• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam kehidupan komunitas orang Sabu di Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalulu, ditemukan bahwa perjumpaan dan interaksi sosial telah terjadi antara orang Sabu dengan masyarakat Sumba sejak zaman dahulu kala hingga saat ini. Sebagaimana yang telah dipaparkan terlebih dahulu mengenai perjumpaan dan kontak orang Sabu dengan orang Sumba terjadi melalui berbagai hal seperti melalui hubungan nenek moyang, pengaruh penjajah, hubungan kekerabatan dan kawin – mawin para raja dan keturunannya hingga pada masa

86

kini terjadi melalui hubungan pergaulan sehari-hari, dalam persekutuan di gereja, hubungan perkawinan campuran, hubungan kerja sama dalam mata pencaharian, bahasa, dalam ranah pendidikan dan lain sebagainya.30 Melalui perjumpaan dan interaksi yang terjadi secara langsung dan terus menerus sejak zaman dahulu hingga saat ini, tanpa disadari membawa pengaruh terhadap budaya Sabu yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam budaya Sabu dengan Sumba.

Hal ini sepadan dengan apa yang dinyatakan oleh Spradley bahwa perubahan sosial budaya yang dialami oleh setiap kelompok masyarakat terjadi akibat adanya reaksi setiap orang dalam merespons berbagai interaksi dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Setiap respon yang diberikan akan melahirkan konsekuensi dalam kehidupan selanjutnya, baik positif maupun negatif.31 Adapun perubahan yang terjadi dalam komunitas orang Sabu dan budayanya di Kambaniru dan Umalulu disebabkan oleh komunikasi dan interaksi yang terjadi selama perjumpaan orang Sabu dengan orang Sumba berlangsung. Perubahan yang terjadi tidak hanya menyangkut perubahan lingkungan fisik seperti mengenai tempat pemukiman komunitas orang Sabu yang tidak lagi hanya terdapat pada daerah pesisir pantai dan berbentuk kampung (rai

udu) tetapi pada sekarang karena fakor pekerjaan dan perkawinan, beberapa orang Sabu

telah keluar dari kampung (rai udu) dan menetap di daerah kota dan pegunungan serta hidup berdampingan dengan orang Sumba. Perubahan sosial budaya yang terjadi dalam komunitas orang Sabu juga menyangkut perubahan dalam pelaksanaan adat istiadat budaya Sabu.32 Adapun fenomena perubahan dalam unsur budaya Sabu yang disebabkan karena perjumpaan dan interaksi antara orang Sabub dengan orang Sumba dan budayanya inilah yang disebut dengan istilah Akulturasi.

30 Wawancara dengan Bpk. Makana pada tanggal Senin 14 Oktober 2013

31 James P. Spradley, Metode Etnografi (penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 120-121

87

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Harsono mengenai defenisi akulturasi oleh Gilin dan Gilin, sebagai “proses di mana masyarakat–masyarakat yang berbeda–beda kebudayaannya mengalami perubahan oleh kontak yang lama dan langsung, tetapi dengan tidak sampai kepada percampuran yang komplit dan bulat dari kedua kebudayaan itu.” Selanjutnya, Koentjaraningrat menyatakan bahwa proses akulturasi itu timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan yang tertentu tentu dihadapkan dengan unsur–unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan sendiri.33

Maka dapat dipahami bahwa akulturasi budaya Sabu dapat terjadi ketika adanya kontak antar budaya Sabu dengan budaya Sumba secara intensif dalam waktu yang lama, dimana melalui interaksi tersebut menimbulkan adanya perubahan dalam budaya Sabu atau budaya Sumba. Adapun kontak dan interaksi antara orang Sabu dengan orang Sumba digambarkan dalam penjelasan oleh bpk Makana : 34

