SEMANGAT DAN JIWA KEBANGSAAN
KARAKTER KEBANGSAAN DAN DAYA SAING
2. Proses Pembentukan Karakter
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan, mari kita kaji ilustrasi berikut ini.. Di dalam sebuah ruangan, terdapat seorang bayi, dan dua orang dewasa. Mereka duduk dalam posisi melingkar. Kemudian masuk satu orang lain yang membawa kotak besar berwarna putih ke arah mereka. Setelah meletakkan kotak tersebut di tengah-tengah mereka, orang tersebut langsung membuka tutupnya agar keluar isinya. Apa yang terjadi...? ternyata setelah dibuka, terlihat ada tiga ular kobra berwarna hitam dan besar yang keluar dari kotak tersebut. Langsung saja, salah seorang dari mereka lari ketakutan, sedangkan yang lainnya justru berani mendekat untuk memegang ular agar tidak membahayakan, dan, tentu saja, si bayi yang ada di dekatnya tetap tidak memperlihatkan respon apa-apa terhadap ular.Nah, begitu juga dengan kehidupan manusia di dunia ini. Kita semua dihadapkan dengan permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi. Akan tetapi respon yang kita berikan terhadap permasalahan tersebut berbeda-beda. Di antara kita, ada yang hidup penuh semangat, sedangkan yang
43 lainnya hidup penuh malas dan putus asa. Di antara kita juga ada yang hidup dengan keluarga yang damai dan tenang, sedangkan di antara kita juga ada yang hidup dengan kondisi keluarga yang berantakan. Di antara kita juga ada yang hidup dengan perasaan bahagia dan ceria, sedangkan yang lain hidup dengan penuh penderitaan dan keluhan. Padahal kita semua berangkat dari kondisi yang sama, yaitu kondisi ketika masih kecil yang penuh semangat, ceria, bahagia, dan tidak ada rasa takut atau pun rasa sedih.
Pertanyaannya yang ingin diajukan di sini adalah “Mengapa untuk permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi, kita mengambil respon yang berbeda-beda?” jawabannya dikarenakan oleh kesan yang berbeda dan kesan tersebut dihasilkan dari pola pikir dan kepercayaan yang berbeda mengenai objek tersebut. Untuk lebih jelas, berikut penjelasannya.
Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga.6 Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious) menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang
44 informasi yang masuk melalui panca indera dapat mudah dan langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Kita ambil sebuah contoh. Ketika masih kecil, kebanyakan dari anak-anak memiliki konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat, dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka selalu merasa bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal. Karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat saat mereka belajar berjalan dan jatuh, mereka akan bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi, sampai akhirnya mereka bisa berjalan seperti kita.
Akan tetapi, ketika mereka telah memasuki sekolah, mereka mengalami banyak perubahan mengenai konsep diri mereka. Di antara mereka mungkin merasa bahwa dirinya bodoh. Akhirnya mereka putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi setelah mengetahui bahwa nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan orang tua mereka juga mengatakan bahwa mereka memang adalah anak-anak yang bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang buruk ini bisa membuat mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk berkembang di kelak kemudian hari.
Padahal, jika dikaji lebih lanjut, kita dapat menemukan banyak penjelasan mengapa mereka mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Mungkin, proses pembelajaran tidak sesuai dengan tipe anak, atau pengajar yang kurang menarik, atau mungkin kondisi belajar yang kurang mendukung. Dengan kata lain, pada hakikatnya, anak-anak itu pintar tetapi karena kondisi yang
45 memberikan kesan mereka bodoh, maka mereka meyakini dirinya bodoh. Inilah konsep diri yang buruk.
