• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM IBADAH SHALAT

4. Pribadi Muttaqin

4.3. Proses Pembentukan Pribadi Muttaqin

Membentuk pribadi muttaqin dalam diri setiap manusia tidak semudah membalik telapak tangan namun memerlukan perjuangan

panjang dan melelahkan. Diantara proses yang harus ditempuh dalam rangka mewujudkannya adalah:

a. Mu‟ahadah (Mengingat Perjanjian)

Kalimah ini diambil dari firman Allah SWT:

ُُّۡصذَََٰٙػ ثَرِإ ِ َّللَّٱ ِذ َۡٙؼِد ْثُٛف َۡٚأ َٚ

Artinya “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila

kamuberjanji…”94

Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa manusia sebagai makhluk telah melakukan perjanjian kepada Tuhannya semenjak di dalam kandungan ibunya dan selanjutnya perjanjian ini ditegaskan kembali di waktu-waktu melaksanakan shalat lima waktu (zuhur, asar, maghrib, isya, dan subuh) sebanyak 17 kali.: “Hanya kepada Engkau

kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon bantuan”.95

Kata “hanya” di atas menunjukkan pembatasan yang tidak ditujukan kepada selain sesuatu yang dimaksud. “Hanya kepada Engkau

kami beribadah” yakni penyembahan, ketaatan, ketundukan hanya

diperuntukkan kepada Allah SWT semata dan demikian pula dalam meminta pertolongan/bantuan, “hanya kepada Engkau kami mohon

bantuan”.

Seorang muslim hendaknya menyadarkan dirinya akan janji-janjinya kepada Rabb-Nya, “Wahai jiwaku, bukankah dalam munajat ini engkau telah berikrar tidak akan menghambakan diri kepada selain Allah.

94Lihat QS. An-Nahl [16}: 91

61

Tidakkah engkau telah berikrar untuk tetap komitmen kepada siratal

mustaqim (jalan yang lurus) .Tidakkah engkau telah berikrar untuk

berpaling daripada jalan orang-orang yang sesat dan dimurkai Allah?”96 Orang-orang sesat dan dimurkai Allah SWT adalah orang-orang yang telah datang Rasul menerangkan prihal tuntunan agama yang benar namun tidak mau mengambil dan menjalankan ajarannya, akan tetapi sebaliknya ia mengabaikan, mengingkari bahkan lebih dahsyat daripada itu ia membuat ajaran sendiri dengan diikuti hawa nafsu yang senantiasa menyuruh pada kekejian dan kemungkaran. Oleh karena itu, al-Fatihah mengingatkan dan mengajarkan kepada kita tentang perjanjian dan kebaikan yang harus diminta untuk kemaslahatan hidup kita kepada Rabb semesta alam.

Jika perjanjian hamba kepada Tuhannya ini benar-benar di sadari dan diterapkan dalam kehidupannya, maka dengan demikian seorang hamba telah meniti tangga menuju takwa, menyusuri jalan rohani, dan pada akhirnya akan sampai ke tempat tujuan, yakni ke darjat para muttaqin (orang yang bertakwa).

b. Muroqobah (Merasakan Kesertaan Allah)

Dasar muraqabah dapat ditemukan dalam surah Asy-Syura, yaitu dalam firman Allah SWT:

96Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiah Ruhiah, Petunjuk Praktis Mencapai Darjat

َُُٛمَص َٓ١ ِف َهَٰى َشَ٠ ِٞزٌَّٱ

٨١٢

َٓ٠ِذ ِؾََّٰغٌٱ ِٟف َهَذٍَُّمَص َٚ

٨١٢

Artinya“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk solat) dan

melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.”97

Dalam sebuah hadis, ketika nabi SAW ditanya tentang ihsan, baginda menjawab: “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah

seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu.” Muraqabah sebagaimana

diisyaratkan oleh Al-Quran dan hadits, ialah Merasakan keagungan Allah

Azza Wa Jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan

kebersamaan-Nya dikala sepi ataupun ramai.98

Setelah mengingat dan menyadari perjanjian kepada Tuhannya, seorang hamba yang hendak meraih derajat taqwa selanjutnya akan merasakan kehadiran Tuhannya disetiap hembusan nafas dan pergerakannya. Hal ini merupakan implikasi penterjemahan nilai-nilai shalat yang dikerjakannya 17 rakaat di setiap harinya. Dengan demikian shalat yang dikerjakan dengan baik dan benar akan mengahantarkan seorang hamba kepada derajat tinggi di sisi Tuhannya.

c. Muhasabah (Introspeksi Diri)

Dasar muhasabah terkandung di dalam Quran surah Al-Hasyr:

97Lihat QS. Asy-Syu‟ara‟ [26]: 218-219

63

جَِّ ٞظ ۡفَٔ ۡشُظَٕضٌۡ َٚ َ َّللَّٱ ْثُٛمَّصٱ ْثَُِٕٛثَء َٓ٠ِزٌَّٱ جَُّٙ٠َأَََٰٰٓ٠