Pada awalnya orang Sabu berlum dapat dan mengerti mengenai bahasa Sumba. Sehingga mengalami kesulitan dalam interaksi. Untuk dapat berinteraksi, maka mereka menggunakan isyarat dan simbol berupa barang atau gambar dalam menjelaskan maksud dan tujuan pembicaraan. Karena orang Sabu adalah pendatang, maka harus berupaya untuk mempelajari bahasa Sumba sedikit demi sedikit dalam setiap perjumpaan yang terjadi baik di laut, ladang dan pasar (barter hasil ladang dan laut). Hal ini berlaku juga bagi para raja, mereka saling mempelajari bahasa untuk menolong dalam menjalani hubungan. Lama kelamaan dari proses belajar bahasa, akhirnya orang Sabu pun dapat memahami dan melakukan interaksi yang baik dengan orang Sumba. Demikian juga dengan orang Sumba, karena desakan kebutuhan ekonomi (seperti barter jagung dengan ikan) maka mempelajari bahasa Sabu. Tidak hanya itu, orang Sabu dan orang Sumba pada masa kini telah menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah proses interaksi di antara kami, baik dalam hubungan sosial, pekerjaan dan pelayanan di gereja.

33 Harsono, op. cit., h. 187

88

Adapun kontak antar budaya Sabu dengan budaya Sumba ini berlangsung baik antar individu dari masing-masing budaya maupun dalam lingkup antar kelompok budaya Sabu dengan budaya Sumba. Hal ini sepadan dengan yang dijelaskan oleh Harsono mengenai bentuk-bentuk kontak kebudayaan yang menimbulkan proses akulturasi.35 Bentuk-bentuk kontak tersebut dapat terjadi antara setiap anggota dari dua kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat di Sumba, baik dalam hubungan persahabatan dan kekerabatan yang terlalin antara para raja Sabu dengan raja Sumba, atau pengabar Injil (orang Sabu) dengan masyarakat Sumba, yang mana dapat diklasifikasikan dalam hubungan persahabatan ataupun dalam persoalan perang yang terjadi antara orang Sabu dengan orang Sumba. Selain dalam bidang pemerintah, sosial dan keagamaan, kontak antara orang Sabu dengan orang Sumba pun terjadi dalam bidang pekerjaan dan bidang ekonomi.

Dalam kontak yang terjalin antara orang Sabu dengan orang Sumba, tanpa disadari terjadinya proses adaptasi yang mana lambat laun menimbulkan adanya penerimaan dan pengadopsian unsur-unsur budaya Sumba menjadi bagian dalam budaya Sabu seperti dalam penggunaan bahasa. Dengan penerimaan unsur-unsur budaya Sumba dalam komunitas orang Sabu itulah menyebabkan terjadinya perubahan dalam budaya Sabu di Kambaniru dan Umalalu. Adapun unsur-unsur budaya Sumba yang masuk dalam budaya Sabu, tentunya membawa perubahaan dalam budaya Sabu itu sendiri. Perubahan inilah yang disebut dengan perubahan akulturatif. Perubahan akulturatif yang dimaksud ialah perubahan yang terjadi dalam budaya Sabu karena pengaruh unsur budaya Sumba yang diadopsi menjadi bagian dalam budaya Sabu, namun hal itu tidak menyebabkan hilangnya unsur budaya Sabu asli. Contohnya dalam penggunaan bahasa Sumba oleh

89

orang Sabu. Di mana dalam hubungan antar orang Sabu tetap menggunakan bahasa Sabu. Sehingga mereka tidak meninggalkan budaya asli.

Adapun interaksi sosial yang terjalin dalam masyarakat Sumba dengan komunitas orang Sabu merupakan awal pijakan terjadinya sebuah proses akulturasi budaya Sabu di Sumba Timur khususnya di kelurahan Kambaniru dan Umalulu. Dalam perjumpaan dan kontak antara dua budaya yang berbeda tersebut, mendorong individu dari masing-masing kelompok budaya tersebut beradaptasi satu dengan yang lain. Tentunya sebagai pendatang, orang Sabu akan berupaya untuk melakukan penyesuaian dengan masyarakat Sumba, sehingga maksud dan tujuan kehadirannya di pulau Sumba dapat diterima dan ia boleh mencapainya.

