• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses nilai-nilai pendidikan karakter

Dalam dokumen ---- Dacholfany, M.Ed (Halaman 79-93)

BAB IV HASIL TEMUAN PENELITIAN DAN

B. Hasil Temuan Penelitian

1. Proses nilai-nilai pendidikan karakter

Proses nilai-nilai pendidikan karakter di Pondok Pesantren Gontor sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan religio-paternalistic, maksudnya gaya interaksi antara kyai dengan para santri atau bawahan didasarkan atas nilai-nilai keagamaan yang disandarkan kepada gaya kepemimpinan nabi Muhammmad saw dan memiliki kharismatik serta dipegang oleh laki-laki.

Kepemimpinan yang mementingkan pengelolaan lingkungan kehidupan secara totalitas, seperti apa yang dikatakan Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi.

“Saya ini bukan pemimpin yang hanya mengelola kurikulum, administrasi, kalau pekerjaan seperti itu, bisa saya wakilkan kepada siapapun, tapi saya ini mengelola kehidupan secara totalitas, kehidupan santri, kehidupan ustadz, kehidupan keluarga ustadz, pekerjaan ini tidak bisa saya wakilkan, karena saya takut ruhnya tidak bisa nyampe karena perilaku pemimpin yang satu tidak sama dengan perilaku pemimpin lainnya dan saya harus selalu menggerakkan semua komunitas pesantren setiap saat, bagaimana pondok ini horek (bergerak/ dinamis) setiap saatnya”50

Sebagaimana apa yang disampaikan oleh Imam Hariyadi alumni yang pernah mengadi di Pondok Gontor tentang Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi yang tidak hanya membina santri, tetapi kami para Ustadz, pengurus, pengasuhan sampai pada para istri dan keluarga juga dibina, dididik dalam berbagai forum pertemuan, bahkan kesejahteraan keluarga juga menjadi perhatian kyai, misalnya terkadang beliau juga menanyakan berapa tabungan yang kita miliki, dan terkadang Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi berkunjung ke rumah-rumah Ustadz hanya untuk melihat keberadaan rumah yang kemungkinan membutuhkan perbaikan-perbaikan51.

Lain halnya dengan penjelasan ustadz Nurhadi Ihsan bahwa Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi sangat mendukung bahkan perhatian pada para ustadz yang belum mampu membuat rumah sendiri, disaat ada ustadz yang membuat rumah dan mengalami kekurangan dana sehingga ustadz tersebut berhenti dalam membangun rumahnya, disaat itu pula kyai bertanya

50 M.Ihsan Dacholfany, Disertasi : Kepempinan Kyai Pondok Modern Darussalam Gontor, 2011, h.17

51Wawancara dengan Imam Hariyadi, Alumni Pondok Gontor, tanggal 10 Agustus 2014

tentang berhentinya pembangunan dan beliau langsung memberi bantuan pinjaman untuk menyelesaikan pembangunan rumah ustadz tersebut52.

Hal di atas, menunjukkan betapa K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi sebagai pimpinan pesantren memberi keteladanan kepada komunitas pesantren untuk komitmen terhadap nilai-nilai yang mendasari perilaku pesantren53.

Bagi Pondok Pesantren dalam pendidikan karakter, sebagaimana diketahui bersama bahwa pesantren tampil sebagai medan dakwah, meyebarkan dan menanamkan ajaran Islam kepada khalayak kaum muslimin yang sudah melapangkan dadanya untuk menerima ajaran Islam. Tentunya langkah-langkah yang ditempuh juga merupakan langkah-langkah dakwah, serta metodenya disarikan dari al-Qur’an dan al-sunnah serta metodologi dakwahnya para ulama yang biasanya disampaikan secara turun-temurun antara generasi. Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? (QS:2:138 ).

Untuk menggambarkan pendidikan karakter di pesantren memang tidakalah mudah, karena alasan tersebut maka penulis akan mendiskipsikan saja apa yang dialami penulis selama di pesantren serta pengalaman selama kurang lebih 20 tahun mengelola pesantren, ditambah hasil pengamatan beberapa pesantren yang pernah penulis kunjungi.