Contoh yang lainnya, mayoritas ketika masih kanak-kanak, mereka tetap ceria walau kondisi ekonomi keluarganya rendah. Namun seiring perjalanan waktu, anak tersebut mungkin sering menonton sinetron yang menayangkan bahwa kondisi orang miskin selalu lemah dan mengalami banyak penderitaan dari orang kaya. Akhirnya, anak ini memegang kepercayaan bahwa orang miskin itu menderita dan tidak berdaya dan orang kaya itu jahat. Selama kepercayaan ini dipegang, maka ketika dewasa, anak ini akan sulit menjadi orang yang kuat secara ekonomi, sebab keinginan untuk menjadi kaya bertentangan dengan keyakinannya yang menyatakan bahwa orang kaya itu jahat. Kepercayaan ini hanya akan melahirkan perilaku yang mudah berkeluh kesah dan menutup diri untuk bekerjasama dengan mereka yang dirasa lebih kaya. (Sumber: Setiawan Dimas, Internet)
Karakter bangsa adalah kualitas jati diri bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen, yang masih dalam tahap belajar untuk berdemokrasi. Karakter bangsa selayaknya bersumber pada nilai-nilai dan simbol kebangsaan yang kita miliki. . Hal ini didasarkan pada fakta bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa yang besar” seperti yang sering kita dengan dan kita dengungkan dalam berbagai kesempatan. Fakta tersebut memang berdasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke-lima didunia (setelah Cina, India, Rusia, Amerika Serikat) dan sejak tahun 1999 kita telah diklaim sebagai negara demokratis terbesar ketiga sesudah India dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia adalah merupakan percontohan Negara Islam terbesar di dunia yang demokratis.
Pengertian Daya Saing
Daya saing merupakan motivasi pada diri seseorang untuk dapat memenangi suatu kompetisi, lebih berprestasi, berupaya lebih baik dari orang lain di sekitarnya.Seseorang yang memiliki daya saing tinggi, akan selalu
46 berupaya bekerja lebih baik, tahan menghadapi berbagai kondisi, hambatan dan dapat menyesuaikan dengan lingkungan bekerjanya. Menurut Sumihardjo (2008) menyatakan bahwa istilah daya saing sama dengan competitiveness atau Competitive. Sedangkan istilah keunggulan bersaing sama dengan competitive advantage . Selanjutnya, istilah daya saing gabungan dari kata“daya” dalam kalimat daya saing bermakna kekuatan, dan kata “saing” berarti mencapai lebih dari yang lain, atau berbeda dengan yang lain dari segi mutu, atau memiliki keunggulan tertentu. Artinya, daya saing dapat bermakna kekuatan untuk berusaha menjadi unggul dalam hal tertentu yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi tertentu. Secara umum dapat dikatakan bahwa daya saing merupakan bagian dari motivasi intrinsik pada diri seseorang untuk bekerja lebih baik, lebih cepat dan lebih berprestasi dari anggota kelompoknya. Daya saing tinggi seseorang dapat merupakan upaya seoptimal mungkin, untuk meraih lebih baik dan lebih cepat apabila dibandingkan dengan teman sebaya pada suatu organisasi atau kelompoknya. Keunggulan bersaing merupakan kegiatan spesifik yang dikembangkan oleh seseorang, institusi, organisasi atau perusahaan agar lebih unggul dibandingkan dengan orang, institusi dan organisasi lain atau pesaingnya.
