• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.6 Penanganan Kasus

4.6.2 Proses Penanganan Kasus di Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Ada beberapa tahapan-tahapan atau proses yang akan dilakukan ketika menangani kasus kekerasan di KPAID SUMUT yaitu:

a. Pengaduan

Proses pengaduan ini merupakan langkah awal ketika seseorang, instansi, atau kelompok yang datang mengajukan suatu kasus yang terkait dengan permasalahan anak. Biasanya seseorang atau kelompok yang datang mengadu disebut pelapor, dimana orang tersebut merupakan yang pertama kali mengetahui secara lengkap kronologis akan persitiwa tersebut. Pelapor akan memberikan informasi yang akurat dengan apa yang menjadi masalah terhadap anak tersebut, sehingga lembaga ini akan mencatat kronologis tersebut untuk dijadikan sebagai bukti penerimaan pengaduan.

Adapun syarat yang akan dipenuhi ketika pelapor datang dan memberikan pengaduannya kepada KPAID SUMUT seperti memberikan data diri pelapor, identitas korban dan menceritakan kronologis kejadian secara benar. Jika semuanya terpenuhi maka tahapan selanjutnya pelapor dan terlapor akan diundang untuk menghadiri proses mediasi baik secara via telepon atau melalui pos.

Tata Cara Pengaduan

1. Langsung, melalui menerima pelaporan atau pengaduan masyarakat yang datang langsung ke Kantor KPAID SUMUT secara langsung.

2. Tidak langsung, menerima pengaduan atau pelaporan dari masyarakat baik melalui telepon, surat serta via e-mail.

Prinsip-prinsip Pengaduan

Dalam penanganan pengaduan, harus memperhatikan beberapa prinsip: 1. Non Diskriminasi

Dalam penerimaan pengaduan anak harus didudukkan sebagai subyek atau manusia yang mempunyai martabat yang harus dihormati dan dilindungi.

Penerimaan pengaduan sebaiknya menghindari perbedaan yang menyangkut SARA, kondisi fisik dan mental anak.

2. Mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak

Dalam penerimaan pengaduan harus memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak yang diperlakukan secara manusiawi, mempunyai akses informasi dan menjaga privasi anak dan pengadu.

3. Menghormati pandangan anak

Dalam penerimaan pengaduan anak, anak mempunyai kebebasan untuk menyampaikan pendapat menyampaikan pendapat dan sikapnya tanpa ada tekanan dari pihak manapun.

Mekanisme pengaduan

1. Penerimaan (pendaftaran) pengaduan

Setiap pengaduan harus didaftar terlebih dahulu sehingga kasus aduan dapat dicatat dengan jelas dan akurat sebelum memberikan saran.

2. Analisis dan klasifikasi kasus/masalah

Setiap pengaduan diberikan analisis kemudian diklasifikasi, dan dicarikan alternatif solusi terbaik bagi anak.

3. Tindak lanjut penyelesaian

Upaya mempertemukan pihak yang bermasalah untuk penyelesaian kasus demi kepentingan terbaik bagi anak.

4. Rujukan pada pihak pendampingan

KPAID dapat memberikan saran rujukan untuk pendampingan bagi anak dalam penyelesaian masalah (hukum, psikologis atau sosial).

Gambar 4.6

Mekanisme Penerimaan dan Penanganan Pengaduan oleh KPAID SUMUT

Sumber: Data Primer KPAID SUMUT Pelapor Kelompok kerja Pengaduan Berkas laporan Analisa kasus Hasil analisa kasus Diproses lebih lanjut Datang sendiri Tidak langsung: 1. Via telepon 2. via surat 3. Via e-mail Ditolak (karena tidak terkait isu

anak) Pengawasan terhadap tindak lanjut rekomendasi Kasus Perdata dan umum a. Komunal b. Individual Kasus Pidana a. Komunal b. Individual Pemanggilan Terlapor dan para pihak Assessment & Home/School visit Follow up kasus (rekomendasi KPAID Koordinasi internal KPAID SUMUT Koordinasi antar lembaga

b. Mediasi

Proses mediasi merupakan proses dimana merespon pengaduan pelapor yang datang. Mediasi bertujuan untuk memberikan jalan penengah dibalik permasalahan yang diperuntukkan bagi para orang tua atau keluarga yang mempunyai masalah terhadap anaknya guna untuk mendapatkan hasil yang terbaik bagi anak. Keinginan pelapor akan dilakukannya mediasi karena tidak mendapatkan hasil yang maksimal dari putusan pengadilan sehingga diharapkan kepada lembaga ini untuk dapat membantu dalam menemukan jalan tengah dari permasalahan tersebut. Dalam mediasi ini juga para pihak pelapor dan terlapor akan dipertemukan dan duduk bersama dalam satu ruangan, ini dilakukan agar masing-masing pihak dapat saling mendengar dan menyimak secara seksama dengan apa yang diinginkan pelapor.