هََّللَّٱ ْثُٛمَّصٱ َٚ ٖۖ ذَغٌِ ۡشََِّذَل

ٍََُّْٛۡؼَص جَِّد ُُۢش١ِذَخ َ َّللَّٱ َِّْإ

١٢

Artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada

Allah dan hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.99

Setelah kesadaran akan janji kepada Allah SWT dan merasakan kehadiranNya disetiap gerak gerik kehidupan, seorang hamba tetaplah seorang hamba yang tidak luput dari salah dan lupa. Oleh karena itu seorang hamba dituntut untuk senantiasa melakukan muhasabah (introspeksi diri) agar kesadaran dan perasaaan di awasi oleh Tuhannya tidak hilang atau dikalahkan oleh hawa nafsu dan syetan.

d. Mu‟aqobah (Pemberian Sanksi)

Landasanmu‟aqobah adalah firman Allah Azza Wa Jalla:

َُْٛمَّضَص ُُۡىٍََّؼٌَ ِخََٰذٌَۡ ۡلأٱ ٌِٟ ُْٚأَََٰٰٓ٠ ٞر ََٰٛ١َف ِصجَظِمٌۡٱ ِٟف ُُۡىٌَ َٚ

١٧٢

Artinya “Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup

bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu

bertakwa”.100

Hukuman yang dimaksudkan sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat tersebut adalah Apabila seorang Mukmin melakukan kesalahan, maka tidak wajar baginya membiarkannya. Sebab membiarkan sesuatu

99Lihat QS. Al-Hasyr [59]: 18

kesalahan berlalu tanpa melakukan apa-apa akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan menjadikan sukar untuk ditinggalkan. Sepatutnya dia memberikan hukuman kepada dirinya dengan hukuman yang mubah (harus) sebagaimana memberikan hukuman atas isteri dan anak-anaknya. Ini adalah agar ia menjadi peringatan bagi dirinya agar tidak menyalahi ikrar, disamping merupakan dorongan untuk lebih bertakwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.101

Pemberian sanksi terhadap diri disebabkan kesalahan yang dilakukan hendaknya dilakukan dengan profesional dan proporsional. Hal ini untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak diperkenankan oleh agama seperti memberatkan diri dan menyiksa diri sendiri. Tujuan pemberian sanksi ketika melakukan kesalahan hanyalah untuk menyadarkan diri dan memecut diri agar semakin bersemangat untuk melakukan perintah dan menjauhi larangan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

e. Mujahadah (Optimalisasi)

Dasar mujahadah adalah firman Allah Subhanahuwata‟ala di

dalam Al-Quran:

َٚ هجٍََُٕذُع ََُُّٕۡٙ٠ِذ ٌََٕۡٙ جَٕ١ِف ْثُٚذَٙ ََٰؽ َٓ٠ِزٌَّٱ َٚ

َٓ١ِِٕغ ۡقٌُّۡٱ َغٌََّ َ َّللَّٱ َِّْإ

٩٢

Artinya “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari

keredhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka

65

jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.102

Makna mujahadah sebagaimana disyariatkan oleh ayat tersebut adalah Apabila seorang Mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunat lebih banyak daripada sebelumnya. Dalam hal ini, harus tegas, serius dan penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang melekat pada dirinya.103

Dengan langkah penyadaran janji kepada Allah SWT melalui shalat lima waktu kemudian berefek pada kesadaran berupa merasakan kehadiranNya disetiap hembusan nafas dan gerak gerik perjalanan kehidupan, seorang hamba akan dapat mencapai derajat taqwa di sisi Allah SWT. Namun dalam perjalanan kehidupannya seorang hamba tidak kosong dari halangan, rintangan dan cobaan baik dari hawa nafsu ataupun syetan yang siap menjerumuskan kedalam lembah kesesatan. Dengan demikian seorang hamba dituntut untuk bermuhasabah (introspeksi diri) agar kesadaran janji kepada Tuhannya senantiasa tertanam dikala hawa nafsu dan syetan mencoba untuk mencabutnya.

Selanjutnya, muaqobah (pemberian sanksi) hendaknya disertakan disetiap terjatuh ke lembah kesesatan yang disebabkan hawa

102Lihat QS. Al-Ankabut [29]: 69

Mu‟ahadah

Muroqobah

Muhasabah Mu‟aqobah

Mujahadah

nafsu dan syetan. Hal ini dilakukan agar gangguan hawa nafsu dan syetan benar-benar disadari dan agar tidak terulang kembali kesalahan yang serupa. Setelah itu seorang hamba harus terus berpacu untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang diajarkan Tuhannya, sehingga pada akhirnya kebaikan tertinggi yang dicintai oleh-Nya tercapai yaitu berupa derajat taqwa.

Berikut alur Proses Pembentukan Pribadi Muttaqin:

Dokumen terkait