Orang Sabu memiliki sifat dan sikap yang mudah bergaul, serta kecapakan lokal seperti dalam budaya lontar, nelayan dan mengelolah makanan, sikap suka menolong serta jasa/bantuan mereka terhadap orang Sumba. Hal ini mendukung mereka untuk dapat diterima dengan baik dan menjalin hubungan dengan masyarakat Sumba. Penerimaan tersebut tidak hanya sebatas dalam menjalin pergaulan dan hubungan sosial tetapi nampak juga ketika orang Sabu mendapat kepercayaan dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di Sumba. Salah satu bukti dari penerimaan orang Sabu itu dengan adanya hibah sebagai hadiah atas jasa dan bantuan mereka dalam menolong orang Sumba. Dalam sejarah orang Sabu dan Sumba terdapat perjanjian Raja Sumba yang menghibahkan tanah sepanjang pesisir pantai di Sumba Timur menjadi milik orang Sabu. Meskipun perjanjian secara lisan, akan tetapi tetap diberlakukan hingga saat ini oleh masyarakat Sumba.36 Demikianlah orang Sabu pun mendapatkan perlakuan yang istimewa oleh masyarakat Sumba ketimbang suku lain yang berada di Sumba. Inilah

90

yang dikatakan dengan potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi yang mempermudah berlangsungnya proses akulturasi.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bakker bahwa proses akulturasi akan berlangsung jika empat syarat yang terdiri syarat persenyawaan, syarat keseragaman, fungsi dan syarat seleksi.37 Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua unsur budaya asing yang dapat diterima dan diolah menjadi bagian dalam kebudayaan sendiri. Tidak semua unsur budaya Sumba yang dapat dengan mudah diserap dan diterima oleh orang Sabu. Meskipun telah terjadi perjumpaan dan interaksi yang cukup lama dengan orang Sumba, sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu tetap menjaga dan memelihara identitas budaya asli mereka. Perubahan akulturasi yang terjadi dalam komunitas orang Sabu hanya terdapat pada beberapa unsur budaya Sabu saja, yang disebabkan dengan proses adaptasi dengan lingkungan dan budaya masyarakat Sumba.

Dalam proses akulturasi budaya Sabu di Sumba, nampak adanya unsur budaya Sumba yang sulit diterima dan diganti ialah terkait dengan sistem ajaran, falsafah, norma dan nilai dari kepercayaan asli Marapu yang berbeda dengan kepercayaan orang Sabu, sehingga unsur ini tidak diterima atau diadopsi dalam kehidupan orang Sabu di Sumba Timur. Hal ini nampak dalam penjelasan oleh bapak Y.H.R. yang menyatakan bahwa :38

Orang Sabu yang di Kambaniru dan Umalulu telah beragama Kristen. Meskipun demikian kami tetap memegang nilai-nilai budaya Sabu. Sehingga ketika kami bergaul dengan orang Sumba, kami tetap tidak terpengaruh dengan kepercayaan Marapu. Karena itu bertentangan dengan kepercayaan dan budaya kami. Contohnya, orang Sumba mempercayai Marapu sebagai pencipta dan ketika melakukan ritual upacara kematian, seperti persembahan hewan yang dipotong, papanggu (ata) yang ikut mati bagi golongan maramba, dan lain sebagainya. Hal itu tidak berlaku dalam budaya kami.

37 J. W. M. Bakker. SJ., Filsafat Kebudayaan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2014), h. 116

91

Penjelasan tambahan dari bapak Mahari yang menuturkan mengenai adat perkawinan Sumba seperti :39

Dalam adat istiadat perkawinan Sumba terdapat istilah adat hilir (silih/ sikap menghindar) antara ayah mertua dengan anak mantu dan ipar lelaki dari suami. Sedangkan dalam adat perkawinan budaya Sabu, hal itu tidak berlaku dalam budaya Sabu. Hal lainnya ialah sistem perkawinan adat Sumba yakni mengenai penetapan makna belis putus tidak sesuai dengan pemahaman makna belis atau mas kawin dalam perkawinan adat Sabu. Ketika terjadi perkawinan campur, seorang lelaki Sumba menikah dengan perempuan Sabu, hal ini tidak terjadi dalam keluarga Sabu. Artinya, hubungan anak mantu (Sumba) dengan mertua (Sabu) terjalin seperti biasa, hilir tidak berlaku dalam keluarga Sabu. Makna belis putus juga tidak berlaku dalam kalangan komunitas orang Sabu, karena dalam perkawinan itu dilaksanakan adat Kenoto.