Proses mediasi ini dilakukan sebanyak 3 kali pemanggilan kepada pihak terlapor, apabila dalam setiap undangan pihak terlapor tidak menghadiri proses mediasi maka akan dinyatakan tidak berhasil dalam menempuh hasil bersama yang telah dibuat oleh pihak KPAID SUMUT, maka terlapor akan dinyatakan sebagai klien yang tidak kooperatif. Ini bisa saja akan menjadi momentum yang berat terhadap terlapor, jika suatu saat pelapor memberikan informasi akan ketidakhadirannya saat dilakukannya mediasi selanjutnya di Pengadilan. Catatan itu dapat dijadikan sebagai pertimbangan Hakim di Pengadilan saat dilakukannya sidang terkait dengan hak kuasa asuh. Hasil yang didapat dari proses mediasi ini adalah adanya kesepakatan tertulis terkait dengan keinginan dari masing-masing pihak.

c. Pemantauan atau Rekam Aduan

Pemantauan atau rekam aduan ini dimaksudkan untuk memantau dan memonitoring anak setelah kembali ke lingkungan keluarganya (pengasuh) dengan apa yang sudah disepakati melalui proses mediasi yang pernah dilakukan. Pemantauan ini bisa dilakukan dengan cara berkomunikasi dengan pelapor atau melakukan tindak lanjut ke tempat kediaman pengasuh ataupun terlapor. Rekam aduan dapat dijadikan sebagai bukti bahwasanya pihak pelapor dan terlapor diketahui melanggar atau tidak memenuhi segala kesepakatan yang sudah diketahui oleh lembaga. Maka jika hal ini terjadi, dipastikan salah satu pihak akan dikenakan sanksi karena melanggar surat kesepakatan yang sudah diketahui oleh beberapa pihak.

BAB V ANALISIS DATA 5.1Pengantar

Analisis data merupakan upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Pada bab ini berdasarkan pengumpulan data yang telah dilakukan melalui teknik wawancara dan observasi dengan informan, peneliti telah mengumpulkan data informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:

1. Penelitian dilakukan atau diawali dengan mengumpulkan berbagai dokumen dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi Sumatera Utara mengenai kasus-kasus anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Pengumpulan data tersebut berupa case record yang meliputi biodata anak korban kekerasan seksual, kronologis kasus, dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan korban kekerasan seksual yang penangangan kasusnya dalam dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi Sumatera Utara.

2. Melakukan diskusi terbuka dengan staff Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi Sumatera Utara khususnya Kelompok Kerja (Pokja) bidang Pengaduan dan Fasilitas Pelayanan dalam proses penentuan informasi dan kronologis kasus kekerasan seksual yang dialami korban.

3. Melakukan wawancara terhadap informan kunci, informan utama dan informan tambahan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyelesaian kasus dampingan KPAID SUMUT mengenai kekerasan seksual terhadap anak.

Data-data yang telah didapatkan akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif yang lebih mementingkan ketetapan dan kecukupan data, dimana data yang disajikan berupa deskripsi tentang peristiwa dan pengalaman penting dari kehidupan atau beberapa bagian pokok dari kehidupan seseorang dengan kata-katanya sendiri. Untuk melihat gambaran yang lebih jelas dan rinci, maka penulis mencoba menguraikan petikan wawancara dengan informan serta narasi penulis tentang data-data tersebut diteliti dan ditelaah, maka selanjutnya penulis mengadakan kategorisasi perbandingan-perbandingan sebelum akhirnya penulis menarik kesimpulan daripada penelitian ini.

