

Ibu Rumah Tangga 1 12.5

10. Suku

Batak 3 37.5

Jawa 3 37.5

Mandailiing 2 25.0

1.2. Gejala asma Responden Pre-Post Teknik Pernapasan Buteyko dan Gejala asma Responden Pre-Post Kontrol

Gejala asma yang dialami responden diidentifikasi tingkat keparahannya dengan menggunakan lembar observasi yang mengukur gejala asma selama sebulan dan gejala asma selama seminggu. Tingkat keparahan gejala asma akan

diperoleh maka gejala asma yang dialami dalam rentang waktu yang diukur semakin parah, sebaliknya semakin kecil nilai total skor gejala asma yang diperoleh maka semakin kecil tingkat keparahan gejala asma yang dialami dalam rentang waktu yang diukur.

Gejala asma mingguan yang dialami responden pre teknik pernapasan Buteyko pada umumnya berada pada kategori sedang. Namun, pada post teknik pernapasan Buteyko mengalami penurunan menjadi kategori ringan. Untuk setiap gejala seperti sesak dan gangguan tidur yang pada saat pre intervensi berada pada kategori berat mengalami penurunan menjadi kategori ringan pada post intervensi Untuk gejala seperti batuk dan dada tertekan yang saat pre intervensi berada pada kategori sedang mengalami penurunan menjadi kategori ringan pada post intervensi. Untuk gejala wheeze saat pre-post intervensi tetap berada pada kategori ringan dan mengalami perubahan nilai total skor yaitu dari nilai total skor 2 berkurang menjadi 1. Gejala asma yang dialami responden selama seminggu pre dan post teknik pernapasan Buteyko dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Gejala Asma Responden Selama Seminggu Pre-Post Teknik Pernapasan Buteyko Gejala Mingguan Tingkat Gejala Pre-Test Post-Test Total Skor M SD Kategor i

Total Skor M SD Kategor

i

Batuk 4 0.80 0.447 Sedang 1 0.20 0.447 Ringan

Sesak 7 1.40 0.548 Berat 1 0.20 0.447 Ringan

Wheeze 2 0.40 0.447 Ringan 1 0.20 0.447 Ringan

Dada Tertekan

6 1.20 0.548 Sedang 0 0.00 0.000 Ringan

Gangguan Tidur 7 1.40 0.548 Berat 1 0.20 0.447 Ringan

Gejala asma mingguan yang dialami responden pre kontrol pada umumnya berada pada kategori sedang. Pada post kontrol pun gejala asma minnguan responden tetap berada pada kategori sedang. Namun demikian, terjadi kenaikan jumlah total skor antara pre-post kontrol. Untuk setiap gejala seperti wheeze, bahkan mengalami peningkatan dari kategori ringan saat pre kontrol menjadi kategori sedang saat post kontrol. Sedangkan gejala batuk dan sesak, walaupun tetap berada berada pada kategori sedang baik saat pre maupun post kontrol, akan tetapi kedua gejala ini mengalami kenaikan nilai total skor. Untuk gejala gangguan tidur tetap berada pada kategori ringan dan juga tidak mengalami perubahan nilai total skor selama pre-post kontrol. Gejala asma yang dialami responden selama seminggu kontrol dapat dilihat pada tabel 5 di atas.

Tabel 5. Gejala Asma Responden Selama Seminggu Pre-Post Kontrol

Gejala asma bulanan yang dialami responden pre teknik pernapasan Buteyko pada umumnya berada pada kategori ringan. Pada post intervensi pun tetap berada pada kategori ringan. Namun, antara pre-post teknik pernapasan Gejala Mingguan Tingkat Gejala Pre-Test Post-Test Total Skor

M SD Kategori Total Skor M SD Kategor i

Batuk 3 1.00 1.000 Sedang 4 1.33 0.577 Sedang

Sesak 3 1.00 1.000 Sedang 4 1.33 0.577 Sedang

Wheeze 2 0.67 0.577 Ringan 4 1.33 0.577 Sedang

Dada Tertekan 2 0.67 0.577 Ringan 2 0.67 0.577 Ringan Gangguan Tidur 3 1.00 1.000 Sedang 3 1.00 1.000 Sedang Jumlah 13 4.33 2.309 Sedang 17 5.67 2.062 Sedang