Kata “unggul”, berdasarkanpendapat Sumihardjo (2008), merupakan posisi relatif organisasi terhadap organisasi lainnya atau posisi relatif seseorang terhadap orang lain. Hal senada dikemukakan Agus Rahayu (2008) yang menyatakan, bahwa keunggulan merupakan posisi relatif dari suatu organisasi terhadap organisasi lainnya, baik terhadap satu organisasi, sebagian organisasi atau keseluruhan organisasi dalam suatu industri atau posisi relatif seseorang sebagai pemimpin terhadap pemimpin lain. Pada perspektif pasar, posisi relatif tersebut pada umumnya berkaitan dengan nilai pelanggan (customervalue). Sedangkan dalam perspektif organisasi, posisi relatif tersebut pada umumnya berkaitan dengan kinerja organisasi yang lebih baik atau lebih tinggi. Pendapat tersebut menggambarkan, bahwa pimpinan suatu organisasi termasuk kepala sekolah, akan memiliki keunggulan bersaing atau memiliki potensi untuk bersaing apabila dapat menciptakan dan menawarkan nilai pelanggan yang lebih
47 atau kinerjanya lebih baik dibandingkan dengan organisasi lainnya. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, menyatakan bahwa: ”daya saing adalah kemampuan untuk menunjukan hasil lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna”.Kemampuan yang dimaksud dalam Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tersebut, diperjelas oleh Sumihardjo (2008), meliputi: (1) kemampuan memperkokoh posisi pasarnya, (2) kemampuan menghubungkan dengan lingkungannya, (3) kemampuan meningkatkan kinerja tanpa henti, dan (4) kemampuan menegakkan posisi yang menguntungkan. Menurut Olson (1990)bahwa persaingan atau kompetisi adalah usaha untuk mengalahkan lawan atau berusaha melawan standar eksternal dan internal dalam mencapai tujuan. Lebih lanjutPettgrew (1993) mengemukakan bahwa persaingan pada dasarnya merupakan kemampuan untuk menyesuaikan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Perubahan dalam hal ini adalah adanya proses kemajuan yang terjadi di lingkungan masyarakat atau suatu bangsa sehingga pendidikan menjadi suatu kebutuhan bagi setiap orang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Stephane (2003) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan peningkatan pengetahuan bagi seorang pekerja merupakan dasar dalam persaingan. Seseorang dikatakan memiliki daya saing tinggi, apabila ia memiliki proaktivitas yang tinggi menanggapi suatu peristiwa. Menanggapi suatu peristiwa, masing-masing orang memiliki respon yang berbeda satu dengan yang lain. Orang yang memiliki kecerdasan mental yang tinggi dan berpikir logis akan dengan cepat dapat merespon setiap kejadian yang terjadi.Demikian juga ketika menanggapi suatu masalah ia dengan cepat melihat keseluruhan masalah, memiliki keterampilan analitis yang ditandai dengan bagaimana pertimbangan diberikan.Tingkat daya saing seseorang dapat diindikasikan bagaimana ia memahami masalah, menilainya, mengajukan argumentasi, memberikan pertimbangan serta memberikan solusi sesuai dengan nalar dan logika. Menurut Israel (2001) menyatakan bahwa daya bersaing atau rivalitas adalah perilaku pembawaan atau kualitas individu yang memiliki berbagai dasar. Setiap orang, pria atau wanita, tidak dapat menghindarkan dirinya dari kondisi bersaing yang terjadi dilingkunganya.Hal ini didukung
48 pendapat Ivancevich (1995) yang mengemukakan bahwa daya bersaing (competitiveness) menunjukkan posisi relative seseorang dibandingkan dengan orang lain, unit kerja yang satu dengan unit kerja yang lain. Posisi relatif seseorang tersebut menunjukkan bagaimana kedudukan seseorang dengan orang lain yang berhubungan dengan keunggulan dengan orang lain.