Data-data yang didapatkan diperoleh peneliti dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dengan informan. Adapun informan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 9 orang, dengan komposisi 1 orang informan kunci (pangkal), 4 orang informan utama dan 4 orang informan tambahan. Informan kunci dalam penelitian ini berperan sebagai penghubung antara peneliti dengan informan utama dan informan tambahan sekaligus sebagai sumber informasi mengenai kronologis kejadian dan data-data anak korban kekerasan seksual. Pada informan utama dan informan tambahan dilakukan wawancara mendalam untuk memperoleh data dan informasi mengenai faktor-faktor terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.

Informan kunci dalam penelitian ini adalah Ketua Pokja Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

(KPAID SUMUT) yakni Bapak Muslim Harahap, S.H.,M.H. Informan utama dalam penelitian ini adalah empat orang anak korban kekerasan seksual yang dalam proses penanganannya mendapat pendampingan dari KPAID SUMUT yakni AL (Pr, 15th), DWG (Pr, 6th), NP (Pr, 13th), dan AS (Lk, 15th). Kemudian informan tambahan dalam penelitian ini berasal dari pihak pelapor yang melakukan pengaduan kasus atas tindakan kekerasan seksual terhadap anak korban yang menjadi informan utama. Ibu W yang merupakan ibu kandung AL, Bapak PG yang merupakan ayah kandung DWG, Ibu AR yang juga merupakan ibu kandung NP, serta Ibu S yang merupakan ibu kandung dari AS merupakan informan-informan tambahan dalam penelitian ini. Dalam tahapan analisis ini informasi mengenai informan utama dan informan tambahan disamarkan demi kepentingan perlindungan anak korban kekerasan seksual dan keluarganya atau pihak pelapor.

5.2Hasil Temuan

5.2.1 Informan Utama dan Tambahan 1

Nama : AL

Tempat/Tanggal Lahir : Besitang, 23 Juli 2001 Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Budi Luhur Gg. Bersama No. 50A Kelurahan Dwi Kora Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Agama : Islam

Pendidikan : Pelajar aktif kelas III SMP

AL (Pr, 15th) merupakan informan utama yang peneliti wawancara pertama kali di awal bulan Maret 2016 saat AL berkunjung ke KPAID SUMUT. Pada waktu itu Pesantren dimana AL tinggal dan bersekolah sampai sekarang ini sedang libur.

Sebelumnya peneliti telah beberapa kali bertemu dan berdiskusi dengan AL di tahun 2015 ketika AL berada di KPAID SUMUT dan di Rumah Perlindungan Anak (RUPA) milik KPAID SUMUT saat kasusnya sedang menjalani proses hukum. AL adalah anak korban pencabulan incest yang dilakukan oleh Y, yang merupakan Ayah tiri AL. Pengaduan kasus AL dilaporkan pada Senin, tanggal 3 Februari 2015 pukul 10.00 WIB oleh Ibu kandung AL yakni Ibu W. Dalam penelitian ini Ibu W menjadi informan tambahan pada wawancara terpisah yang juga dilakukan dalam hari yang sama dengan AL saat kunjungan ke KPAID SUMUT. Adapun Y merupakan suami kedua Ibu W, setelah suami pertama Ibu W meninggal dunia sekitar 3 tahun yang lalu.

Tindak perlakuan cabul yang dialami AL terjadi pada 27 Januari 2015, pada saat itu AL yang masih berusia 14 tahun dijemput Y dari sekolahnya dan dibawa ke Hotel Mutiara Hawai Jalan Jamin Ginting Medan, dan di hotel tersebut Y melakukan perbuatan bejat terhadap anak tirinya. Setelah kejadian itu menurut pengakuan Ibu W kepada peneliti, AL tidak langsung memberitahunya namun Ibu W dapat melihat perubahan sikap pada AL dirumah yang menjadi ketakutan terlebih ketika ada Y. Namun saat peneliti melakukan wawancara terpisah dan mengarahkan topik ini pada AL, dia terlihat enggan membahasnya dan mengatakan bahwa sudah tidak mau mengingat masa lalu lagi, maka peneliti pun melanjutkan pembahasan wawancara yang lain.