Pertama penyampaian informasi dan evaluasi ber-kesinambungan. Masih segar dalam ingatan ketika pertama penulis masuk pesantren, saat mendapat kamar di asrama, setiap malam selepas shalat magrib, kita mendengarkan berbagai pengumuman, dilarang berbelanja di warung-warung orang kampung, dari situ kita dikenalkan dengan aturan komunitas, setelah itu, bangun subuh, kita sudah dibangunkan saat dini hari, ketika terdengar suara bacaan-al-Qur’an berkumandang di

52 M.Ihsan Dacholfany, Disertasi : Kepempinan Kyai Pondok Modern Darussalam Gontor, 2011, h.25

menara mesjid setinggi 45 m. Dengan berat kita ikut bangun berebut antri ke kamar mandi dan seterusnya. Seusai shalat subuh diharuskan baca al-Quran.

Ada beberapa pengumuman juga disampaikan tentang tata cara hidup di pesantren oleh kakak-kakak pengurus asrama. Melihat pakaian kotor kita mulai belajar mencuci, pengalaman yang menarik ketika pertama kali penulis mencuci di pesantren. Karena berasal dari kampung, biasa mandi dan mencuci di kali, setelah mencuci semua pakaian tercuci hingga yang tersisa cuma handuk, dengan hanya berlilit handuk biasa kita di kampung pulang membawa cucian untuk di jemur.

Kebiasaan tersebut terbawa ketika awal di pesantren penulis melakukan hal yang sama, sampai akhirnya ketemu santri senior, dia mengingatkan, nanti kalau habis mandi dan mencuci harus berpakaian lengkap, jangan pakai handuk begitu. Dari cerita di atas ada beberapa hal yang dapat dicermati, pertama penyampaian informasi, kedua evaluasi atas pelaksanaan informasi. Jika aturan yang dikomunikasikan nampak belum dijalankan maka ada evaluasi berupa peringatan atau teguran.

Inilah yang disebut pendidikan. Karena ketatnya sistem evaluasi, maka para santri dituntut untuk peka dan tanggap terhadap informasi yang disampaikan, karena kalau ketinggalan informasi akan berakibat pada teguran54.

Dari kisah tadi juga bisa dilihat bagaimana proses pendidikan mulai berlangsung bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di pesantren, lalu memulai kehidupan secara mandiri yang sama sekali berbeda dengan kondisi di rumah. Ada tanggungjawab mulai muncul untuk menyelesaikan masalah-masalah pribadi; merapihkan lemari, menyusun pakaian, mencuci pakaian, piring, sepatu dan kebutuhan lainnya termasuk belajar makan apa adanya, tidak cengeng dan penuh semangat.

54 Wawancara dengan ustadz Hakam, salah satu Pengasuh Pondok Pesantren 9 Kalianda Lampung, tanggal 10 oktober 2014

Pendidikan seperti ini semua sudah mulai didapatkan jauh sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, proses belajar sudah mulai berlangsung di luar kelas. Artinya belum juga kegiatan belajar mengajar secara formal dimulai tapi udara belajar sudah mulai terhirup.

Prakondisi pembelajaran secara formal dilanjutkan dengan kuliah perkenalan, biasa disebut ta’aaruf atau pengenalan kampus yang diisi berbagai kegiatan partisipatif dari para santri termasuk santri baru, dilanjutkan dengan kuliah umum oleh pimpinan pondok. Selain ikut berperan aktif dalam berbagai kegiatan, juga para santri diberi pengarahan tentang tata cara hidup di pondok, tujuan datang ke pondok, apa yang dicari di pondok pesantren, bagaimana suasana kehidupan di dalamnya dan seterusnya.

Proses ini menurut hemat penulis bisa dikatakan sebagai pra kondisi belajar, pada tahapan ini santri diluruskan niatnya, diingatkan bahwa thalabul imli itu wajib, bahwa problematika terbesar ummat Islam adalah kebodohan, bahwa tujuan datang mereka ke pondok adalah untuk ibadah, thalabul ilmi, bahwa mereka datang untuk mencari ilmu dan pendidikan bukan yang lain, termasuk bukan mencari ijazah.

Kedua dari segi metodologi pesantren berkeyakinan bahwa penanaman karakter atau akhlak tidak cukup dengan kata-kata. Bahwa pendidikan karakter itu dilakukan dengan pembiasaan, keteladanan dan bimbingan serta arahan. Maksudnya bahwa karakter baik itu bisa dikenalkan melalui serangkaian kegiatan secara empirik. Dialami langsung oleh santri, kemudian diberikan penjelasan-penjelasan dari rahasia di balik semua kegiatan tersebut.

