E. PROSES PEMBUATAN SNACK TARO NET
2. Proses Pembuatan
Proses produksi Taro net dimulai dengan proses pemasakan bahan pada steam cooker. Bahan-bahan yang dimasukkan adalah tepung terigu, tapioka, gula, garam dan baking powder. Kemudian, bahan-bahan tersebut dicampur, ditambahkan air dan di-steam. Proses steam dilakukan dua tahap, yaitu half steam selama 2 menit dan full steam selama 7.5 menit yang dilakukan pada tekanan boiler 10 bar dan suhu steam 180-200oC. Proses half steam bertujuan untuk mencegah tepung beterbangan pada saat pencampuran. Pada proses ini terjadi gelatinisasi pati tidak sempurna, karena gelatinisasi sempurna akan menyebabkan adonan menjadi kenyal sehingga sulit dibuat lembaran. Mesin steam cooker dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Steam Cooker (www.nposk.com)
Tahap pencampuran bertujuan agar hidrasi tepung dan air berlangsung secara merata dan menarik serat-serat gluten. Pisau pada mesin pengaduk akan memecah air dan tepung, sehingga air dapat menembus pori-pori tepung. Air yang meresap tersebut akan menyebabkan serat gluten mengembang dan dengan pengadukan yang cukup maka serat gluten akan tertarik, tersusun tersilang dan terbungkus dalam pati sehingga akan membentuk adonan yang lunak, halus dan kompak (Jamilah, 2002).
Setelah pemasakan, adonan dibentuk menjadi lembaran bermotif net dengan ketebalan 1.4 – 1.7 mm. Pembentukan lembaran dilakukan pada keadaan panas, jangan menunggu adonan dingin karena dapat membentuk warna yang tidak rata. Ketebalan yang dihasilkan harus seragam, baik bagian tengah maupun samping. Ketidakseragaman lembaran biasanya dikarenakan elastisitas adonan, hal ini dapat dikurangi dengan membuang bagian pinggir dan di-rework atau memodifikasi rol penggiling. Kemudian lembaran ditaburi tapioka dan didinginkan pada cooling conveyor atau dilapisi dengan plastik untuk menghindari kelengketan. Pendinginan bertujuan untuk memudahkan penggulungan sheet agar tidak terlalu lunak.
Lembaran adonan yang telah digulung menjadi bentuk roll diaging selama 8-16 jam pada suhu ruang. Tujuan utama dari proses aging adalah transformasi pati dari tipe alfa menjadi beta. Proses aging dilakukan untuk mengkondisikan lembaran adonan siap untuk dipotong menjadi ukuran pelet yang diinginkan. Lembaran adonan yang diperoleh setelah pendinginan pada cooling conveyor masih lunak dan sangat lengket sehingga sulit untuk
dipotong. Retrogradasi pati dan evaporasi air yang terjadi selama aging akan membuat adonan mudah dipotong. Namun, evaporasi air yang berlebihan akan membuat adonan keras, sehingga harus dihindari.
Evaporasi air yang berlebihan dapat dicegah dengan tidak meletakkan adonan pada udara mengalir. Untuk menjaga kondisi kesesakan udara (air tightness), rak aging ditutup dengan papan stainless atau plastik. Jika rak aging dibiarkan tertutup dan kesesakan udara terjaga maka RH ruangan sekitar 90% atau lebih. Dalam kondisi ini, rol adonan akan memiliki kadar air tinggi, karena air yang berevaporasi dari rol adonan. Ini berarti udara di sekeliling rol adonan memiliki kelembaban tinggi bahkan hampir jenuh. Evaporasi air yang terjadi selama aging ditunjukan oleh tanda panah dari rol adonan (Gambar 8).
wound dough Aging Rack
Gambar 8. Proses aging
Proses aging di PT. Rasa Mutu Utama dilakukan pada rak terbuka dan tidak ditutup oleh plastik atau papan stainless, sehingga terekspos oleh udara mengalir. Hal ini menyebabkan evaporasi air berlebihan dan permukaan rol adonan menjadi keras. Penutupan rak aging dengan plastik tidak dilakukan, karena sisa adonan dapat menempel pada plastik, sehingga dapat ditumbuhi oleh mikroorganisme, mengingat kadar air adonan yang tinggi dan suhu ruang aging sekitar 27-32oC memicu pertumbuhan mikroorganisme dengan mudah. Jika penutupan rak aging tetap dilakukan, plastik yang digunakan harus dibersihkan secara rutin.