Pada 4 Februari 2015, sehari setelah laporan pengaduan, AL yang didampingi oleh Ibu W dan pihak KPAID SUMUT membuat laporan Kepolisian terkait tindak perlakuan cabul oleh Ayah tirinya tersebut, serta membuat surat rujukan permintaan pemeriksaan kesehatan untuk menjalani proses Visum Et Revertum (VER) di Rumah

Sakit Bhayangkara pada hari yang sama. Setelah itu proses penyidikan dari pihak Kepolisian pun berlangsung. Menurut penuturan pihak KPAID SUMUT dalam wawancara penelitian ini, pada saat itu tidak terlihat tanda-tanda trauma pada diri AL yang nampak ceria, maka pihak KPAID SUMUT merasa tidak perlu melakukan pemeriksaan psikologis pada AL.

Beberapa hari setelah penahanan Y di Polresta Medan yang dilaksanakan pada 13 Maret 2015, Ibu W bersama AL datang ke KPAID SUMUT untuk meminta pihak KPAID SUMUT mencabut laporan pengaduan disana dan di Kepolisian. Ketika peneliti menanyakan hal ini kepada Ibu W dalam wawancara, menurut penuturannya pada saat itu beliau memikirkan bagaimana kehidupannya dan AL terutama dari segi ekonomi apabila Y yang merupakan pencari nafkah dalam keluarga divonis penjara. Hal senada dibenarkan oleh pihak KPAID SUMUT yang menangani kasus AL tersebut dalam wawancara dengan peneliti, namun karena prinsip KPAID SUMUT yang mengutamakan pendapat anak maka saat itu pihak KPAID SUMUT melakukan konseling tertutup dengan AL. Seperti halnya dengan penuturan AL kepada peneliti saat wawancara, bahwa pada konseling tertutup tersebut AL mengaku ibunya terus membujuknya untuk menempuh jalan damai agar Y tidak dilanjutkan ke proses persidangan pertama yang akan diselenggarakan pada Kamis tanggal 19 Maret 2015 saat itu.

Pihak KPAID SUMUT dalam konseling tertutup tersebut menyarankan agar AL membuat surat pernyataan terkait sebagai solusi atas kekhawatiran AL. AL pada saat itu menyadari bahwa tindakan Ayah tirinya tersebut salah dan harus di proses secara hukum, maka pendapat AL waktu itu seperti yang ia katakan pada peneliti ketika wawancara sebagai berikut:

Itulah kak AL kemarin didampingin sama orang KPAID buat surat pernyataan kalo AL sebagai korban minta bapak tiri AL di hukum seberat-beratnya, dan AL nggak mau pake jalan damai

Rasa takut dan ingin menghindari ibunya membuat AL pada saat itu enggan pulang ke rumah dan memohon perlindungan dari KPAID SUMUT dalam sesi konseling itu. Pihak KPAID SUMUT melihat perubahaan psikologis dan emosional pada diri AL kemudian memberikan solusi agar AL dikoordinasikan untuk tinggal sementara di Rumah Perlindungan Anak (RUPA) milik KPAID SUMUT. Keberadaan RUPA hanya diketahui oleh pihak KPAID SUMUT serta pihak-pihak yang berkepentingan demi keamanan dan perlindungan anak. Ibu W pada saat itu menginginkan agar AL tetap dirumah, namun setelah diskusi lebih lanjut dengan pihak KPAID SUMUT akhirnya beliau setuju. Maka pada hari itu juga AL tinggal sementara di RUPA tanpa mengganggu urusan sekolahnya, dan proses hukum terhadap Ayah tirinya tetap berlangsung.

AL berada di RUPA dalam waktu kurang lebih tiga bulan, selama itu AL tetap bersekolah dan menjalani kehidupan sosialnya dengan lingkungan sekolah serta teman-temannya dengan baik, karena menurut penuturannya dalam wawancara penelitian ini, selama di RUPA AL beberapa kali mengikuti program konseling dari pihak konselor KPAID SUMUT dan psikolog yang bermitra dengan KPAID SUMUT untuk memulihkan kepercayaan diri AL yang sempat malu untuk bersekolah setelah kejadian yang menimpanya. AL juga mengikuti ujian sehingga dia tidak dapat berhadir ketika persidangan kedua yang diselenggarakan pada Kamis tanggal 11 Juni 2015 dengan agenda Pembacaan Tuntutan Pidana.

