• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses pemurnian APG (penyaringan, netralisasi, distilasi dan bleaching)

DAFTAR PUSTAKA

2.3 Bahan Baku Alkil poliglikosida .1 Alkohol lemak

3.4.2.2 Proses pemurnian APG (penyaringan, netralisasi, distilasi dan bleaching)

Proses pemurnian terdiri dari tahap penyaringan untuk memisahkan polidesktrosa, netralisasi untuk menghentikan proses transasetaslisasi, distilasi untuk memisahkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi, dan pemucatan untuk meningkatkan warna APG.

Setelah proses transasetalisasi dilakukan penyaringan untuk memisahkan endapan polidekstrosa yang terbentuk. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan kain saring setelah larutan mencapai suhu 80 OC. Kemudian dilakukan proses netralisasi pada suhu 80 OC dengan menggunakan NaOH hingga mencapai pH 9 (Wuest et al. 1992). Setelah dinetralisasi kemudian dilakukan penambahan arang aktif yang berfungsi sebagai adsorben dari warna gelap. Pada penambahan arang aktif dilakukan pengadukan selama 1 jam pada suhu 30 OC. Kemudian larutan disentrifugasi 3000 rpm selama 30 menit dan disaring vakum untuk memisahkan arang aktif (Lueders 1991). Dilakukan juga penambahan NaBH4 untuk mengubah sisa glukosa menjadi sorbitol. Kemudian dilanjutkan ke tahap distilasi untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada suhu 140-160 OC. Hasil yang diperoleh yang berupa APG kasar kemudian dilarutkan dengan menggunakan air dengan konsentrasi 50%, kemudian dipucatkan dengan

menggunakan H2O2 dengan konsentrasi 35% sebanyak 2% (b/b) dari berat larutan dan penambahan magnesium oksida 500 ppm pada suhu 70 OC selama 1 jam (McCurry et al. 1994). Gambar 8 menunjukkan diagram alir tahap produksi APG.

Tahap pemurnian mengkaji pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4

setelah proses netralisasi. Rancangan percobaan pada tahapan pemurnian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktor yaitu konsentrasi arang aktif dan konsentrasi NaBH4 :

Konsentrasi arang aktif terdiri dari 3 taraf yaitu : A1 = 0%

A1 = 5% A2 = 10%

Konsentrasi NaBH4 terdiri dari 4 taraf yaitu : B1 = 0%

B2 = 0,1% B3 = 0,2% B4 = 0,3%

Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan pengaruh faktor yang dicobakan, maka dilakukan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf nyata 5%. Model matematika dalam percobaan ini sebagai berikut :

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ ɛijk

Keterangan :

Yijk = Variabel respon/hasil pengamatan

µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya (rata-rata umum)

Ai = Pengaruh faktor A (konsentarsi arang aktif) taraf ke-i (i=1,2,3) Bj = Pengaruh faktor B (konsentrasi NaBH4) taraf ke-j (j=1,2,3,4) (AB)ij = Pengaruh interaksi antara faktor T taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j

ɛijk = Pengaruh galat faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k (k=1,2)

Hasil dari proses tahapan produksi APG kemudian dianalisa rendemen dan kejernihan produk yang dihasilkan. Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1. 3.4.3 Tahap 3. Karakterisasi

Tiap sampel kemudian dianalisa tegangan permukaan, tegangan antar muka, kestabilan emulsi, kestabilan busa, gugus fungsi dan HLB. kemudian hasil terbaiknya dibandingkan dengan APG komersial. Prosedur karakterisasi produk disajikan pada Lampiran 1. Nilai karakterisasi kemudian dibandingkan dengan APG komersial. AIR (8 mol) n-Butanol (8,5 mol) Tapioka (1 mol) BUTANOLISIS P : 6-8 Kg/cm2 T : Suhu terbaik dari tahap 1