Buteyko terjadi penurunan jumlah total skor gejala asma yang sangat besar. Untuk setiap gejala seperti gejala harian dimana saat pre intrvensi berada pada kategori berat mengalami penurunan menjadi kategori ringan saat post intervensi. Gejala gangguan tidur saat pre intervensi berada pada kategori sedang juga mengalami penurunan gejala menjadi kategori ringan. Untuk gejala gangguan aktivitas dan kebutuhan obat penurun gejala asma, walaupun tetap berada pada kategori ringan selama pre-post intervensi, namun terjadi perubahan nilai total skor antara pre dan

post intervensi. Gejala asma yang dialami responden selama sebulan pre dan post

teknik pernapasan Buteyko dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Gejala Asma Responden Selama Sebulan Pre dan Post Teknik Pernapasan Buteyko

Gejala asma bulanan yang dialami responden pre kontrol pada umumnya berada pada kategori sedang. Pada post kontrol pun tetap berada pada kategori sedang. Namun demikian, terjadi kenaikan jumlah total skor antara pre dan post kontrol. Semua gejala bulanan seperti gejala harian, gangguan aktivitas, gangguan Gejala Bulanan Tingkat Gejala Pre-Test Post-Test Total Skor M SD Katego ri

Total Skor M SD Kategori

Gejala Harian 7 1.40 0.548 Berat 1 0.20 0.447 Ringan Gangguan Aktivitas 3 0.60 0.894 Ringan 1 0.20 0.447 Ringan Gangguan Tidur 4 0.80 0.837 Sedang 0 0.00 0.000 Ringan Kebutuhan Obat Penurun Gejala Asma 1 0.20 0.447 Ringan 0 0.00 0.000 Ringan

tidur dan kebutuhan obat penurun gejala mengalami kenaikan nilai total skor. Gejala gangguan aktivitas, gangguan tidur dan kebutuhan obat penurun gejala mengalami peningkatan dimana saat pre kontrol berada pada kategori ringan berubah menjadi kategori sedang saat post kontrol. Gejala harian tetap berada pada kategori sedang selama pre-post kontrol. Gejala asma yang dialami responden selama sebulan pre dan post kontrol dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Gejala Asma Responden Selama Sebulan Pre dan Post Kontrol

1.3. Perbedaan Penurunan Gejala Asma Pre-Post Teknik Pernapasan Buteyko dan Perbedaan Gejala Asma Pre-Post Kontrol

Untuk melihat perbedaan penurunan gejala asma digunakan uji paired t-test. Namun, uji paired t-test dapat digunakan apabila data hasil penelitian terdistribusi secara normal, sehingga data hasil penelitian perlu dilakukan uji normalitas.

Uji normalitas data digunakan untuk mengetahui sebaran data. Uji

normalitas data pada penelitian ini menggunakan uji Shapiro Wilk. Sebaran data

dari hasil penelitian ini ternyata terdistribusi secara normal artinya data variabel

Gejala Bulanan Tingkat Gejala

Pre-Test Post-Test Total Skor M SD Katego ri Total Skor M SD Kategori

Gejala Harian 3 1.00 0.577 Sedang 4 1.33 0.333 Sedang Gangguan Aktivitas 2 067 0.333 Ringan 4 1.33 0.333 Sedang Gangguan Tidur 2 0.67 0.333 Ringan 3 1.00 1.000 Sedang Kebutuhan Obat Penurun Gejala Asma 2 0.67 0.333 Ringan 4 1.33 0.333 Sedang

yang diukur tersebar secara merata (gejala asma mingguan intervensi: uji Shapiro

Wilk : p=0.094; gejala asma mingguan kontrol : uji Shapiro Wilk : p=0.320; gejala

asma bulanan intervensi: uji Shapiro Wilk : p=0.129; gejala asma bulanan kontrol: uji Shapiro Wilk : p=0.266), sehingga untuk mengetahui perbedaan penurunan gejala asma pre-post teknik pernapasan Buteyko dan perbedaan pre-post kontrol dapat dilakukan dengan menggunakan uji statistik paired t-test.

Hasil analisa uji paired t-test menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, gejala asma mingguan (p= 0.002) dan gejala asma bulanan (p= 0.012) mengalami perubahan yang signifikan dimana nilai p<0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan gejala asma pre dan post teknik pernapasan Buteyko terhadap gejala asma mingguan dan gejala asma bulanan.

Gejala-gejala asma mingguan seperti sesak, dada tertekan dan gangguan tidur mengalami perubahan yang signifikan, dimana nilai p<0.05 yang berarti adanya pengaruh teknik pernapasan Buteyko terhadap gejala sesak, dada tertekan dan gangguan tidur. Namun, pada gejala batuk dan wheeze tidak mengalami perubahan yang signifikan, dimana nilai p yang diidentifikasi >0.05, yang berarti tidak adanya pengaruh teknik pernapasan Buteyko terhadap gejala batuk dan

wheeze.