AL tetap tidak mau menemui Ibu W yang menurut pihak KPAID SUMUT beberapa kali ke KPAID SUMUT untuk mengambil anaknya dan bersikeras untuk

mencabut laporan pengaduan. Menurut pengakuan Ibu W dalam wawancara penelitian ini, pada saat itu Ibu W mendapat intervensi dari suaminya sebelum dan selama masa tahanan serta masa persidangan agar AL mencabut laporan dan menarik kembali surat pernyataannya tersebut. Ibu W pun sempat mengeluhkan pada pihak KPAID SUMUT bahwa pada saat itu dia merasa tidak mampu menanggung biaya sekolah AL saat suaminya ditahan. Pihak KPAID SUMUT yang memperjuangkan hak pendidikan anak mengambil inisiatif dengan mencari donatur untuk membantu biaya pendidikan AL, lalu pada Sabtu tanggal 28 Maret 2015 berkoordinasi dengan pihak sekolah AL untuk mengurus surat kepindahan AL ke sebuah Pesantren di daerah Tapanuli Tengah berdasarkan rekomendasi dari donatur tersebut.

Proses hukum yang melibatkan Ayah tirinya juga masih berlangsung sampai persidangan terakhir pada tanggal 25 Juni 2015 di Pengadilan Negeri Medan dengan agenda Pembacaan Putusan Pengadilan dimana Y sebagai Ayah tiri AL yang menjadi pelaku tindak pencabulan incest tersebut di vonis 8 tahun penjara. AL berhenti mendapatkan penanganan dari KPAID SUMUT di RUPA karena dikoordinasikan untuk pindah sekolah dan di asramakan ke Pesantren pada tanggal 17 April 2015 hingga sekarang.

5.2.2 Informan Utama dan Tambahan 2

Nama : DWG

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 04 November 2009 Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Blok F Graha Martubung Lingkungan V Kel. Martubung Kec. Medan Labuhan

Pendidikan : Pelajar aktif kelas I SD

Peneliti melakukan wawancara dengan DWG (Pr, 6th) beserta ayahnya Bapak PG pada pertengahan Maret 2016 di kediaman mereka, Blok F Graha Martubung Kel. Martubung Kec. Medan Labuhan. Pada saat itu DWG yang masih duduk di kelas 1 SD terlihat masih takut dan belum begitu paham dengan pertanyaan wawancara penelitian ini, maka peneliti lebih menekankan wawancara dengan Bapak PG sebagai Pelapor dalam laporan pengaduan kasus di KPAID SUMUT dan yang menjadi informan tambahan dalam penelitian ini. Adapun sebelumnya di tahun 2015 ketika pertama kali kasus DWG dilaporkan ke KPAID SUMUT, peneliti telah beberapa kali berinteraksi dengan DWG dan Bapak PG.

Saat usianya 5 tahun DWG menjadi korban kejahatan seksual dalam bentuk pencabulan yang dilakukan oleh BS (Lk, 48th), dimana kasusnya tercatat dalam laporan pengaduan yang diadukan oleh ayahnya Bapak PG di KPAID SUMUT hari Senin tanggal 1 Juni 2015 pukul 15.40 WIB dan sebelumnya Bapak PG telah membuat laporan Kepolisan pada hari Selasa tanggal 12 Mei 2015. Adapun pelaku tindak pencabulan tersebut (BS) merupakan Pak Tua daripada DWG sendiri, perbuatan keji tersebut terjadi pada hari Senin tanggal 1 Mei 2015 sekitar pukul 11.00 WIB di rumah BS di Jalan Melati Komplek Graha Martubung. Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan DWG mengenai kejadian tersebut, saat itu DWG sedang menonton televisi di rumah BS, lalu tiba-tiba BS memaksa DWG untuk masuk kamar dan tidur. Berikut penuturan DWG:

Aku lagi nonton, kak. Dipaksanya bobok, dibawa ke kamar…

Setelah kejadian itu DWG mengaku diberi uang Rp. 2.000,- dan di ancam apabila memberitahukan kejadian tersebut kepada orang tuanya DWG tidak akan di

ajak jalan-jalan lagi dengan BS. Menurut pendapat DWG yang masih dibawah umur, BS adalah orang jahat yang harus di penjara, namun selebihnya dalam wawancara penelitian ini DWG tidak banyak berbicara, hanya mengangguk atau menggeleng dan mengiyakan saja saat peneliti bertanya. Bapak PG yang mendampingi DWG saat wawancara mengatakan bahwa DWG enggan membicarakan kembali hal tersebut, bahkan mendengar nama atau marga BS pun dia terkadang menutup telinga dan raut wajahnya pun berubah. Maka peneliti memutuskan untuk menanyakan tentang kejadian tersebut dalam wawancara terpisah dengan Bapak PG, dan melanjutkan wawancara dengan DWG terkait proses penyelesaian kasusnya.