Keunggulan seseorang atau pemimpin memberikan peluang untuk keberhasilan mencapai tujuan pribadi atau tujuan organisasi.Salah satu faktor keunggulan tersebut dapat dicapai melalui pendidikan dan tingkat keterampilan yang dimiliki seseorang atau pemimpin (Callon, 1996). Artinya, daya saing seseorang ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dimiliki. Berdasarkan beberapa pendapatdiatas dan penjelasan Permendiknas Nomor 41 tahun 2007, maka dapat simpulkan bahwa yang dimaksud dengan daya saing adalah 1)kemampuan seseorang/organisasi/institusi untuk menunjukkan keunggulan dalam hal tertentu, dengan cara memperlihatkan situasi dan kondisi yang paling menguntungkan, hasil kerja yang lebih baik, lebih cepatatau lebih bermakna dibandingkan dengan seseorang, organisasi, atau institusi lainnya, baik terhadap satu organisasi, sebagian organisasi atau keseluruhan organisasi dalam suatu industri. 2)daya saing kepala sekolah dipahami sebagai kesanggupan kepala sekolah dalam berkompetisi dengan kepala sekolah lain dalam lingkungan kelompoknya, dengan indikator adanya pengetahuan dan berwawasan luas, memiliki kemandirian, memiliki daya inovasi dan berani menghadapi perubahan. Upaya mencapai suatu tataran organisasi atau sekolah yang unggul, maka organisasi atau sekolah tersebut harus didukung oleh pemimpin/kepala sekolah yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, keahlian, komunikasi dan kemampuanmengadaptasi perubahan teknologi yang tinggi. Individu atau pemimpin/kepala sekolah juga dituntut memiliki kemampuan mewujudkan nilai-nilai baku dalam kehidupan organisasi seperti kejujuran, kebenaran, keterbukaan,dan bertanggung jawab. Di samping itu individu dimaksud harus memiliki kepedulian dan kepekaan yang tinggi pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal, seperti individualitas, sosialitas dan moralitas.
49 Global Competitiveness Report 2012-2013: Daya Saing Indonesia Menurun (Sumber: Budi Hermana-Internet)
World Economic Forum (WEF) merilis Global Competitiveness Report Edisi 2012-2013 (GCR 2012-2013) pada tanggal 5 September 2012. Posisi daya saing Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 144 negara, atau menurun 5 tingkat dibandingkan edisi 2011-2012. Sejak tahun 2005 WEF menggunakan World Competitiveness Index (WCI) sebagai basis analisis daya saing. Definisi daya saing (competitiveness) menurut WEF adalah “the set of institutions, policies, and factors that determine the level of productivity of a country.” Sedangkan pengertian tingkat produktifitas (the level of productivity) adalah “the level of prosperity that can be earned by an economy”. WCI diukur dengan menggunakan 12 pilar yang dikelompokkan dalam tiga subindeks seperti terlihat pada gambar berikut. Setiap pilar terdiri dari beberapa indikator pengukuran dengan total kesuluhan sebanyak 111 indikator.
50 Metodologi pengukuran WCI secara umum tidak berubah dibandingkan edisi sebelumnya. Beberapa perubahan minor adalah (a) penghapusan indikator interest spread pada pilar 3 karena keterbatasan data untuk perbandingan internatinal, (b) penambahan indikator mobile broadband pada pilar 9, (c) penambahan sumber data paten, (d) penambahan variabel penyediaan layanan pemerintah kepada komunitas bisnis melalui survey opini pada Pilar 1, serta (e) penghilangan indikator rigidity of employment index dari Pilar 7.
Negara-negara di wilayah Amerika Utara dan Eropa Barat masih mendominasi peringkat atas. Peringkat Top Ten berturut-turut ditempati oleh Swiss, Singapura, Finlandia, Swedia, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Hongkong, dan Jepang. Indonesia menempati posisi ke-5 di wilayah ASEAN dibawah Singapura, Malaysia (ke-23 dunia), Brunei (28), dan Thailand (38).
Peta global berdasarkan nilai WCI (sumber: GCR 2012-2013)
Dilihat dari lima tahap pengembangan daya saing – yaitu factor driven, Transation from Stage 1 to Stage 2, Efficiency Driven, Transation from Stage 1 to Stage 2, dan Innovation Driven – Indonesia masuk tahap ketiga, yaitu efficiency driven bersama 32 negara lainnya.
51 Indonesia masih mengandalkan pada efisiensi (sumber: GCR 2012-2013)
Jika dilihat peringkat untuk masing-masing pilar, Indonesia terpuruk pada pilar efisiensi pasar tenaga kerja yaitu peringkat ke-120, disusul pilar kesiapan teknologis yang menempati peringkat 85, dan infrastruktur pada peringkat ke-78. Pilar terbaik adalah ukuran pasar (16), lingkungan makroekonomi (25), dan inovasi (39).