Contoh kecil, sebagian penyelenggara pendidikan di negri ini kurang menjalankan praktek hukuman dan penghargaan atau hadiah. Di pesantren sebaliknya dibuat aturan atau disiplin yang intinya membuat lingkungan belajar dan lingkungan pendidikan. Jika disiplin itu dilanggar oleh santri maka santri tersebut berhak mendapat sangsi atau hukuman.

Sebaliknya terhadap santri yang taat akan aturan secara kelompok atau perorangan mereka juga mendapatkan hadiah atau penghargaan. Misalkan kamar paling rapih, paling bersih atau santri terbanyak mengunjungi perpustakaan dan lainnya bisa mendapat penghargaan.

Catatan, dalam hal memberikan hukuman terhadap pelanggar disiplin, tidak dilakukan begitu saja, ada nilai pendidikan yang tetap dipegang secara teguh. Kepada pelanggar ditanyakan apa kesalahannya, jika sudah mengakui kesalahannya ditanya mengapa melakukan itu, jika sudah dijawab masih ditanyakan apakah siap untuk disangsi, kemudian diajukan opsi hukuman apa yang siap dia terima, jika sudah memilih bentuk hukuman apa yang diterima, masih ditanyakan juga apakah ikhlas menerimanya, kalau sudah ikhlash baru sangsi itu dierikan. Dalam proses ini juga diberikan beberapa nasihat dan pembinaan.

Nilai pendidikan dari proses pemberian hukuman ini antara lain penanaman akan nilai-nilai sosial bahwa pelanggaran aturan harus menerima sangsi, bagaikan orang yang salah dalam mengetik maka kesalahan itu harus diperbaiki. Selanjutnya penanaman karakter yang ini sulit kalau tidak terlatih-berani mengakui kesalahan55.

Pelajaran lain adalah penanaman mental siap untuk diperbaiki jika bersalah atau dinilai salah oleh norma yang disepakati. Dan setelah siap diperbasiki maka hukuman sebagai upaya perbaikan ditawarkan secara bergaining sesuai dengan derajat berat dan ringannya aturan yang dilanggar.

Dari sini terlihat bahwa proses pendidikan karakter berjalan di luar kelas dan merupakan bagian dari kehidupan komunitas pesantren yang penghuninya tiada lain adalah masyarakat pendidikan; kyai, ustadz dan santri.

Ketiga berkenaan dengan materi atau bahan ajar pendidikan karakter pesantren. Pada tahap dasar diajarkan kepad santri

55 Wawancara dengan Ustadz Khoirurrijal, alumni Pondok Pesantren Gontor , tanggal 10 oktober 2014

ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan akhlak mulia, berhubungan dengan tingkah laku yang dianjurkan oleh Islam, kalau di pesantren dengan kurikulum Gontor biasanya masuk dalam pelajaran tafsir kelas 1. Materi hadits juga diambilkan hadits-hadits yang bertemakan tata kelakuan yang harus dihapal dengan rawinya. Ini juga dikelompokan dalam mata pelajaran hadits kelas I. Selain kedua materi tadi diberikan juga pelajaran mahfudzat (hapalan) yang diambilkan dari hadits atau kata-kata hikmah para ulama yang harus dihapal dan dihubungkan dengan siatuasi dan kondisi penerapannya dalam kehidupan.

Pada tingkatan yang lebih tinggi, kelas II biasanya diberikan pelajaran muthalaah, semacam materi wacana atau text reading yang tema-temanya berisikan pendidikan karakter. Kisah-kisah hikmah yang sengaja dipilihkan dari buku bacaan (di Gontor diajarkan qiraah rasyiidah terbitan Mesir) sebagai silabusnya yang diajarkan sejak kelas I sampai kelas V. Adapun pelajaran hadits pada kelas III ke atas dikaji kitabu al-jaami dari bulughulmaram, yang berisikan materi-materi akhlak.

Keempat kegiatan latihan pidato sebagai pendidikan karakter. Dengan bermodalkan materi-materi akhlak yang didapat dari berbagai mata pelajaran di atas, selanjutnya ada proses pemantapan yang dilakukan oleh santri sendiri melalui program latihan pidato. Dengan kegiatan ini santri berlatih menulis teks pidato yang bahannya merupakan pengembangan dari pelajaran yang didapat di kelas baik tafsir, hadits maupun mahfudzat.