DWG dikoordinasikan untuk tinggal sementara di Rumah Perlindungan Anak (RUPA) milik KPAID SUMUT dengan persetujuan Bapak PG pada tanggal 2 Juni 2015, sehari setelah laporan pengaduan kasusnya tercatat di KPAID SUMUT. Hal ini dikarenakan pertimbangan pihak KPAID SUMUT yang sebelumnya mengassesmen DWG melihat tanda-tanda traumatik pada diri DWG. Bapak PG menyatakan bahwa beliau juga khawatir pada kondisi psikologis anaknya tersebut, maka beliau mempercayakan pada pihak KPAID SUMUT untuk memberikan penanganan dan perlindungan pada DWG saat itu. Awalnya DWG takut ketika akan dibawa ke RUPA, seperti yang dia katakan dalam wawancara penelitian ini DWG memberikan alasan bahwa saat itu dia takut diculik. Namun akhirnya DWG mau setelah pendekatan dari pihak KPAID SUMUT dan Bapak PG yang meyakinkan bahwa pihak tersebut adalah orang-orang baik yang akan menolong dan melindunginya. Memang pada dasarnya DWG merupakan anak yang tidak terlalu rewel dengan orang lain, karena dia sering dititipkan di rumah BS dan istrinya untuk dijaga ketika orang tua DWG pergi bekerja. Lalu pada hari yang sama DWG dengan didampingi

pihak KPAID SUMUT dari RUPA melakukan Visum Et Repertum (VER) di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan, dan hasil visum menyatakan bahwa kemaluan DWG tergores. Menurut Bapak PG memang waktu itu DWG sempat mengeluh perih ketika buang air kecil.

Selama di RUPA, DWG mengaku senang dengan penanganan dari pihak KPAID SUMUT yang memberikan konseling dan kegiatan-kegiatan untuk mengembalikan kepercayaan diri dan reintegrasi sosialnya. DWG juga menjalani dua kali proses konseling psikologis, pertama pada hari Kamis tanggal 11 Juni 2015 oleh psikolog Bhayangkara, lalu konseling kedua pada Jumat, 12 Juni 2015 oleh konselor psikolog dari Biro Konsultasi Psikologi Alifa yang bermitra dengan KPAID SUMUT di RUPA. Menurut Bapak PG yang setiap hari memantau perkembangan anaknya di RUPA, DWG pada awalnya sangat trauma pasca kejadian tersebut terlebih setelah berulang kali ditanyakan kronologis versinya sebagai korban oleh berbagai pihak demi kelancaran proses penyelesaian kasusnya. DWG berada di RUPA sampai akhir Juni 2015, dan diperbolehkan pulang ke rumahnya karena kondisi psikologisnya membaik dan dia sudah ceria kembali seperti anak-anak seusianya.

Sedangkan proses hukum dalam kasus DWG agak lama, terlihat dari sidang pertama yang baru berlangsung pada tanggal 23 September 2015 di Pengadilan Negeri Belawan. Menurut Bapak PG, bahwa sebelumnya beliau sempat mendapat ancaman tuntutan balik dari pihak kuasa hukum BS yang mengajukan surat permohonan praperadilan yang menyatakan bahwa BS tidak bersalah dan agar Bapak PG mencabut laporan pengaduannya. Namun setelah penyidikan dan dampingan dari KPAID SUMUT dalam menegakkan hak-hak anak maka proses berlangsung dan BS pun ditahan. Pada tanggal 8 Desember 2015 dilangsungkan sidang kedua dengan

agenda pembacaan tuntutan, dimana BS dituntut 8 tahun penjara dan denda sebesar 80 juta rupiah. Bapak PG mengatakan pada saat itu beliau mengajukan hak restitusi korban atas saran dari pihak KPAID SUMUT, namun permohonan tersebut ditolak

Dokumen terkait