Nampaklah bahwa dalam beberapa unsur budaya Sabu yang memegang peranan penting seperti yang digambarkan di atas, tidak mengalami perubahan akulturasi. Adapun dalam proses adaptasi, hanya terdapat beberapa unsur budaya Sumba yang dapat diserap oleh orang Sabu dan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-harinya. Pengadopsian beberapa unsur itu terjadi dalam rentang waktu yang lama dan melalui berbagai peristiwa dan adat istiadat masyarakat Sumba. Adapun penerimaan unsur budaya Sumba itu tidak secara langsung menjadi bagian budaya, tetapi unsur tersebut masih mengalami seleksi dan pengolahan. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Bakker mengenai syarat-syarat penerimaan unsur budaya asing, demikianlah yang terjadi dalam budaya Sabu. Hanya unsur budaya Sumba yang memiliki keseragaman budaya, nilai tambah dan berperan sangat penting dalam kebutuhan orang Sabu, unsur-unsur budaya itulah yang dengan mudah dapat diterima dan dijadikan bagian dari budaya Sabu. Penerimaan unsur itu dimulai dari seorang atau sejumlah individu yang kemudian menyebar menjadi bagian dari sub kebudayaan keluarga, kelompok sehingga lama kelamaan mendapat dukungan oleh semua anggota masyarakat. Contohnya, gula Sabu

92

dinikmati oleh sebagian orang Sumba, kemudian disebarkan bahkan dijual dan dikonsumsi sebagai minuman dan obat bagi masyarakat Sumba.

Selain bahasa, unsur-unsur budaya Sumba yang mudah diterima dalam orang Sabu ialah terkait dengan peralatan dan perlengkapan kehidupan di Sumba seperti penggunaan kuda sebagai sarana transportasi. Selain itu, pemakaian sarung Sumba sebagai pakaian dalam pekerjaan atau adat istiadat, sarung atau selimut Sumba yang menjadi barang bawaan saat upacara kematian. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Sabu juga meniru cara pemakian sarung perempuan Sumba. Pemakaian sarung Sabu tidak lagi dilipat dua kali dan dililit pada pinggang tetapi cukup dililitkan pada bagian pinggang.40 Adapun berikut ini adalah beberapa wujud akulturasi yang terjadi dalam komunitas orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu yakni :

1. Bahasa

Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sumba dan bahasa Sabu dalam pergaulan sehari-hari antara komunitas Sabu dan masyarakat Sumba. Penggunaan bahasa Sabu tidak hanya dalam hal pergaulan tetapi juga dalam pemberian nama tempat atau kota di daerah Sumba Timur dengan menggunakan bahasa Sumba diantaranya seperti nama kota Umalulu yang sering disebut dengan Melolo (bahasa Sabu), Kali Uda, Rae Kiha, Rame Nyiu, Rame Due, dan beberapa daerah lainnya. Adapun penamaan ini memiliki makna yang disesuaikan dengan keberadaan daerah atau tempat tersebut. Selain itu pemberian nama panggilan Sabu atau Sumba pada lelaki (ama atau umbu) dan perempuan (ina atau rambu) tidak hanya diberikan sesuai suku budaya nya sendiri, tetapi seorang lelaki Sumba dapat dipanggil ama dalam pergaulan sehari-hari, demikian juga dengan perempuan.

2. Organisasi Sosial Kemasyarakatan

93

Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan, misalnya dalam hal kepemimpinan nampak dari peran orang Sabu yang penting dalam sistem pemerintahan dan pelayanan GKS. Dahulunya di Sumba, pucuk pemerintahan dipimpin oleh kaum maramba Sumba. Namun pada masa kini, orang Sabu pun memiliki kesempatan untuk memangku jabatan dan peran penting dalam bidang pemerintahan dan gereja. Contohnya, dalam bidang gereja di wilayah Sumba, banyak orang Sabu menjadi pendeta, vikaris, guru injil yang bekerja sama dengan orang Sumba. Dalam bidang pemerintahan daerah, orang Sabu juga memangku jabatan tinggi dan bekerja sama dengan orang Sumba seperti wakil bupati, kepala kantor, anggota DPRD, dokter, camat dan lain sebagainya.