Gejala asma bulanan seperti gejala harian mengalami perubahan yang signifikan, dimana nilai p<0.05 yang berarti adanya pengaruh teknik pernapasan Buteyko terhadap gejala harian. Namun, pada gejala gangguan aktivitas, gangguan tidur dan kebutuhan obat penurun gejala asma tidak mengalami perubahan yang signifikan, dimana nilai p yang diperoleh >0.05, yang berarti

tidak terdapat pengaruh teknik pernapasan Buteyko terhadap penurunan gejala gangguan aktivitas, gangguan tidur dan kebutuhan obat peurun gejala asma. Pada tabel 8 dapat dilihat perbedaan penurunan gejala asma antara pre dan post teknik pernapasan Buteyko.

Tabel 8. Perbedaan Penurunan Gejala Asma Pre dan Post Teknik Pernapasan Buteyko

No Gejala Asma SD T p value

1 Gejala Asma Mingguan 1.342 7.333 0.002

Batuk 0.548 2.449 0.070

Sesak 0.447 6.000 0.004

Wheeze 0.548 1.633 0.178

Dada Tertekan 0.707 3.162 0.034

Gangguan Tidur 0.447 6.000 0.004

2 Gejala Asma Bulanan 1.342 4.333 0.012

Gejala Harian 0.447 6.000 0.004

Gangguan Aktivitas 0.548 1.633 0.178

Gangguan Tidur 0.837 2.138 0.099

Kebtuhan Obat Penurun Gejala Asma

0.447 1.000 0.374

Sedangkan hasil analisa uji paired t-test terhadap gejala asma mingguan dan bulanan pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa gejala asma mingguan (p= 0.057) dan gejala asma bulanan (p= 0.225) tidak mengalami perubahan yang signifikan dimana nilai p>0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan gejala asma pre dan post kontrol terhadap gejala asma mingguan dan gejala asma bulanan.

Seluruh gejala asma mingguan seperti batuk, sesak, wheeze, rasa tertekan di dada dan gangguan tidur tidak mengalami perubahan yang signifikan, dimana nilai p>0.05 yang berarti tidak terdapat perbedaan antara pre dan post kontrol

terhadap gejala batuk, sesak, wheeze, rasa tertekan di dada dan gangguan tidur. Sama halnya dengan gejala asma bulanan, dimana gejala seperti gejala harian , gangguan aktivitas, gangguan tidur dan kebutuhan obat penurun gejala tidak mengalami perubahan yang signifikan, dimana nilai p>0.05 yang berarti tidak terdapat perbedaan antara pre dan post kontrol terhadap gejala harian, gangguan aktivitas, gangguan tidur dan kebutuhan obat penurun gejala. Pada tabel 9 dapat dilihat hasil analisa terhadap gejala asma antara pre dan post kontrol.

Tabel 9. Perbedaan Gejala Asma Pre dan Post kontrol

No Gejala Asma SD T p value

1 Gejala Asma Mingguan 0.577 -4.000 0.057

Batuk 0.577 -1.000 0.423

Sesak 0.577 -1.000 0.423

Wheeze 1.000 0.000 1.000

Dada Tertekan 0.577 -2.000 0.184

Gangguan Tidur 1.000 0.000 1.000

2 Gejala Asma Bulanan 2.000 -1.000 0.225

Gejala Harian 0.577 -1.000 0.423

Gangguan Aktivitas 0.577 -2.000 0.184

Gangguan Tidur 0.577 -1.000 0.423

Kebtuhan Obat Penurun Gejala Asma 1.155 1.000 0.423 1.4. Perbandingan Penurunan Gejala Asma antara Post Teknik Pernapasan

Buteyko dengan Post Kontrol

Untuk melihat perbandingan penurunan gejala asma antara post teknik pernapasan Buteyko dengan post kontrol digunakan uji independent t-test. Hasil analisa uji independent t-test menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, diperoleh hasil yaitu gejala asma mingguan (p= 0.003) dan gejala asma bulanan (p= 0.002) dimana nilai p<0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap penurunan gejala asma mingguan dan gejala