t : 30 menit 200 RPM Katalis

Terbaik dari tahap 1

Butil glicoside, residu gula, air, dan butanol Fatty Alcohol C12

5 mol/1 mol pati

TRANSASETALISASI P : -15 cmHg T : 115-120 OC t : 120 menit 200 RPM Katalis (50% dari mol butanolisis) NETRALISASI

setelah pendinginan hingga suhu 80OC (30 menit) pada tekanan 1 ATM hingga

mencapai pH 9 DISTILASI P : -76 cmHg T : 140 – 160 OC APG KASAR fatty alcohol BLEACHING P : 1-2 Bar, T : 70OC, t : 30 menit NaOH 50% H2O2 2% Dan MgO (500 ppm) APG MURNI Butanol, air Air (50% b/b) T : 70O C ANALISA

Kejernihan, tegangan antar muka, tegangan permukaan, kestabilan emulsi, rendemen, Gugus fungsi

(FTIR), HLB

Penambahan arang aktif

0%; 5%; 10%

Sentrifugasi 3000 rpm selama 30

menit dan penyaringan vakum Arang Aktif

Penambahan NaBH4 0%; 0,1%; 0,2%; 0,3% Penyaringan T : 80 OC Endapan Polidekstrosa

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis

Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan bahan baku sakarida yang memiliki dextrose equivalent (DE) yang rendah seperti sirup dextrosa atau pati melalui proses butanolisis terlebih dahulu (Eskuchen dan Michael 1997). Pada proses ini terjadi proses hidrolisis asam untuk memutus ikatan glikosida pada pati kemudian terbentuk gula sederhana. Gula sederhana tersebut akan berikatan dengan butanol melalui proses alkoholisis hingga terbentuknya butil monoglikosida atau butil poliglikosida.

Bahan baku pati yang digunakan dalam penelitian ini adalah tapioka. Alasan pemilihan bahan baku tapioka karena lebih mudah didapatkan, selain itu harga tapioka yang juga relatif lebih murah, jika dibandingkan dengan jenis pati lain atau menggunakan gula dengan tingkat derajat ekuivalensi yang tinggi. Karakteristik fisiko kimia tapioka sesuai dengan pati pada umumnya yang mengandung amilosa dan amilopektin yang disusun oleh D-glukosa.

Alkoholisis pati membutuhkan kondisi yang lebih ekstrim dibandingkan proses alkoholisis D-glukosa. Hal ini disebabkan karena pati masih mengandung amilosa dan amilopektin yang memiliki keterbatasan pelarutan dan sweeling pada alkohol, khususnya alkohol hidrofobik. Karena hal tersebut maka diperlukan suhu yang tinggi dan bertekanan, serta kondisi asam untuk memutus ikatan glikosida pati. Pemecahan pati menjadi D-glukosa diharapkan dapat berikatan dengan butanol. Pada proses ini terjadi pelepasan H2O akibat proses pembentukan asetal antara gugus aldehid pati dan alkohol dengan bantuan katalis asam. Suhu yang tinggi dan kondisi asam selain menyebabkan pemutusan ikatan glikosida pati juga mampu membuat dehidrasi gula sederhana yang telah terbentuk menjadi hidroksil metil furfural (HMF). Senyawa HMF ini menyebabkan warna gelap pada produk hasil proses butanolisis. Selain pembentukan warna gelap juga terdapat residu dari gula yang tidak ikut bereaksi dengan butanol.

Proses butanolisis diberikan perlakuan penambahan katalis PTSA dengan rasio mol/mol pati sebesar 0,018 – 0,036, sedangkan perlakuan suhu yang diberikan yaitu suhu 140 OC dan 150 OC. Proses ini berlangsung selama 30 menit

dengan kondisi tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Dengan proses penambahan berbagai konsentrasi rasio mol katalis dan perlakuan suhu diharapkan butil glikosida yang terbentuk akan menjadi maksimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah residu total gula ataupun gula pereduksi yang dihasilkan. Semakin rendah residu total gula, maka dapat diasumsikan butil glikosida yang terbentuk akan semakin banyak. Jumlah residu gula pereduksi menunjukkan jumlah glukosa yang tidak bereaksi dengan butanol untuk menghasilkan butil glikosida. Residu gula yang dihasilkan dari proses butanolisis akan mempengaruhi terbentuknya polidekstrosa pada tahap transasetalisasi.