3. Sistem Perkawinan

Ada beberapa hal terkait dengan wujud akulturasi budaya Sabu di Sumba, seperti acara adat ihi kenoto (sambung tangan) yang ditiru dan dipraktekkan oleh masyarakat Sumba yakni dalam istilah acara ‘kumpul tangan’. Dalam acara ini, pihak lelaki akan mengundang keluarga besar dan kerabat untuk dapat bersama-sama menangung dan mempersiapkan mas kawin atau belis yang akan dihantar ke rumah pihak perempuan. Selain itu, pada tahapan masuk minta dalam perkawinan campur antara perempuan Sabu dan lelaki Sumba, terdapat pelaksanaan pengungkapan identitas Sumba dalam hantaran lamaran berupa seekor kuda dan sebuah mamuli mas, atau pemberian sarung Sumba sebagai sambutan dan hadiah kepada mempelai pengantin sebagai anggota keluarga yang baru.

4. Adat Kematian

Wujud akulturasi yang nampak dalam adat kematian Sabu ialah berupa perubahan yang terjadi terkait dengan pembawaan kain sumba oleh orang Sabu yang melayat. Selain itu letak dan bentuk kubur tidak hanya ditimbuni tanah dan diletakkan di bawah rumah,

94

tapi di depan atau samping rumah dan berbentuk seperti yang dilakukan oleh orang Sumba.

5. Peralatan Hidup dan Teknologi

Wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi dalam kehidupan orang Sabu di Sumba ialah seperti dalam pemakaian haik (tempat penyimpanan air, nira). Pada masa sekarang ini sudah tidak lagi digunakan, diganti dengan penggunaan botol bekas atau tempat penampungan air lainnya. Selain itu, atap rumah yang sudah tidak lagi menggunakan daun lontar diganti dengan alang, seperti yang dilakukan oleh orang Sumba. Contoh lainnya ialah seni bangunan rumah orang Sabu di Sumba. Pada masa sekarang ini, makna letak dan bangunan rumah sudah tidak diperhatikan lagi. Yang dahulunya menggambarkan letak pulau Sabu dan atapnya seperti perahu terbalik. Tetapi sekarang letak rumah seperti letak rumah Sumba yakni menghadap ke jalan. Selain itu, rumah orang Sabu dibangun tidak dalam bentuk rumah kelaga yang terbuat dari bahan pohon lontar. Tetapi beberapa rumah terbuat dari semen dan seng mengikuti pola bangunan masa kini, dan ada juga yang membangun rumah seperti model bangunan rumah Sumba yang memakai menara pada bagian atap. Wujud akulturasi lainnya ialah pada bentuk kubur dari orang Sabu di Sumba juga mengalami perubahan. Kuburan asli orang Sabu biasanya cukup ditimbun dengan tanah dan diletakkan di bawah rumah sehingga tersembunyi. Tetapi di Sumba, kuburan orang Sabu telah terbuat dari bahan batu dan semen dan diletakkan di depan atau samping rumah, sebagaimana bentuk kubur dalam budaya Sumba.

6. Kesenian

Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni tenun dan seni tari . Dalam seni tenun, motif tenunan telah dikreasikan sesuai tuntutan pemesanan, contohnya gambar mamuli dan kuda pada sarung Sabu. Sarung Sabu juga tidak hanya digunakan oleh orang

95

Sabu, tetapi juga dipakai oleh orang Sumba. Cara berpakaian orang Sabu telah mengalami perubahan dan akulturasi seperti penggunaan kain selimut atau sarung Sumba oleh orang Sabu. Selain itu cara pemaikaan sarung lebih mengikuti tata cara pemakaian sarung Sumba.

Wujud akulturasi dalam seni tari ialah pada jenis tarian pe’doa tidak dilakukan terkait dengan upacara Jingitiu dan dipentaskan pada malam hari, tetapi di Sumba, tarian ini dipentaskan oleh orang Sabu pada saat siang hari seperti dalam memeriahkan acara HUT RI, acara di gereja atau pertemuan khusus menyambut tamu dan lain sebagainya.