Setelah mereka mengetahui suatu pernyataan baik dari ayat al-Qur’an ataupun hadits dan yang lainnya, mereka mencoba menginterpretasi pernyataan tersebut dan dihubungkan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari. Ini merupakan proses belajar lanjutan yang dilakukan diu luar jam pelajaran dan mereka secara mandiri berlatih untuk berekspresi, memotivasi diri dan khalayak serta menyajikannya dalam bentuk penyajian lisan/pidato.

Di sini ada latihan mengumpulkan data, mengorganising data dan menyajikannya. Melalui latihan seperti ini santri dididik untuk bisa menganalisis realitas, memposisikan dirinya

sebagasi orator atau sebagai penganjur kebaikan, yang berarti juga proses internalisasi ajaran atau karakter baik yang ia dapat.

Kelima program santri mengajar sebagai pendidikan karakter, bagi santri senior biasanya sekitar kelas V dan VI mereka diberi kesempatan untuk mengajar pelajaran tambahan sore hari –antara pukul 14-15. Ini juga memiliki nilai pendidikan karakter, mereka dibiasakan untuk bersikap sebagai orang dewasa, bertanggungjawab mengajar, berpakaian rapih dan bertindak sebagai guru; mulai dari membuat persiapan mengajar, mengoreksikannya kepada guru pembimbing, mengajarkan dan mengoreksi56.

Pendek kata mereka benar-benar secara empirik merasakan sebagai guru dengan segala kewajiban dan kriterianya. Melalui proses ini dengan sendirinya karakter sebagai pendidik bisa tertanam dalam jiwa para santri. Selain mengajar dapat ditambahkan juga pemeranan santri untuk bertindak sebagai khatib jum’at dan imam shalat berjamaah yang tidak kalah pentingnya dalam mendidik karakter santri.

Keenam pendidikan keorganisasian sebagai pendidikan karakter, di pesantren santri berkesempatan untuk menjadi pengurus organisasi santri mulai dari level kelas, kamar, asrama sampai kepada level pondok. Mereka berperan untuk mengatur, memimpin, mengevaluasi, merancang dan menggagas suatu kegiatan.

Mereka juga aktif terlibat dalam berbagai kepanitiaan. Ini menanamkan karakter dan mental sebagai pemimpin. Inilah saat mereka mempraktekkan pengetahuan yang didapat, berbagai metode yang dikenal dan teori yang diketahui dalam dunia nyata. Melalui peran ini mereka belajar bertanggungjawab, mengambil keputusan, merancang dan mengarahkan, hingga pada gilirannya nanti menjadi pribadi yang tidak saja hanya siap memimpin, tapi siap juga untuk dipimpin.

56 Warta Dunia (Wardun), Pondok Modern Darussalam Gontor Gontor: Darussalam Press, 1998, h.34

Ketujuh kerja bakti, pesantren seperti diungkapkan di awal tulisan ini dibangun oleh santri, jadi para santri enantiasa terlibat dalam berbagai pekerjaan pembangunan di pesantren. Ini walaupun sudah ada pekerja dan tukang yang melakukannya, tapi dalam titik tertentu dari pembangunan mereka dilibatkan misalkan dalam proses pengangkutan bahan material atau pengecoran.

Hal ini tetap dipelihara oleh pesantren supaya mereka memiliki tanggungjawab sosial, merasakan perjuangan dan merasakan beramal dengan ikhlash, dan hasilnya menjadi kenangan sendiri bagi santri; kalau dia berperan serta aktif dalam pembangunan suatu gedung. Selain dalam pembangunan juga dalam pemeliharan sarana para santri aktif terlibat.

Kedelapan kuliah umum tentang etiket, kegiatan ini biasa disampaikan oleh pimpinan pondok atau kyai setiap menjelang liburan di pesantren-pesantren yang semisal dengan Gontor. Pada kesempatan ini kyai menyampaikan berbagai macam norma dan tata kelakuan yang berlaku di masyarakat. Mulai dari kesopanan umum, kesopanan berjalan, berbicara, berpakaian, menghadiri suatu acara atau pertunjukkan, sampai tata cara berterima kasih dan mohon maaf. Selain disampaikan juga cara mengisi waktu yang baik dan bermanfaat. Pelajaran ini –sebagai mana yang dirasakan penulis sangat berarti dan berbekas dalam kehidupan sehari-hari57.