Selain berdampak pada jumlah residu gula yang dihasilkan, perlakuan penambahan konsentrasi rasio mol katalis dan perlakuan suhu selama proses butanolisis juga berdampak pada kejernihan produk hasil proses butanolisis. Semakin tinggi konsentrasi rasio mol maka pH selama proses butanolisis semakin rendah. pH yang rendah dan suhu yang semakin tinggi dapat menyebabkan rusaknya gula hingga terbentuknya HMF yang menyebabkan warna menjadi gelap.

4.1.1 Residu gula pereduksi

Pemecahan ikatan glikosida pati menjadi glukosa akan berikatan dengan butanol menjadi butil glikosida dengan bantuan katalis PTSA, namun tidak semua hasil pemecahan pati yang terbentuk mampu menghasilkan butil glikosida. Terdapat residu glukosa dari proses butanolisis yang terlarut dalam filtrat dan dihitung sebagai gula pereduksi.

Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus karbonil yang reduktif. Sifat pereduksi ini ditentukan oleh ada tidaknya gugus OH bebas yang reaktif. Gugus reduktif ini terdapat pada atom C no 1 pada glukosa. Jumlah residu gula reduksi menentukan kualitas APG yang akan dihasilkan, karena jika gula pereduksi tinggi maka pembentukan polidekstrosa akan semakin tinggi.

Hasil pengukuran gula pereduksi dari produk hasil proses butanolisis berkisar antara 18.075 – 58.281,25 ppm. Dari hasil analisa ragam menunjukkan faktor perlakuan rasio mol, faktor perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor

katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,018; 0,027; dan 0,036 masing-masing berbeda nyata satu sama lain. Dari hasil uji lanjut Duncan

(α=0,05) perlakuan rasio mol 0,027 pada suhu 150 OC (sampel A2B2) dan perlakuan rasio mol 0,036 pada suhu 140 OC (sampel A3B1) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Pengaruh dari faktor rasio mol katalis dan faktor suhu terhadap residu gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Pengaruh faktor rasio mol katalis dan faktor suhu terhadap residu gula pereduksi.

Semakin tinggi residu gula pereduksi yang dihasilkan pada proses butanolisis menyebabkan kemungkinan pembentukan warna gelap semakin tinggi pada proses selanjutnya dalam pembuatan APG. Oleh karena itu diharapkan residu gula pereduksi yang dihasilkan serendah mungkin. Semakin tinggi rasio mol katalis PTSA/1 mol pati yang ditambahkan selama proses butanolisis maka semakin rendah residu gula pereduksi yang dihasilkan. Demikian pula dengan perlakuan suhu, semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan maka residu gula pereduksi semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya rasio katalis maka semakin banyak ion H+ yang dapat digunakan untuk membentuk asetal antara gugus aldehid glukosa dan butanol. Luders (2000), menyatakan bahwa diperlukan ion H+ yang cukup dari katalis asam untuk membantu reaksi antara gula dan butanol.

Panas yang cukup diperlukan untuk membantu reaksi antara glukosa dan butanol. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa semakin tinggi suhu yang

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 0.018 0.027 0.036 G u la P e re d u k si ( p p m)

Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati

140 150

digunakan maka semakin rendah pula residu gula yang dihasilkan. Perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu gula pereduksi yang rendah dibandingkan dengan perlakuan suhu 140 OC. Pada suhu 150 OC reaksi antara glukosa dan butanol lebih banyak terjadi karena dengan meningkatnya suhu maka semakin cepat pula reaksi yang terjadi. Dengan batasan waktu proses butanolisis selama 30 menit, perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu gula pereduksi yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Luders (2000), suhu yang digunakan untuk proses butanolisis adalah 140-165 OC. semakin rendah suhu maka proses reaksi akan berjalan semakin lambat. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka reaksi akan berjaan lebih cepat, namun proses harus dijaga untuk meminimalkan pembentukan by-product yang tidak diinginkan pada penggunaan suhu yang tinggi.