Gejala-gejala asma mingguan seperti batuk, sesak dan wheeze mengalami perubahan yang signifikan, dimana nilai p<0.05 yang berarti terdapat perbedaan penurunan gejala batuk, sesak dan wheeze antara kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, pada gejala rasa tertekan di dada dan gangguan tidur tidak mengalami perubahan yang signifikan, dimana nilai p yang diidentifikasi >0.05, yang berarti tidak terdapat perbedaan penurunan gejala rasa tertekan di dada dan gangguan tidur antara kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Gejala asma bulanan seperti gejala harian, gangguan aktivitas dan kebuthan obat penurun gejala mengalami perubahan yang signifikan, dimana nilai p<0.05 yang berarti terdapat perbedaan penurunan gejala harian, gangguan aktivitas dan kebutuhan obat penurun gejala antara kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, pada gejala gangguan tidur tidak mengalami perubahan yang signifikan, dimana nilai p yang diperoleh >0.05, yang berarti tidak terdapat perbedaan penurunan gejala gangguan tidur antara kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada tabel 10 dapat dilihat perbedaan penurunan gejala asma antara post teknik pernapasan Buteyko dengan

post kontrol.

Tabel 10. Perbedaan Penurunan Gejala Asma antara Post Teknik Pernapasan Buteyko dengan Post Kontrol

No Gejala Asma T p value

1 Gejala Asma Mingguan 4.820 0.003

Batuk 3.139 0.020

Sesak 3.139 0.020

Lanjutan Tabel 10

No Gejala Asma T p value

Dada Tertekan 1.200 0.305

Gangguan Tidur 1.309 0.296

2 Gejala Asma Bulanan 5.087 0.002

Gejala Harian 3.139 0.020

Gangguan Aktivitas 3.139 0.020

Gangguan Tidur 1.732 0.225

Kebtuhan Obat Penurun Gejala Asma 5.477 0.002

2. Pembahasan

Dari hasil penelitian, maka dibahas masalah penelitian mengenai bagaimana keefektifan teknik pernapasan Buteyko terhadap penurunan gejala asma pada penderita asma.

2.1. Karakteristik Demografi Responden

Angka kejadian asma pada orang dewasa banyak terjadi pada usia dewasa muda. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hermansson (2001) dalam Murphy (2005), dimana kejadian asma pada orang dewasa paling banyak dialami pada rentang usia 20-32 tahun yaitu pada rentang usia dewasa muda. Sama halnya dengan penelitian ini, dimana kejadian asma berdasarkan usia tumbuh kembang pada orang dewasa paling banyak dialami pada rentang usia 20-40 tahun (87.5, n=7), yaitu pada rentang usia dewasa muda dengan nilai M=25.88, SD=11.420. Penyebabnya tidak diketahui secara pasti, namun diduga penyakit asma ini pada umumnya sudah dibawa sejak masih anak-anak (About.com, 2004).

Menurut GINA (2005) kejadian asma pada orang dewasa berdasarkan jenis kelamin lebih banyak ditemukan pada perempuan karena perempuan memiliki

paru-paru yang lebih kecil dari laki-laki sehingga gejala asma lebih mudah muncul pada perempuan. Sama halnya dengan penelitian ini, dimana kejadian asma lebih banyak ditemukan pada perempuan (87.5%, n=7).

Adapun mayoritas tinggi badan responden pada penelitian ini berada pada rentang 156-158 cm (M=157.25, SD=3.412) dengan berat badan kebanyakan berada pada rentang 48-56 kg (M=54.13, SD=8.855). Bila diukur berdasarkan perhitungan IMT (Indeks Massa Tubuh) maka lebih dari 60 persen responden memiliki berat badan ideal. Hal ini belum bisa dijelaskan secara pasti hubungannya dengan gejala asma yang dialami penderita asma. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elisa (2000), menyimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara status gizi penderita asma dengan penyakit asma yang dideritanya.

Berdasarkan lamanya terdiagnosa asma, pada penelitian ini ditemukan bahwa lebih dari setengah responden terdiagnosa asma selama 16-20 tahun (37.5%, n=3). Gejala asma dapat muncul pada penderita asma yang tidak dapat mengontrol gejala asmanya dengan baik, tidak tergantung pada lamanya penderita asma menderita asma. Namun, pada penderita yang sudah lama terdiagnosa asma mempunyai pengetahuan yang cukup tentang asma, sehingga penderita asma ini sudah banyak memiliki pengetahuan tentang cara mengontrol gejala asma, tapi hal ini belum dapat dipastikan (The Asthma Foundation of Victoria, 2002).

Pada penelitian ini ditemukan bahwa, penderita asma didominasi oleh suku Jawa dan suku Batak (masing-masing 37.5%, n=3). Hal ini sesuai dengan pernyataan GINA (2008) yang menyatakan bahwa asma merupakan penyakit

keturunan yang terkait dengan genetik, sehingga bisa diturunkan melalui

Dokumen terkait