Kesembilan penguatan yang dilakukan oleh kyai dalam berbagai kesempatan, ini sangat besar artinya dalam pendidikan karakter, penekan pada perjuangan /mujahadah, keikhlasan, pentingnya ilmu atau harus cinta ilmu, selalu belajar, jangan cepat merasa puas, jangan malas serta serentetan karakter seperti berani diuji, berani mencoba, jangan takut salah, harus bisa menolong/membantu jangan hanya minta dibantu, harus jujur, bisa memilah mana yang panting dan mana yang kurang penting dan seterusnya58.

57 Wawancara dengan ustadz Sururi, salah satu Pengasuh Pondok Pesantren 9 Kalianda Lampung, tanggal 10 oktober 2014

Penguatan-penguatan seperti ini biasanya dilakukan oleh kyai pada kesempatan tertentu. Seperti saat menjelang kerja bakti, saat pembukaan ujian dan penutupannya, pengarahan pada suatu program seperti pengarahan bagi pengajar sore dan pembimbing muhadloroh (latihan pidato), pengarahan khatib dan imam, pengarahan fathul kutub, pekan perkenalan, wejangan menjelang liburan, wejangan khataman bagi kelas VI dan berbagai sambutan serta evaluasi kegiatan seperti laporan pertanggungjawaban pengurus organisasi. Hal ini dilakukan secara rutin setiap tahun ajaran.

Pola penguatan materi pada pesantren salafiyah selain dengan berbagai wejangan dan nasehat oleh kyai juga dilakukan dengan mengajak santri menghadiri berbagai pengajian dan ceramah keagamaan dalam berbagai kesempatan seperti peringatan maulid, isra mi’raj, dan lainnya.

Kesempuluh berhubungan dengan wibawa dan keper-cayaan. Masalah wibawa di pesantren sangat diperhatikan sebagai modal bagi para pendidik. Kepercayaan santri terhadap kyai dan pendidikan yang dijalankan juga sebagai modal dalam pendidikan. Tidak mungkin pendidikan bisa berjalan tanpa adanya kepercayaan dari santri sebagai peserta didik. Untuk itu pesantren dan aturannya harus berwibawa, kyainya berwibawa, ustadz dan para pengurusnya juga harus berwibawa, ujian yang diselenggarakan juga harus berwibawa.

Kata wibawa mengandung arti pembawaan untuk dapat menguasai dan memengaruhi orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik. Seorang disebut berwibawa jika ia disegani dan dipatuhi. Jadi medan makna kata “wibawa” erat sekali dengan kepemimpinan, tingkah laku, daya tarik, kepatuhan dan rasa segan, hal ini pula bisa dijadikan alat ukur kewibawaan. Para pendidik masa klasik memiliki cara sendiri untuk mengatur pola hubungan guru-murid.

Misalkan sebelum lebih jauh melangkah dalam proses transfer pengetahuan, mereka mengajarkan terlebih dahulu pedoman pergaulan antara guru-murid, sebut saja buku Ta’lîm al-Muta’alim yang berisi tata kelakuan murid terhadap guru dan

tata cara mempelajari ilmu. Seperti halnya al-Ghozali juga memandang perlu menuliskan adab mu’ta’alim dan adab al-mu’alim (kode etik murid dan kode etik guru) di bagian awal bukunya yang populer Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn. Dari sepuluh point tetang kode etik murid misalnya dia menyatakan bahwa murid harus tidak sombong terhadap guru dan patuh atas apa yang diperintahkannya.

Adapun dari sudut kode etik guru ada delapan point yang diajukan Ghozali, dalam konteks tulisan ini dapat dikemukakan tiga di antaranya: pertama seorang guru mengajar harus dengan cinta dan kasih sayang, menganggap anak didik sebagai anaknya sendiri. Kedua harus senantiasa memberi nasihat terhadap muridnya. Ketiga senantiasa mengingatkan dan memberi sangsi terhadap murid yang melanggar aturan serta berprilaku kurang baik dengan teguran yang menyenangkan, tidak mencemoohnya atau memakinya dengan teriakan.

Pesantren mengamalkan apa-apa yang dilakukan para pendidik klasik tersebut yang intinya children ore our business; pembentukan dan penciptaan pribadi yang berkarakter; mendidik sama dengan merubah tingkah laku menuju ke arah yang lebih baik.

Keteladanan inilah yang membuat semua unsur pesantren (pembantu kyai, ustadz dan santri) menjadi terbangun untuk bersama-sama berkomitmen terhadap nilai-nilai pesantren untuk dijadikan dasar perilaku pesantren.