7. Wujud akulturasi dalam pemukiman orang Sabu. Perkampungan asli orang Sabu (rai) yang terdiri dari kumpulan udu/kerogo tidak lagi berlaku. Perkampungan orang Sabu tidak hanya terdapat di daerah yang dekat muara sungai atau pingir laut, tetapi orang Sabu pun telah menetap di daerah pegunungan Sumba Timur. Hal ini juga dipengaruhi oleh keadaan geografis Sumba, mata pencaharian, dan hubungan perkawinan. Karena itu dalam perkampungan orang Sabu telah hidup berdampingan dengan orang Sumba. 8. Wujud Akulturasi dalam sistem mata pencaharian. Orang Sabu terkenal sebagai nelayan

yang unggul, dan penyadap nira lontar (due). Ketika berada di Sumba, mata pencahariannya pun berubah sesuai dengan keadaan geografis di Pulau Sumba dan pengaruh agama Kristen. Dalam hal bertani, orang Sabu pun belajar dan mengadopsi cara bercocok tanam di sawah tadah hujan sebagaimana yang dilakukan oleh orang Sumba.

Dari uraian pembahasan hasil penelitian mengenai proses akulturasi budaya Sabu yang terjadi di Sumba Timur khususnya di Kelurahan Kambaniru dan Umalulu menunjukkan bahwa dalam perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba, orang Sabu tetap memelihara budaya aslinya dan juga mengalami perubahaan akulturatif yang disebabkan adanya unsur budaya Sumba yang diterima dan diolah menjadi bagian budaya Sabu. Hal ini sesuai dengan pemaparan yang disampaikan oleh Berry bahwa ada dua dimensi yang mendasari proses

96

akulturasi yakni terkait dengan pemeliharan warisan indentitas budaya asli dan pemeliharaan hubungan atau kontak dengan kelompok budaya lain. Selanjutnya berdasarkan dua dimensi tersebut, maka proses akulturasi tersebut dapat terwujud dalam empat strategi berupa integrasi, separasi, asimilasi, and marginalisasi.41

Dalam proses akulturasi budaya Sabu dengan budaya Sumba, strategi integrasi terwujud ketika orang Sabu tetap memelihara budaya aslinya selama ia menjalin interaksi dan hubungan sosial dengan masyarakat Sumba dalam kehidupan sehari-harinya. Contohnya, dalam bidang mata pencaharian sebagai bertani, orang Sabu bekerja sebagai petani dengan menyesuaikan dan mempelajari serta mengadopsi cara bercocok tanam pada di sawah tadah hujan. Lainnya ialah dalam penggunaan bahasa Sumba dalam pergaulan sehari-hari. Strategi separasi terjadi ketika komunitas Sabu hanya memiliki fokus untuk menghidupi nilai-nilai budaya aslinya dan sekaligus mencoba menghindari berinteraksi dengan yang lain. Hal ini nampak dengan adanya komunitas Sabu di Kambaniru dan Umalulu, yang mana masih terdapat orang-orang Sabu tertentu yang menutup diri dalam pergaulan dengan orang Sumba. Sehingga lebih memilih untuk berinteraksi dengan sesama orang Sabu dari pada dengan masyarakat Sumba. Strategi asimilasi terjadi manakala orang Sabu tidak lagi mempertahankan identitas budayanya dan kemudian membangun hubungan dan interaksi dengan budaya Sumba dalam kehidupan sehari-hari. Di sini orang Sabu tersebut telah beradaptasi dan membuka dirinya untuk menerima unsur-unsur budaya Sumba menjadi bagian kehidupannya, bahkan ia dapat meninggalkan budaya aslinya. Hal ini terjadi bagi orang Sabu yang telah menetap bukan lagi di pesisir pantai atau pada perkampungan orang Sabu tetapi karena faktor pekerjaan, ia telah menetap di daerah kota atau daerah pelosok di dataran pegunungan seperti Tabundung, Tanara, sehingga hidup berdampingan dan

Dokumen terkait