4.1.2 Residu total gula

Tidak semua hasil hidrolisis pati dengan menggunakan asam akan menghasilkan monosakarida, namun ada juga yang berbentuk oligosakarida atau polisakarida. Hasil hidrolisis pati ini diukur sebagai total gula. Oligosakarida juga mampu bereaksi dengan butanol, namun produk yang dihasilkan berupa butil oligoglikosida. Gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye hingga kekuningan yang stabil (Winarno 2008).

Residu total gula yang dihasilkan pada proses butanolisis berasal dari hasil hidrolisa asam pada tapioka. Semakin banyak residu total gula, maka semakin tidak efisien proses butanolisis yang terjadi. Kondisi proses reaksi butanolisis yang menggunakan suhu 140-150 OC dan dalam keadaan asam mendukung untuk terjadinya proses hidrolisa pati. Hasil penelitian pada perhitungan residu total gula berkisar antara 44.047,62-143.928,57 ppm, atau sekitar 28,51 – 82,4% dari total pati yang digunakan.

Dari hasil analisa ragam menunjukkan faktor perlakuan rasio mol, faktor perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata terhadap pembentukan residu total gula (Lampiran 3). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05)

0,018 berbeda nyata dengan perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036. Perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036 tidak berbeda nyata. Hasil uji Duncan (α=0,05) pada tiap perlakuan menunjukkan

hasil yang berbeda nyata, kecuali pada perlakuan rasio mol katalis 0,036 dan suhu 150 OC (sampel A3B1) tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan rasio mol katalis 0,027 pada suhu 140 OC dan 150 OC (sampel A2B1 dan A2B2). Pengaruh dari perlakuan rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu total gula dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Pengaruh rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu total gula

Semakin tinggi rasio mol katalis dan perlakuan suhu, maka semakin rendah residu total gula yang dihasilkan. Penambahan katalis yang semakin tinggi memungkinkan terjadinya kondisi keasaman yang semakin tinggi selama proses butanolisis. Dengan suasana asam memungkinkan untuk terjadinya hidrolisis pati dan ion H+ yang diperoleh dari katalis membantu terjadinya ikatan antara gula dan butanol. Pada perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu total gula yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan suhu 140 OC.

Dari data residu total gula dan residu gula sederhana dapat diperoleh data derajat polimerisasi (DP) dari residu sakarida yang dihasilkan dari hasil proses butanolisis. Derajat polimerisasi merupakan hasil bagi dari jumlah residu total gula dan jumlah residu gula pereduksi. Nilai DP dari hasil proses butanolisis berkisar antara 2-3. Dari nilai DP yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi gula pereduksi terhadap total gula masih tinggi atau berkisar antara 55,5-34,5%;

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 0.018 0.027 0.036 T o ta l G ul a ( pp m )

Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati

140 150

sedangkan jumlah persentase total gula terhadap keseluruhan hasil butanolisis sebesar 25,1-82,4% (Tabel 4). Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi dari residu total gula yang terdapat pada hasil butanolisis yaitu terbentuknya polidekstrosa atau membentuk ikatan asetal dengan alkohol lemak rantai panjang pada tahap transasetalisasi (McCurry 2000).