Sedangkan gaya paternalistik terlihat dalam penentuan pengasuh-pengasuh Pondok cabang yang tersebar di pulau Jawa, Sumatra dan Sulewesi. Di semua pondok cabang, pengasuhnya adalah laki-laki dan bahkan di cabang pondok putri (Ngawi, Kendari, Kediri) itu tetap dipegang oleh laki-laki dan bukan perempuan/istri dari pimpinan. Sehingga segala kebijakan yang diambil, itu merupakan kebijakan pimpinan dan bukan dari Istrinya, karena istri pengasuh pondok cabang tidak berhak untuk menentukan kebijakan dalam kepengasuhan suamianya yang menjadi pimpinan.

Fenomena ini bukanlah sebuah kebetulan, akantetapi merupakan hasil pemikiran yang mendalam pada konsep

kepemimpinan dalam ajaran Islam, dimana pimpinan yang paling baik adalah laki-laki.

Maka dalam Proses nilai-nilai pendidikan karakter dapat diwujudkan dalam bentuk peran-peran kepemimpinan yaitu: kyai sebagai visioner, kyai sebagai komunikator, kyai sebagai motivator, (Leader, Manajer, Administrator, Supervisor, Motivator, Inovator, Evaluator)59

Inilah sebenarnya hakekat arti dari proses pendidikan karakter yang dilakukan dengan cara Kepemimpinan Totalitas yang dijalankan oeh Pimpinan Pondok Mdern Gontor. Bukan kepemimpinan totalitas yang berarti mengambil seluruh tanggungjawab dan keputusan yang akan melanggengkan otoritas Kyai yang seakan tanpa salah serta cenderung diktator. Akan tetapi, kepemimpinan yang menguasai seluruh permasalahan dan mampu memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi, dan karena yang dipimpin adalah lembaga

Pendidikan yang mempunyai visi dan misi untuk mencetak para pemimpin umat Islam, maka Pimpinan kemudian membagi kekuasaannya kepada orang-orang yang kredibilitas dan kapabilitasnya telah teruji, untuk selanjutnya dilakukan transfer keteladanan dan penekanan akan pemaksimalan potensi diri dalam setiap tanggungjawab agar bersama-sama meraih tujuan yang telah ditetapkan.

Untuk mencapai tujuan pendidikan Pondok Pesantren modern Darussalam Gontor, lembaga ini menerapkan sebuah strategi pendidikan di mana kehidupan pondok dengan segala totalitasnya menjadi media pembelajaran dan pendidikan itu sendiri.

Maka unsur-unsur pembentuk pesantren, baik manusianya (kyai, guru, santri dan pembantu pondok lainnya), maupun sarana dan prasarna baik fisik maupun non-fisik, diarahkan untuk mendukung penciptaan lingkungan pendidikan tersebut.

59Warta Dunia (Wardun), Pondok Modern Darussalam Gontor Gontor: Darussalam Press, 1998, h.23.

Sehingga secara keseluruhan dirancang untuk kepentingan pendidikan yang berbasis komunitas, sehingga segala yang didengar, dilihat, dirasakan, dikerjakan, dan dialami para santri bahkan seluruh penghuni pesantren adalah dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan60.

Sebagai pemimpin pesantren, Kyai bertindak dengan cara memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan melalui pemberian arti dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara optimal dalam hal gagasan-gagasan, memberi visi mengenai keadaan organisasi masa depan yang menjanjikan harapan yang jelas dan transparan.

Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan semangat kelompok, antusiasisme dan optimisme serta pengorbanan yang diharapkan akan menggerakan dinamika positif dari kegiatan-kegiatan baik kurikuler ekstra kurikuler. Dinamika kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam (kesenian, keterampilan, keorganisasian, dll) diharapkan akan membentuk etos kerja yang baik demi tercapainya tujuan kegiatan-kegiatan yang ada.

Harapan-harapan itu menjadi penting dan bernilai bagi mereka dan perlu direalisasikan melalui militansi dan komitmen yang tinggi serta dapat membentuk iklim kerja komunitas pesantren sebagai bentuk pemberdayaan diri, seperti kerjasama yang saling mendukung.

60Zarkasyi, K.H. A.S., Manajemen Pesantren, Pengalaman Pondok Modern Gontor, Ponorogo: Trimurti Press. 2005, h.80

Skema Proses Pendidikan Dengan Kegiatan Sumber. Slide Kepondokmodernan, Tidak Diterbitkan

Dalam dokumen ---- Dacholfany, M.Ed (Halaman 79-93)

Dokumen terkait