Setelah tahapan aging, lembaran adonan dipotong menjadi ukuran pelet yang diinginkan, yaitu lebar 1.5-1.7 cm dan panjang 1.5-1.9 cm. Kemudian
pelet dikeringkan pada pengeringan pertama (first dryer) dengan hembusan udara panas yang berasal dari boiler. Mesin pengering pertama dapat dilihat pada Gambar 9. Tujuan utama dari proses pengeringan adalah memperpanjang umur simpan dengan mereduksi aktivitas air (aw) yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim.
Gambar 9. Mesin pengering pertama (www.nposk.com)
Proses pengeringan pertama menggunakan pengering tipe konveyor pada suhu 55-60oC selama 4-6 jam dengan kecepatan konveyor 30 menit/siklus. Menurut Fellows (2000), pengering tipe konveyor memiliki tingkat pengeringan moderat dengan kapasitas evaporasi maksimum 1820 kg/jam. Pengeringan yang cepat dan bersuhu tinggi akan menyebabkan perubahan besar pada tekstur bahan pangan dibandingkan pengeringan dengan tingkat moderat dan suhu yang lebih rendah. Pengeringan cepat memiliki kapasitas evaporasi maksimum di atas 15000 kg/jam, seperti pengering tipe spray dan vacuum band. Pengeringan yang berlebihan akan menyebabkan masalah cracking pada pelet selama penyimpanan.
Pelet yang telah dikeringkan pada mesin pengeringan pertama dengan kadar air 13-15% (Anonim6, 2005) disimpan sebagai stok di gudang pelet dalam kontainer plastik berkapasitas 25 kg. Gudang pelet ini tidak dilengkapi pengatur suhu dan RH ruangan, sehingga pelet-pelet disimpan pada suhu ruang dan RH lingkungan. Penyimpanan pelet selama beberapa hari menyebabkan perbedaan kadar air antar pelet semakin berkurang. Pengkondisian ini berguna untuk menyeragamkan kadar air antar pelet dan distribusi air dalam pelet itu sendiri.
Sebelum digoreng, pelet dari gudang dikeringkan kembali pada pengering kedua sampai dicapai kadar air optimum untuk digoreng yaitu 7- 10%. Pengeringan dilakukan menggunakan mesin pengering bertipe silinder berputar dengan waktu standar pengeringan 6-12 jam pada suhu 60-70oC. Sumber panas berasal dari gas elpiji atau pemanas elektrik (Anonim6, 2005).
Kadar air akhir proses pengeringan kedua akan menentukan tingkat ekspansi produk. Proses pengeringan pada mesin pengering kedua merupakan pengeringan dengan rasio menurun. Jadi, proses pengeringan berlangsung lambat, sehingga perbedaan kadar air di permukaan dan dalam pelet semakin rendah. Pengeringan yang lambat akan memberikan kadar air relatif seragam, sehingga tingkat ekspansi akan seragam. Selain itu, kecepatan evaporasi uap air dari permukaan serta difusi internal air harus sama. Jika tidak demikian, maka permukaan pelet akan mengalami case hardening. Mesin pengering kedua yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Mesin pengering kedua (www.nposk.com)
Setelah pelet dikeringkan pada pengeringan kedua, pelet disimpan selama 2 sampai 3 jam sebelum digoreng untuk mendistribusikan kadar air secara seragam pada pelet. Proses penggorengan dilakukan dengan deep frying menggunakan medium minyak goreng nabati pada suhu 180-200oC. Pada proses penggorengan, pelet mengalami pemanasan sehingga air yang terikat pada jaringan menguap dan menghasilkan tekanan uap untuk mengembangkan struktur elastis jaringan (Setiawan di dalam Zulviani, 1992). Pelet hasil penggorengan ditambahkan flavour dan dikemas. Mesin penggorengan dan flavouring dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Mesin penggorengan dan flavouring (www.nposk.com)
Proses penggorengan terjadi dalam 5 tahapan, yaitu pengisian pelet, penggorengan, penirisan, penuangan dan pengembalian bucket pada posisi awal. Waktu yang dibutuhkan per batch penggorengan adalah 45-60 menit.