Tabel 4 Derajat polimerisasi dan persentase residu gula dari berbagai sampel

Sampel Perlakuan DP Residu Gula (%)

A1B1a Katalis 0,018; suhu 140OC 2,4 82,40 A1B2a Katalis 0,018; suhu 150OC 1,9 49,75 A2B1a Katalis 0,027; suhu 140OC 1,8 39,70 A2B2a Katalis 0,027; suhu 150OC 2,2 31,35 A3B1a Katalis 0,036; suhu 140OC 2,9 38,20 A3B2a Katalis 0,036; suhu 150OC 2,4 28,51 Ludersb Katalis 0,012; suhu 165

O

C

(syrup glukosa low DP) n/a

c

13,00

Keterangan : aperlakuan penelitian, bLuders (2000), cdata tidak tersedia

4.1.3 Kejernihan

Luders (1991) dan Noerdin (2008) menyatakan bahwa warna produk hasil butanolisis antara kuning hingga coklat tua. Pembentukan warna ini disebabkan oleh dehidrasi glukosa dengan kehilangan 3H2O hingga membentuk hidroksil metil furfural (HMF) (Gambar 5). Perlakuan suhu tinggi hingga 150 OC juga menjadi penyebab pembentukan warna gelap pada hasil proses butanolisis. Hasil butanolisis yang berwarna gelap akan mempengaruhi kualitas warna produk APG selanjutnya. Semakin gelap produk butanolisis, maka produk APG yang dihasilkan juga akan semakin gelap.

Penetapan kejernihan produk dari hasil butanolisis dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer. Pada perhitungan kejernihan digunakan panjang gelombang 470 nm (McCurry 1994), dengan menghitung %Transmisi sampel. Hasil dari perhitungan %Transmisi kecerahan produk butanolisis berkisar antara 0,1 – 80,35 %T. Semakin rendah nilai %T maka semakin gelap produk.

Hasil analisa ragam menunjukkan faktor rasio mol, faktor suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata (Lampiran 4). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05)

0,036 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan penambahan katalis

dengan rasio mol 0,018. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05) terhadap tiap

kombinasi perlakuan menunjukkan kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,036 pada suhu 140 OC dan 150 OC (A3B1 dan A2B2) serta perlakuan rasio mol katalis 0,027 pada suhu 150 OC tidak berbeda nyata. Kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,018; suhu 150 OC (A1B2) dan kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,027; suhu 140 OC (A2B1) juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Warna dari hasil proses butanolisis yaitu kuning muda hingga hitam. Warna dari hasil proses butanolisis ini dapat dilihat pada Gambar 11. Grafik kejernihan APG akibat pengaruh penambahan rasio mol katalis dan perlakuan suhu dapat dilihat pada Gambar 12.

Keterangan : A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036 B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC

Gambar 11 Hasil dari proses butanolisis

Gambar 12 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu terhadap kejernihan (%T) Semakin tinggi penambahan rasio mol katalis dan semakin tinggi perlakuan suhu maka kejernihan produk yang dihasilkan akan semakin rendah. Perlakuan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0.018 0.027 0.036 K eje rni ha n (%T )

Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati

140 150

penambahan rasio mol katalis 0,027 dan 0,036 dengan kombinasi perlakuan suhu 150 OC menghasilkan nilai kejernihan yang sangat rendah. Semakin tinggi penambahan rasio mol katalis menyebabkan penurunan pH yang semakin tinggi pula. Kondisi asam ini menyebabkan gula sederhana hasil hidrolisa pati mengalami dehidrasi hingga membentuk furfural. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno (1992) yang menyatakan bahwa asam akan menyebabkan dehidrasi pati menjadi furfural, yaitu suatu turunan aldehid. Perlakuan suhu yang semakin tinggi menyebabkan reaksi pembentukan warna gelap semakin tinggi. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan pembentukan butil glikosida namun dapat menyebabkan by-product yang tidak diinginkan yaitu pembentukan warna gelap (Luders 2000). 4.1.4 Pemilihan rasio mol dan suhu terbaik proses butanolisis

Residu total gula diasumsikan sebagai gula yang tidak mampu berikatan dengan butanol membentuk butil glikosida. Semakin tinggi residu total gula maka semakin rendah produk butil glikosida yang terbentuk.

Semakin tinggi rasio mol katalis/1 mol pati dan semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan selama proses butanolisis maka tingkat %Transmisi kecerahan dari hasil butanolisis semakin rendah, dan produk yang dihasilkan semakin gelap. Dari Gambar 13 dapat dilihat pada perlakuan rasio mol katalis 0,018 (pada suhu 140 OC dan 150 OC) hasil dari proses butanolisis memiliki tingkat kejernihan yang tinggi. Pada perlakuan ini diindikasikan bahwa telah terjadi proses hidrolisis pati menjadi gula sederhana, karena tidak terdapat lagi suspensi pati. Jika dilihat dari jumlah residu total gula pada kombinasi perlakuan rasio mol 0,018; suhu 140 OC (A1B1) masih cukup tinggi yaitu 82,40%, artinya pembentukan butil glikosida masih rendah. Jika suhu dinaikkan menjadi 150 OC (A1B2) maka total gula akan menurun menjadi 49,75%.

Berdasarkan perbandingan tersebut maka dipilih perlakuan rasio mol 0,027 dan suhu proses butanolisis 140 OC (A2B1) karena memiliki residu total gula yang cukup rendah (39,7%) dan kejernihan yang masih tinggi (45,75 %T). Hasil perbandingan residu gula pereduksi, residu total gula dan kejernian dapat dilihat pada Gambar 13. Perlakuan rasio mol dan suhu ini kemudian digunakan seterusnya pada proses butanolisis untuk menghasilkan sampel APG.

Keterangan : A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036

B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC

Gambar 13 Perbandingan hasil pengamatan residu gula pereduksi, residu total gula dan kejernihan dari tiap perlakuan

4.2 Tahap produksi APG

4.2.1 Proses Sintesis (proses butanolisis dan proses transasetalisasi)

Pada proses butanolisis jumlah rasio mol katalis PTSA yaitu 0,027 mol : 1 mol pati, sedangkan perlakuan suhu yang diberikan yaitu suhu 140 OC sesuai dengan perlakuan terbaik pada tahap penentuan rasio mol katalis dan suhu proses butanolisis. Pada proses butanolisis ditambahkan butanol dengan rasio mol 8,5 : 1 mol pati dan H2O dengan rasio mol 8 : 1 mol pati Proses ini berlangsung selama 30 menit dengan kondisi tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Secara umum proses transasetalisasi merupakan proses penggantian C4 oleh C12 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Pada proses ini terjadi pemutusan ikatan antara sakarida dan butanol kemudian digantikan oleh alkohol lemak C12. Pada proses ini berlangsung pada suhu 115-120 OC selama dua jam dengan kecepatan pengadukan 200 rpm dan dalam keadaan vakum (-15 cmHg). Selama berlangsungnya proses ini butanol dan air dikeluarkan melalui proses penguapan dan kondensasi.

Setelah proses transasetalisasi didapatkan hasil berupa cairan berwarna coklat muda. Derajat keasaman larutan yang dihasilkan yaitu antara pH 2–2,4. Rata-rata gula pereduksi yang masih terdapat dalam larutan hasil transasetalisasi

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

% T ra n sm is i Ko n se n tra si ( p p m )

Residu Total Gula (ppm) Residu Gula Pereduksi (ppm) Kejernihan (%Transmisi)

yaitu sebesar 563,64 ppm (Lampiran 6), sedangkan menurut Lueders (2000), kandungan D-glukosa yang tersisa dalam larutan hasil transasetalisasi sebesar 450 ppm.

Polidekstrosa sangat berpengaruh terhadap Pada pembentukan warna gelap karena jika dilanjutkan pada proses distilasi maka produk APG akan semakin gelap. McCurry (1994), menyatakan bahwa larutan hasil proses transasetalisasi terdiri dari dodecil poliglikosida, alkohol lemak berlebih, polidekstrosa dan sebagian kecil gula yang tidak ikut bereaksi dengan alkohol lemak. Hasil dari proses transasetalisasi dapat diihat dari Gambar 14.

Gambar 14 Hasil akhir proses transasetalisasi 4.2.2 Proses Pemurnian APG

Proses pemurnian dilakukan untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan lebih jernih, karena aplikasi APG saat ini lebih banyak digunakan pada industri personal care product yang menuntut kondisi fisik APG yang lebih menarik dan memiliki kinerja yang bagus. Tahap proses pemurnian meliputi: penyaringan, netralisasi, penambahan arang aktif dan NaBH4, distilasi dan pemucatan.

4.2.2.1 Proses Penyaringan

Setelah proses transasetalisasi larutan didinginkan hingga mencapai suhu 80

O

C. Di dasar larutan terdapat endapan coklat tua gelap. Jika endapan ini dipisahkan menggunakan kain saring akan diperoleh pasta yang akan mengeras pada suhu ruang. Menurut Eskuchen dan Nitsche (1997), endapan ini merupakan

polidekstrosa hasil polimerisasi glukosa yang tidak bereaksi dengan alkohol lemak. Endapan ini harus dipisahkan, karena akan menyebabkan penurunan kualitas fisik dan kinerja APG yang dihasilkan. Tidak semua polidekstrosa dapat tersaring, karena ada juga yang masih larut dalam larutan. Rata-rata endapan polidektrosa yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 4,3% dari jumlah transasetalisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat McCurry (2000) bahwa kandungan polidekstrosa berkisar antara 2-13% dan kandungan by-product

lainnya sebesar 1-3% dari hasil proses transasetalisasi. 4.2.2.2 Proses Netralisasi

Proses netralisasi dilakukan untuk menghentikan proses transasetalisasi. Jika tidak dilakukan netralisasi maka APG yang telah terbentuk dalam larutan hasil transasetalisasi akan mengalami kerusakan pada proses destilasi. Hal ini disebabkan karena larutan masih bersifat asam dan suhu yang digunakan >140 OC yang dapat merusak APG yang telah terbentuk. Perlakuan proses netralisasi produk dilakukan dengan penambahan NaOH 50% hingga pH larutan mencapai pH 9. Penambahan NaOH menciptakan suasana basa dalam larutan karena gugus ether yang terbentuk dari ikatan asetal antara aldehid dan alkohol lebih stabil dalam kondisi basa (Noerdin 2008). Penggunaan larutan sodium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi terhadap alkohol ataupun produk APG (Wuess et al. 1996).

Pada saat penambahan NaOH untuk menetralkan larutan terjadi perubahan warna pada larutan hasil proses transasetalisasi. Mulanya larutan berwarna coklat muda kemudian setelah penambahan NaOH larutan berubah menjadi coklat tua (Gambar 15). Perubahan warna ini disebabkan karena masih terdapat kandungan sakarida dalam larutan. Menurut Soeharsono (1988), jika sakarida diberikan larutan basa berkadar tinggi, maka akan terjadi fragmentasi atau polimerisasi, D-glukosa akan berubah menjadi D-manosa atau D-fruktosa. Monosakarida akan mudah mengalami dekomposisi dan menghasilkan hidroksil metil furfural (HMF) selama proses pencoklatan non-enzimatis.

Gambar 15 Perubahan warna pada saat netralisasi menggunakan NaOH 4.2.2.3 Penambahan Arang aktif dan NaBH4

Untuk meningkatkan kejernihan produk maka diberikan perlakuan penambahan arang aktif 0%, 5%, dan 10% setelah netralisasi. Arang aktif dipisahkan dengan melakukan sentrifugasi dan penyaringan. Setelah itu ditambahkan NaBH4 sebanyak 0,1%, 0,2% dan 0,3% (b/b). Pada saat penambahan NaBH4 akan menghasilkan gelembung dan busa yang cukup banyak. Hal ini menandakan terjadi pelepasan H2 dari NaBH4 yang akan mengubah gugus aldehid

Dokumen terkait